Jumat, 28 September 2012

Biji dan Pepohonan Tumbuh

Catatan Upacara Adat Seren Taun di Cigugur Kabupaten Kuningan



Oleh Dadang Kusnandar
Penulis Lepas, tinggal di Cirebon
Foto : Ipon Bae

UNGKAPAN rasa syukur itu beragam. Ada yang dilakukan secara personal dan ada yang secara komunal. Pada sebuah komunitas ~sebutlah komunitas adat~ ungkapan rasa syukur itu dilakukan secara komunal dan terus menerus setiap tahun. Komunitas adat Sunda di Jawa Barat dengan dominasi profesi sebagai petani mengungkapkan rasa syukur itu dengan menyerahkan sebagian hasil panennya. Pisang, nangka, ubi, padi, salak, kelapa dan sebagainya dibawa ke Cigugur, tepatnya Gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Di tempat ini, hasil bumi itu tidak sekadar dikumpulkan. Sebagian dijadikan hiasan, sebagian dimasak, sebagian disediakan langsung untuk para tamu, dan sebagian besar dikembalikan atau dibagikan kepada siapa saja yang hadir pada perhelatan rasa syukur atas kemurahan alam menumbuhkan biji dan pepohonan.

Begitulah komunitas adat Sunda di Jawa Barat khususnya menyebut perhelatan rasa syukur ini dengan istilah Seren Taun. Sebuah upacara ungkapan rasa syukur masyarakat agraris di tatar sunda, upacara ini pun mirip thank`sgiving day untuk menumbuhkan kesadaran diri selaku manusia dan kesadaran diri selaku bangsa. Menurut ungkapan Rama Kusumajati (79) kesadaran yang dimaksud meliputi kesadaran diri, kesadaran bermasyarakat, kesadaran berketuhanan, dan kesadaran bernegara. Maka dalam Seren Taun ini semua manusia adalah sama. “Tidak ada seorang pun yang dilirik berdasar status sosialnya. Acara ini menjunjung tinggi kebersamaan dan kesetaraan manusia tanpa memandang status apa pun”, ujar Nanang Gumilang (39), Ketua Panitia Seren Taun yang bertepatan dengan tanggal 22 Rayagung 1944 Saka Sunda. 


Komunitas adat yang akan hadir pada Seren Taun 2011 ini adalah masyarakat adat Baduy Jaro, Ciptagelar, Citorek dari Banten, juga masyarakat adat Kampung Dukuh dari Garut, Kampung Naga dari Tasikmalaya, masyarakat adat Sumedang Larang, dan masyarakat adat Geger Sunten dari Ciamis, juga masyarakat adat Hanjatan Karahayuan dari Panjalu Ciamis, dan Cireunde Kabupaten Cimahi. Selain masyarakat adat, komunitas agama pun hadir turut mensyukuri karunia Tuhan, keberadaan pemuka agama itu terlibat dalam ritual do`a menjelang Seren Taun digelar. Do`a para pemuka Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu boleh disebut sebagai pembuka Seren Taun dengan harapan memperoleh berkah bagi pertumbuhan biji dan pepohonan pada tiap penanaman. Inilah sebabnya do`a para pemuka agama ini dinamai Kidung Spiritual.


Ratusan kali Seren Taun digelar di Cigugur. Ratusan kali pula keberadaan Seren Taun menyedot geliat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Warung yang menjadi ramai, transportasi umum yang terdongkrak karena keramaian, serta dinamika sosial yang ikut tumbuh ~setidaknya menandakan bahwa Seren Taun berhasil menyejahterakan warga sekitar. Agaknya inilah makna Tri Tangtu atau Tiga Ketentuan yang meliputi ketentuan untuk rakyat, untuk negara, dan untuk raga. Tiga hal yang kait mengait dalam kehidupan. Maknanya meski kita tidak sepengetahuan tetapi sepengertian. Rama Kusumajati mencontohkan angka sepuluh bukan hanya merupakan hasil penambahan angka lima dengan lima, melainkan satu dengan sembilan, dua dengan delapan, tiga dengan tujuh, dan empat dengan enam. Artinya ada banyak pengertian menuju satu pemahaman. 

Seren Taun pun kerap dimeriahkan dengan kehadiran utusan keraton se Indonesia. Kabarnya beberapa sultan dan keluarga keraton dari Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku akan hadir pada Seren Taun kali ini. Bahkan tamu kehormatan dari Kerajaan Brunei Darussalam pun akan hadir ke Cigugur. Dengan demikian Seren Taun dapat disebut bagai even budaya yang menyegerakan untuk dibenahi dan dikelola secara profesional. Beruntung pemerintah daerah setempat (Kabupaten Kuningan) pun terlibat di kegiatan reguler ini. Demikian pula pemerintah Propinsi Jawa Barat.

 



Berbagai Kegiatan

Seren Taun yang diadakan sejak 14 – 19 November 2011 ini menggelar berbagai kegiatan yang potensial melestarikan budaya masyarakat agraris. Acara tersebut antara lain Damar Sewu, Kaulinan Barudak, Karinding Cirendeu, Karinding Mayang Sari Bandung. Juga ada Pesta Dadung, Pembuangan Hama, Penanaman Pohon, Seribu Kentongan, Rampak Kendang, Pentas Angklung, Lomba Menggambar dan Mewarnai, Tari Tani Anak, dan Gondang. Pada hari ketiga tanggal 16 November kegiatan Seren Taun meliputi Lomba Panahan Tradisional, Lomba Nyiblung dan Dayung Buyung, Rampak  Sekar dan Pupuh Sunda, Pengobatan Gratis dari Rumah Sakit Medical Kuningan.

Berikutnya tanggal 17 November ada Workshop Iket, yakni ikat kepala yang biasa dikenakan masyarakat Sunda. Juga dipentaskan Tari Merak, Tari Kijang, Tari Kandangan dan Tayuban dari Ciamis. Tanggal 18 November kegiatan yang melengkapi Seren Taun ialah Dialog Masyarakat Adat, Helaran Budaya di Kota Kuningan, Do`a Bersama, Kidung Spiritual, Gelar Pusaka Monggang dan Tayuban, Tari Pwah Aci, dan Ngareremokeun. Sementara puncak acara Seren Taun diisi oleh kegiatan Tari Buyung, Angklung Kanekes dari masyarakat adat Baduy (Banten Selatan), Angklung Buncis, Ngajayak, Rajah Pamuka, dan Penumbukan Padi di Saung Panutuan.


Kegiatan yang memeriahkan Seren Taun ini pun dilengkapi dengan pameran foto karya Rama Kusumajati, yang sejak berusia 20-an suka memotret dengan kamera pada waktu itu. Sekira 20-an karya fotonya dipamerkan di Taman Sari Paseban, lantas dilanjutkan dengan diskusi fotografi yang dipandu oleh fotografer Ray Bachtiar Drajat dari Jakarta. Pada kesempatan ini Rama Jati berencana akan mengadakan lomba foto untuk kegiatan Seren Taun 2012. Rama pun ternyata pandai menuangkan imajinasi dalam karya fotonya. Bayangkan sebatang pohon Kamboja Jepang di pot ukuran kecil, di atas dahannya diletakkan topeng penari. Alhasil karya foto itu memperlihatkan liukan tubuh seorang penari dengan gerak tangannya. Rama juga pandai memainkan warna dan cahaya dalam karya fotonya. 

Begitulah kegiatan Seren Taun yang substansinya merupakan ungkapan rasa syukur atas pemberian Tuhan kepada manusia dan alam. Interaksi ketiganya yang terus menerus membingkai kehidupan. Dengan demikian setiap kita, siapa pun kita, sudah seharusnyalah mensyukuri pemberian (karunia) Tuhan itu dengan ekspresi. Tak sekadar kata, namun upaya pelestarian budaya serta pengukuhan eksistensi masyarakat adat : yang hingga kini masih belum diterima oleh negara. Masyarakat adat yang secara komunal membentuk ikatannya itu untuk mempertahankan diri dari pelbagai anasir yang kerap mengusik. Keberadaan masyarakat adat Sunda di Jawa Barat ini agaknya dapat menjadi referensi untuk menilai dan memahami masyarakat adat di propinsi lain di Indonesia. Tentu saja supaya ada perlakuan yang sama oleh negara kepada komunitas tersebut.


Bukankah ciri dasar yang menegakkan Nusantara adalah keberbagaiannya, yang antara lain ditandai oleh masyarakat adat?***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar