Senin, 24 September 2012

Wakatobi Pada Tutur FKN



Oleh Dadang Kusnandar
Kontingen Keraton Kanoman FKN VIII Buton

MENYUSUR kepulauan yang mengitari pulau Buton Sulawesi Tenggara, seseorang mengingatkan, “Kunjungi Wakatobi. Anda akan melihat betapa kuasa tuhan dengan keindahan alam terpatri dalam ingatan serta rasa takjub”. Menemani seniman tradisi Heri Komarahadi (Sanggar Sekar Pandan Cirebon) iseng memancing memancing di belakang Hotel Mira Kota Baubau, saya berkenalan dengan dua warga Wakatobi. Heri dan Tomi, nama yang juga ada pada grup sanggar asuhan Keraton Kacirebonan. Keduanya bertutur singkat tentang Wakatobi, tentang perjalanan ke sana yang dapat ditempuh 30 menit menggunakan pesawat terbang jenis foker yang hanya memuat 16 penumpang. “Terbangnya rendah dan kita dapat memotret Wakatobi dari dalam pesawat”, kata Tomi.

Mancing iseng di belakang Hotel Mira malam itu tidak memperoleh satu ekor ikan pun. Tepian pantai berkarang yang kotor oleh sampah plastik yang mengapung, ikan-ikan kecil yang malas mendekati umpan, sorot lampu 500 watt yang tiba-tiba dinyalakan petugas hotel yang berjaga malam itu, tak mengurangi pembicaraan tentang Wakatobi. Pulau indah yang dapat dikunjungi sembilan jam perjalanan laut. Tomi dan Heri bukan kontingen Festival Keraton Nusantara (FKN) VIII Buton. Keduanya adalah pekerja yang biasa pulang balik Wakatobi – Kendari dan singgah di Baubau. Tomi dan Heri malam itu bergaya ala pemandu wisata.

Ingat Wakatobi, ingat sebuah foto yang dikirim sahabat Nana Mulyana di Jakarta melalui akun facebooknya. Ia berfoto sambil memainkan laptopnya di atas perahu. Ia pula yang menyarankan agar saya singgah ke sana.  Akan tetapi, untuk singgah ke Wakatobi tentu tak sedikit waktu yang harus ditebus, sementara sebagai kontingen Keraton Kanoman Cirebon pada FKN VIII saya harus bisa membagi kegiatan yang imbang, baik untuk publikasi Kanoman maupun untuk kegiatan pribadi di Baubau. 

Demikianlah ketika kesempatan itu tiba, kesempatan diajak pergi ke Wakatobi, dengan berat hati saya urungkan. Empat pulau yang merangkai nama Wakatobi, yakni Wangiwangi (Wa), Kaledupa (Ka), Tomea (To) dan Binongko (Bi) mempunyai kisah mistifikasi yang dipercaya sebagian warga Buton dan sekitarnya.  Kabarnya, tatkala Anda bepergian mendekat Pulau Wangiwangi di situ tercium bau harum atau wangi-wangian. Di pulau kedua, Kaledupa ternyata ada pembakaran dupa. Setelah tercium wewangian dari dupa ternyata ada orang yang melakukannya di Pulau Tomea. Dalam bahasa Buton, te artinya ada dan mia artinya orang. Ini pulau ketiga. Dan di Pulau keempat Binongko, salah satu pulau di gugusan kepulauan wilayah Kabupaten Wakatobi, provinsi Sulawesi Tenggara. Pulau ini terletak di selatan Pulau Tomia, terdapat banyak pandai besi. 

Jika keempat nama tersebut dirangkai maka artinya lebih kurang wewangian dari sebuah dupa yang menandakan adanya kehidupan (orang, masyarakat) dan masyarakat di sana yang menangguk penghasilan dari kepandaiannya mengolah besi. Besi yang diolah menjadi senjata (pada masa kerajaan sangat penting untuk pertahanan) serta untuk keperluan masa kini (baik sebagai parang untuk membersihkan taman, golok untuk membelah kayu dan sebagainya). 

Lantas di manakah mistifikasi Wakatobi? Apakah ia bermula dari Pulau Wangiwangi di Pulau Kaledupa yang ditiupkan dari Pulau Tomia? Seorang lelaki, teman seperjalanan di Kapal Motor Dobonsolo bercerita kepada saya. Cerita khas Nusantara yang kaya dengan mistis. Namun karena fokus saat itu hanya untuk sekadar berkenalan maka mistifikasi Wakatobi tidak terkuak. Justru Muhammad Jaya (36) karyawan Sub Divisi Regional Badan Urusan Logistik Kota Baubau yang berhasil menjelaskan adanya kekuatan kutub magnetis di dasar laut gugus pulau Wakatobi. Katanya, dua tahun lalu dua orang temannya seharian terapung di perairan Wakatobi, tepat di pusaran kekuatan kutub magnetis dasar laut. Kompas kapal mati, semua saluran komunikasi tertutup dan kedua temannya tidak bisa berenang. Namun Alhamdulillah kapal bermuatan beras itu bisa menepi ke satu gugus pulau kecil, Pulau Hoga, dan selamatlah kedua teman Jaya.

Berdasar penjelasan yang didapat dari kegiatan Pameran Benda Pusaka FKN Buton di Gedung Maedani GOR Betoambari, kepandaian warga Binongko mengolah besi menjadi senjata pada masa kerajaan ternyata merupakan kontibusi sejumlah perang laut antara Pasukan Sultan Hasanudin melawan VOC dan Sultan Babullah kerajaan Ternate ketika mengusir Portugis. Senjata dengan bahan dasar besi itu dikirim ke Makassar dan Ternate, juga sebaliknya ada yang mengambil ke Binongko.

Berbagai hal menyangkut Wakatobi dari beberapa narasumber langsung itu sediktinya menuangkan asumsi, pertama, untuk memahami kekayaan kisah/ mithe Nusantara diperlukan kearifan dan cara pandang yang logis. Kedua, kekayaan alam/ keindahan pulau di beberapa lokasi Indonesia seharusnya dapat dimaksimalkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di tempat tersebut. Bukan hanya dieksploitasi oleh orang luar pulau hanya lantaran ia memiliki kapital yang kuat dan besar. Ketiga, untuk penyeimbang pengetahuan kita pada sebuah misteri pulau (yang tak dikenal karena belum pernah kita singgahi) maka perlu sedikit pengetahuan sejarah untuk memudahkan persepsi. Keempat, home industry yang berkembang di pulau mana pun memperlihatkan geliat masyarakat pada sejarah bangsa, dan dengan demikian kita mendapati geliat ekonomi masyarakat.

Empat asumsi di atas kiranya dapat jadi rujukan apabila muncul keinginan membangun struktur dan infrastruktur pulau indah dengan alamnya yang mempesona, dengan biota lautnya yang dapat didokumentasikan alat elektronik ~mesti berawal dari keinginan utama, yakni bukan semata-mata untuk memperoleh benefit. Melalinkan industri yang akan dibangun harus selaras dengan keseimbangan ekosistem. Artinya pola keseimbangan harus terjaga, amdal yang teruji, serta pelaku (manusia) yang bertanggung jawab melaksanakan pembangunan bukan pengrusakan.

Kisah Wakatobi pun terulang kembali saat bersama penyair Sumatra Barat, Riki Dhamparan Putra, menikmati secangkir kopi di bandara Betoambari yang terletak di Kelurahan Katobengke Kecamatan Betoambari, Baubau dan menunggu pemberangkatan ke Makassar. Lelaki berpenampilan cerdas berstatus PNS di RSUD Wakatobi menuturkan tentang pentingnya kehadiran sejumlah orang pintar untuk mengajar pengolahan hasil hutan dan limbahnya ke Wakatobi. “Ini lebih efisien dan tepat daripada membawa dan melatih orang Wakatobi ke Jawa”, ujar dia.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar