Oleh Dadang Kusnandar
Kontingen Keraton
Kanoman FKN VIII Buton
MENYUSUR kepulauan yang mengitari pulau Buton Sulawesi
Tenggara, seseorang mengingatkan, “Kunjungi Wakatobi. Anda akan melihat betapa
kuasa tuhan dengan keindahan alam terpatri dalam ingatan serta rasa takjub”.
Menemani seniman tradisi Heri Komarahadi (Sanggar Sekar Pandan Cirebon) iseng
memancing memancing di belakang Hotel Mira Kota Baubau, saya berkenalan dengan
dua warga Wakatobi. Heri dan Tomi, nama yang juga ada pada grup sanggar asuhan
Keraton Kacirebonan. Keduanya bertutur singkat tentang Wakatobi, tentang
perjalanan ke sana yang dapat ditempuh 30 menit menggunakan pesawat terbang
jenis foker yang hanya memuat 16 penumpang. “Terbangnya rendah dan kita dapat
memotret Wakatobi dari dalam pesawat”, kata Tomi.
Mancing iseng di belakang Hotel Mira malam itu tidak
memperoleh satu ekor ikan pun. Tepian pantai berkarang yang kotor oleh sampah
plastik yang mengapung, ikan-ikan kecil yang malas mendekati umpan, sorot lampu
500 watt yang tiba-tiba dinyalakan petugas hotel yang berjaga malam itu, tak
mengurangi pembicaraan tentang Wakatobi. Pulau indah yang dapat dikunjungi
sembilan jam perjalanan laut. Tomi dan Heri bukan kontingen Festival Keraton
Nusantara (FKN) VIII Buton. Keduanya adalah pekerja yang biasa pulang balik
Wakatobi – Kendari dan singgah di Baubau. Tomi dan Heri malam itu bergaya ala pemandu wisata.
Ingat Wakatobi, ingat sebuah foto yang dikirim sahabat Nana
Mulyana di Jakarta melalui akun facebooknya.
Ia berfoto sambil memainkan laptopnya di atas perahu. Ia pula yang menyarankan
agar saya singgah ke sana. Akan tetapi,
untuk singgah ke Wakatobi tentu tak sedikit waktu yang harus ditebus, sementara
sebagai kontingen Keraton Kanoman Cirebon pada FKN VIII saya harus bisa membagi
kegiatan yang imbang, baik untuk publikasi Kanoman maupun untuk kegiatan
pribadi di Baubau.
Demikianlah ketika kesempatan itu tiba, kesempatan diajak
pergi ke Wakatobi, dengan berat hati saya urungkan. Empat pulau yang merangkai
nama Wakatobi, yakni Wangiwangi (Wa), Kaledupa (Ka), Tomea (To) dan Binongko
(Bi) mempunyai kisah mistifikasi yang dipercaya sebagian warga Buton dan
sekitarnya. Kabarnya, tatkala Anda
bepergian mendekat Pulau Wangiwangi di situ tercium bau harum atau
wangi-wangian. Di pulau kedua, Kaledupa ternyata ada pembakaran dupa. Setelah
tercium wewangian dari dupa ternyata ada orang yang melakukannya di Pulau
Tomea. Dalam bahasa Buton, te artinya
ada dan mia artinya orang. Ini pulau
ketiga. Dan di Pulau keempat Binongko, salah satu pulau di gugusan kepulauan
wilayah Kabupaten Wakatobi, provinsi
Sulawesi Tenggara. Pulau ini terletak di
selatan Pulau Tomia, terdapat banyak pandai besi.
Jika keempat nama tersebut dirangkai maka artinya lebih
kurang wewangian dari sebuah dupa yang menandakan adanya kehidupan (orang,
masyarakat) dan masyarakat di sana yang menangguk penghasilan dari
kepandaiannya mengolah besi. Besi yang diolah menjadi senjata (pada masa
kerajaan sangat penting untuk pertahanan) serta untuk keperluan masa kini (baik
sebagai parang untuk membersihkan taman, golok untuk membelah kayu dan
sebagainya).
Lantas di manakah mistifikasi Wakatobi? Apakah ia bermula
dari Pulau Wangiwangi di Pulau Kaledupa yang ditiupkan dari Pulau Tomia?
Seorang lelaki, teman seperjalanan di Kapal Motor Dobonsolo bercerita kepada
saya. Cerita khas Nusantara yang kaya dengan mistis. Namun karena fokus saat
itu hanya untuk sekadar berkenalan maka mistifikasi Wakatobi tidak terkuak.
Justru Muhammad Jaya (36) karyawan Sub Divisi Regional Badan Urusan Logistik
Kota Baubau yang berhasil menjelaskan adanya kekuatan kutub magnetis di dasar
laut gugus pulau Wakatobi. Katanya, dua tahun lalu dua orang temannya seharian
terapung di perairan Wakatobi, tepat di pusaran kekuatan kutub magnetis dasar
laut. Kompas kapal mati, semua saluran komunikasi tertutup dan kedua temannya
tidak bisa berenang. Namun Alhamdulillah kapal bermuatan beras itu bisa menepi
ke satu gugus pulau kecil, Pulau Hoga, dan selamatlah kedua teman Jaya.
Berdasar penjelasan yang didapat dari kegiatan Pameran Benda
Pusaka FKN Buton di Gedung Maedani GOR Betoambari, kepandaian warga Binongko
mengolah besi menjadi senjata pada masa kerajaan ternyata merupakan kontibusi
sejumlah perang laut antara Pasukan Sultan Hasanudin melawan VOC dan Sultan
Babullah kerajaan Ternate ketika mengusir Portugis. Senjata dengan bahan dasar
besi itu dikirim ke Makassar dan Ternate, juga sebaliknya ada yang mengambil ke
Binongko.
Berbagai hal menyangkut Wakatobi dari beberapa narasumber
langsung itu sediktinya menuangkan asumsi, pertama,
untuk memahami kekayaan kisah/ mithe
Nusantara diperlukan kearifan dan cara pandang yang logis. Kedua, kekayaan alam/ keindahan pulau di beberapa lokasi Indonesia
seharusnya dapat dimaksimalkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di tempat
tersebut. Bukan hanya dieksploitasi oleh orang luar pulau hanya lantaran ia
memiliki kapital yang kuat dan besar. Ketiga,
untuk penyeimbang pengetahuan kita pada sebuah misteri pulau (yang tak dikenal
karena belum pernah kita singgahi) maka perlu sedikit pengetahuan sejarah untuk
memudahkan persepsi. Keempat, home
industry yang berkembang di pulau mana pun memperlihatkan geliat masyarakat
pada sejarah bangsa, dan dengan demikian kita mendapati geliat ekonomi
masyarakat.
Empat asumsi di atas kiranya dapat jadi rujukan apabila
muncul keinginan membangun struktur dan infrastruktur pulau indah dengan
alamnya yang mempesona, dengan biota lautnya yang dapat didokumentasikan alat
elektronik ~mesti berawal dari keinginan utama, yakni bukan semata-mata untuk
memperoleh benefit. Melalinkan
industri yang akan dibangun harus selaras dengan keseimbangan ekosistem.
Artinya pola keseimbangan harus terjaga, amdal yang teruji, serta pelaku
(manusia) yang bertanggung jawab melaksanakan pembangunan bukan pengrusakan.
Kisah Wakatobi pun terulang kembali saat bersama penyair
Sumatra Barat, Riki Dhamparan Putra, menikmati secangkir kopi di bandara
Betoambari yang terletak di Kelurahan Katobengke Kecamatan Betoambari, Baubau
dan menunggu pemberangkatan ke Makassar. Lelaki berpenampilan cerdas berstatus
PNS di RSUD Wakatobi menuturkan tentang pentingnya kehadiran sejumlah orang
pintar untuk mengajar pengolahan hasil hutan dan limbahnya ke Wakatobi. “Ini
lebih efisien dan tepat daripada membawa dan melatih orang Wakatobi ke Jawa”,
ujar dia.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar