Kamis, 09 Desember 2010

JONI MEMAHAT TUNGGUL





Oleh Dadang Kusnandar

POTONGAN batang pohon jangan dibakar di depan JONI (44). Daripada jadi arang, serahkan saja kepadanya. Pria sederhana dan lebih asik ngobrol berbahasa Cirebon ini, mampu mengubah potongan batang pohon menjadi barang seni. Pahatan dan ayunan kapak kayunya bisa memenuhi keinginan Anda. Kolektor seni pahat kayu atau pencinta seni rupa atau siapa pun Anda, akan tertegun melihat karya pahat dan ukir kayunya.

Saya tergolong kelompok mutaakhir mengenal Joni. Akhir Ramadhan 1431 H malam dalam mendung yang rapat, bersama fotografer Ipon Bae dan peniup suling Moell Bulu, sosok dan karya pahat Joni mengusik. Di Sanggar GARDU UNIK Kelurahan Kalijaga Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon, Joni sudah empat tahun mangkal.

Pertemuan kali ini dengan Joni berbarengan FESTIVAL JAGAKALI Sabtu 25 September 2010 - Minggu 26 September 2010 di Sanggar Gardu Induk, dekat situs kera Kalijaga. Obrolan yang berawal dari kepiawaiannya menyulap seonggok batang kayu menjadi kursi ukir, meja, atau apa saja selera pemesan ~membuat saya terhenyak menyaksikan aktivitas memahat dan mengukirnya.

Tangan terampil itu begitu memukau mengayun kapak kayu dan menggerakkan mata pahat ke objek di depannya. Beruntung Koran Kompas, Kabar Cirebon, Radar Cirebon, Trans7, TV One, dan Cirebon TV telah menulis dan menayangkan sosok Joni. 

Sejak usia 10 tahun, Joni senang seni pahat. Belajar pahat secara otodidak lantaran pendidikan formalnya hanya sampai kelas 3 (tiga) Sekolah Dasar, itu pun tak sampai naik kelas. Namun saudara dan keluarganya berkata, "Jon, pantes bae ira ...bisa mahat! Bapa tua sira seng mimi bengen ilok gawe pariasi-pariasi pedati." Artinya, "Jon, pantas saja kamu mahir memahat! Kakek kamu dari ibu dahulu sering membuat variasi/ ornamen seni pahat pedati."

KOTA Cirebon tahun 1970, saya suka bergantung di belakang pedati yang ditarik kerbau. Mengangkut pasir, bata, atau karung apa saja sesuai transaksi, pedati kerbau melintas di jalan aspal kota. Saya tidak tahu, jangan-jangan ornamen pahat/ ukir yang ada di pedati itu adalah karya kakeknya Joni. Jangan-jangan roda pedati itu pun buatan sang kakek.

Kemiskinan yang mengepung orang tuanya membuat Joni harus banting tulang, bekerja serabutan, seperti menjadi abang becak, tukang las, buruh bangunan, dan buruh petani. Kenapa? "Saat saya jatuh cinta kepada perempuan, perlu uang. Apalagi ka...mi keluarga miskin yang sejak remaja harus menghidupi diri sendiri," ungkap Joni.

1988 Joni menikahi Robi'ah (kini 41 tahun) dan dikaruniai dua anak lelaki dan seorang perempuan. Kesulitan dan kebutuhan ekonomi keluarga itulah penyebab Joni bekerja serabutan.

Tahun 1995 ia kembali memahat. "Saya ingin memahat sampai mati," katanya.

Hasilnya, sebuah sanggar di Jatiwangi milik Arif mempekerjakan Joni pesanan kolektor seni asal Australia. Berdua dengan Karya, memproduk seni pahat kontemporer dari bahan dasar batang pohon sebanyak 13 buah sepanjang @ 3,5 meter. Tak sombo...ng Joni bertutur sudah ribuan karya lahir dari tangannya. Di antaranya dibawa ke Australia, Korea Selatan, dan Taiwan.

15 tahun perjalanan Joni memahat, membawanya kepada dua kali pameran di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan sekali di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Tersering, pameran di Cirebon.

Lelaki yang tampak lebih tua dari usianya itu, waktu kecil juga suka memandang/ mengagumi pahatan yang ada di wayang golek serta wayang kulit. Termasuk juga topeng. Ia hanya senang tetapi tidak mengerjakan pembuatan wayang golek dan wayang kulit. "Poko'e isun seneng segala jenis seni pahat, utama'e seng kayu." Saya senang segala jenis seni pahat terutama dari kayu.

TUNGGUL adalah nama tambahan atau julukan teman-teman di Sanggar Gardu Unik. Maka teman-teman memanggilnya : JONI TUNGGUL. Berseloroh, saya sebut dia JONI PAHAT. Dia menjawab, "Panggil JONI MALING pun, boleh ang. Paling pog (maksimal) malin...g tunggul atau kayu bekas."

Namun diam-diam Joni suka maling juga. Maling dalam pengertian maling waktu. Misalnya, orang lain tidur tujuh jam sehari, ia maling waktu 2 - 3 jam untuk memahat. Untuk memperkaya batin, Joni mengamati filosofi ulat, singkong, dan keong/ siput.***

Senin, 22 November 2010

Seminar TII di Cirebon






SEMINAR SOSIALISASI INDEKS PERSEPSI KORUPSI TAHUN 2010
TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA (TII)
CIREBON, SENIN 22 NOVEMBER 2010

NARA SUMBER : REZKY WIBOWO
TRI RADITO WIDIHANTO
SOENOTO
MODERATOR : NURUL HUDA
MC : KURNIAWAN T ARIEF
PELAKSANA : MONDI SUHERMAN
NOTULEN : DADANG KUSNANDAR

ACARA DIBUKA DENGAN SAMBUTAN WALIKOTA CIREBON YANG DIBACAKAN OLEH NURSIWAN SH, ASISTEN ADMNISTRASI UMUM PEMERINTAH KOTA CIREBON
SEMINAR MULAI PUKUL 13.15 WIB

PENGANTAR MODERATOR : Yang penting saya tidak (korupsi) kata Walikota Cirebon, sebagaimana dikutip Harian Umum Radar Cirebon.

REZKY WIBOWO :
Wibowo mengawali dengan cerita rumors tentang bagaimana cara korupsi yang baik. Eropa : korupsi 20%, hadirin tepuk tangan. Indonesia : korupsi 70%, Afrika : diam.......
Informasi DASAR : IPK instrumen pengukuran korupsi di kota2 Indonesia, berdasarkan survei persepsi thd responden dari latar belakang pelaku bisnis, mengeluarkan IPK Indonesia tiap 2 tahun sejak 2004, tahun ini merupakan peluncuran ke empat kalinya.
Korupsi bersifat gradual, bila disurvei tiap tahun kurang dapat memperoleh angka signifikan juga mengingat sedikitnya aparatus TII.
ICW memilih kasus per kasus. TII mempromosikan tata kelola pemerintah (good governance). Korupsi bukan hanya problem kepalada daerah tetapi sesuatu yang buruk dan jadi masalah bersama. Korupsi tumbuh subur di tempat dengan SDA tinggi. Pekanbaru Riau tempat paling korup di Indonesia. 380 kabupaten di Indonesia bisa berlangsung korupsi pada tiap kali pilkada, pemilu legislatif......korupsi politik semakin meraja.
Korupsi politik dekat sekali dengan Korupsi Birokrasi.

IPK INDONESIA 2010
Dilakukan thd 50 kota di Indonesia berdasarkan survei penyalahgunaan wewenang publik untuk kepentingan pribadi, berupa suap, gratifikasi, pemerasan, dan konflik kepentingan.

Responden Survei : Perusahaan Besar (22%), Pengusaha Menengah, dan Pengusaha Kecil.
Denpasar Bali tahun 2010 menduduki ranking kesatu, disusul Tegal, Solo, Yogyakarta, dan Manokwari sebagai kota/ kabupaten dengan skor IPK tertinggi.
Cirebon ada di no urut 49 dari 50 kota yang disurvei dengan IPK 3,61 sedangkan batas minimal IPK 5,0

Sulit mempertahankan persepsi masyarakat tentang korupsi di wilayahnya, tetapi ada perbaikan signifikan dalam satu tahun terakhir dalam hal tata kelola kota. Rezky juga menyinggung masalah2 dalam melaksnakan bisnis di Indonesia.
IPK dimanfaatkan sebagai indikator menentukan prioritas pemberantasan korupsi, mengapresiasi kerja keras pemda kota yang mencapai skor tinggi.

SOENOTO

3 Kategori Korupsi : Korupsi Kebijakan, Korupsi Pemahaman, Korupsi Ecek-ecek
Mengutip Al-Baqarah ayat 41 tentang janganlah menjual ayat Allah dengan harga sedikit (baca: korupsi).

Tanpa data dan angka pun korupsi di Indonesia sangat kentara. That is the recognation to me and us, salah satu contoh korupsi pemahaman.

Soenoto menganalogi korupsi di Indonesia dengan dialog Malaikat Mikail dan Izroil, melemparkan sumber korupsi ke Indonesia karena Sila 1 Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bencana besar bagi bangsa ketika pemimpin tidak kualitatif. Indonesia negara yang paling subur SDA-nya tetapi paling korup, Cirebon kota wali ternyata paling korup (berdasar survei TII).

Hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat.What will we do? Kehidupan beragama yang subur di Indonesia tidak memperbaiki tingkat tata kelola pemerintah yang baik.

Sejahtera : aman, adil, berkemakmuran. Definisi ini jangan didistori pada pemahaman lain karena tergolong korupsi pemahaman.

PNS kalau hanya mampu membeli sebuah mobil maka jangan beli mobil kedua dst tetapi wujudkan kesejahteraan rakyat. SDA Indonesia dapat bocoran dari surga, Korupsi Indonesia bocoran dari neraka.

Mulailah dari yang kecil dan sekarang.
Langkah memberantas korupsi : Ladang korupsi diminimalisir, persempit ladang korupsi, lakukan punishment.

TRI RADITO WIDIHANTO

Evaluasi Kinerja IPK Indonesia Sebagai Alat Ukur Keberhasilan Pemberantasan Korupsi, malah berakibat penolakan di berbagai daerah. Komitmen kepala daerah sangat menentukan dalam peningkatan IPK. Pergantian pimpinan belum menjamin berlangsungnya peningkatan IPK karena sistem tidak dibangun.
Komitmen, Sistem ...........KORUPSI

Kesulitan utama Pemberantasan Korupsi : Menterjemahkan IPK 50 kota hasil temuan TII dalam langkah riil.
(Kembali ke data yang dipublish Kompas 6 November 2010)

Introspeksi Korupsi : (1) kinerja kota, (2) persepsi korupsi dan keseriusan tindakan kasus korupsi, (3) peta kinerja kota sebagai refleksi pemerintahan secara utuh.
Upaya Pemberantasan Korupsi : Reformasi Birokrasi, Integritas, Tata Pemerintahan yang Baik, Ratifikasi UNCAC dan Inpres 5/2004 tentang Percepatatan Pemberantasan Korupsi.

Reformasi Birokrasi belum berhasil di Indonesia, Integritas tidak mengakar pada institusi negara karena hanya menilai integritas secara seremonial, Uzbekistan dan New Zeland akan jadi “pengawas” korupsi di Indonesia berdasar ratifikasi UNCAC.
Kesulitan pemerintah memberantas korupsi adalah membangun sistem yang anti korupsi!
Kendala Pemberantasan Korupsi : Mengubah mindset dan cultural set, bidang hukum yang belum berubah, lemahnya komitmen pimpinan, dan perbedaan persepsi korupsi dan diskriminatif perlakuan terhadap perilaku tindak korupsi.

Korupsi di bidang hukum dan politik lebih banyak terjadi di Indonesia sebagai akibat pemilu legislatif dan pilkada. Ada korelasi antara peta laporan pemerintah dan hasil survei TII tentang IPK 50 kota di Indonesia.

Birokrasi juga ingin membenahi diri, tetapi pimpinan tidak memberi jalan keluar untuk secara sungguh-sungguh memberantas korupsi di Indonesia.
UNCAC tidak ditandatangani Singapura, padahal banyak koruptor Indonesia menyimpan uangnya di sana, sementara Singapura dianggap negara yang bersih dari tindakan korupsi.

SESSI DIALOG
1. Hidayat, Untag
Penanggulangan Korupsi menurut Arbi Sanit dan Dadang Hawari, hukum sudah mereformasi dirinya. Korupsi harus ditanggulangi. KPK = Komisi Penanggulangan Korupsi( bukan Pemberantasan).

2. Sabar Simamora, Pemkot Cirebon
10 perijinan di Kota Cirebon tengah dilakukan. “Dilarang Korupsi di Birokasi. Awas Terali Besi”, slogan kantor perinjinan. “Jangan bawa uang dusta kepada anak istri Anda”. Belum satu perahu untuk masalah korupsi. Korupsi terjadi di tingkat birokrasi, pengusaha, pelaku bisnis, dan lain-lain. Sosiologis masyarakat Cirbebon, apakah yang disurvei tahun 2010 ini? Kebijakan pemkot sudah jelas, korupsi harus diberantas. Saya bukan membela kepentingan pemerintah. Tapi tahun berikutnya agar TII melakukan survei yang benar.
Tidak setuju PNS tidak boleh punya mobil.

3. Abdul Rozak, Ketua Dewan Pendidikan Kota Cirebon
Responden hasil survei TII adalah pengusaha, jadi guru atau dunia pendidikan tidak perlu risau atas blow up media massa tentang Cirebon kota paling korup dari 50 kota yang disurvei. Saya mengapresiasi hasil survei TII tetapi akan lebih hebat apabila ditindaklanjuti dengan perbuatan nyata.
Rekrutmen pegawai, peningkatan kenaikan jabatan, dsb pasti butuh dana (ini harus dibenahi), banyak guru yang belum selesai mengurus sertifikasi, bagaimana jika TII mengangkat kendala yang terjadi di dunia pendidikan.


REZKY :
1. Survei untuk masyarakat biasa, semua responden terlibat. Tahun lalu yang paling korup Kepolisian, Parlemen dan Partai Politik. Biaya Operasional Sekolah (BOS) di dunia pendidikan diurus ICW sementara TII mengurus perubahan sistem tata kelola pemerintahan. Pola rekrutmen, insentif pegawai, dan kenaikan jabatan di Indonesia SALAH maka benahi sistemnya.
2. Persepsi korupsi masih berupa afirmasi (perkiraan). Bea Cukai 2 tahun lalu sebagai salah satu institusi paling korup di Indonesia, padahal reformasi bea cukai sedang digalakkan oleh Menkeu (saat itu) Sri Mulyani, namun reformasi bea cukai tidak disosialisasikan dengan baik. Publik akan memberi kontrol dan penilaian terhadap kinerja pemerintahan Kota.
3. Transparansi adalah kunci keberhasilan meningkatkan IPK kota/ kabupaten.
4. Orang ingin menari Tango tidak mungkin sendiri. Begitu pula korupsi tidak bisa dilakukan sendiri.
SOENOTO :
1. Perjelas responden yang disurvei TII agar tidak bias. Parameter survei TII harus jelas, jangan hanya berupa angka kualitatif. Ukurannya moral, dan TII bekerja untuk usaha pencegahan (preventif) terhadap tindak korupsi. Rakyat menghendaki : What next? Sampaikan kepada Subardi agar sering brainstorming menyangkut masalah pemerintahan dsb.
2. 70 ribu KK di Cirebon, 15 ribu KK miskin....bila satu orang mampu mengangkat satu orang miskin dapat membantu mengentaskan kemiskinan kota. TII harus mempelopori tindakan nyata, jangan hanya jadi Malaikat Pencatat. Perlu keteladanan seorang pemimpin. Lingkaran itu besar atau kecil adalah 360 derajat, absolut.....artinya adahari yang absolut di akhir dunia.
3. Tiap sen rupiah rakyat harus memberi manfaat, korupsi dapat diminimalisir.
TRI RADITO WIBOWO meluruskan bahwa PNS boleh punya mobil.
DIALOG 4 Cecep Suhardiman DPRD Kota Cirebon
Memulai dari diri kita sendiri untuk memberantas korupsi, setidaknya untuk meminimalisir korupsi.
DIALOG 5 Subur Karsa : Perlukah ada orang yang dipenjara karena korupsi?
DIALOG 6 Rangga Gemos Cirebon : Apa yang dilakukan Tegal sehingga IPK nya tinggi?
DIALOG 7 Suparno Dewan Dakwah : Apa sistem yang dapat memberantas korupsi di Indonesia?
DIALOG 8 Meneruskan hasil survei TII dan mempublikasi tentang apa yang dilakukan pemerintah kota yang memiliki IPK tinggi.
DIALOG 9 DEDI : TII ini antek asing atau bukan?
DIALOG 10 KOPAK (Syarif Hidayat) : Mengajak PNS untuk tidak korupsi, tapi belum ada PNS yang mendaftar, termasuk Sabar Simamora yang tadi bicara sangat reformis di forum ini.

Kamis, 18 November 2010

Bercanda Dengan Anak


Ulasan Pendek Dadang Kusnandar

MEMANDANG bulan di pekarangan rumah, duduk di kursi kayu sambil nyanyi lagu anak terbayang lagi malam ini. Ketika itu anak saya berusia 4 - 5 tahun. Kami duduk menjulurkan kaki ke teras yang langsung menghadap gang kecil tapi sibuk. Kalau lelah, kami menjuntaikan kaki ke tanah.

Anak saya melantunkan lagu AMBILKAN BULAN. Riang nian Leila melantunkan lagunya. Irama lagu yang mudah dicerna, nada yang indah memungkinkan anak menyukainya. "Ambilkan bulan bu, ambilkan bintang bu.... Di langit bulan bersinar, cahyanya sampai ke bumi....." Dan kami pun tertawa ketika lagu itu disisipi joke : ambikan bulan bu, lalu : ambil sendiri

Gang Anggrek yang ramai dilintasi motor, jadi pemandangan dan keasikan sendiri. Kami tebakan, "Sayang, motor yang mau lewat ini, pengendaranya pake helm ga?". Seperti opsi B - S (Benar - Salah). Kalau Leila nebak pake, saya tidak ~dan sebal...iknya. Betapa senangnya Leila saat tebaknya tepat. Artinya saya salah. Dia pun gembira mengalahkan bapaknya.

Tebakan ini membuat pengendara motor terheran-heran, kendati tak bertanya. Ah, kami cuek saja. Yang penting riang dan menghibur

Dalam bahasa lama, anakmu kelak akan jadi apa bukan kamu yang menentukan. Orang tua hanya mengarahkan dengan pendekatan emosional dan kasih sayang. "Anakmu bukan anakmu," kata Gibran mendekatkan jarak masa depan anak, karena mereka adalah anak jamannya. Bukan jaman kita lagi.

Dalam bahasa agama, "antum 'alamu bi umuri dun'yakum", artinya kamu (anak2ku) lebih tahu dunia (masa depan) mu. Saya kira ada tafsir imajinatif dari ujaran Nabi Muhammad saw ini yang mengharuskan kita memberi keleluasaan anak membentuk karakter dan pilihannya. Dalam hubungan ini, kedekatan emosional dan kasih sayang sejak kecil sangat penting dihadirkan..

Maka hadirkan kedekatan dengan anak melalui cara sederhana, murah dan mudah. Tak usah risau akan finansial yang minimize. Sepanjang masih ada waktu bercengkrama dengan anak, sepanjang kedekatan emosional dan kasih sayang ~waktu kita yang se..dikit dan berharga itu, HARUS diluangkan bagi anak.

Jikalau kita renungkan lebih dalam, komunikasi efektif antargenerasi mampu membentuk karakter anak di kemudian hari.

Selasa, 16 November 2010

TARI BATIK CIREBON

Tari Batik Cirebon

Sriwijaya Post - Selasa, 16 November 2010 21:40 WIB

TARI Batik Cirebon yang akan disajikan di FKN Palembang oleh Dadang Kusnandar, penulis lepas yang tinggal di Cirebon, Jawa Barat di Sanggar Sekar Pandan, sebuah sanggar kecil di samping Pasar Jagasatru Cirebon, menyimpan potensi luar biasa dalam kreativitas kesenian.

Bagi publik kesenian Cirebon, nama Sekar Pandan (SP) sangat akrab. Selain karena tangan dingin Elang Heri Komarahadi (38), SP senantiasa pentas di berbagai panggung pertunjukkan kesenian. Tak hanya itu, semasa hidupnya instruktur tari Topeng Cirebon di SP adalah Sudjana Ardja (alm), maestro topeng slangit.

Inu Kertapati (35) putra Sudjana Ardja, juga melatih tari topeng di SP. Kreasi kesenian, terutama tari jadi ciri khas SP. Tari Topeng Beling dan Tari Batik misalnya. Itu diciptakan bang Heri (panggilan akrab Heri Komarahadi), awal tahun 2010 yang menggambarkan pengrajin Batik Cirebon yang sedang membatik.

Ide dasar penciptaannya berawal sejak batik Indonesia -- sudah pasti termasuk batik Cirebon-- ditetapkan Unesco sebagai kekayaan kultural Indonesia. "Ini bagian dari tanggung jawab moral saya untuk lebih mengenalkan batik cirebon," papar Bang Heri.

Penampilannya yang sederhana, ditambah keakrabannya dengan seluruh anggota komunitas SP, Bang Heri tak segan turun tangan langsung mengerjakan ide kreatifnya. Kedekatan personal dan emosional itulah bekal utamanya merampungkan sebagian obsesinya.

Kembali ke Tari Batik. Tari ini kali pertama disajikan kepada publik kesenian di Cirebon pada bulan Juli 2010. Tari Batik mengadopsi ragam gerak lenyep (halus) ala Tari Serimpi. Diiringi gamelan berlaras pelog yang pentatonik, tarian ini gemulai.

Pada publikasi tari ini akhir Juli lalu di Cirebon, saya tidak melihat gerak dinamis dan energik. Kala itu enam penari perempuan berkebaya dan berkebaya batik dan berselendang tipis menari gemulai. Seperti kata bang Heri, tari ini menggambarkan pekerja perempuan yang asik melukis kain, menorehkan cat dari canting, dan semua kegiatan membatik. Gamelan yang mengiring tari batik terdiri atas bonang kemnya, dua buah saron, penerus ketuk, gong, kecrek dan kenong kendang. "Jadi mana mungkin membatik digambarkan dengan gerak tari dinamis dan energik?" kata Bang Heri saat itu.

Tari Batik dengan filosofi batik tradisional/ batik tulis merupakan kepedulian instruktur dan pencipta tari ini kepada kekayaan lokal. Kecenderungan memilih batik tulis, tentu bukan tanpa alas an. Maraknya produksi batik cap, malah menggunakan mesin lebih canggih pada satu sisi merupakan ”ancaman” terhadap keberadaan batik tulis (sebut saja batik tradisi).

Berangkat dari asumsi ini, tari batik kreasi bang Heri menggambarkan kesungguhan sang seniman kepada seni tradisi. Ia tidak ingin batik hanya ada dalam bentuk kain melainkan juga dapat diadaptasikan ke dalam bentuk tari tradisi.

“Perpaduan batik tulis dengan tari batik, bagi saya ialah ide brilian seniman kami”, tanggap Sultan Kacirebon H Abdul Gani, awal November 2010.

Sembari menyaksikan persiapan Festival Keraton Nusantara di Palembang akhir bulan ini, Abdul Gani juga ikut berlatih kirab prajurit. Tentu saja dalam posisi sebagai sultan yang menyerahkan sebilah pedang kepada panglima kirab.

Sanggar Sekar Pandan berlokasi di area Keraton Kacirebon. Sanggar ini dapat ditempuh dari Jalan Pulasaren serta samping Pasar Jagasatru, di situ diterakan nama Gang Sekar Pandan.



(DAPATKAN ARTIKEL INI DI Sripoku.Com)

Senin, 15 November 2010

Kami Kehilangan Abah

In Memoriam KH Syarif Usman bin Yahya bin Syekh :


Oleh Dadang Kusnandar


PIALA Dunia sepak bola 2010 melenggang. Santri dan ustadz Ponpes Kempek Ciwaring Cirebon menyaksikan teknik sepak bola terkini, lewat infokus yang disorot ke layar 3 x 4 meter di halaman pondok. Johandi menyediakan itu untuk hiburan gratis karena Abah Ayip, panggil KH Syarif Utsman Yahya bin Syekh. Sebagai mantan santri Kempek yang rajin silaturahmi kepada Ayip, Johandi tiga kali mengajak saya menemui abah. Perbincangan pun melebar ke mana suka.

Abah juga suka nonton sepak bola. Namun karena saat itu dilanda sakit dan kudu berobat kepada dokter dan atau ahli pengobatan alternatif, abah nonton World Cup di televisi 21 inchi dekat tempat tidur. Di ruang keluarga itu abah bertutur banyak hal. Sepak bola, ketangguhan perempuan tua yang tetap bekerja jadi tukang cuci rumah ke rumah meski anak sulungnya telah kerja dan jadi sarjana S1. Pun bicara seorang gadis yang kabur dari rumah bersama pacar lelaki yang kenal lewat jejaring sosial facebook.
Obrolan kami sembari menanti lincahnya permainan sepak bola cantik Brasil dengan maskot Kaka, atau kelihaian diving Christiano Ronaldo yang saat itu terekam kamera dalam adegan replay, juga Lionel Messi yang ditunggu menjebol gawang lawan; abah lebih suka menyimak obrolan kami. Kecuali bila ditanya, abah menjawab dengan pendekatan ilmu mantiq/ diplomasi ala pesantren yang lazim di kalangan kiai Nahdatul 'Ulama (NU). Tentu saja kami terdiam mendengar jawaban atau urun rembug abah pada obrolan.

Rokok nan berasap, juadah, teh manis, kopi yang tersaji di meja ruang tamu, jadi saksi keakraban kiai dengan santri. Tak ada perlakuan diskriminatif serta hirarki feodal. Fresh and funny, demikian yang saya rasa dalam obrolan bareng abah.

Tapi abah sakit saat itu. Susah tidur, kaki kanan kadang susah bergerak, mudah lelah dan dalam perawatan rutin dokter. Kami selain nonton bareng sepak bola, juga menemani abah sampai beliau tidur.

Tak berani kami mengusik bila abah tertidur. Lucunya abah bercerita, "Jo, isun bisa turu lali baka ana swara ribut putu lanang." Johandi, saya bisa tidur lelap kalau ada suara bising cucu laki-laki. Jelas kami heran. Kata abah, ia suka rewelnya anak-anak, kadang rindu keusilan sang cucu.

Sepak bola World Cup 2010 bagi keluarga Ponpes Kempek pun menggoreskan kelucuan lain. Siswa kelas 5 SD spontan mengunci diri tak mau makan dan tak mau sekolah, bahkan ia menangis. Orang tuanya jelas bingung tidak tahu apa masalah anaknya lantaran tidak menjawab tanya orang tuanya. Usut punya usut, menurut sahabat SD nya, anak itu menangis karena Brasil kalah oleh Belanda di putaran keempat. Kami tertawa. Bukan cuma melihat kelakuan anak kecil penggila sepak bola saja, melainkan sepak bola telah menyihir ratusan juta manusia tanpa kenal usia. Di film ada kategori tontonan untuk segala umur. Dan sepak bola mendahului kategorisasi tingkat usia penonton.

Pertemuan kali pertama dengan abah berlangsung awal 1999 di Pondok Pesantren Kempek. Kala itu jelang Pemilu legislatif oleh teman dari Karangsambung Arjawinangun, ada undangan buat menghadiri bincang politik ala NU. Perhelatan di mesjid itu... mengantarkan abah menjadi Anggota DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pertemuan kedua dengan abah di Ponpes Dar al Tauhid Arjawinangun pada diskusi tahun 2001. Abah jadi narasumber bersama Kang Inu (KH Ibnu Ubaidillah), Kang Chozin Nasuha, Kang Husen Muhammad, Kang Affandi Mokhtar, dan Kang Ahsin Muhammad. Kendati ada tiga anggota legislatif dari PKB ~abah di DPR RI, Kang Inu di DPRD Jawa Barat, dan Kang Husen di DPRD Kabupaten Cirebon~ diskusi itu bertajuk pemikiran islam terhadap teks sosial mutakhir. Bersama Ahmad S Alwy, Eman Sulaeman Syahri, Miqdad Husen kami diantar jemput oleh Nuruddin Siraj (Anggota FPKB di DPRD Kabupaten Cirebon) dengan mobil. Maka diskusi kali itu tidak politis namun pure wacana kekinian.

Abah Ayip menyampaikan materi kapitalisme (? maaf bila keliru) dalam pandangan islam. Tahun 2000 usia kami belum 40, and so suka menimpali paparan nara sumber pada diskusi itu. Kami tergabung dalam grup diskusi Gerbang Informasi yang suka sharing dengan Kang Chozin Nasuha. Sekali sebulan mengundang kiai jadi narasumber.

Perkenalan dan silaturahmi dengan abah pun terputus. Dan World Cup 2010 mempertemukan saya lagi dengan abah. Atas jasa pengusaha Johandi usai menyaksikan latihan gabungan Barisan Serbaguna (Banser) di Talun Kabupaten Cirebon.

Cirebon Minggu 7 November 2010 sekira pukul 19.30 WIB di Thousand One Coffe Shop di Kalibaru Selatan Cirebon, Andi fotografer Kabar Cirebon menyampaikan kabar duka itu. Saya terhenyak. Semeja dengan Tarno Rimbo penggiat Teater Dugal Unswagati dan Leila anak saya, Andi mengabarkan kepergian abah. "Kang Ayip Usman Pesantren Kempek meninggal sore di RSU Sumber Waras Ciwaringin," ujar Andi. Spontan saya jawab, “Innalillahi wa inna ilaihi roji`un”. Sejenak wajah bersih itu terbayang ketika malam berbincang pelbagai hal dengan beliau. Ah, Ranjang besi warna hijau muda yang digunakan abah di ruang keluarga pun terlintas dalam ingatan.

Kami kehilangan abah bukan karena makin langkanya kiai yang rendah hati dan cerdas menganalisis masalah. Bukan karena abah pimpinan ponpes. Namun lantaran abah mengajarkan kami (untuk saya sekira enam kali pertemuan dan hanya ngobrol) sikap egaliter, fraterneit, dan liberet sesuai tiga kata kunci demokrasi paska Revolusi Prancis tahun 1789 yang mengguncang itu. Pun karena abah tetap rasional menghadapi hidup, itu kami tahu saat abah berobat ke dokter bukan melalui segelas air bening yang dibacai ayat suci dan do'a berbahasa arab. Kami kehilangan abah karena belum sempat merekam pengajianmu. Kami kehilangan abah karena belum puas meneguk ilmu dari lisanmu.

Tapi Allah swt Sang Mahaagung memanggilmu kembali. Sesungguhnya dari Allah kita dating dan kepada Allah kita kembali.

Kami sedih abah. Semoga abah di alam ketiga menjumpa kebahagiaan sebagaimana didapat di dua alam sebelumnya. Amin....

Jumat, 01 Oktober 2010

Pacar Merah Indonesia





Pacar Merah Indonesia

Oleh Dadang Kusnandar
penulis lepas, tinggal di Cirebon

CIREBON akhir Juli 2010 di siang hari yang panas, pak Pos mengirim sebuah paket buku ke alamat saya. Dapat ditebak buku itu kiriman teman di Jakarta, Rita Matu Mona. Dan benar, saya langsung menyobek amplopnya. Novel Sejarah PACAR MERAH INDONESIA, Petualangan Tan Malaka Menjadi Buron Polisi Rahasia Kolonial, karya Matu Mona/ Hasbullah Parindurie terpampang di depan saya. Sejak dulu, guru bahasa Indonesia saya lapat-lapat pernah bercerita tentang kehebatan Tan Malaka, juga guru sejarah saya ketika SMP dan SMA puluhan tahun lalu. Teman saya pun seorang ideolog Tan Malaka, kini jadi pedagang kelontong di Sindanglaut Kabupaten Cirebon, kerap bertutur menyoal Madilog atau Materialisme Dialektika dan Logika karya Tan Malaka. Betapa bangga ia menceritakan Tan Malaka yang konon pikiran-pikiran briliannya diterjemahkan ke dalam Partai Murba --tokoh di parpol ini ialah Adam Malik.

Saya juga bangga akan kehebatan Tan Malaka. Bahkan sempat jadi moderator Hasan Nasbi (penulis buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka) tahun 2006 lalu di Cirebon. Acara tersebut diadakan Pemuda Demokrat Kota Cirebon. Dan dalam beberapa perbincangan dengan teman-teman sosialis,nasionalis, bahkan agamis ~Tan Malaka senantiasa jadi buah pikir yang tak pernah kering.

Berbagai asumsi muncul. Wajar adanya. Lantaran kehebatan tokoh pergerakan nasional yang sejak muda sudah menjejakkan kaki di berbagai negara Eropa dan Asia ini memakzulkan insprirasi bagi anak-anak muda. Setidaknya, jika tidak mampu seperti beliau, minimal mewarisi ide-ide besarnya tentang negara kesejahteraan, negara merdeka yang senantiasa peduli kepada orang kecil. Meminjam ujaran teman sang ideolog Tan Malaka di atas, sebut saja Oding, kekayaan Tan Malaka ditenggelamkan oleh tokoh pergerakan nasional yang menjadi rivalnya. Benar atau tidak asumsi tersebut, hingga kini saya belum mendapat kejelasan yang rasional. Mungkin karena lemahnya ingatan saya terhadap sosok hebat ini.

Novel Tak Berujung

Sejak dulu guru saya menjelaskan Tan Malaka dinamai Pacar Merah. Bukan karena beliau suka warna merah, melainkan merah dalam pengertian keberanian melawan kesewenang-wenangan (despotisme) kaum kolonial di mana pun. Tidak hanya di Indonesia. Perjalanan hidup membawa Tan Malaka kuliah di Belanda yang pada awal tahun 1920-an mulai gencar dengan “pulihnya” kesadaran perlakuan terhadap (maaf) kaum inlander alias imperiumnya di belahan bumi lain. Kesadaran ini tumbuh karena banyaknya alumni Prancis dan Inggris yang menawarkan konsep kiri.

Tan Malaka selepas mendulang ilmu di Belanda ditempatkan sebagai guru yang mengajar anak-anak kuli di perkebunan sawit Sumatra Utara.Pada bagian ini orang muda yang hebat itu berontak kepada kolonial.

Guru saya pun menjelaskan sebuah novel bertajuk Pacar Merah sebagai roman yang menggugah kesadaran pembacanya tentang nasionalisme. Tokoh fiktif yang dirujuk sebagai tokoh utama, tidak lain adalah Tan Malaka. Dulu ada yang berkata, Pacar Merah itu karya Tan Malaka namun ia menulis dengan berbagai nama.Karena baginya yang penting ialah pesan yang hendak disampaikan dalam roman atau katakanlah novel tak berujung itu.

Tapi sungguh kaget, dalam persahabatan dengan Rita Matu Mona, ternyata penulis Pacar Merah tidak lain adalah ayahandanya, Hasbullah Parindurie yang menggunakan nama samaran Matu Mona.
Bagi Pacar Merah hanya ada satu cinta, yaitu cinta bagi tanah airnya. Cintanya itu demikian besar, sampai-sampai tiada tempat bagi seorang wanita. Bahkan si cantik Ninon tak pernah menggoyahkan keyakinan dia akan cita-citanya yang satu ini.

Pada pertengahan tahun 1938, Matu Mona/ Hasbullah Parindurie di Singapura diundang oleh tukang jahit asal Sumatra Barat agar singgah di tokonya. Muncul Tan Malaka yang bernampilan seperti orang Cina dan hanya ingin berkenalan dengan pengarang PACAR MERAH INDONESIA yang telah dibacanya.

Ia tidak mau diwawancarai karena tak ingin tempat tinggalnya diketahui orang. Percakapan hanya sekadar ramah tamah hanya lima menit. Akhir 1938 terbit ROL PATJAR MERAH INDONESIA cs (Peranan Pacar Merah cs.). Sjarqawi dalam kata pengantarnya bertanya, "Siapa Patjar Merah cs itoe? Tak perloe diterangkan lagi bahasa orangnja ta' ada sama sekali, melainkan figuur-figuur yang hidoep dalam chajal si pengarang belaka: sebagaimana joega The Scarlet Pimpernel dari boeah renoengan Baronesse Orczy!'' Tak ada orang yang dikelabui oleh jawaban ini. Para pembaca tidak, dan pihak berwenang kemungkinan besar juga tidak.

Matu Mona pada tahun 1940 dihukum karena delik pers, sebagai penanggung jawab atas cerita bersambung dalam mingguan Penjedar, yang ia pimpin. Hal ini ditulis Soebagjo I.N pada sketsa biografi Matu Mona dalam buku ini. Matu Mona dihukum karena mengarang ROL PATJAR MERAH INDONESIA cs, dan proses pengadilannya berlangsung di Banjarmasin. Mungkin bobot hukumannya ditingkatkan tanpa dinyatakan, untuk membungkan seorang wartawan berbahaya untuk jangka waktu yang lama (nukilan kata pengantar Harry A. Poeze, Di Antara Fakta dan Fiksi).

Pemimpin komunis terkenal waktu Matu Mona mengarang bukunya semua ada di luar negeri ~karena dibuang atau melarikan diri dari Hindia Belanda~ yaitu Muso sebagai Paul Musotte, Alimin sebagai Ivan Alminsky, Darsono sebagai Darsonoff dan Semaun sebagai Semounoff. Tokoh lain dari kuintet ini, sekaligus tokoh utama novel sejarah ini : Tan Malaka.

Di Thailaind bernama Vichitra, di Cina bernama Tan Min Kha, seterusnya ia disebut "PATJAR MERAH". Dua teman seperjuangan Tan Malaka yakni Soebakat sebagai Soe Beng Kiat, dan Djamaluddin Tamin sebagai Djalumin.

Membaca Pacar Merah, kita dibawa berkeliling ke negeri-negeri jauh dengan konflik sosial politik yang berlangsung di situ. Thailand atau Negeri Gajah Putih merupakan pembuka yang mengantarkan pembaca menjelajah eksistensi Tan Malaka. Matu Mona piawai benar melukiskan detil Bangkok, tak hanya dari sisi pariwisata dengan “aceuk” atau nona-nona genit yang cantik manis asal Chiangmai, namun juga dari pergulatan politik yang berlangsung di sana pada tahun 1930 an.

Saya hampir terjebak menganalogikan Tan Malaka sebagai Tengku Rahidin dari Johor Malaysia. Lagi-lagi di sini kehebatan Matu Mona menggabungkan tokoh fiktif dan tokoh realis pada satu karya. Novel tak berujung ini menuturkan tentang spionase yang dilakukan Tan Malaka (Pacar Merah), bahkan dalam keadaan sakit yang sangat parah di tempat persembunyian rumah nelayan miskin di Bangkok.

Ragam Sejarah
Novel sejarah ini (pada hemat saya) didasari tiga alasan. Pertama, sebagaimana halnya kisah spionase, pembaca diajak keliling ke negeri jauh sesuai seting cerita, Kedua, hingga akhir hayatnya, Tan Malaka dan Matu Mona menutup biografinya sehingga ending yang diharapkan pembaca tidak nampak, Ketiga, seperti kelaziman catatan sejarah, semakin banyak versi semakin menarik.

Beberapa kali Tan Malaka punya pengalaman pemogokan dan perlawanan terhadap kaum pemilik modal. Di Medan tahun 1920 saat berada di perkebunan Deli, terjadi pemogokan kaum buruh yang dipimpin oleh Krediet. Krediet kemudian dipaksa mengundurkan diri dan dipulangkan ke Belanda. Tahun 1922 setelah terpilih menjadi Ketua PKI, Tan Malaka mendukung upaya mogok buruh pegadaian. Dukungan Tan Malaka ini dijadikan alasan untuk menangkap dan membuang Tan Malaka. (Hasan Nasbi : Filosofi Negara Menurut Tan Malaka)

Pada sekuel Keramaian di Kota Paris (halaman 103 - 146) dikisahkan kedatangan Alminsky/ Alimin dari Moskow untuk menjumpai Paul Mussotte/ Muso. Alminsky membawa pesan Semaunoff/ Semaun, "Untuk menjumpai Pacar Merah! Dia sudah bertindak sesukanya sendiri, rupanya dia memutuskan hubungan dengan Moskow."

Sampai kini saya belum memperoleh penjelasan yang reasonable, mengapa novel (dalam genre apa pun) selalu menyisipkan percintaan. Termasuk Pacar Merah Indonesia. Apakah percintaan lelaki dan perempuan ditulis untuk mengaduk emosi pembaca, atau guna memperpanjang cerita, ataukah sejarah tak pernah mampu menghindar dari percintaan?

Madamoiselle Ninon -putri Kun Phra Pao pembesar dinas rahasia internasional di Thailand- yang jatuh cinta kepada Pacar Merah, Mademoiselle Marcelle -putri Francois d'Iserre pemuka Partai Sosialis Prancis- yang saling jatuh cinta dengan Ivan Alminsky, juga Mamselle Aime yang berstatus mistress Paul Mussote.

Novel spionase mana pun senantiasa melibatkan kisah cinta. Kendati alur cerita Pacar Merah Indonesia lebih kaya merepresentasi pergerakan pemuda Indonesia menjelang kemerdekaan bangsa yang ditunggu itu, tapi tak lepas dari bumbu cinta.

Dialog Ivan Alminsky dengan Marcelle di depan Menara Eiffel (halaman 151) :

Kekasihku, hidupku ini bagaikan hidup seorang patriot, aku tidak boleh memikirkan kepentingan diriku sendiri. Aku mempunyai dua cinta. Pertama, cintaku pada tanah airku, kedua, cintaku kepada kau, ma petite sorite! (kekasihku yang budiman). Begitu besar cintaku pada tanah airku, begitu besar pula cintaku pada kau, Marcelle. Karena itu aku merasa serba salah. Kalau aku tidak memenuhi kewajibanku pada tanah airku niscaya aku diaanggap sebagai seorang pengkhianat dan pengecut. Kau tahu sekarang Marcelle, bagaimana kehidupanku penuh dengan marabahaya. Ibarat kata pepatah bangsa kami, "Nasib sabut timbul, nasib batu tenggelam". Kalau nasibku mujur nona, selamatlah aku pulang kembali menjumpaimu nona, tapi bila nasibku bagai batu maka tenggelamlah aku di dalam lubuk kesengsaraan atau lebih tegas dimasukkan ke dalam penjara yang amat sengsara sekali. Akan tetapi saya percaya kalau nona akan mendo'akanku sepanjang masa, mudah-mudahan saya dapat melepaskan diri dari segala bencana yang menghadang itu.***

Senin, 16 Agustus 2010

Tari Topeng Losari


Oleh Dadang Kusnandar
penulis lepas, tinggal di Cirebon


MENYAKSIKAN tari topeng cirebon sesungguhnya kita menonton sekaligus mempelajari beberapa mitologi dari ajaran agama dan ajaran moral. Inilah sebabnya kedok topeng bisa dipakai untuk pentas wayang wong. Dan nama kedok topeng cirebon berbaur dengan nama-nama wayang purwa dengan karakter sama: Topeng Panji dengan Arjuna, Topeng Samba dengan Pamindo, Klana dengan Rahwana.

Perbincangan seputar Topeng Cirebon tak lepas dari nama Mimi Sawitri seniman tari yang wafat pada 10 Juni 1999, berdomisili di Losari Kabupaten Cirebon. Sepanjang usianya "dibaktikan" untuk menjaga keajegan kesenian ini dari terpaan kesenian modern. Mimi Sawitri putri penari topeng Losari yang ternama, Sumitra.

Ciri spesifik tari topeng Losari meminjam Nur `Anani M. Irman (32), cucu Mimi Sawitri, terletak pada gaya yang tidak dimiliki tari topeng lain. Gaya tersebut adalah galeong (sikap kayang), gantung sikil (menggantung kaki), dan pasang naga seser (kuda-kuda). Alumni STSI Bandung tahun 2002 jurusan Tari itu juga menyebut kostum tari topeng Losari yang berbeda dengan tari topeng Gegesik dan Slangit (Kabupaten Cirebon), Pekandangan dan Tambi (Kabupaten Indramayu), atau Bongas (Kabupaten Majalengka). Ciri lain yang membedakan topeng Losari dengan yang lain juga tampak pada musik (gamelan) yang mengiringi gerak penari. Pusat tari topeng Losari ~seperti juga topeng daerah lain~ tak lain terfokus pada kotak yang diletakkan di panggung pentas.

Ciri spesifik lain yang membedakan topeng losari dari topeng wilayah barat (Topeng Cirebon dan Topeng Indramayu) adalah dari segi musik/gamelan, urutan penyajian, koreografi. Dan juga kostum yang melatarbelakangi tari Topeng Losari yaitu dari cerita Panji.

Klana yang kerap dipilih sebagai tari topeng Losari yang mengundang aplaus lebih riuh, terletak pada kemampuan penari memainkan gerak keras (menghentak) yang dominan dan sesekali lembut lewat gerak tangan, kaki, dan tubuh yang menampilkan Dasamuka dengan balutan topeng dari bahan kulit. Mimik topeng mempertontonkan watak keras namun dinamis. Gerak lembut pada dasarnya merupakan antitesa terhadap kekauan (sikap kasar) dengan filosofi sederhana : sekasar apa pun seorang tokoh, ia tetap menyimpan kelembutan.

Dalam kerentaannya, Topeng Cirebon disibak kembali dan diangkat ke tengah publik agar terjaga kelestariannya dan tidak punah. Upaya itu antara lain dilakukan Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Disporbudpar) Kota Cirebon dengan menggelar acara Temu Pewaris Maestro Topeng Cirebon pada Senin 9 Agustus 2010 di halaman Gedung Kesenian Cirebon. Salah satu sanggar tari topeng yang tampil, tak lain Purwakencana dari Losari Barat. Kamis, 5 Agustus ybll Purwakencana tampil di acara hajatan pernikahan keluarga pengusaha Arifin Panigoro di Jalan Patimura Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Sabtu 7 Agustus 2010 Purwakencana pun ikut dalam acara Pemilihan Duta Topeng Cirebon di panggung budaya Ciayumajakuning Jalan Siliwangi Cirebon, sebagai kick off ke acara Festival Topeng Nusantara Oktober mendatang di Kabupaten Kuningan Jawa Barat.

Kantong-kantong kesenian dan lokus budaya cirebon pada mulanya dibangun untuk menciptakan iklim kondusif bagi keberlangsungan kesenian. Di beberapa tempat kesenian tradisional seakan hanya menjadi milik masa lalu. Tak terkecuali kesenian tradisional Cirebon. Padahal upaya keras mengangkat kembali kesenian tradisional cukup banyak dilakukan. Akan tetapi lantaran ketakakraban masyarakat terhadap seni tradisi, membuatnya terkubur oleh perjalanan dan waktu.

Dalam perubahan budaya global saat ini topeng cirebon bagai tersuruk mencari identitasnya sendiri, kata budayawan Endo Suanda. Di masa "kejayaannya" topeng cirebon merupakan modifikasi antara seni tari dan seni drama. Lebih jauh, para dalang wayang kulit biasanya juga memainkan tari topeng, khususnya dalam pertunjukkan wayang wong. Kejayaan topeng cirebon sekarang telah mengalami degradasi, baik secara kualitas atau kuantitas penampilan.

Ketika masyarakat cirebon kurang akrab dengan seni topengnya sendiri, berbagai kalangan menunjukkan keseriusannya secara mengikutsertakan pelajar SD - SLTA dalam pertunjukkan seni tradisi di beberapa tempat pertunjukkan kesenian. Demikian pula beberapa sanggar tari mematok tari topeng sebagai ikon tersendiri. Lantaran topeng cirebon merupakan modifikasi seni tari dan seni drama, maka kedok dalam topeng cirebon mempunyai kesamaan karakter dengan tokoh pewayangan. Tidak mudah menjadi penari topeng cirebon karena selain pandai menari, ia harus bisa bermain sandiwara sekaligus memainkan tokoh wayang wong.

PURWAKENCANA, sebuah grup atau sanggar tari topeng Losari yang sudah ada sejak generasi Buyut Sukanta, diteruskan oleh generasi Buyut Durman, dan Buyut Sumitra, lalu Mimi Sawitri nenek dari Nur`Anani M. Irman yang biasa dipanggil Nani Sawitri. Sanggar ini secara resmi berdiri formal pada 1982. Merunut penuturan Nani Sawitri, istri Deden seorang marketing koran local Cirebon, ia bersama saudara sepupunya Taningsih (mbak Ning) sejak kecil selalu berlatih tari topeng losari di Sanggar Purwakencana di Desa Astana Langgar Kecamatan Losari Barat Kabupaten Cirebon.

Selain Mimi Sawitri dari Losari juga ada maestro tari topeng bernama Mimi Dewi. Keduanya putri Buyut Sumitra dan sanggarnya berada di Losari Barat. Sementara di Losari Timur (Jawa Tengah) ada maestro tari topeng losari pula yang bernama Mama Rasbin. Sayang sekali pewaris topeng Mama Rasbin terhenti alias tidak ada generasi penerusnya. Mimi Sawitri anak ke Sembilan dari sebelas bersaudara keturunan Buyut Sumirta, yang semuanya menekuni kesenian. Kakak Mimi Sawitri semuanya dalang wayang kulit yang menari hanya Mimi Dewi dan Mimi Sawitri.

Mimi Sawitri dan Mimi Dewi, dua kakak beradik itu, mempunyai gaya dan cirri khas tersendiri ketika menari. Mimi Dewi menari lebih ke dalam (penjiwaan), sementara Mimi Sawitri lebih dinamis dan ekspresif. Keduanya pernah berguru teater kepada WS Rendra di Bengkel Teater selama 3 (tiga) bulan. Pentas pertama topeng losari dilakukan di Jatipiring Kabupaten Cirebon, tepatnya di Sanggar Pringgading, milik koreografer Handoyo MY. Budayawan pertama yang mengenalkan topeng Losari adalah Endo Suanda dan Roedjito.

Menyoal kaki yang menjejak kotak sentral pertunjukkan tari topeng losari juga sikap galeong (sikap kayang),gantung sikil (menggantung kaki di udara), Nani Sawitri menjelaskan, “Makna berbagai gaya kaki tersebut hanya sebagai bagian dari pertunjukkan. Tapi dalang topeng losari percaya sekali makna kotak dan nayaga memiliki kekuatan supranatural bagi penari. Jadi, ada semacam korelasi gerak tersebut dengan perangkat pertunjukkan di panggung/ pentas”.

Menarik memang. Tari Topeng Losari pada masa keemasan Mimi Sawitri, juga ikut mengantarkan sang cucu Nani ke berbagai negara di Eropa sebanyak dua kali seperti Belanda, Swiss, Belgia, Jerman, Prancis, Italia; termasuk ke dua kali ke Jepang, sekali ke Taiwan, Dubai, Bangladesh, Singapura, Malaysia, dan Brunai Darussalam di Asia. Juga mempertunjukkan tari topeng ini ke Australia dan Amerika Serikat.

DI tangan pewarisnya, nasib topeng losari dipertaruhkan dan dipertahankan dari keajegan dan kemilau masa lalu. Pentas yang (maaf) kini sunyi terpampang di depan mata, manakala saya bersama Agung Nugroho menyusur data perusahaan rokok yang dialokasikan bagi buruh dan pekerja kecil di Losari Barat. Kebetulan, Deni, suami mbak Ning (kakak Nani) bekerja di perusahaan rokok Panah Mas milik Haji Kusen.

Sanggar Purwakencana berada di belakang home industri rokok tersebut. Februari 2010 saya menyaksikan sanggar yang berdebu dan sepi pertunjukkan. Mbak Ning menjelaskan banyak hal mengenai tari topeng losari, bahkan mengeluarkan album foto pertunjukkan tarinya. Ia pun menunjukkan gudang penyimpanan gamelan tari topeng losari yang dimakan usia. Berkarat dan sudah tidak berfungsi lagi. Di rumah pusaka Mimi Sawitri tergantung foto hitam putih Buyut Sumirta yang berbingkai sederhana.

Demikianlah pergulatan mempertahankan tari topeng losari, mau tidak mau harus diimplementasikan melalui pentas panggung di berbagai tempat dan berulang. Di tangan pewarisnya, bersama juga nayaga yang bertambah sepuh, topeng losari harus menapak kembali jalan emas yang telah dilampaui Mimi Dewi dan Mimi Sawitri. Upaya ke arah itu akan tampak seandainya berbagai pihak yang merasa konsern terhadap tari topeng losari secara bersama melakukan upaya konkrit, dengan segala kemampuan serta kesempatan dan niat yang ditujukan bagi kembalinya tari topeng losari menjumput harapan.Harapan itulah agaknya yang terus menyulut semangat dan kerja keras para nayaga, dalang, serta penari Topeng Losari.Semoga tidak berhenti semata-mata pada harapan.***

Rabu, 05 Mei 2010

Tentang PKI : Cirebon dan Sebagainya

Pemberontakan PKI di Madiun dapat dikatakan merupakan puncak pengkhianatan kaum komunis dalam kurun waktu 1945 – 1948, karena sebelumnya, yaitu akhir tahun 1945, terjadi pula perebutan kekuasaan Republik Indonesia oleh kaum komunis yang dikenal dengan Peristiwa Tiga Daerah".

Adapun yang dimaksud dengan peristiwa tiga daerah di Jawa tengah, pada bulan Desember 1945 tersebut adalah sebagai berikut :
Pada akhir Oktober sampai awal Desember 1945, di Jawa Tengah muncul gerakan komunis yang dikenal dengan sebutan “Peristiwa Tiga Daerah”, yakni di Tegal, Brebes, dan Pemalang yang berpusat di Desa Talang, Kabupaten Tegal. Para petualang politik berhaluan komunis berhasil menghimpun massa dan berusaha merebut kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia dengan cara kekerasan di tiga daerah tersebut. Massa di daerah-daerah Slawi, Pemalang, dan Brebes dapat dipengaruhinya, tetapi kota Tegal masih dalam penguasaan satuan-satuan Tentara Keamanan Rakyat XVII (TKR XVII). Pada tanggal 17 Desember 1945 segera setelah dilakukan serangan pembersihan oleh Resimen TKR XVII, maka situasi keamanan di tiga daerah tersebut berhasil dipulihkan.

Pada tahun-tahun berikutnya orang-orang komunis secara perseorangan menyusupi organisasi-organisasi non komunis. Mereka masuk bukan untuk membantu, melainkan untuk memanfaatkan organisasi tersebut agar dapat menyusun kembali kekuatan baru guna merebut kekuasaan pada saat yang tepat di kemudian hari. Dalam kehidupan politik pada saat itu, kaum komunis bersikap pasif dan belum muncul secara legal ke permukaan melalui kegiatan-kegiatan terbuka pasca gagalnya pemberontakan di tiga daerah tersebut.

Mereka hanya menampakkan individu-individu untuk duduk dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), badan-badan pemerintahan, atau partai-partai poitik dengan menyembunyikan identitas dirinya.
Taktik bersembunyi dan tertutup itu tidak sepenuhnya disetujui oleh kader-kader komunis yang ada. Sebagian orang-orang komunis, yang dipimpin Mohammad Jusuf, menentang sikap lunak tersebut.

Pada bulan Januari 1946, mereka tampil dan bergerak secara terbuka melakukan pemberontakan di daerah Cirebon melawan Pemerintahan Republik Indonesia. Pada bulan Februari 1946, pemberontakan golongan komunis itu dapat digagalkan. Orang-orang komunis yang tidak setuju dengan pemberontakan tersebut karena merasa belum siap muncul akibat kekalahan pemberontakan mereka di tiga daerah sebelumnya “mengutuk” penyelewengan yang dilakukan oleh Mohammad Jusuf agar terhindar dari dugaan keterlibatan dalam pemberontakan di Cirebon tersebut.

Sehingga dalam sejarah perjalanan bangsa ini, dapat dilihat sudah berulang kali kaum komunis melakukan pemberontakan walaupun selalu berhasil digagalkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.



Genjer-Genjer


BEGITULAH atas nama kekuasaan, segala sesuatu yang berbau “trade mark” partai politik tertentu jadi terlarang, meski tidak paham benar makna Genjer-Genjer dalam kehidupan rakyat kecil. Boleh jadi mars (lagu) yang mengiringi acara pembuka hajat suatu parpol sekarang terilhami Lagu Genjer-genjer yang merakyat itu.

Tanaman Genjer sendiri juga pernah saya dapatkan tumbuh subur di lahan hijau sebuah kompleks perumahan polri yang berbatasan dengan stasiun KA Prujakan Cirebon. Kami menyebutnya Kebon Kangkung, karena tanaman kangkung yang dominan di lahan itu; genjer dan bunga teratai hanya sedikit. Waktu kecil bersama teman sepermainan kami suka memetik Genjer, bukan untuk dimakan lantaran tidak mengerti — bahkan yang terekam cuma satu: Itulah tanaman yang “dilembagakan PKI”.

Meski kami tidak paham pergulatan 1965 di Indonesia, namun cerita tetangga tentang mudahnya tentara menyeret seseorang tanpa proses hukum hanya karena ia sempat berhubungan dengan orang PKI; masih terngiang di telinga. Sampai sekarang! Betapa tangis istri yang tiada berarti ketika suami yang dicap PKI itu dinaikkan ke mobil pick up tentara, seterusnya ada yang ditembak dan ada yang menghuni sel penjara hingga puluhan tahun.

Tetangga saya, mantan aktivis BTI pernah melihat orang yang “di-PKI-kan” ditembak di kebun kosong di suatu tempat di Kecamatan Arjawinangun. Ia berujar, “Saya tidak kuat melihat bagaimana orang PKI ditembak, karena tidak seketika mati seperti biasa ditayangkan film-film dan televisi. Bung tahu ayam yang disembelih, ya kira-kira seperti itu. Bergerak-gerak kesakitan saat meregang nyawa”.

Lain lagi cerita kawan mantan tahanan politik yang “di-PKI-kan”. Selain siksaan fisik yang diterimanya sepanjang masa tahanan di Rumah Tahanan Militer Kotapradja Tjirebon, istrinya yang cantik sering diperlakukan tidak senonoh oleh petugas penjaga rumah tahanan militer. Pelecehan seks, bahkan adanya negosiasi (semacam barter) mengurangi hitungan masa tahanan sang suami dengan tubuh molek istrinya. Katanya, hampir semua penjaga mencicipi tubuh istrinya di rumah tahanan milter itu.

Ketika kami bertemu seusai shalat Zhuhur di mesjid agung Kasepuhan Cirebon, ia menuturkan kisah pilu nan tragis ini dengan berurai air mata. Ia yang kini memasuki usia 60-an rajin beribadah, memasrahkan diri kepada ilahi serta merasa jengah ketika harus berhadapan dengan tetangga yang diam-diam masih menyebutnya Orang PKI. Walau tak terucap, dia tahu dari sorot mata orang yang memandangnya dengan setengah hati dan tatapan agak sinis.

“Dadang, kau harus tahu”, ujar mantan tahanan politik pada sebuah sore di rumahnya. “Jangan pandang orang dari penampilan luar. Jangan tertegun karena seseorang rajin shalat berjama`ah di mesjid, lantas kamu katakan dia orang soleh. Ini, abah, 16 tahun meringkuk di rumah tahanan militer karena dicap PKI oleh orang yang rajin shalat berjama`ah di mesjid di kampung (RW) ini”, katanya sambil mengenang.

Begitulah, abah yang kini tiada, sejak 1966 s/d 1982 berstatus tahanan. Abah sebelum ditahan bekerja sebagai staf administrasi Bupati Cirebon, Harun. Mungkin lantaran Bupati Harun mengkoordinir dan memobilisasi massa bagi pergerakan PKI di Cirebon, maka semua staf di lingkungan kerjanya di PKI kan oleh penguasa saat itu. Pada mulanya, sebuah coretan tanda silang di tembok belakang rumah abah, lantas orang yang satu RW melaporkan abah kepada dua tentara. Dalam waktu sesaat, abah diangkut ke mobil tentara terus digiring ke rumah tahanan militer tanpa proses hukum.

Saya ingat sewaktu SD saya suka mengantarkan nasi dan lauk pauk untuk abah ke sel tahanannya. Biasanya kalau disuruh ibu atau disuruh istri abah. Bertemu abah di sel tahanan dengan kostum spesial warna birunya, ketika itu saya tidak paham kenapa abah ditahan. Rumah abah yang berjarak dalam hitungan langkah kaki dari rumah saya menjadi sebab dekatnya pertautan kami. Abah pula yang kerap memberi nasihat hidup kepada saya. Tapi kini rumah abah sudah dijual karena istri abah mau pergi haji ke Mekkah.

Duh Gusti, jangan sampai terulang kisah buram seperti itu lagi di negeri yang katanya dihuni orang-orang yang cinta damai dan menghargai sesama.

Dicabutnya PP 25 Tahun 1966 oleh Gus Dur tentu saja menggembirakan banyak orang. Betapa diskriminasi yang terus dilakukan negara kepada ex tapol PKI berakhir di tahun 2000. Penantian panjang hanya untuk mengembalikan stempel kewarganegaraan di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tetapi selsaikan persoalan ex tapol PKI sampai di situ?

Genjer-genjer, lagu berbahasa Jawa yang sempat dipopulerkan Lilis Suryani ciptaan Ki Narto Sabdo itu kini mengalun lagi. Sejumlah mempertanyakan pelarangan lagu itu serta stigma PKI di dalamnya. Padahal genjer adalah makanan alternatif bagi masyarakat miskin ketika Jawa didera kemiskinan panjang, ketika rakyat harus makan bulgur, ketika antrian untuk memperoleh segantang minyak tanah jadi pemandangan keseharian.

Kreativitas masyarakat miskin menemukan jenis makanan pada masa pailit seharusnya mendapat respon positif bukan malah dikait-kaitkan dengan politik. Kebersamaan masyarakat miskin mengkonsumsi genjer wajar jika kemudian menginspirasi seniman mencipta sebuah lagu. Lagu kerakyatan yang di dalamnya termuat keberanian dan tekad menghadapi tantangan hidup, betapa pun kerasnya. Betapa pun harus makan bulgur dan sayur genjer.

Ciri khas komunitas tertindas (mustadh`afin) antara lain adalah rasa kebersamaan yang mengikat untuk mengubah nasib, untuk secara bersama-sama keluar dari tekanan hidup. Tak pelak, tanaman genjer sebagai alternatif pengganti lauk pauk diminati kaum tertindas. Mereka sesunguhnya kreatif, tidak menyulitkan pemerintah, tidak menuntut segera disediakan makanan instan dan sebagainya; tetapi berusaha sendiri keluar dari kesulitan. Meski pun yang dikonsumsi adalah jenis makanan yang tidak layak, namun sebagai upaya pertahanan hidup, itulah kiranya yang patut dihargai.

Dengan demikian tidak ada alasan mempertentangkan genjer-genjer dengan PKI. Tidak ada alasan pula melarang memperdengarkan lagu Genjer-genjer di tengah masyarakat. Sebaliknya, lagu yang menafasi ribuan kaum miskin itu seharusnya dilembagakan sebagai etos kerja, olah kreatif dan kondisi faktual masyarakat miskin Jawa yang hendak terus bertahan hidup.****

Pusat Sejarah TNI : 12 Februari 1946
Pemberontakan PKI di Cirebon


Pada tanggal 7 November 1945 lahir Partai Komunis Indonesia (PKI) di Cirebon dibawah pimpinan Mohamad Joesoep dan Mr. Suprapto. Pemunculan PKI pimpinan Mr. Mohamad Joesoep ke permukaan selain legal tidak disetujui oleh kelompok lain. Kondisi sosial politik di Cirebon pada awal revolusi tidak stabil. Hal ini karena adanya pertentangan antara golongan moderat dengan golongan revolusioner mengenai cara untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan. Situasi yang demikian dimanfaatkan oleh PKI untuk menguasai kondisi politik dalam rangka persiapan rencana pemberontakan. PKI melalui pimpinan Joesoef berusaha menarik simpati rakyat Cirebon dan menyadari bahwa untuk melakukan pemberontakan belum kuat. Oleh karena itu didatangkanlah Laskar Merah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan dalih menghadiri konperensi dengan tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat.

Pada tanggal 9 Febrauri 1946, rombongan PKI dan Laskar Merah dari luar daerah tiba di stasiun kereta api Cirebon. Mereka bersenjata lengkap dan menginap di hotel Ribrink pada tanggal 12 Februari 1946. PKI menyebarkan isu bahwa Polisi Tentara telah melucuti anggota Laskar Merah yang baru datang dari Jawa Tengah di stasiun Cirebon. Polisi Tentara Cirebon Letda D. Suudarsono datang ke stasiun menemui seorang bintara jaga untuk memastikan kebenaran isu tersebut. Namun sesampainya di stasiun, ia disambut dengan tembakan-tembakan, ia dikepung oleh pasukan Laskar Merah dan akhirnya ditawan dan dibawa ke Markas Polisi Tentara Kabupaten di Hotel Phoenic. Selanjutnya dalam upaya PKI menguasai pemerintahan, kekuatan bersenjata di Cirebon dilucuti, tentara ditangkap dan dijadikan tawanan.

Seluruh kota dikuasai oleh Laskar Merah, tindakan-tindakannya semakin brutal, merampok dan menguasai gedung-gedung vital. Untuk mengatasi aksi-aksi PKI ini, Panglima II/Sunan Gunung Jati Kolonel Zainal Asikin Yudadibrata segera mengambil tindakan. Ia mengirim utusan untuk berunding dengan Mr. Mohamad di Hotel Ribrink. Pihak PKI dalam perundingan ini berjanji akan menyerahkan senjata-senjata hasil rampasan esok harinya, tetapi janji ini tidak ditepati. Karena perundingan gagal Panglima Divisi II meminta bantuan pasukan dari Komandan Resimen Cikampek untuk dikirim ke Cirebon, maka dikirim 600 prajurit Banteng Taruna dipimpin Mayor Banuhadi. Akhirnya tanggal 13 Februari 1946 dilakukan penyerbuan yang pertama oleh pasukan gabungan dari TRI, Polisi Tentara dan pasukan lain untuk merebut pos-pos pertahanan PKI dan Markas pemberontakan di Hotel Ribrink. Penyerbuan yang pertama ini gagal karena persenjataan di pihak TRI dan kawan-kawan kurang, sedangkan senjata musuh lengkap. Pada tanggal 14 Februari 1946, dilakukan penyerbuan yang kedua kali yang dipimpin langsung oleh Komandan Resimen Cikampek Kolonel Moefreini Moekmin dan berhasil melumpuhkan lawan sehingga pasukan PKI menyerah. Pimpinan pemberontak Mr. Mohamad Joesoep dan Mr. Suprapto berhasil ditangkap kemudian diajukan ke pangadilan tentara.

PKI dan Kambing Hitam

Ideologi ini muncul sebagai manisfestasi kondisi sosial ekonomi global pada saat itu. Ingat bahwa paham sosialis pada saat itu merupakan paham terbesar kedua setelah paham demokrat kapitalis, meminjam paparan Tatang juhata. Berawal dari kunjungan Bung Karno ke Rusia sekitar tahun lima puluhan, ketika itu sedang turun hujan salju, tetapi Presiden Uni Sovyet pada saat itu menyambutnya dengan upacara kebesaran militer dan mendapat pelukan hangat dari seorang pemimpin negara adidaya terbesar saat itu. Hal ini jauh berbeda dengan penyambutan ketika Bung Karno berkunjung ke AS presiden sebelum JFK mempersilahkan Bung Karno untuk menunggu di ruang tunggu istana, kemudian beliau langsung pulang ke tanah air. Kalau ditinjau dari segi solidaritas dan kemanuasian sudah jelas bahwa pada saat pergolakan itu kecendrungan untuk memilih teman adalah Uni Sovyet, sebagai poros ajaran sosialis.

Kerjasama ini terus berlanjut puncaknya waktu perebutan Irian Barat dari Belanda. Pada saat itu kita tidak punya uang, kemudian minta bantuan ke Uni Sovyet persenjataan dll. Uni Sovyet menyetujui tapi mengajukan 3 syarat :
1. Beri kebebasan PKI seperti partai-partai yang lainnya di Indonesia.2. Bebaskan Hegemoni Inggeris di kawasan Asia Tenggara 3. Galang Dunia Ketiga

Seperti kita ketahui bahwa Bung Karno adalah seorang ksatria sejati, pantang menjilat ludah sendiri, menyetujui tawaran tersebut. Kemudian terjadi Ganyang Malaysia, yang sebenarnya malaysia sangat di untungkan karena
saat itu negara Inggeris memberikan kemerdekaan beberapa tahun kemudian dan wilayah serawak menjadi bagian dari malaysia. Sebenarnya Indonesia mengganya propaganda ganyang malaysia sebagai taktik politikus seorang putra sang fajar. Hal ini terbukti dengan berpelukannya Bung Karno dengan Sir Datuk Tengku Abdurrahman (PMI Malaysia) di Jepang, bahwa perjuangan Bung Karno adalah Iklas demi kemerdekaan Malaysia.
Dalam sebuah kunjungan wartawan senior Media Indonesia ke desa-desa pedalaman di Malaysia banyak pendududk memasang gambar Bung Karno di bandingkan gambar Mahatair, mereka tahu bahwa bahwa bung Karno adalah seorang ksatria.

Dan kenapa bung Karno tidak membubarkan PKI sampai beliau di Kudeta oleh Soeharto, karena jiwa ksatrianya tadi, dan akan terjadi politik balas dendam kalau dia sampai membubarkan PKI dan itu terbukti setelah Soeharto membubarkan PKI ada sekitar 4 juta penduduk Indonesia di bantai oleh ABRI dan NU serta sipil yang lainnya (catatan dari HAM PBB).

Mengenai hubungan TAP MPRS XXV Th 1966 untuk dicabut atau tidak, melihat bahwa hubungan bahwa politik adalah dagangan maka paham komunisme akan sangat-sangat tidak laku untuk dijual. Jdi menurut saya tidak ada pengaruhnya bahwa TAP tersebut dicabut atau tidak. Dan kalau saya lihat bahwa ini politik GUS DUR untuk meningkatkan perolehan suara PKB sebagai salah satu partai yang mendukung pencabutan TAP tersebut. Karena ada kemungkinan pemilihan Presiden akan dipilih secara langsung.

Pelarangan Buku : Aku Bangga Jadi Anak PKI

Alergi terhadap ajaran komunisme tetap berlanjut. Buku Aku Bangga Jadi Anak PKI dilarang beredar.

Wakil Presiden Hamzah Haz bak kebakaran jenggot. Apa sebab, sebuah buku mengusik diri Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan ini. Buku yang dimaksud adalah karangan dr. Ribka Tjiptaning Proletariati. Judulnya memang dahsyat : Aku Bangga Jadi Anak PKI (ABJAP).

Apakah isinya sebanding dengan keberanian judulnya? Kalau boleh dikata, isi buku tulisan putri RM Soeripto Tjondrosaputro - pengusaha dari kalangan ningrat Solo yang menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) ini tidak terlalu istimewa. Dari tulisan sepanjang 178 halaman, hanya 16 halaman pertama yang menceritakan kehidupannya dalam sebuah keluarga komunis.

Halaman-halaman awal buku itu menceritakan ayah Ribka yang berasal dari kalangan bangsawan, namun tetap bisa menjadi "komunis sejati" yang dekat dengan rakyat.

Toh bagi Hamzah, judul buku karangan Ribka seolah mencerminkan isi buku secara keseluruhan. Bagi Wapres, jika untuk urusan ilmu pengetahuan, buku semacam itu tidak menjadi masalah. Tapi jika sudah disebarkan kepada masyarakat, Hamzah menilai itu jadi masalah.

Karenanya, Hamzah meminta perlu diketahui apa motivasi peluncuran buku ABJAP. "Saya sudah katakan, kita negara Pancasila sehingga masyarakat kita religius. Tapi, bukan berarti kita negara agama. Di dalam operasionalnya, ada Departemen Agama. Dan , penjabaran di preambule (UUD 1945) ada bagian tentang agama. Tidak berhak komunis di Indonesia. Itu jelas ada pengalaman kita. Ada peristiwa Madiun, G30S/PKI," sambungnya lagi.

Rumah Tahanan Militer

Empat bulan saya dikurung di Rumah Tahanan Militer", katanya pagi ini. Teman berusia 63 tahun itu sambil terenyuh menuturkan pengalaman pahitnya di tahun 1969. Kotapraja Tjirebon 1969, mungkin tak beda dengan kota lain di Indonesia dalam hal perlakuan terhadap tahanan. Pemerintah saat itu kerap salah tangkap orang, tanpa proses hukum -- apalagi keadilan.

Tidak berselang lama paska G30S PKI 1965, cukup dengan tanda silang di tembok rumah (bahkan di bagian belakang), kepala keluarga di rumah tersebut dicap PKI. Siapa yang bisa mengelak? Pendekar HAM mana yang akan membela ketika stigma makar diterakan kepada PKI?

Tulisan ini tidak membahas tahanan politik secara utuh, tapi bersandar atas cerita teman saya di atas, Dar yang digiring ke Rumah Tahanan Militer (RTM) lantaran dituduh menggasak uang bandar Erek-Erek -- jenis perjudian legal masa itu. Dar digelandang pukul 9 pagi dari rumah orang tuanya, Grubugan samping Keraton Kasepuhan Cirebon, tanpa konfirmasi. Katanya, "Saya dituduh memeras bandar Erek-Erek dan dilaporkan mengenakan pakaian dinas angkatan bersenjata".

Lebih kurang Dar bertutur demikian. Empat bulan di RTM rasanya lama sekali. Pukulan, tendangan merupakan sarapan pagi, makan siang, dan makan malam. Kedua tangan pun tidak merasa sakit saat dipukuli karena telah imun, alias terbiasa menerima siksaan sehingga kebal dari rasa sakit. Bibir tidak bisa dibuka. Kalau makan disuapi tahanan lain yang baik padanya. Saking seringnya menerima siksaan, kedua tangannya tidak bisa digerakkan. Posisi tangannya seperti orang menahan rasa dingin yang akut.

Sambil guyon Dar berkata, "Saya seperti Raja. Baju dipakaikan sesama teman tahanan. Memasukkan anak kancing pun tidak sanggup". Setelah mengenakan baju, semua tahanan "sarapan" pagi seusai menerima aba-aba APEL. Sarapan pagi dipukuli petugas RTM. Gagang pistol pun dihantamkan ke muka. Mohon maaf tak akan ditulis di sini jenis penyiksaan lainnya.

Ketika Dar menyapu dan ngepel di RTM, teman Dar menengok orang tuanya yanng dituduh PKI di RTM. Pur bertanya, "Ada di sini, Dar?". Dengan berseloroh Dar menjawab, "Lagi nengok tahanan". Orang tua Pur seketika menyangkal, "Dar tahanan di sini". Dar lupa ia ngepel tepat di depan sel tahanan orang tua Pur.

Hari-hari di RTM bukan hanya hari-hari siksaan. Untuk melihat suasana luar RTM pun, Dar mesti berpura-pura ikut kerja bakti. Dengan begitu ia bisa melihat jalan raya. Dar tidak menangis tatkala pukulan dan tendangan singgah ke tubuhnya atau mukanya; namun ia menangis melihat tahanan lain yang dipukuli petugas di depan matanya.

Ibu muda membawa bayi yang baru lahir sebulan ingin memperlihatkan buah hatinya kepada suami yang ditahan di RTM dengan tuduhan PKI. Petugas RTM melarang ibu itu. Ibu muda menangis, suaminya juga menangis. Dar ikut menangis. "Bayangkan, ini sudah di luar batas kemanusiaan!".

Perempuan cantik calon istri seorang tahanan datang menengok pacarnya. Petugas tertarik pada kemolekannya. Sepulang sang cewek, tahanan itu dinego. Kalau ingin bebas, pacar kamu aku setubuhi. Gila memang. Teman Dar mengijinkan dan pacarnya pun mau lantaran sebentar lagi menikah. Dalam tempo sebulan tahanan telah dibebaskan dari RTM. Tentu saja setelah berulang kali menyetubuhi pacarnya yang molek itu. Mereka pun menikah.

Wajib lapor sekali sepekan ke kantor militer terus dilakukan ex tapol. Saat melapor itulah, petugas RTM berkata, "Bawa sini pacar kamu!". Lebih mirip perintah daripada pertanyaan. "Kami sudah menikah pak". "Untung saya sudah titip kuping", tambah petugas sambil tertawa.

Saudara kandung tidak ada yang mau menengok Dar. Tahanan dengan tuduhan pemerasan agaknya mencoreng nama baik keluarga. Tetapi ibunya, meski Jalan Merdeka banjir hingga sepaha orang dewasa, tetap menengok. Ada peristiwa ganjil sesaat setelah sang ibu bezoek Dar di RTM. "Dar tidak apa-apa", kata ibunya. Rasa sakit di persendian pingganng Dar seketika sirna. Bibir yang tidak bisa dibuka, mendadak bisa bicara. Tapi begitulah RTM. Sepulang ibunya, Dar "makan siang" bogem mentah. Begitu seterusnya selama empat bulan.

"Saya berlinang air mata ketika dari mesjid terdengar suara orang bertakbir, tahlil, tahmid, dan tasbih. Ah, malam lebaran yang buruk. Pandangan mata hanya berakhir ke tembok RTM. Ingat ibu yang tak lepas mendo`akan, ingat saudara kandung yang tidak menengok, ingat pacar yang kabur". Dar pun berdo`a, "Ya Tuhan, kalau saya bebas tetapi cacat lebih baik saya mati di sini".

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan pahit, betapa dengan mudah penangkapan warga negara Indonesia tanpa proses hukum. Tahun-tahun pahit dalam sejarah awal Orde Baru. Jika terhadap tahanan yang dituduh pelaku pemerasan saja begitu hebat siksaan yang harus diterima, terlebih terhadap tapol yang diterakan kata PKI. Di kampung Anda, teman-teman yang budiman, bisa menggali cerita apa saja jika kita mau mendengar kisah orang lain.

Kisah ini merupakan pelajaran pahit betapa kebencian terhadap satu kelompok tertentu (lantas diterakan sebagai telah melakukan tindakan makar terhadap negara dan hendak mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain) menelan banyak korban. Korban yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa menyangkut kegiatan yang menggegerkan jagat. Korban yang sesungguhnya hanya berpikir sederhana, bahwa saat itu kebetulan ia bekerja di PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api) atau menjadi kepercayaan kepala daerah (bupati) namun tidak tahu jikalau atasannya terlibat dalam organisasi (yang dilarang pemerintah).

Kisah ini merupakan cermin betapa mudahnya aparat negara memperlakukan orang sipil tanpa prosedur hukum, hingga korban yang tidak tahu benar organisasi itu (PKI) harus mendekam selama puluhan tahun di tembok penjara, bahkan dideportasi ke Pulau Buru. Jika melihat bagaimana mereka setelah mendapat remisi pemerintah akhirnya menjadi orang yang kikuk dan soliter (menjauh dari kehidupan ramai) serta tidak bersosialisasi, lantaran masih banyak yang mengatakan, “Jangan dekati dia, awas dia orang PKI”. Begitulah, pembaca budiman.....16 tahun dalam status tahanan politik lantas kembali ke masyarkat namun tidak diterima di tengah pergaulan sosial, agaknya jauh lebih perih ketimbang saat ditahan. Barangkali inilah penyebab banyak eks tahanan PKI Pulau Buru yang tidak mau kembali ke Jawa.

Kita tidak ingin kisah seperti itu terulang kembali. Politik sekali lagi jangan dikambing hitamkan, apalagi dibenturkan dengan kekuatan militer.

Sebuah tragedi kemanusiaan terjadi. Di atas tanah yang kita pijak, di atas gedung-gedung pemerintah dan perusahaan multinasional bertumpuk tulang-belulang dari orang-orang yang tak berdosa. Kuburan-kuburan massal tanpa batu nisan membuka mata dunia bahwa peradaban Indonesia telah dibuka dengan banjir darah, perampokan mimpi dan harapan serta penjarahan massal. Kita berhutang kepada para martir yang memperjuangkan kemandirian dan kebersahajaan bangsa dan negeri ini. Kita berhutang kepada para korban dan keluarganya yang masih berdiri tegak, tampilkan kemanusiaannya, di tengah kebejatan moral para jagal dan maling pengikut Orde Baru. Buat para individu maupun organisasi-organisasi perlawanan terhadap kapitalisme global, buat para pejuang dari berbagai latar belakang: Agamis, Nasionalis, Sosialis, Komunis, maupun Anarkis; bersatulah. Kenalilah musuh sebenarnya, yaitu dajjal Neo-Liberalisme yang sudah menancapkan kuku-kukunya di seluruh penjuru dunia.

Rabu, 03 Maret 2010

Dalang Repot

Dalang Repot
Jejak Kesenian Masa Lalu


Catatan Dadang Kusnandar
penulis lepas, tinggal di Cirebon


CIREBON 1970 adalah dunia kecil saya yang penuh warna kesenian, dari Sandiwara Masres, Dokmong (sastra lisan penuh nasihat dari teks Thoriqot Satariyah), hingga ada yang dijuluki Wayang Klitik atau Dalang Repot. Kesenian yang tak terdokumentasi ini sempat jadi perbincangan bersama seniman peniup suling pada suatu malam. Katanya, "Saya kagum pada kehebatan Dalang Repot. Sendirian mampu bercerita, memainkan wayang sederhana, mulut kadang jadi musik dan kaki menjejak kecrek". Ia disebut dalang repot, meski ia tidak merasa repot karena sudah menjadi mata pencahariannya.

Tetangga saya tahu 1970 dikhitan. Keluarganya menanggap kesenian tradisi Masres. Tentu saja ini mengundang kerumunan anak-anak. Pertama karena langka dan unik, kedua masyarakat memang haus hiburan yang tidak sekadar asik ditonton, akan tetapi juga memiliki pesan moral berupa tuntunan dari kisah yang ditampilkan). Ketiga, rasa ingin tahu pada dunia kecil akan hal baru, menyegerakan anak-anak berkumpul duduk di panggung. Keempat, sangat jarang hajatan di Kota Cirebon yang nanggap Masres, lantaran saat itu Tarling lebih dominan berpindah dari satu panggung ke panggung lain.

Tahun 1970-an pun, Pasar Kagok di Jalan Kembar - Lawanggada Cirebon sering dijumpai penari topeng Cirebon yang tengah bebarang. Ia bebarang (ngamen) di tengah kerumunan orang di pasar karena grup topengnya sudah cukup lama tidak manggung. Terdorong kebutuhan ekonomi atau memang bebarang merupakan satu fase yang memang harus dilakukan penari topeng untuk menambah kepercayaan diri. Kepercayaan atas kesenian yang diembannya, juga kepercayaan untuk tegak berdiri di tengah seni baru (saat itu lagu-lagu grup band membanjir). Saat bebarang, hanya sedikit uang yang diperoleh. Namun keberanian menampilkan eksistensi tari topeng, nampak lebih penting dari keterdesakan ekonomi.

Maka bila ada tetabuhan unik meskipun memekakkan telinga, tak cuma anak yang mendekati sumber suara. Orang dewasa pun rela meluangkan waktu tidurnya untuk menikmati kesenian tradisi. Inilah salah satu cara ampuh menghidupkan dan menghidupi kesenian tradisi. Hal ini sempat dilontarkan Walikota Cirebon Subardi pada penutupan HUT Cirebon tahun 2009 lalu, katanya kalau ingin menghidupkan dan menghidupi seni tradisi, sebaiknya pada saat kenduri kita nanggap seni tradisi. Otomatis himbauan ini disambut Abdul Adjib yang malam itu mementaskan lakon Gara-gara Kumis dengan Tarling Putra Sangkala-nya.

Dalang Repot

Anak - anak berlarian mengejar sumber suara. Sebentuk perkusi kecil mirip penanda pedagang es gusruk/ es tungtung menarik perhatian anak-anak. Ia bukan pedagang keliling es gusruk. Ia memanggul beberapa boneka kertas dan sebuah kecrek dari lempengan besi tipis.

Semakin diserbu anak-anak, ia semakin senang lantaran berharap uang sawer lebih banyak. Ya, ia seorang seniman kampung yang anonim. Pertunjukkannya dinamakan Wayang Klitik. Wayang dibuat dari kertas minyak warna merah putih di bagian kepala seukuran diameter 8 cm, tangkai bambu yang diraut halus sebagai tubuh, tangkai bambu lebih tipis sebagai tangan kanan dan kiri. Tanpa kaki tanpa pakaian, Wayang Klitik beraksi.

Aksi yang dimainkan seniman jalanan yang sudah tua itu tidak butuh bantuan asisten, baik nayaga maupun sinden. Ia memainkan sendiri. Pertunjukkan solo karier yang dikagumi anak-anak. Ia seperti kerepotan harus mempertunjukkan aksi wayang klitiknya sendirian. Tapi justru di sinilah kekuatan seni tradisi yang telah habis dimakan zaman. Tak pelak wayang klitik pun dinamakan Dalang Repot.

Dinamakan Dalang Repot karena ia menggerakkan wayang klitik dengan kedua tangan rentanya. Bisa saja ada adegan berkelahi yang membutuhkan energi lebih besar. Mulutnya dengan bibir kehitaman ~mungkin pengaruh nikotin rokok~ melantunkan lakon yang dekat dengan dunia anak. Kadang juga mengeluarkan bunyi sebagai musik pengiring. Kakinya menjejak krecrek yang diletakkan miring menyandar ke kotak peragaan kesenian tunggal ini. Seniman tunggal, solo karier (dalam arti sebenarnya) dan serba bisa itu memperagakan cerita dengan timbre (warna suara) sesuai karakter wayang klitik. Kecrek yang disandarkan di kotak wayang bila dijejak kakinya menimbulkan efek bunyi yang kadang berfungsi untuk pindah adegan pada lakon yang dituturkan. Pak Tua itu duduk bersila di jalanan beralas sandalnya, lalu ia kenamemeragakan lakon.

Cerita yang dituturkan biasanya penggalan pada Kisah Mahabharata. Panjang pendek cerita (fragmen) tergantung jumlah penonton yang mengerumuninya. Semakin banyak penonton, semakin lama (panjang) ceritanya lantaran berharap uang sawer yang banyak. Meskipun ada penonton dewasa yang pulang dulu meninggalkan Dalang Repot sebelum lakon selesai. Artinya ia tidak sawer. Pergi ngeloyor begitu saja. Dan anak-anak yang betah mengikuti kisah Dalang Repot, umumnya jarang sawer karena tak ada uang. Bayangkan kecilnya pendapatan dalang repot!

Bila penonton semuanya anak-anak, seniman serba ini pun berkomunikasi dahulu menanyakan lakon apa yang diinginkan penonton. Berbagai judul cerita dilontarkan anak-anak. Termasuk ada yang minta dikisahkan Kancil dan Buaya. Cicak lawan Buaya. Monyet Mencuri Timun. Selain tentu saja Punakawan dalam pewayangan. Kelucuan Petruk, Gareng dan Bagong menjadi semacam kepuasan sendiri manakala dikisahkan oleh Dalang Repot.

Ketiadaan publikasi dan dokumentasi mungkin penyebab lenyapnya kesenian kampung ini. Kesenian yang digemari anak itu raib tanpa jejak. Bahkan kami tak kenal nama seniman serba bisa itu. Beruntung seni bertutur PM Toh dari Aceh dipublikasikan media ~tidak seperti Dalang Repot Cirebon.

Ketika Slamet Gundono dari ISI Surakarta mengenalkan Wayang Suket, tiba-tiba ingatan saya seperti ditarik mengenang Dalang Repot. Bedanya, Gundono menggunakan suket (rumput) sebagai bahan baku wayangnya ~~sementara Wayang Klitik menggunakan media kertas lampion warna merah dan putih. Gundono berutur, memainkan gitar kecil, tangannya menggerakkan wayang suket; hampir sama dengan Wayang Klitik.

Bedanya mungkin soal masa, soal waktu. Dulu dan kini. Atau sebutlah peralatan pendukung pada kedua jenis wayang. Tradisi dan modern. Kekuatan dan kelemahan. Wayang Klitik tak tenar dan tak mampu berpindah kota karena Dalang Repot berjalan kaki keluar masuk kampung memikul kotak wayang dan peralatannya.

Kepedulian

Ketika kini sejumlah seniman tampak asik untuk mengangkat kembali seni tradisi, terlebih yang sudah hilang, mungkin sudah saatnya kita memformulasi Wayang Klitik. Perlu seseorang yang mumpuni, memiliki kemampuan bertutur cerita pewayangan lantas sendirian memaikan peran sebagai Dalang Repot. Musisi Embi C Noer menuturkan, "Edi Bagja, rekan kita, waktu masih jadi mahasiswa STSI Bandung, ujiannya juga menampilkan karyanya yang dia mainkan sendiri, bergaya repot, demi menghemat biaya pentas dalam presentasi karyanya. Sampe dia pingsan karena memforsir. Gaya repot bukan cita-cita tapi cara untuk bisa bertahan. Seperti tawurji. Jika akan dihidupkan lagi, bisa saja sebagai pertenjukan seni bernuansa akrobatik (= pemain drum di sebuah band )."

Matthew Cohen Isaac Cohen, Lecturer Universitas Glasgow Inggris, menulis catatan pendek mengenai Dalang Repot, "Terima kasih laporannya! Memang 'dalang repot' itu satu istilah yang terkadang masih digunakan oleh dalang-dalang Cirebon, terutama kalau ditinggal nayaga! Tetapi saya sendiri tidak sempat melihat atraksi yang sudah punah ini secara langsung... Mungkin ada kesamaan dengan gender bebarengan (yang sepengetahuan sudah punah juga di Cirebon), yaitu pertunjukan solo oleh seseorang yang meringkas pertunjukan besar, didorong oleh kebutuhan ekonomi."

Semuanya kembali kepada kita untuk menghidupkan lagi seni tradisi. Jikalau keinginan itu ada, inilah saat yang tepat menempatkan seni tradisi sebagai bagian penting dari perjalanan kebudayaan. Seni yang seharusnya masih bertahan, seni yang sebenarnya mampu dihidupkan lagi agar generasi kita tidak kehilangan jejak kesenian masa lalu. Dukungan pemerintah, keseriusan seniman, kemauan masyarakat nanggap kesenian tradisi pada kenduri atau hajatan pribadi ~mudah-mudahan memberi kontribusi yang tidak berhenti pada kata-kata semata.***

Rabu, 03 Februari 2010

10 Syuro Dulu dan Kini

CATATAN buram sejarah Islam sepeniggal Rasulullah Muhammad saw nyaris beruntun. Umar bin Khattab yang sederhana dan jujur mati ditikam sebilah pisau ketika shalat Shubuh. Usman bin Affan mati ditikam pedang Muhammad bin Abubakar saat suhu politik Mekkah memanas. Tak ada alternatif lain untuk memimpin negeri yang koyak diwarnai konflik itu, selain memakzulkan Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutahlib menjadi khalifah. Dan masa pemerintahan Ali yang 12 tahun tahun itu, 8 tahun berisi perang. Perang melawan sekawanan pemberontakan yang tak hendak patuh pada amirul mukminin.

Sepeninggal Ali, pusat pemerintahan pindah ke Syam (Syiria, Suriah) di bawah pimpinan Muawiyah bin Abu Sofyan dari Bani Umayyah. Mulailah pemerintahan dinasti mewarnai ratusan tahun perjalanan sejarah Islam. Perang demi perang atas nama kekuasaan dan klan, berawal sejak kekhalifahan diukur dan ditentukan oleh kemenangan pada pertumpahan darah.

Namun ada sebuah kisah paling dramatis menjelang peralihan kekuasaan Muawiyah bin Abu Sofyan kepada putranya Yazid bin Muawiyah. Sayed Husein bin Ali bin Abi Thalib dikabarkan hendak merebut kekuasaan/ makar untuk menduduki kursi khalifah. Keruan, kenyataan ini memancing kemarahan keluarga Muawiyah. Yazid yang berkuasa pun mengutus panglima perangnya membawa 4000 pasukan terpilih untuk mengakhiri Imamusysyahid Husein bin Ali bin Abi Thalib.

70 pasukan Husein bin Ali mengungsi ke Karbala di Propinsi Kuffah Iraq. Bersama sanak saudara : Hasan bin Ali, Zainab binti Ali dan anak-anaknya mendirikan kemah di padang tandus Karbala. Saat itu baru 50 tahun Rasulullah Muhammad saw wafat.

MUNDUR sejenak, saat Rasulullah Muhammad saw wafat. Kesedihan kaum muslim tak terperikan. Bahkan Umar bin Khatab beringas mengancam siapa pun yang mengatakan rasulullah saw wafat akan dipenggal batang lehernya oleh Umar. Alkisah, kearifan Abubakar Shidiq ra meluluhkan kerasnya Umar.

"Wahai Umar, engkau beriman kepada Allah? Lihatlah, bila engkau beriman kepada Muhammad, kini beliau telah wafat", kata Abubakar. Umar makin sedih dan tak kuasa menahan tangis.

Rumah rasulullah dirundung duka. Siti Fatimah az Zahra dan suaminya Ali bin Abi Thalib, Salman al Faris, Abudzar al Ghifari, Mush'ab bin Ka'ab, Bilal bin Rabbah al Habsyi sibuk mengurus jenasah rasul. Memandikan, mengafani, menyolatkan lalu menguburkan.

Syaqifah Bani Sa'diyah pada saat ahlul ba'it mengurus jenasah nabi, sibuk berbincang politik. Siapakah yang akan memimpin umat sepeningal nabi tercinta.

Abubakar, Umar, Usman bin Affan, Muawiyah bin Abu Sofyan, Abdurrahman bin Auf berbincang politik. Secara aklamasi Abubakar Shidiq terpilih menjadi amirul mukminin pertama dalam sejarah Islam. Pertimbangannya selain kearifan dan faktor usia, Abubakar yang ditunjuk nabi menjadi imam shalat apabila berhalangan sakit.

Ahlul bait kecewa. Saat jasad rasulullah saw terbujur kaku, para sahabat membicarakan politik pemerintahan. Tak heran jika ahlul bait tidak memberi tanda setuju pada penetapan Abubakar jadi khalifah.

Inilah mula pertama api dalam sekam pada sejarah islam. Babak ini pun berlanjut pada kisah AIR MATA KARBALA puluhan tahun kemudian. Inilah mula pertama cucu rasulullah Muhammad saw ~~Husein bin Ali~ dipenggal lehernya oleh panglima Bani Umayyah di Karbala. Inilah mula pertama Yazid bin Muawiyyah bin Abu Sofyan menangis melihat potongan kepala cucu tercinta Rasulullah saw.

Namun dengan bangganya Panglima Umayyah meletakkan kepala bercucuran darah itu di meja istana, setelah sebelumnya diarak keliling negeri Syam (Syiria, sekarang) sebagai pemberitahuan kepada publik. "Inilah nasibnya jika kalian melawan kepada khalifah, kepada Amirul Mukminin Yazid bin Muawiyyah", begitu teriaknya dari pelana kuda sambil membawa potongan kepala cucu Nabi tercinta keluar masuk kampung.

catatan sejarah menorehkan luka. Ibu-ibu dan siapa pun yang melihat kegilaan itu segera menutup jendela rumahnya. Tak tahan melihat kekejaman panglima. Tak menyangka akan seburuk itu perlakuan terhadap cucu rasulullah saw. Hanya karena perbedaan visi politik. Hanya karena Husein bin Ali beserta anak, istri, juga adik dan sekitar 70 pengikut menapak di Padang Karbala. Mendirikan kemah dan tak memiliki persenjataan perang memadai. Keluarga mulia itu (ahlul ba`it) ingin agar khilafah bukan diturunkan secara linear berdasar pola patrilineal, melainkan melalui pemilihan yang bebas dan terbuka. Atau setidaknya sebagaimana saat Ali bin Abu Thalib didapuk menjadi khlalifah meneruskan Utsman bin Affan.

Namun Karbala adalah darah dan air mata. Bahkan hingga kini, berabad kemudian...
Salahkah bila keturunan Imamusysyahid Husein bin Ali melihat kekejaman Karbala sebagai pemutusan keturunan Rasulullah saw? Dan gejolak perbedaan itu terus menganga, setidaknya ketika Iran (Persia) didominasi kaum Syi`ah yang berbeda dalam beberapa hal dengan Suni. Namun dunia terhenyak saat Imam Ayatullah Rohullah Khomeini pada 1979 berhasil memperdaya AS dan menghentikan diktatorial Syah Reza Fahlevi.

DUNIA berubah opini menyukai Iran, menyukai Presiden saat ini Ahmadinejaz yang berani kendati ia moderat. Menghargai keberanian Iran dengan program nuklirnya, dan seterusnya...