Kamis, 09 Desember 2010

JONI MEMAHAT TUNGGUL





Oleh Dadang Kusnandar

POTONGAN batang pohon jangan dibakar di depan JONI (44). Daripada jadi arang, serahkan saja kepadanya. Pria sederhana dan lebih asik ngobrol berbahasa Cirebon ini, mampu mengubah potongan batang pohon menjadi barang seni. Pahatan dan ayunan kapak kayunya bisa memenuhi keinginan Anda. Kolektor seni pahat kayu atau pencinta seni rupa atau siapa pun Anda, akan tertegun melihat karya pahat dan ukir kayunya.

Saya tergolong kelompok mutaakhir mengenal Joni. Akhir Ramadhan 1431 H malam dalam mendung yang rapat, bersama fotografer Ipon Bae dan peniup suling Moell Bulu, sosok dan karya pahat Joni mengusik. Di Sanggar GARDU UNIK Kelurahan Kalijaga Kecamatan Harjamukti Kota Cirebon, Joni sudah empat tahun mangkal.

Pertemuan kali ini dengan Joni berbarengan FESTIVAL JAGAKALI Sabtu 25 September 2010 - Minggu 26 September 2010 di Sanggar Gardu Induk, dekat situs kera Kalijaga. Obrolan yang berawal dari kepiawaiannya menyulap seonggok batang kayu menjadi kursi ukir, meja, atau apa saja selera pemesan ~membuat saya terhenyak menyaksikan aktivitas memahat dan mengukirnya.

Tangan terampil itu begitu memukau mengayun kapak kayu dan menggerakkan mata pahat ke objek di depannya. Beruntung Koran Kompas, Kabar Cirebon, Radar Cirebon, Trans7, TV One, dan Cirebon TV telah menulis dan menayangkan sosok Joni. 

Sejak usia 10 tahun, Joni senang seni pahat. Belajar pahat secara otodidak lantaran pendidikan formalnya hanya sampai kelas 3 (tiga) Sekolah Dasar, itu pun tak sampai naik kelas. Namun saudara dan keluarganya berkata, "Jon, pantes bae ira ...bisa mahat! Bapa tua sira seng mimi bengen ilok gawe pariasi-pariasi pedati." Artinya, "Jon, pantas saja kamu mahir memahat! Kakek kamu dari ibu dahulu sering membuat variasi/ ornamen seni pahat pedati."

KOTA Cirebon tahun 1970, saya suka bergantung di belakang pedati yang ditarik kerbau. Mengangkut pasir, bata, atau karung apa saja sesuai transaksi, pedati kerbau melintas di jalan aspal kota. Saya tidak tahu, jangan-jangan ornamen pahat/ ukir yang ada di pedati itu adalah karya kakeknya Joni. Jangan-jangan roda pedati itu pun buatan sang kakek.

Kemiskinan yang mengepung orang tuanya membuat Joni harus banting tulang, bekerja serabutan, seperti menjadi abang becak, tukang las, buruh bangunan, dan buruh petani. Kenapa? "Saat saya jatuh cinta kepada perempuan, perlu uang. Apalagi ka...mi keluarga miskin yang sejak remaja harus menghidupi diri sendiri," ungkap Joni.

1988 Joni menikahi Robi'ah (kini 41 tahun) dan dikaruniai dua anak lelaki dan seorang perempuan. Kesulitan dan kebutuhan ekonomi keluarga itulah penyebab Joni bekerja serabutan.

Tahun 1995 ia kembali memahat. "Saya ingin memahat sampai mati," katanya.

Hasilnya, sebuah sanggar di Jatiwangi milik Arif mempekerjakan Joni pesanan kolektor seni asal Australia. Berdua dengan Karya, memproduk seni pahat kontemporer dari bahan dasar batang pohon sebanyak 13 buah sepanjang @ 3,5 meter. Tak sombo...ng Joni bertutur sudah ribuan karya lahir dari tangannya. Di antaranya dibawa ke Australia, Korea Selatan, dan Taiwan.

15 tahun perjalanan Joni memahat, membawanya kepada dua kali pameran di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan sekali di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Tersering, pameran di Cirebon.

Lelaki yang tampak lebih tua dari usianya itu, waktu kecil juga suka memandang/ mengagumi pahatan yang ada di wayang golek serta wayang kulit. Termasuk juga topeng. Ia hanya senang tetapi tidak mengerjakan pembuatan wayang golek dan wayang kulit. "Poko'e isun seneng segala jenis seni pahat, utama'e seng kayu." Saya senang segala jenis seni pahat terutama dari kayu.

TUNGGUL adalah nama tambahan atau julukan teman-teman di Sanggar Gardu Unik. Maka teman-teman memanggilnya : JONI TUNGGUL. Berseloroh, saya sebut dia JONI PAHAT. Dia menjawab, "Panggil JONI MALING pun, boleh ang. Paling pog (maksimal) malin...g tunggul atau kayu bekas."

Namun diam-diam Joni suka maling juga. Maling dalam pengertian maling waktu. Misalnya, orang lain tidur tujuh jam sehari, ia maling waktu 2 - 3 jam untuk memahat. Untuk memperkaya batin, Joni mengamati filosofi ulat, singkong, dan keong/ siput.***