Rabu, 05 Mei 2010

Tentang PKI : Cirebon dan Sebagainya

Pemberontakan PKI di Madiun dapat dikatakan merupakan puncak pengkhianatan kaum komunis dalam kurun waktu 1945 – 1948, karena sebelumnya, yaitu akhir tahun 1945, terjadi pula perebutan kekuasaan Republik Indonesia oleh kaum komunis yang dikenal dengan Peristiwa Tiga Daerah".

Adapun yang dimaksud dengan peristiwa tiga daerah di Jawa tengah, pada bulan Desember 1945 tersebut adalah sebagai berikut :
Pada akhir Oktober sampai awal Desember 1945, di Jawa Tengah muncul gerakan komunis yang dikenal dengan sebutan “Peristiwa Tiga Daerah”, yakni di Tegal, Brebes, dan Pemalang yang berpusat di Desa Talang, Kabupaten Tegal. Para petualang politik berhaluan komunis berhasil menghimpun massa dan berusaha merebut kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia dengan cara kekerasan di tiga daerah tersebut. Massa di daerah-daerah Slawi, Pemalang, dan Brebes dapat dipengaruhinya, tetapi kota Tegal masih dalam penguasaan satuan-satuan Tentara Keamanan Rakyat XVII (TKR XVII). Pada tanggal 17 Desember 1945 segera setelah dilakukan serangan pembersihan oleh Resimen TKR XVII, maka situasi keamanan di tiga daerah tersebut berhasil dipulihkan.

Pada tahun-tahun berikutnya orang-orang komunis secara perseorangan menyusupi organisasi-organisasi non komunis. Mereka masuk bukan untuk membantu, melainkan untuk memanfaatkan organisasi tersebut agar dapat menyusun kembali kekuatan baru guna merebut kekuasaan pada saat yang tepat di kemudian hari. Dalam kehidupan politik pada saat itu, kaum komunis bersikap pasif dan belum muncul secara legal ke permukaan melalui kegiatan-kegiatan terbuka pasca gagalnya pemberontakan di tiga daerah tersebut.

Mereka hanya menampakkan individu-individu untuk duduk dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), badan-badan pemerintahan, atau partai-partai poitik dengan menyembunyikan identitas dirinya.
Taktik bersembunyi dan tertutup itu tidak sepenuhnya disetujui oleh kader-kader komunis yang ada. Sebagian orang-orang komunis, yang dipimpin Mohammad Jusuf, menentang sikap lunak tersebut.

Pada bulan Januari 1946, mereka tampil dan bergerak secara terbuka melakukan pemberontakan di daerah Cirebon melawan Pemerintahan Republik Indonesia. Pada bulan Februari 1946, pemberontakan golongan komunis itu dapat digagalkan. Orang-orang komunis yang tidak setuju dengan pemberontakan tersebut karena merasa belum siap muncul akibat kekalahan pemberontakan mereka di tiga daerah sebelumnya “mengutuk” penyelewengan yang dilakukan oleh Mohammad Jusuf agar terhindar dari dugaan keterlibatan dalam pemberontakan di Cirebon tersebut.

Sehingga dalam sejarah perjalanan bangsa ini, dapat dilihat sudah berulang kali kaum komunis melakukan pemberontakan walaupun selalu berhasil digagalkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.



Genjer-Genjer


BEGITULAH atas nama kekuasaan, segala sesuatu yang berbau “trade mark” partai politik tertentu jadi terlarang, meski tidak paham benar makna Genjer-Genjer dalam kehidupan rakyat kecil. Boleh jadi mars (lagu) yang mengiringi acara pembuka hajat suatu parpol sekarang terilhami Lagu Genjer-genjer yang merakyat itu.

Tanaman Genjer sendiri juga pernah saya dapatkan tumbuh subur di lahan hijau sebuah kompleks perumahan polri yang berbatasan dengan stasiun KA Prujakan Cirebon. Kami menyebutnya Kebon Kangkung, karena tanaman kangkung yang dominan di lahan itu; genjer dan bunga teratai hanya sedikit. Waktu kecil bersama teman sepermainan kami suka memetik Genjer, bukan untuk dimakan lantaran tidak mengerti — bahkan yang terekam cuma satu: Itulah tanaman yang “dilembagakan PKI”.

Meski kami tidak paham pergulatan 1965 di Indonesia, namun cerita tetangga tentang mudahnya tentara menyeret seseorang tanpa proses hukum hanya karena ia sempat berhubungan dengan orang PKI; masih terngiang di telinga. Sampai sekarang! Betapa tangis istri yang tiada berarti ketika suami yang dicap PKI itu dinaikkan ke mobil pick up tentara, seterusnya ada yang ditembak dan ada yang menghuni sel penjara hingga puluhan tahun.

Tetangga saya, mantan aktivis BTI pernah melihat orang yang “di-PKI-kan” ditembak di kebun kosong di suatu tempat di Kecamatan Arjawinangun. Ia berujar, “Saya tidak kuat melihat bagaimana orang PKI ditembak, karena tidak seketika mati seperti biasa ditayangkan film-film dan televisi. Bung tahu ayam yang disembelih, ya kira-kira seperti itu. Bergerak-gerak kesakitan saat meregang nyawa”.

Lain lagi cerita kawan mantan tahanan politik yang “di-PKI-kan”. Selain siksaan fisik yang diterimanya sepanjang masa tahanan di Rumah Tahanan Militer Kotapradja Tjirebon, istrinya yang cantik sering diperlakukan tidak senonoh oleh petugas penjaga rumah tahanan militer. Pelecehan seks, bahkan adanya negosiasi (semacam barter) mengurangi hitungan masa tahanan sang suami dengan tubuh molek istrinya. Katanya, hampir semua penjaga mencicipi tubuh istrinya di rumah tahanan milter itu.

Ketika kami bertemu seusai shalat Zhuhur di mesjid agung Kasepuhan Cirebon, ia menuturkan kisah pilu nan tragis ini dengan berurai air mata. Ia yang kini memasuki usia 60-an rajin beribadah, memasrahkan diri kepada ilahi serta merasa jengah ketika harus berhadapan dengan tetangga yang diam-diam masih menyebutnya Orang PKI. Walau tak terucap, dia tahu dari sorot mata orang yang memandangnya dengan setengah hati dan tatapan agak sinis.

“Dadang, kau harus tahu”, ujar mantan tahanan politik pada sebuah sore di rumahnya. “Jangan pandang orang dari penampilan luar. Jangan tertegun karena seseorang rajin shalat berjama`ah di mesjid, lantas kamu katakan dia orang soleh. Ini, abah, 16 tahun meringkuk di rumah tahanan militer karena dicap PKI oleh orang yang rajin shalat berjama`ah di mesjid di kampung (RW) ini”, katanya sambil mengenang.

Begitulah, abah yang kini tiada, sejak 1966 s/d 1982 berstatus tahanan. Abah sebelum ditahan bekerja sebagai staf administrasi Bupati Cirebon, Harun. Mungkin lantaran Bupati Harun mengkoordinir dan memobilisasi massa bagi pergerakan PKI di Cirebon, maka semua staf di lingkungan kerjanya di PKI kan oleh penguasa saat itu. Pada mulanya, sebuah coretan tanda silang di tembok belakang rumah abah, lantas orang yang satu RW melaporkan abah kepada dua tentara. Dalam waktu sesaat, abah diangkut ke mobil tentara terus digiring ke rumah tahanan militer tanpa proses hukum.

Saya ingat sewaktu SD saya suka mengantarkan nasi dan lauk pauk untuk abah ke sel tahanannya. Biasanya kalau disuruh ibu atau disuruh istri abah. Bertemu abah di sel tahanan dengan kostum spesial warna birunya, ketika itu saya tidak paham kenapa abah ditahan. Rumah abah yang berjarak dalam hitungan langkah kaki dari rumah saya menjadi sebab dekatnya pertautan kami. Abah pula yang kerap memberi nasihat hidup kepada saya. Tapi kini rumah abah sudah dijual karena istri abah mau pergi haji ke Mekkah.

Duh Gusti, jangan sampai terulang kisah buram seperti itu lagi di negeri yang katanya dihuni orang-orang yang cinta damai dan menghargai sesama.

Dicabutnya PP 25 Tahun 1966 oleh Gus Dur tentu saja menggembirakan banyak orang. Betapa diskriminasi yang terus dilakukan negara kepada ex tapol PKI berakhir di tahun 2000. Penantian panjang hanya untuk mengembalikan stempel kewarganegaraan di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tetapi selsaikan persoalan ex tapol PKI sampai di situ?

Genjer-genjer, lagu berbahasa Jawa yang sempat dipopulerkan Lilis Suryani ciptaan Ki Narto Sabdo itu kini mengalun lagi. Sejumlah mempertanyakan pelarangan lagu itu serta stigma PKI di dalamnya. Padahal genjer adalah makanan alternatif bagi masyarakat miskin ketika Jawa didera kemiskinan panjang, ketika rakyat harus makan bulgur, ketika antrian untuk memperoleh segantang minyak tanah jadi pemandangan keseharian.

Kreativitas masyarakat miskin menemukan jenis makanan pada masa pailit seharusnya mendapat respon positif bukan malah dikait-kaitkan dengan politik. Kebersamaan masyarakat miskin mengkonsumsi genjer wajar jika kemudian menginspirasi seniman mencipta sebuah lagu. Lagu kerakyatan yang di dalamnya termuat keberanian dan tekad menghadapi tantangan hidup, betapa pun kerasnya. Betapa pun harus makan bulgur dan sayur genjer.

Ciri khas komunitas tertindas (mustadh`afin) antara lain adalah rasa kebersamaan yang mengikat untuk mengubah nasib, untuk secara bersama-sama keluar dari tekanan hidup. Tak pelak, tanaman genjer sebagai alternatif pengganti lauk pauk diminati kaum tertindas. Mereka sesunguhnya kreatif, tidak menyulitkan pemerintah, tidak menuntut segera disediakan makanan instan dan sebagainya; tetapi berusaha sendiri keluar dari kesulitan. Meski pun yang dikonsumsi adalah jenis makanan yang tidak layak, namun sebagai upaya pertahanan hidup, itulah kiranya yang patut dihargai.

Dengan demikian tidak ada alasan mempertentangkan genjer-genjer dengan PKI. Tidak ada alasan pula melarang memperdengarkan lagu Genjer-genjer di tengah masyarakat. Sebaliknya, lagu yang menafasi ribuan kaum miskin itu seharusnya dilembagakan sebagai etos kerja, olah kreatif dan kondisi faktual masyarakat miskin Jawa yang hendak terus bertahan hidup.****

Pusat Sejarah TNI : 12 Februari 1946
Pemberontakan PKI di Cirebon


Pada tanggal 7 November 1945 lahir Partai Komunis Indonesia (PKI) di Cirebon dibawah pimpinan Mohamad Joesoep dan Mr. Suprapto. Pemunculan PKI pimpinan Mr. Mohamad Joesoep ke permukaan selain legal tidak disetujui oleh kelompok lain. Kondisi sosial politik di Cirebon pada awal revolusi tidak stabil. Hal ini karena adanya pertentangan antara golongan moderat dengan golongan revolusioner mengenai cara untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan. Situasi yang demikian dimanfaatkan oleh PKI untuk menguasai kondisi politik dalam rangka persiapan rencana pemberontakan. PKI melalui pimpinan Joesoef berusaha menarik simpati rakyat Cirebon dan menyadari bahwa untuk melakukan pemberontakan belum kuat. Oleh karena itu didatangkanlah Laskar Merah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan dalih menghadiri konperensi dengan tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat.

Pada tanggal 9 Febrauri 1946, rombongan PKI dan Laskar Merah dari luar daerah tiba di stasiun kereta api Cirebon. Mereka bersenjata lengkap dan menginap di hotel Ribrink pada tanggal 12 Februari 1946. PKI menyebarkan isu bahwa Polisi Tentara telah melucuti anggota Laskar Merah yang baru datang dari Jawa Tengah di stasiun Cirebon. Polisi Tentara Cirebon Letda D. Suudarsono datang ke stasiun menemui seorang bintara jaga untuk memastikan kebenaran isu tersebut. Namun sesampainya di stasiun, ia disambut dengan tembakan-tembakan, ia dikepung oleh pasukan Laskar Merah dan akhirnya ditawan dan dibawa ke Markas Polisi Tentara Kabupaten di Hotel Phoenic. Selanjutnya dalam upaya PKI menguasai pemerintahan, kekuatan bersenjata di Cirebon dilucuti, tentara ditangkap dan dijadikan tawanan.

Seluruh kota dikuasai oleh Laskar Merah, tindakan-tindakannya semakin brutal, merampok dan menguasai gedung-gedung vital. Untuk mengatasi aksi-aksi PKI ini, Panglima II/Sunan Gunung Jati Kolonel Zainal Asikin Yudadibrata segera mengambil tindakan. Ia mengirim utusan untuk berunding dengan Mr. Mohamad di Hotel Ribrink. Pihak PKI dalam perundingan ini berjanji akan menyerahkan senjata-senjata hasil rampasan esok harinya, tetapi janji ini tidak ditepati. Karena perundingan gagal Panglima Divisi II meminta bantuan pasukan dari Komandan Resimen Cikampek untuk dikirim ke Cirebon, maka dikirim 600 prajurit Banteng Taruna dipimpin Mayor Banuhadi. Akhirnya tanggal 13 Februari 1946 dilakukan penyerbuan yang pertama oleh pasukan gabungan dari TRI, Polisi Tentara dan pasukan lain untuk merebut pos-pos pertahanan PKI dan Markas pemberontakan di Hotel Ribrink. Penyerbuan yang pertama ini gagal karena persenjataan di pihak TRI dan kawan-kawan kurang, sedangkan senjata musuh lengkap. Pada tanggal 14 Februari 1946, dilakukan penyerbuan yang kedua kali yang dipimpin langsung oleh Komandan Resimen Cikampek Kolonel Moefreini Moekmin dan berhasil melumpuhkan lawan sehingga pasukan PKI menyerah. Pimpinan pemberontak Mr. Mohamad Joesoep dan Mr. Suprapto berhasil ditangkap kemudian diajukan ke pangadilan tentara.

PKI dan Kambing Hitam

Ideologi ini muncul sebagai manisfestasi kondisi sosial ekonomi global pada saat itu. Ingat bahwa paham sosialis pada saat itu merupakan paham terbesar kedua setelah paham demokrat kapitalis, meminjam paparan Tatang juhata. Berawal dari kunjungan Bung Karno ke Rusia sekitar tahun lima puluhan, ketika itu sedang turun hujan salju, tetapi Presiden Uni Sovyet pada saat itu menyambutnya dengan upacara kebesaran militer dan mendapat pelukan hangat dari seorang pemimpin negara adidaya terbesar saat itu. Hal ini jauh berbeda dengan penyambutan ketika Bung Karno berkunjung ke AS presiden sebelum JFK mempersilahkan Bung Karno untuk menunggu di ruang tunggu istana, kemudian beliau langsung pulang ke tanah air. Kalau ditinjau dari segi solidaritas dan kemanuasian sudah jelas bahwa pada saat pergolakan itu kecendrungan untuk memilih teman adalah Uni Sovyet, sebagai poros ajaran sosialis.

Kerjasama ini terus berlanjut puncaknya waktu perebutan Irian Barat dari Belanda. Pada saat itu kita tidak punya uang, kemudian minta bantuan ke Uni Sovyet persenjataan dll. Uni Sovyet menyetujui tapi mengajukan 3 syarat :
1. Beri kebebasan PKI seperti partai-partai yang lainnya di Indonesia.2. Bebaskan Hegemoni Inggeris di kawasan Asia Tenggara 3. Galang Dunia Ketiga

Seperti kita ketahui bahwa Bung Karno adalah seorang ksatria sejati, pantang menjilat ludah sendiri, menyetujui tawaran tersebut. Kemudian terjadi Ganyang Malaysia, yang sebenarnya malaysia sangat di untungkan karena
saat itu negara Inggeris memberikan kemerdekaan beberapa tahun kemudian dan wilayah serawak menjadi bagian dari malaysia. Sebenarnya Indonesia mengganya propaganda ganyang malaysia sebagai taktik politikus seorang putra sang fajar. Hal ini terbukti dengan berpelukannya Bung Karno dengan Sir Datuk Tengku Abdurrahman (PMI Malaysia) di Jepang, bahwa perjuangan Bung Karno adalah Iklas demi kemerdekaan Malaysia.
Dalam sebuah kunjungan wartawan senior Media Indonesia ke desa-desa pedalaman di Malaysia banyak pendududk memasang gambar Bung Karno di bandingkan gambar Mahatair, mereka tahu bahwa bahwa bung Karno adalah seorang ksatria.

Dan kenapa bung Karno tidak membubarkan PKI sampai beliau di Kudeta oleh Soeharto, karena jiwa ksatrianya tadi, dan akan terjadi politik balas dendam kalau dia sampai membubarkan PKI dan itu terbukti setelah Soeharto membubarkan PKI ada sekitar 4 juta penduduk Indonesia di bantai oleh ABRI dan NU serta sipil yang lainnya (catatan dari HAM PBB).

Mengenai hubungan TAP MPRS XXV Th 1966 untuk dicabut atau tidak, melihat bahwa hubungan bahwa politik adalah dagangan maka paham komunisme akan sangat-sangat tidak laku untuk dijual. Jdi menurut saya tidak ada pengaruhnya bahwa TAP tersebut dicabut atau tidak. Dan kalau saya lihat bahwa ini politik GUS DUR untuk meningkatkan perolehan suara PKB sebagai salah satu partai yang mendukung pencabutan TAP tersebut. Karena ada kemungkinan pemilihan Presiden akan dipilih secara langsung.

Pelarangan Buku : Aku Bangga Jadi Anak PKI

Alergi terhadap ajaran komunisme tetap berlanjut. Buku Aku Bangga Jadi Anak PKI dilarang beredar.

Wakil Presiden Hamzah Haz bak kebakaran jenggot. Apa sebab, sebuah buku mengusik diri Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan ini. Buku yang dimaksud adalah karangan dr. Ribka Tjiptaning Proletariati. Judulnya memang dahsyat : Aku Bangga Jadi Anak PKI (ABJAP).

Apakah isinya sebanding dengan keberanian judulnya? Kalau boleh dikata, isi buku tulisan putri RM Soeripto Tjondrosaputro - pengusaha dari kalangan ningrat Solo yang menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) ini tidak terlalu istimewa. Dari tulisan sepanjang 178 halaman, hanya 16 halaman pertama yang menceritakan kehidupannya dalam sebuah keluarga komunis.

Halaman-halaman awal buku itu menceritakan ayah Ribka yang berasal dari kalangan bangsawan, namun tetap bisa menjadi "komunis sejati" yang dekat dengan rakyat.

Toh bagi Hamzah, judul buku karangan Ribka seolah mencerminkan isi buku secara keseluruhan. Bagi Wapres, jika untuk urusan ilmu pengetahuan, buku semacam itu tidak menjadi masalah. Tapi jika sudah disebarkan kepada masyarakat, Hamzah menilai itu jadi masalah.

Karenanya, Hamzah meminta perlu diketahui apa motivasi peluncuran buku ABJAP. "Saya sudah katakan, kita negara Pancasila sehingga masyarakat kita religius. Tapi, bukan berarti kita negara agama. Di dalam operasionalnya, ada Departemen Agama. Dan , penjabaran di preambule (UUD 1945) ada bagian tentang agama. Tidak berhak komunis di Indonesia. Itu jelas ada pengalaman kita. Ada peristiwa Madiun, G30S/PKI," sambungnya lagi.

Rumah Tahanan Militer

Empat bulan saya dikurung di Rumah Tahanan Militer", katanya pagi ini. Teman berusia 63 tahun itu sambil terenyuh menuturkan pengalaman pahitnya di tahun 1969. Kotapraja Tjirebon 1969, mungkin tak beda dengan kota lain di Indonesia dalam hal perlakuan terhadap tahanan. Pemerintah saat itu kerap salah tangkap orang, tanpa proses hukum -- apalagi keadilan.

Tidak berselang lama paska G30S PKI 1965, cukup dengan tanda silang di tembok rumah (bahkan di bagian belakang), kepala keluarga di rumah tersebut dicap PKI. Siapa yang bisa mengelak? Pendekar HAM mana yang akan membela ketika stigma makar diterakan kepada PKI?

Tulisan ini tidak membahas tahanan politik secara utuh, tapi bersandar atas cerita teman saya di atas, Dar yang digiring ke Rumah Tahanan Militer (RTM) lantaran dituduh menggasak uang bandar Erek-Erek -- jenis perjudian legal masa itu. Dar digelandang pukul 9 pagi dari rumah orang tuanya, Grubugan samping Keraton Kasepuhan Cirebon, tanpa konfirmasi. Katanya, "Saya dituduh memeras bandar Erek-Erek dan dilaporkan mengenakan pakaian dinas angkatan bersenjata".

Lebih kurang Dar bertutur demikian. Empat bulan di RTM rasanya lama sekali. Pukulan, tendangan merupakan sarapan pagi, makan siang, dan makan malam. Kedua tangan pun tidak merasa sakit saat dipukuli karena telah imun, alias terbiasa menerima siksaan sehingga kebal dari rasa sakit. Bibir tidak bisa dibuka. Kalau makan disuapi tahanan lain yang baik padanya. Saking seringnya menerima siksaan, kedua tangannya tidak bisa digerakkan. Posisi tangannya seperti orang menahan rasa dingin yang akut.

Sambil guyon Dar berkata, "Saya seperti Raja. Baju dipakaikan sesama teman tahanan. Memasukkan anak kancing pun tidak sanggup". Setelah mengenakan baju, semua tahanan "sarapan" pagi seusai menerima aba-aba APEL. Sarapan pagi dipukuli petugas RTM. Gagang pistol pun dihantamkan ke muka. Mohon maaf tak akan ditulis di sini jenis penyiksaan lainnya.

Ketika Dar menyapu dan ngepel di RTM, teman Dar menengok orang tuanya yanng dituduh PKI di RTM. Pur bertanya, "Ada di sini, Dar?". Dengan berseloroh Dar menjawab, "Lagi nengok tahanan". Orang tua Pur seketika menyangkal, "Dar tahanan di sini". Dar lupa ia ngepel tepat di depan sel tahanan orang tua Pur.

Hari-hari di RTM bukan hanya hari-hari siksaan. Untuk melihat suasana luar RTM pun, Dar mesti berpura-pura ikut kerja bakti. Dengan begitu ia bisa melihat jalan raya. Dar tidak menangis tatkala pukulan dan tendangan singgah ke tubuhnya atau mukanya; namun ia menangis melihat tahanan lain yang dipukuli petugas di depan matanya.

Ibu muda membawa bayi yang baru lahir sebulan ingin memperlihatkan buah hatinya kepada suami yang ditahan di RTM dengan tuduhan PKI. Petugas RTM melarang ibu itu. Ibu muda menangis, suaminya juga menangis. Dar ikut menangis. "Bayangkan, ini sudah di luar batas kemanusiaan!".

Perempuan cantik calon istri seorang tahanan datang menengok pacarnya. Petugas tertarik pada kemolekannya. Sepulang sang cewek, tahanan itu dinego. Kalau ingin bebas, pacar kamu aku setubuhi. Gila memang. Teman Dar mengijinkan dan pacarnya pun mau lantaran sebentar lagi menikah. Dalam tempo sebulan tahanan telah dibebaskan dari RTM. Tentu saja setelah berulang kali menyetubuhi pacarnya yang molek itu. Mereka pun menikah.

Wajib lapor sekali sepekan ke kantor militer terus dilakukan ex tapol. Saat melapor itulah, petugas RTM berkata, "Bawa sini pacar kamu!". Lebih mirip perintah daripada pertanyaan. "Kami sudah menikah pak". "Untung saya sudah titip kuping", tambah petugas sambil tertawa.

Saudara kandung tidak ada yang mau menengok Dar. Tahanan dengan tuduhan pemerasan agaknya mencoreng nama baik keluarga. Tetapi ibunya, meski Jalan Merdeka banjir hingga sepaha orang dewasa, tetap menengok. Ada peristiwa ganjil sesaat setelah sang ibu bezoek Dar di RTM. "Dar tidak apa-apa", kata ibunya. Rasa sakit di persendian pingganng Dar seketika sirna. Bibir yang tidak bisa dibuka, mendadak bisa bicara. Tapi begitulah RTM. Sepulang ibunya, Dar "makan siang" bogem mentah. Begitu seterusnya selama empat bulan.

"Saya berlinang air mata ketika dari mesjid terdengar suara orang bertakbir, tahlil, tahmid, dan tasbih. Ah, malam lebaran yang buruk. Pandangan mata hanya berakhir ke tembok RTM. Ingat ibu yang tak lepas mendo`akan, ingat saudara kandung yang tidak menengok, ingat pacar yang kabur". Dar pun berdo`a, "Ya Tuhan, kalau saya bebas tetapi cacat lebih baik saya mati di sini".

Kisah ini saya tulis sebagai kenangan pahit, betapa dengan mudah penangkapan warga negara Indonesia tanpa proses hukum. Tahun-tahun pahit dalam sejarah awal Orde Baru. Jika terhadap tahanan yang dituduh pelaku pemerasan saja begitu hebat siksaan yang harus diterima, terlebih terhadap tapol yang diterakan kata PKI. Di kampung Anda, teman-teman yang budiman, bisa menggali cerita apa saja jika kita mau mendengar kisah orang lain.

Kisah ini merupakan pelajaran pahit betapa kebencian terhadap satu kelompok tertentu (lantas diterakan sebagai telah melakukan tindakan makar terhadap negara dan hendak mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain) menelan banyak korban. Korban yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa menyangkut kegiatan yang menggegerkan jagat. Korban yang sesungguhnya hanya berpikir sederhana, bahwa saat itu kebetulan ia bekerja di PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api) atau menjadi kepercayaan kepala daerah (bupati) namun tidak tahu jikalau atasannya terlibat dalam organisasi (yang dilarang pemerintah).

Kisah ini merupakan cermin betapa mudahnya aparat negara memperlakukan orang sipil tanpa prosedur hukum, hingga korban yang tidak tahu benar organisasi itu (PKI) harus mendekam selama puluhan tahun di tembok penjara, bahkan dideportasi ke Pulau Buru. Jika melihat bagaimana mereka setelah mendapat remisi pemerintah akhirnya menjadi orang yang kikuk dan soliter (menjauh dari kehidupan ramai) serta tidak bersosialisasi, lantaran masih banyak yang mengatakan, “Jangan dekati dia, awas dia orang PKI”. Begitulah, pembaca budiman.....16 tahun dalam status tahanan politik lantas kembali ke masyarkat namun tidak diterima di tengah pergaulan sosial, agaknya jauh lebih perih ketimbang saat ditahan. Barangkali inilah penyebab banyak eks tahanan PKI Pulau Buru yang tidak mau kembali ke Jawa.

Kita tidak ingin kisah seperti itu terulang kembali. Politik sekali lagi jangan dikambing hitamkan, apalagi dibenturkan dengan kekuatan militer.

Sebuah tragedi kemanusiaan terjadi. Di atas tanah yang kita pijak, di atas gedung-gedung pemerintah dan perusahaan multinasional bertumpuk tulang-belulang dari orang-orang yang tak berdosa. Kuburan-kuburan massal tanpa batu nisan membuka mata dunia bahwa peradaban Indonesia telah dibuka dengan banjir darah, perampokan mimpi dan harapan serta penjarahan massal. Kita berhutang kepada para martir yang memperjuangkan kemandirian dan kebersahajaan bangsa dan negeri ini. Kita berhutang kepada para korban dan keluarganya yang masih berdiri tegak, tampilkan kemanusiaannya, di tengah kebejatan moral para jagal dan maling pengikut Orde Baru. Buat para individu maupun organisasi-organisasi perlawanan terhadap kapitalisme global, buat para pejuang dari berbagai latar belakang: Agamis, Nasionalis, Sosialis, Komunis, maupun Anarkis; bersatulah. Kenalilah musuh sebenarnya, yaitu dajjal Neo-Liberalisme yang sudah menancapkan kuku-kukunya di seluruh penjuru dunia.