Senin, 12 Oktober 2009

32 Tahun yang lalu.............

Catatan Dadang Kusnandar bin Abuyaman bin Enjo Sardjana



SEPEDA ontel Fongers warna hitam milik wak Nani melaju ke sekolahku, smp negeri 3 cirebon di jalan tuparev. Diding dan Nendri membawa kabar duka. Hari itu kamis 11 oktober 1977 menjelang jam 12 siang, saya dipanggil ke kantor guru. Diding dan Nendri teman sepermainan saya di warnasari sudah menunggu di kantor guru. Tanpa basa basi, dengan ekspresi datar namun tampak sedih, diding berkata, "dang jangan kaget, bapakmu sudah meninggal dunia jam 10 an di RSU Gunungjati". Bagai ada petir menyambar kepala saya di siang bolong, saya tergagap dan tak mampu berkata-kata. Bergegas dari ruang guru, saya menuju kelas kakak di 3 f. Ketika saya masuk, teman kakak yang memang suka usil, syaiful anwar berteriak, "bapaknya kamu mati ya?". Saya tidak menjawab, langsung ke meja kakak sodikin, mengabarkan kepergian ayahanda Abuyaman.

SEPEDA jengki Turangga merah dikayuh kakak, saya dibonceng pulang ke rumah dengan kecamuk pikiran dan segenggam ketakutan. Takut atas nasib sekolah setelah ayahanda tiada. Takut bagaimana ibu akan menghidupi 7 bersaudara, sementara adik bungsu kami Heni Eliyasari baru berusia 2 tahun. Diding berbonceng sepeda fongers. JALAN Tuparev Cirebon siang itu 11 oktober dilintasi 2 sepeda. Yang satu pembawa kabar duka. Sepeda kedua, penerima kabar duka yakni saya dan kakak.

SEPEDA Fongers yang mengantarkan kabar duka itu sudah lebih 20 tahun dijual uwak nani kepada pedagang loak Sarmadi alm dengan harga murah, lantaran wak nani butuh segantang beras. Sepeda Turangga merah yang kami gunakan ke sekolah pada 1979 hilang dicuri orang bersama jemuran yang masih basah di samping rumah kami di RT 05 RW 07 Warnasari Kesambi Kota Cirebon. Dua sepeda kenangan, dua sepeda yang berjasa dalam sebagian fase hidup kami hari ini melintas kembali dalam ingatan kecil saya. Ketika motor Honda belum segagah sekarang, ketika motor Yamaha bertubuh kerempeng dan ringkih -- sepeda masih terlihat banyak di parkir sekolah dan instansi lain.

TIGA puluh dua tahun lalu, 11 Oktober 1977 puluhan tetangga, kerabat, dan famili berkumpul di rumah sempit kami. Ada yang menangis, ada yang menampakkan ekspresi getir, dan ada yang sibuk mempersiapkan pemberangkatan jenazah ayahanda ke kampung kelahirannya di Desa Blender Kecamatan Karangsembung Kabupaten Cirebon. Sepupu kami, Soeparno saat itu melepas jenazah ayahanda, di tengah tangis dan pertanyaan adik kami Indah Mirasari, "Bu kenapa bapak tidur terus, kapan bapak bangun?". Tanya yang galau dan tak dijawab, meski Indah sudah 9 tahun. Mungkin belum paham tentang kepergian ayahanda, mungkin juga ekspresi spontan sebagai cara tak ingin ditinggal ayahanda Abuyaman yang pendiam namun pekerja keras itu.

TIGA puluh dua tahun lalu ayahanda kami Abuyaman bin Enjo Sarjana pergi meninggalkan kami selamanya. Saat itu ayahanda berusia 47 tahun 4 bulan. Ayah kami lahir 30 Juni 1930 di sebuah desa kabupaten cirebon. Pekerjaan terakhir kepala bagian keuangan di PT IPPA Dok & Galangan Kapal di area pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sebelum bekerja di situ ayahanda sempat mengelola pabrik kertas di awal tahun 1960 - 1961di Klayan kabupaten Cirebon. Ayah kami seorang berpendidikan tidak selesai kuliah di jurusan teknik sipil Akademi Teknik Nasional (ATN) Jakarta 1956-1969 yang saat itu salah seorang dosennya Profesor Rooseno sang penemu konstruksi cakar ayam, ayahanda juga sarjana muda ekonomi perusahaan universitas swadaya gunung jati cirebon.

TIDAK terasa 32 tahun berlalu. Ayahanda kami yang mengidap penyakit lever akut dan diabet selama dua tahun, dan pergi pulang dirawat di RSUD Gunungjati Cirebon........teringat kembali. Kami kenang ketika lipatan sajadah di akhir shalat Maghrib hari ini dibarengi kiriman surat Al fatihah dan Yaasin, khusus disampaikan buat ayahanda Abuyaman. Kini anak-anak Pak Abuyaman tersebar di banyak kota dengan kegiatan masing-masing. Ada dua yang jadi PNS di Karawang dan Serang, seorang jadi karyawan HPH di hutan Kalimatan Barat, dua jadi ibu rumah tangga, dan dua lagi jadi pekerja serabutan.

Dari balik do`a (mungkin tawasul) sejak siang hari ini Sabtu 11 Oktober 2009, saya berkirim sms kepada adik-adik di Karawang, Cirebon, Tangerang, Serang, juga mengingatkan kepada kakak di Bekasi. Ah sayang sekali, Risnadi ada di belantara Kalimantan Barat sinyal seluler tak mampu menembus masuk ke ponselmu.

TIGA puluh dua tahun yang lalu, seorang pekerja keras dan suka mengajak saya main ke kantornya sekadar untuk mengenal dan menggunakan mesin tik saat saya kelas 3 sekolah dasar, atau naik ke kapal barang yang bertambat di pelabuhan, atau untuk melihat semburat api las listrik ke tubuh kapal yang sedang diperbaiki di dok...........hari ini terkenang kembali dan tak lepas dari ujung penghilatan. Ayahanda yang kadang mengajak saya dan kakak menonton pertandingan sepak bola di stadion Bima Cirebon, mungkin karena saya dan kakak sering nonton sepak bola tanpa karcis; naik pagar besi dan tribun batu lalu dikejar petugas keamanan dengan pentungan rotannya..........hari ini kami 7 (tujuh) anak-anakmu mengirimkan do`a khusus. Disertai kesungguhan dan harapan semoga Allah swt menerima amal baik ayahanda serta menghapus dosa ayahanda.

Ayah, kliping perjalanan haji pada buku tulis bergaris Letjes produksi Probolinggo, memang sudah tak saya lihat lagi di rumah. Kliping perjalanan haji yang kauambil dari Harian Umum Pelita itu, semula diniatkan agar ayahanda paham tentang ibadah haji di tanah suci Mekkah, dan rencana ayahanda pergi berhaji pada 1979 tak kesampaian..........................


(sungguh, saya sedih menulis kenangan 32 tahun lalu ini)

Senin, 28 September 2009

Distribusi Kekayaan Negara

Oleh Dadang Kusnandar

BERBAGAI cara penyampaian kata-kata, ekspresi, dan ajakan saling memaafkan tertarta merangkai kalimat indah pada sms yang saling bertukar sesama saudara dan teman menjelang lebaran idul fitri 1430 H. Idul fitri dan ramadhan terus berulang, begitu juga kata maaf. Agaknya ada pengulangan yang diam-diam kita sukai: idul fitri yang boleh makan minum di siang hari dan menerima/ memberi maaf lantaran kita suka berbuat salah. Idul fitri yang diterakan dengan kesucian insan yang telah sebulan melaksanakan puasa , tarawih, tadarus, dzikir, shadakoh, dan zakat harta --mengingatkan kita tentang satu hal. Yakni ketekunan pada urusan ukhrawi tetap harus dilengkapi dengan urusan duniawi.

Urusan bermanja-manja dengan Tuhan juga harus ditutup dengan kepedulian kepada orang lain. Ibadah di bulan ramadhan ternyata disudahi oleh penunaian zakat fitrah dan zakat harta. Puasa tahun 2009 yang didera suhu bumi yang terus naik, pada akhirnya adalah kepedulian kepada orang lain. Zakat yang kita keluarkan sebagai ibadah sosial senantiasa ingatkan pada distribusi kekayaan warga negara, yang mestinya diatur oleh negara. Zakat dalam pengertian ini adalah empati kita melihat ketimpangan sosial ekonomi dan buruknya distribusi kekayaan negara bagi warganya sendiri. Zakat dan distribusi kekayaan tak pelak jadi bagian penting manifestasi ibadah sepanjang bulan ramadhan.

Distribusi kekayaan negara dalam relasi ini adalah pemenuhan hak-hak dasar rakyat oleh negara: pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik yang manusiawi. Pemenuhan hak-hak dasar itu pun harus disertai oleh ketepatan alokasi dana rakyat yang terhimpun dalam APBN. Pendidikan, kesehatan dan pelayanan publik merupakan tugas utama negara kepada seluruh rakyatnya. Artinya jika negara tidak mampu menyediakan pelayanan publik yang manusiawi dalam hal pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan sebagainya maka negara telah gagal melaksanakan tugasnya sebagai pelayan publik. Kegagalan yang terus berulang ini semestinya berakhir karena tiap tahun selalu bertemu dengan bulan ramadhan yang mengajarkan kesalehan dan kearifan sosial. Dengan kata lain belajar dari ramadhan, terutama distribusi zakat harta di ujung ramadhan, pemerintah dapat mempeljari sistem zakat ini bagi kepentingan warga negara.

Jika ratusan tahun silam saja pemerintahan/ khilafah islamiyah telah mampu melaksanakan distribusi kekayaan negara kepada seluruh warganya, sungguh tepat jikalau ide dasar ini diadopsi, dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat indonesia. Angka kemiskinan yang masih membuat kita giris, dalam hitungan puluhan juta orang dan puluhan persen dari jumlah rakyat, seharusnya dapat segera tertangani apabila didukung kebijakan publik untuk segera keluar dari kemelut kemiskinan. Apabila seluruh pejabat negara TIDAK menghamba kepada pemenuhan finansial dirinya, dan apabila pemerintah mengajak warga negaranya untuk sama-sama menjadi kaya raya menikmati kekayaan indonesia yang melimpah itu.

Di sisi lain juga harus ada political will kepala negara dan kepala daerah untuk membatasi penggunaan anggaran bagi kebutuhan sekunder. Pada contoh sederhana, pejabat yang telah memiliki kendaraan pribadi tidak harus menerima kendaraan dinas. Demikian pula halnya dengan rumah dinas dan sebagainya. Kita sungguh terperangah ketika mendengar pemda di indonesia menjual mobil dinas kepada pejabat yang telah menggunakan kendaraan tersebut dengan harga murah. Dan dalam waktu tak lama pemda membeli lagi kendaraan-kendaraan dinas bagi pejabat baru. Apresiasi atas kerja pejabat bukan diukur oleh pembelian sejumlah benda, melainkan penghargaan atas karya nyata. Artinya jikalau sang pejabat tidak menunjukkan prestasi apa pun selama masa kerjanya, maka buat apa diberi sejumlah benda; terlebih bila ia pun sudah memiliki benda yang sama.

Redistribusi kekayaan negara dapat dilakukan melalui langkah berani kepala daerah untuk memangkas dana-dana rakyat bagi pos-pos yang tidak simultan bagi penanganan kemiskinan rakyat. Belajar dari sepenggal kisah Jendral Sudirman yang menolak makan semangkok sup ayam sementara anak buahnya mengkonsumsi ubi, padahal beliau tengah sakit -- adalah bentuk kepemimpinan seorang yang mau sama-sama merasakan keprihatinan bersama. Zakat dan atau pajak maupun retribusi rakyat seharusnya mampu mengurangi jumlah kaum miskin di indonesia. Sungguh sulit dibayangkan bila suatu saat orang miskin berkata: kami tidak butuh harta kalian, kami ingin darah kalian! Inilah kejadian yang mengilhami penyerbuan Penjara Bastille menjelang Reolusi Prancis yang monumental itu.

Orang miskin sesungguhnya tidak menuntut banyak kepada negara, kecuali kemudahan perolehan hak-haknya sebagai warga negara. Kaum miskin yang terus menerus jadi objek itu mestinya dipulihkan dari ketertinggalannya. Untuk kaum miskin tidak ada yang lebih berharga selain wujud Undang-undang dan peraturan daerah yang berpihak kepada publik. Mereka hanya ingin agar pengelolaan kekayaan indonesia itu tidak cuma berputar pada golongan tertentu alias para penjarah keringat rakyat yang dikabarkan bekerja untuk rakyat miskin. Kaum miskin menghendaki perubahan yang secara serentak dapat mengakhiri kemiskinan mereka.

Sekali lagi jikalau pemerintah secara tepat melaksanakan pembangunan karakter bangsa, dalam pandangan saya harus diawali dari penggunaan APBN dan APBD yang tepat sasaran. Bukan memoles bangunan mentereng tapi dinyatakan membangun/ merenovasi dengan mark up harga yang nilainya besar. Bukan mengatakan membangun bila hanya tambal sulam sejumlah bangunan negara.

Kembali ke soal awal, distribusi zakat harta yang kerap dilaksanakan pada akhir ramadhan akan jadi lebih bermakna apabila dikombinasikan dengan pengelolaan keuangan negara yang tidak menyakiti perasaan publik. Terutama perasaan kaum miskin dan tertindas.***

Rabu, 16 September 2009

Mengukuhkan Solidaritas Sosial

GEMPA yang berpusat di kedalaman 60 km laut Hindia beberapa hari lalu, memporandakan banyak kota di Jawa dan getaran 7,3 skala Ritcher itu pun terasa di mana-mana. Berbagai dukungan mengalir, kendati hanya 3 partai politik yang tetap hadir memberi sedikit bantuan di tempat korban. Setidaknya PDIP, Golkar dan PKS masih memiliki empati terhadap duka dan kepedihan korban; tidak hanya menjelang pemilu legislatif dan pilpres saja. Konstituen, bagaimana pun tetap harus disapa dan dinomorsatukan. Jika tidak, sangat mungkin akan ditinggalkan dan akhirnya berpaling -- malah jadi golput sekalian.

Membaca media cetak, beberapa no rekening bank untuk menyalurkan bantuan kepada korban pun tertera. Terserah pembaca, karena bukan besarnya nilai uang yang ditransfer ke rekening bank untuk kemanusiaan di area korban gempa; melainkan keiklasan kita dan kesediaan berbagi. Saya melihat di Dana Kemansiaan Kompas, ada yang menyumbang Rp 50 ribu dan Rp 5 juta. Alhamdulillah, kiranya Tuhan masih menyegerakan sebagian umatnya untuk saling berbagi sesama saudara yang kini ditimpa musibah.

Hilangnya keadaban publik (public civility) merupakan halangan terbesar tumbuhnya tunas-tunas solidaritas. Ketidakadaban publik merupakan pola pandang dan perilaku umum dalam masyarakat yang mengesampingkan dan menghancurkan kesejahteraan bersama. Orang dengan gampang berpaling dari penderitaan orang lain karena merasa penderitaan orang lain bukan menjadi persoalan dan tanggung jawab mereka. Jangan sampai kita kehilangan keadaban publik, terlebihsebagai mahluk Tuhan yang masih memiliki empati dihadapkan dengan kenyataan dan kegetiran saudara-saudara kita di lokasi bencana.

Dengan kata lain, di tengah kompetisi kehidupan perkotaan yang cenderung individualistik ternyata masih ada tangan-tangan dermawan yang siap mengalirkan sebagian rizkinya kepada yang berhak. Ini bukan cuma semangat ramadhan yang aduhai hebat itu, tetapi terlebih penting adanya dorongan dalam diri untuk peduli dan berbagi kasih. Sesama manusia tidak hanya bersaing merebut prestasi hidup yang mengabaikan kemanusiaan. Bukti itu tampak dalam kepdulian menyumbang korban bencana alam yang tertera di media cetak dan website. Sungguh, inilah agaknya keberpihakan serta kepedulian yang tersisa dan patut dipertahankan.

Melihat seorang ibu hamil 4 bulan yang tergeletak lemah di tenda darurat pasca gempa tasik ybll, terbayang betapa sulitnya asupan gizi, betapa fisiknya yang lemah juga didera trauma gempa yang mungkin saja menghancurkan rumah dan harta bendanya. Menatap anak-anak yang tetap bermain di dalam tenda darurat, terbesit rasa senyap manakala sang anak ingat rumahnya yang kini (bisa saja) telah rata dengan tanah. Ada realitas pedih di sana. Ada kehidupan yang hilang lantaran dirampas dalam sekejap, dan tak seorang pun kuasa mencegahnya.

Masalahnya kemudian, sampai di situ sajakah kepedulian sosial kita kepada korban gempa dan korban bencana lainnya? Bagaimana dengan korban lumpur Lapindo yang masih meradang? Terlebih sejak pemerintah dan DPR menyatakan luapan lumpur lapindo adalah proses alam bukan karena penggalian berlebihan demi keuntungan pabrik dan pemilik sahamnya.

Solidaritas sosial perlu dikukuhkan di tengah keringnya kemanusiaan kita yang terus menerus didera target pencapaian puncak-puncak kehidupan. Celakanya, puncak-puncak kehidupan itu senantiasa diukur berdasarkan perolehan materi. Sementara ukuran lain kadang kita abai. Boleh saja kita senang dengan rumah kita yang asri, mewah dan besar. Kita boleh bangga dengan mobil dan kendaraan lain yang mengantarkan ke kesibukan keseharian. Begitu pula kita boleh bangga dengan pundi-pundi emas yang tersimpan aman di bank, atau deposito yang passive income itu. Namun akan lebih bangga lagi jikalau kita pun lantas peduli kepada saudara-saudara kita yang tengah didera bencana. Tidur dan sebagainya di tenda-tenda darurat, dan menunggu uluran pemerintah untuk menyediakan rumah tahan gempa seperti di Yogyakarta atau Nanggroe Aceh Darussalam. Atau pembangunan rumah berbasis bambu sebagaimana komunitas Kampung Naga di Tasikmalaya.

Tapi kapankah pemerintah siap mengalokasikan dana milyaran rupiah bagi korban bencana di berbagai tempat di Indonesia? Seriuskah pemerintah melakukannya jikalau terhadap korban lumpur lapindo Jawa Timur terbukti bersikap ambivalen. Tak berani menindak pemilik modal! Bahkan membenarkan kesimpulan teknik yang disodorkan para teknisi "bayaran" PT Lapindo Brantras Inc. Corporation!

Jika terhadap korban gempa tasik saja, kepedulian atas nama kemanusiaan mengalir dengan sendirinya, kenapa hal yang sama tidak diberikan kepada korban lumpur lapindo di Sidoarjo Jawa Timur? Ke manakah partai politik yang rajin menancapkan bendera partainya di lokasi bencana? Ke manakah tangan-tangan mulia yang rela mengulurkan sebagian rizkinya itu? Setidaknya, adakah klausul tertentu yang ditujukan kepada pemerintah dan DPR yang akan dilantik 1 Oktober 2009 agar secepatnya menyelesaikan kasus Lapindo Brantas Inc?!

Bukan hanya kehidupan yang terampas, bukan cuma sulitnya bangkit dari keterpurukan lantaran lautan lumpur; namun bagaimana jika hal serupa pun melanda tempat lain yang dekat dengan lokasi penambangan serupa? Akan diamkah kita memandang korban-korban itu karena pemerintah dan DPR tegas mengatakan bahwa itu semua akan diganti bertahap (meskipun janji tinggal janji). Apakah kita nyinyir bila melihat korban berdemo di depan rumah pemilik saham Lapindo sambil menuangkan lumpur di halaman rumahnya?

Solidaritas sosial perlu dikukuhkan juga dalam bentuk empati yang bersifat politis.

Warga Kelas Dua

TANPA mengalienasi peran warga Cirebon, dalam pandangan simpel dan tidak pesimistik , warga Cirebon kerap diperlakukan bagai kelas dua di Jawa Barat. Tulisan ini tidak dimaksud untuk mengedepankan sikap naif seorang warga Cirebon yang giris memandang perlakuan etnis lain terhadap warga Cirebon. Akan tetapi mengetengahkan betapa sampai kini pemerintah Propinsi Jawa Barat masih bersikap ambivalen menerapkan solusi atas berbagai persoalan yang muncul sebagai dinamisasi masyakarat Cirebon. Dalam beberapa hal perlakuan itu mengemuka ketika pemprop Jabar tetap menempatkan Bandung sebagai fokus pembangunan struktur dan infrastruktur Jawa Barat. Lihat saja pembangunan fisik berupa jalan lingkar, tol kota, bangunan menjulang dan mentereng -- sehingga mampu menarik interes untuk berkegiatan di Bandung.

Padahal pihak kolonial Belanda tidak merancang Bandung sebagai hunian, melainkan tempat plesir yang asik dikunjungi pada akhir pekan. Kolonial Belanda membangun jalan-jalan kota Bandung tidak selebar jalan-jalan di kota Cirebon. Begitu pula letak geografis Cirebon yang memiliki laut masih kurang didayagunakan secara optimal oleh pemprop Jabar. Akibatnya, matinya jalur ekonomi pelabuhan Cirebon yang sudah lebih 10 tahun kurang diperhatikan serta terkesan dibiarkan mati pelahan-lahan. Ketiga, pertumbuhan lulusan SLTA Cirebon tidak menyegerakan pemprop Jabar mendirikan sebuah Peguruan Tinggi Negeri umum untuk menggairahkan dunia akademik Cirebon. Tampak pemprop Jabar masih berkehendak menarik lulusan SLTA Cirebon untuk berdesakan di Bandung yang kian sumpek. Keempat, keinginan warga Cirebon mengeksplorasi keterbukaan (ciri khas masyarakat pantai) sering luluh di hadapan feodalisme birokrat gedung sate. Berbagai hal yang disinggung semula merupakan sebagian kecil yang biasa mengemuka dalam dinamika masyarakat Cirebon.

Artinya empat soal yang dirilis di atas jika disederhanakan bermuara pada satu hal, yakni keinginan warga Cirebon untuk mengelola dan atau mendayagunakan potensinya masih terkendala lima tusuk daging sate di atas bangunan utama gedung sate Bandung. Dengan kata lain, Cirebon tetap dianggap bagai sekerat daging yang dirangkai dalam lima kerat tusuk sate itu dengan "ketentuan" teruslan menjadi subordinat Jawa Barat. Jangan melawan leluhurmu di tatar Pajajaran.

Seperti ditulis di paragraf awal, tulisan ini tidak diawali sikap naif maupun pesimistik yang luar biasa menyangkut kurang kondusifnya perlakuan politik pemprop Jawa Barat terhadap Cirebon. Tulisan pendek ini pun ingin merepresentasikan lemahnya para petinggi Cirebon mengelola wilayahnya sendiri. Pejabat eksekutif dan legislatif Cirebon tampak asik terbuai dengan julukan Cirebon Kota Wali hingga melupakan apa yang telah dilakukan walikota. Gejala ini pun menguatkan pemprop Jabar untuk meneruskan posisi Cirebon sebagai warga kelas dua di Jawa Barat.

Bahkan pada sejumlah buku sejarah cirebon pun tak lepas dari ketuaan Pajajaran yang kelak menurunkan Pangeran Walangsungsang, Prabu Kiansatang yang kemudian menitiskan Sinuhun Sunan Gunungjati. Cirebon dalam konteks sejarah pun adalah anak Pajajaran (Jawa Barat, Sunda) dan dengan demikian sungguh tidak etis bila hendak jadi nomor satu atau warga kelas satu di Jawa Barat. Sebaliknya, lantaran leluhur Cirebon tak lain adalah anak kandung Jawa Barat maka patuhilah semua kebijakan Jawa Barat dan teruslah setorkan pajak daerah dan retribusi daerah Cirebon ke Jawa Barat (Bandung).

Dalam berbagai kesempatan, sekumpulan orang muda di cirebon biasa mengedepankan keinginan untuk lepas dari propinsi jabar lantaran cirebon memiliki kekuatan untuk melakukannya. Ketika berbincang dengan teman aktivis GMNI di Tangerang, ia mengatakan bahwa Belanda lebih bagus memilah propinsi di Indonesia, bukan semata merujuk kepada batas geografis, melainkan ada tinjauan kultur. Karesidenan Cirebon yang meliputi Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Kuningan dan Majalengka sesungguhnya berawal dari posisi kultur masyarakat Pantura sedangan Kuningan dan Majalengka ditaut berdasar faktor sejarah. Maka wajar jikalau lima daerah tingkat 2 itu menghendaki pemisahan dari propinsi jawa barat,; ujar teman saya.

Jujur, saya belum melihat alasan logis teman-teman penggiat pembentukan Propinsi Cirebon selain alasan politik dan kekuasaan. Bagi saya jika alasannya terjejak pada politik dan kekuasaan, pembentukan propinsi Cirebon jadi tidak menarik karena hanya akan membengkakkan pengeluaran pajak dan retribusi yang mesti dibayarkan masyarakat kepada pemerintahan baru. Kendala yang lebih krusial adalah penghentian sementara pemekaran propoinsi dan kabupaten di Indonesia menyusul peristiwa pilu Tapanuli Selatan, tahun lalu.

Kembali ke soal semula. Jawa Barat mestinya mulai berbenah menghilangkan kesan penempatan Cirebon sebagai warga kelas dua. Kendati tidak secara eksplisit, akan tetapi sedikitnya jumlah orang Cirebon berprestasi yang menduduki jabatan strategis di Gedung Sate, bahkan sampai kini belum ada yang lebih atas dari jabatan asisten gubernur, mengakibatkan warga cirebon yang berprestasi langsung melenggang ke Jakarta.

Pengakuan pemprop jabar pada 2007 atas Kota Cirebon memang pernah terjadi ketika menggelontorkan dana senilai Rp 25 milyar atas alasan peningkatan indeks prestasi manusia. Namun sayang sekali dana sebesar itu menguap dan tidak dikelola dengan baik serta profesional oleh wong cerbon, bahkan tidak ada pertanggungjawaban uang rakyat Jawa Barat itu. Berangkat dari pengalaman itu kiranya pemkot cirebon semestinya menjadi awas dan trengginas melaksanakan program pendanaan dari pemprop jabar berikutnya. Bukan melulu berputar pada keinginan menghabiskan dana (tanpa mbok bapa) itu dan tidak berbekas bagi peningkatan kesejahteraan rakyat cirebon.

Dengan kata lain jika cirebon ingin naik status tidak jadi warga kelas dua di jawa barat, sudah saatnya melakukan pembenahan internal terutama dalam hal pengelolaan dana rakyat. Untuk menjadi warga kelas satu pun tidak sekadar melakukan perlawanan terhadap Jawa Barat secara mendirikan propinsi sendiri. Tapi akan lebih bermakna seandainya melakukan pembenahan birokrasi, mengembalikan fungsi kebijakan kepada publik, membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan --bukan hanya mall-- menyediakan ruang hijau terbuka yang dipatok undang-undang sebesar 20% dari luas kota, dan melaksanakan program menejemen kota berbasis ekonomi kerakyatan.

Jikalau hal-hal di atas tadi dapat dilaksanakan dan terealisasi dalam waktu segera, warga cirebon tidak akan peduli mau ditempatkan pada posisi kelas dua atau kelas tiga dan seterusnya oleh pemerintah propinsi jawa barat.

Senin, 06 Juli 2009

Ambalat dan Kedaulatan Negara

Catatan Dadang Kusnandar :
Jum`at 5 Juni 2009, diperbarui Senin 6 Juli 2009

Hanya ada satu tanah yang dapat disebut tanah airku. Ia tumbuh dan berkembang dengan cinta. (Bung Hatta, Denhaag 1933)


Membaca Ambalat bagai membaca ketidaksiapan Indonesia berhadapan dengan negara lain dalam hal batas kontinental. Berdasar alasan apa pun, hingga kini belum ada sikap yang jelas untuk menyelesaikan masalah batas negara. Agaknya kekuatan lobi internasional Indonesia, terutama para diplomat yang bernaung di departemen luar negeri, harus segera merealisasikan konvensi internasional mengenai teritorial Indonesia. Meskipun kita menggunakan asas bebas aktif, namun belum ada tanda-tanda pembicaraan Ambalat di fora internasional.

Apakah karena ikhtiar kita terfokus pada Pilpres 2009 yang sudah tampak di depan mata? Apakah karena kita abai memperhatikan dan membangun pulau-pulau terluar sehingga dengan mudah negara luar mencaplok wilayah Indonesia yang tidak terurus itu? Ataukah memang kita hanya peduli terhadap pulau-pulau yang telah memiliki nama serta menghasilkan kekayaan (sumber daya alam) saja, lantas melupakan batas teritorial atau zona ekonomi eksklusif? Barulah setelah ada masalah serius sebagaimana dulu Sipadan Ligitan pindah tangan ke Malaysia, kita misuh-misuh melihat fenomena Ambalat?

Saya tidak tahu persis. Saya hanya coba meraba. Betapa pentingnya menjaga kedaulatan negara kian hari kian tak terjaga, lantaran ekspansi negara lain yang mengambil bagian terluar Indonesia. Sementara kita hanya duduk manis, menyerahkan problem besar ini ke tangan Mahkamah Internasional. Ataukah kisah ini merupakan perpanjangan atas buramnya masalah pertanahan di Indonesia?

Sudah menjadi rahasia umum, sepetak tanah di Indonesia memiliki sertifikat lebih dari satu. Akhirnya muncul pertikaian sesama bangsa sendiri (bahkan sesama saudara) demi mempertahankan sepetak tanah. Tak urung terjadi kekerasan --tak jarang diwarnai merahnya darah-- baik antar saudara maupun dengan petugas Satpol PP. Sepotong tanah yang diperebutkan, sepotong tanah yang ditengarai oleh lebih dari satu surat kepemilikan -- dalam konteks lebih luas menimpa Ambalat.

Ambalat dan kerumitan yang berlangsung padanya merupakan kisah sepotong pulau (gugusan tanah, air, pepohonan, satwa yang hidup di dalamnya, juga manusia yang menghuninya) terluar yang kurang diperhatikan pemerintah. Kisah sepotong pulau sedemikian pun (bisa saja terjadi) di perairan lain di batas Indonesia. Kabarnya masih banyak pulau yang tak bernama di Indonesia, masih banyak pulau tak berpenghuni di Indonesia, serta masih banyak pulau berpenghuni namun kurang memiliki identitas keindonesiaan.

Bagi saya Ambalat bagai menyentakkan kesadaran kita tentang perlunya menjaga kedaulatan negara, menjaga keutuhan batas negara, serta menjaga persatuan Indonesia di bawah Merah Putih yang harus berkibar dari batas 6 derajat Lintang Utara hingga 11 derajat Lintang Selatan, dan 95 derajat Lintang Timur sampai dengan 194 derajat Lintang Timur. Faktanya Merah Putih tidak berkibar di Sipadan dan Ligitan. Mungkin pula tidak berkibar di Amabalat. Begitulah ketika Malaysia menancapkan benderanya di Ambalat lalu mengurus administrasi kepulauannya, kita tersinggung, kita misuh-misuh dan kita baru terbangun dari mimpi : demikian pelikkah masalah pulau terluar?

Saat belajar civic (pendidikan kewarganegaraan) di sekolah dasar dan menengah, maupun belajar kewiraan di perguruan tinggi; guru saya mengajarkan pentingnya menjaga kedaulatan negara dari infiltrasi serta intervensi negara lain. Dari film-film perang Vietnam, saya mendapat pelajaran pentingnya indoktrinasi mempertahankan sepotong tanah air dari gangguan negara lain. Dari kisah pewayangan, saya dapatkan pelajaran berharga ketika Yudhistira kalah main judi dadu hingga harus keluar istana (Hastinapura) dan dinasti Pandawa mengalami tantagan berat membabat alas, mendirikan kerajaan baru. Dari obrolan bersama pejabat dan kawan-kawan aktivis, saya mendapat pelajaran berharga menyoal perlunya mempertahankan Indonesia Raya, Nusantara Jaya yang telah lama digagas para kreator Indonesia. Dari buku, saya memperoleh imajinasi betapa perlunya memiliki harga diri bangsa di tengah pergaulan internasional. Dan dari perjalanan maupun perenungan, saya mendapati begitu pentingnya kita menunjukkan identitas diri sebagai bangsa Indonesia yang berdaulat dan dihargai di fora internasional.

Pelajaran yang didapat lewat beragam cara seharusnyalah menyentakkan betapa pentingnya mempertahankan kedaulatan Indonesia, hal mana menjadi tidak terbantah ketika berhadapan dengan pengambilan alihan sepotong pulau di bagian terluar. Ia juga tidak terbantah saat konsentrasi kita sebagai bangsa tengah asik dengan hiruk pikuk permasalahan dalam negeri. Menjaga kedaulatan dan mempertahankan kedaulatan negara sebagai bagian integral atas kesinambungan Indonesia di masa mendatang; memiliki relevansi yang jelas dengan kesungguhan kita mempertahankan kekayaan (pulau dan segala isinya) yang diberikan Tuhan kepada bangsa Indonesia.

Sejak dulu kita dikenal sebagai pelaut ulung hingga Madagaskar di bagian Tenggara Afrika masuk ke dalam Nusantara, sejak lama pula kita dikenal sebagai bangsa yang menghargai kedaulatan negara dan kedaulatan bangsa lain; tapi cukupkah sampai di situ? Ambalat, sekali lagi merupakan dilema yang semestinya menjadi bagian penting tiga pasang capres cawapres memberikan solusi. Tidak ikut arus entertainmen, mengomentari Manohara atau Prita hingga dijenguk di penjaranya. Tiga pasang cawapres itu, dalam pandangan saya, sedang diuji kredibilitasnya menyangkut kedaulatan negara.

Demikian pula berbagai forum internasional yang diikuti Indonesia seharusnya memberi spirit tentang pentingnya sikap saling memahami dan menghormati hak-hak (terutama kedaulatan) negara lain. Kita adalah pendiri ASEAN, kita pun pendiri Non Blok, Indonesia juga pencetus organisasi negara-negara Asia Afrika. Namun kita selalu kalah dalam lobi internasional menyangkut pulau-pulau terluar, sehinga sedikit demi sedikit diambil negara lain.

Kedaulatan Terkikis
Kini sepertinya sebagian kita sibuk memelototi Pilpres 2009. Lupa bahwa akan ada sebuah pulau yang (mungkin) bakal diambil Malaysia. Kita selalu kalah diplomasi di tingkat internasional, terlebih ketika menyangkut kepentingan AS yang pada mulanya berangkat dari faktor ekonomi. Ambalat yang kaya sumber daya alam menjadi incaran, seperti Timor yang lepas lantaran keterlibatan Australia dan AS. Padahal pangkalan militer AS di Subic Philifina sudah berakhir, namun kita mengundang kehadiran tentara AS.

Teman saya, seorang missionaris kristen yang kini bertugas di Papua menjelaskan, kapal perang AS biasa merapat di perairan Papua. Kita hanya cukup melangkahkan kaki untuk singgah di palka kapal perang AS. Konon kedatangan kapal AS ini tak lepas dengan kepentingan ekonomi di Freeport (namanya saja Freeport = pelabuhan bebas). Kekayaan Papua yang seharusnya menjadi milik bangsa Indonesia --wabil khusus masyarakat Papua sendiri-- ternyata mengalir ke AS. Akankah Ambalat bernasib serupa? Disinggahi kapal AS lantaran Malaysia masih akrab dengan Inggris dan AS.

Kedaulatan negara yang patut dipertahankan sepertinya bisa terkikis justru oleh ulah kita sendiri. Ketika kita abai melihat persoalan krusial hanya dengan kacamata pasrah pada keputusan negara adidaya atau kalah di mahkamah internasional menyoal zona ekonomi eksklusif sehingga kapal asing bebas mengeruk kekayaan laut Indonesia. Kedaulatan yang mestinya terus terpatri dan dicangkok dalam keindonesiaan kita, bisa luntur karena perkara lain yang subtil. Ada kalanya muncul kebanggaan ketika warga negara Indonesia bekerja di perusahaan asing dan dibayar dengan dolar AS. Ia jadi lupa atau sedikit demi sedikit menjadi warga asing di tanah airnya sendiri. Menjadi tidak penting lagi untuk mempertahankan kedaulatan lantaran kebutuhan finansialnya telah dipenuhi orang asing.

Kita tidak ingin Ambalat berganti alamat.

Pemilu Legislatif 2009

Catatan Dadang Kusnandar

Kamis 9 April 2009 hari H Pemilu legislatif. Pukul 05.45 wib saya meneruskan sms yang diperoleh seorang kawan dekat di Indramayu 27 Maret 2009 pukul 21.20.49 wib. Isi sms yang panjang itu : Aja milih kuning lamun atine ora bening. Aja milih abang lamun kegembang lambe abang. Aja milih ijo lamun doyan mbebodo. Aja milih biru lamun kegawa ning garu. Aja milih gadung bokat wedi kesandung. Aja milih ireng lamun gawe urip kang bureng. Pilhen sing suci. Sing wis adus getih. Tirakat panas perih. Kocap lan tindak kraket dadi siji.

Artinya lebih kurang : Jangan pilih kuning kalau hati (caleg) nya tidak bening. Jangan pilih merah kalau tergoda bibir merah. Jangan pilih hijau bia suka berbohong. Jangan pilih biru kalau terbawa garu. Jangan pilih kuning muda barangkali takut tersandung. Jangan pilih hitam kalau membuat hidup menjadi buram. Pilihlah yang suci (bersih). Yang sudah mandi darah. Tirakat (kontempelasi) panas perih. Ucapan dan tindakan melekat jadi satu.
Sms panjang yang seru itu membangkitkan semacam kesadaran, bahwa pemilu kali ini harus benar-benar memilih caleg yang berkualitas. Kenali track recordnya baik di dalam parpolnya maupun keterlibatan di masyarakat.

Dari 16 sms panjang yang saya sebar ada beberapa yang menjawab seperti berikut : (1) Sing jelas sekien akeh kelambi abang atie lebih kuning (yang jelas, sekarang banyak yang berpakaian merah hatinya lebih kuning). (2) Pemilu semrawut, lalu lintas semrawut, pedaringan susut (tempat beras susut). (3) Pilih kang endi bae majikane siji: Ali Baba. Rakyat dikongkon mengkenen dikongkon mengkonon tapi bli pernah dikongkon sugih bareng. Niat ingsun milih geguyuban mbangun budaya politik kanggo mbesukiki. Bismillah! ( memilih yang mana saja tuannya satu: Ali Baba. Rakyat disuruh begini disuruh begitu tetapi tidak pernah disuruh jadi kaya bersama. Niat saya guyub membangun budaya politik untuk esok. Bismillah!).

(4) Kang mekoten saniki mboten wonten, dados kula mboten milih mawon nggih.......wilujeng (yang seperti itu sekarang tidak ada, jadi saya tidak memilih saja ya..... selamat). (5) Ladala....ninggal glanggang, lunga playon, ya wis ora apa-apa asal manungsa jagat nusantarae delap urip panjang umur, ana deleng dideleng, ana rungu dirungu, sing sugih rezeki getol tawasulan. Para pemimpine ora pada takabur lan keblinger, aja ngrasa bisa durung bisa diartiken kang bener-bener bisa ngayomi masyarakate kang adil peceka! Nyuwun pangampura kula......matur kesuwun (ladala.....meninggalkan gelanggang, pergi lari, ya sudah tidak apa-apa asal rakyat nusantara diberkahi panjang umur, ada yang dilihat-- lihat saja, ada yang didengar --dengar saja, yang kaya rizki gemar tawasul. Para pemimpinnya tidak takabur (sombong) dan semau sendiri, jangan merasa bisa tidak bisa diartikan yang benar-benar bisa mengayomi masyarakatnya agar adil sejahtera! Mohon maaf saya.....terima kasih.

Namun ada yang menjawab demikian: SBY Presidenku PKS Partaiku. PKS-Presiden keren sekali karena partai kuning merah ijo itu golongan-golongan para pencipta korupsi KKN dan penjual aset negara.

Ada juga yang membalas seperti ini: Saat ini banyak ketidakpastian, parpol kehilangan kontrol. Riak kemarahan terjadi di Bandung seperti mendungnya langit saat ini, dan di mana-mana berlangsung delegitimasi terhadap KPU daerah. Kita tidak patut bersyukur atas hasil pemilu 2009 karena kecilnya perolehan suara partai sebagai cermin mesin politik tidak mampu bergerak secara progesif. Bahkan kita berkabung karena liberalisasi politik telah merontokkan identitas partai dan rasa kebersamaan ideologi kerakyatan. Pemilu ini menjebak kita pada pusaran-pusaran kapitalisme politik. Alhasil semua energi dikerahkan hanya untuk kepentingan individu sesuai dengan roh kapitalisme. Begitulah setidaknya kita punya kehendak yang progesif karena kalau kita menunggu pemilu hampir sama dengan kita menunggu bubarnya ibu pertiwi ini. Buat kita, pemilu melalui sistemnya adalah fase demi fase runtuhnya kesadaran nasionalisme kita yang telah direncanakan secara sistematis. Entah oleh siapa......?

Mengapa saya mengirim sms seperti itu? Sms panjang (lms) dari Saptaguna di Indramayu itu mengingatkan saya, minimal untuk tidak salah memilih caleg pada 9 April. Dan sebagai upaya saling mengingatkan maka saya mengirimkannya kepada teman-teman di Cirebon, Bandung dan Jakarta. Bukan apa-pa, cuma untuk mengingatkan jalan sekali-kali memilih seorang caleg tanpa mengenal track record politiknya, jangan memilih caleg yang tidak kita kenal -- kendati dalam beberapa hal saya termasuk menyayangkan proses pemilu 2009 yang menurut banyak orang : acak adul. Tak heran jika ada teman yang secara eksplisit menjawab sms saya : Golput!

Lalu Apa?

Pemilu legislatif 2009 sudah berakhir dan KPU telah menetapkan perolehan suara serta peolehan kursi tiap parpol di parlemen. Kendati masih menyisakan problem yang cukup krusial, yakni masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dikhawatrikan akan muncul lagi pada Pemilu Presiden Rabu 8 Juli 2009 yang tinggal dua hari itu; pemilu legislatif tetap mencerminkan tumbuhnya demokrasi di Indonesia.

Banyak kalangan menilai telah terjadi penurunan kualitas caleg terpilih yang akan mewakili suara para pemilihnya di DPR, DPRD, dan DPD. Akan tetapi karena kita masih menganut sistem parlementer, maka mau tidak mau kita harus menerima hasil pemilu 9 April lalu. Sorotan atas hadirnya sejumlah artis sinetron, model, tokoh lokal yang dikenal warga setempat, wajah lama DPR, DPRD, dan DPD yang kembali berkiprah pada 2009 - 2014 setidaknya memberikan nuansa baru penilaian kita pada proses demokrasi langsung, terbuka, dan serentak di seluruh Indonesia ini.

Apa pun hasilnya, inilah wajah negeri kita. Negeri yang kaya raya namun dililit banyak persoalan serius menyangkut hubungan antarnegara (ingat: Amabalat dengan Malaysia, ketergantungan utang luar negeri, hubungan diplomatik dengan Israel, dan sebagainya), etnosentrisme yang masih mengganggu kebhinekaan, korupsi yang susah dibasmi, pendidikan nasional yang selalu jadi ajang uji coba, masalah kesehatan masyarakat yang terus didera sistem penjatahan bagi orang miskin namun banyak praktek penyimpangan di tubuh departemen kesehatan, buruh yang ditinggalkan serta kurang ditaut UU Perburuhan No.13/ 2005, dan masih banyak persoalan besar yang menantang. Menuntut penyelesaian yang memihak kepentingan publik.

Mereka yang terpilih seharusnya tidak terbuai dalam kesenangan semata. Take home pay untuk anggota DPR RI dan DPD RI senilai Rp 58,4 juta per bulan, belum ditambah uang reses per tiga bulan, seharusnya memacu semangat kerja yang optimal bagi perbaikan bangsa ke depan. Duduk di kursi panas di parlemen seharusnya diniati oleh keinginan mengabdi kepada bangsa. Bukan menyakiti bangsa. Bukan mengkhianati perasaan publik.

Pilpres 2009: Proses Atau Parodi

Pemilu Presiden yang tersisa 2 hari ini tampaknya tidak mempengaruhi aktivitas warga. Publikasi televisi yang gencar : debat capres cawapres, iklan capres cawapres, dukungan yang terus mengalir kepada kandidat -- sepertinya terhenti ketika kantor pendidikan nasional kota Cirebon menetapkan Sabtu 4 Juli 2009 sebagai hari testing masuk ke SMP Negeri dan SMA Negeri / SMK Negeri. Pengumuman penerimaan siswa baru dijadwalkan Kamis 9 Juli 2009. Orang tua sibuk menyediakan berbagai sarana untuk penerimaan siswa baru karena proses belajar mengajar ditetapkan Senin 13 Juli 2009.

Pilpres yang menelan biaya Rp 25 triliun itu bagai "tenggelam" oleh kesibukan agar anak dapat diterima di sekolah yang diminati. NEM atas UASBN yang dinilai 50% dan 50% sisanya dari hasil test, tetapi bagi pendaftar yang berprestasi dengan melampirkan sertifikat yang dilegalisir diknas setempat konon sudah memperoleh angka 20%.

Memasuki hari tenang sejak Senin 6 Juli ini hampir tidak ada keriuhan lagi, selain di studio televisi yang gencar mematut-matut Pilpres 2009 sebagai turning point Indonesia ke depan. Lima tahun ke depan Indonesia ditentukan oleh pilihan kita di TPS. Tetapi inilah asiknya bangsa Indonesia : lebih intens menindaklanjuti kebutuhan sesaat. Memang tidak salah jikalau orang tua menghendaki anaknya bisa diterima di sekolah negeri sesuai dengan keinginan anak. Tidak salah pula jika orang tua memfokuskan kegiatannya agar keinginan tersebut terwujud. Maka berbagai cara ditempuh. Ada yang menitipkan anaknya kepada "aparat" partai politik, forum diskusi, ormas, termasuk ada pula yang langsung menitipkan kepada guru atau panitia Penerimaan Siswa Baru di sekolah yang dituju, serta ada yang menitipkan kepada jajaran diknas terkait.

Saya pernah menyaksikan debat capres cawapres sekira tiga kali. Penilaian saya pun (subjektif) mematok bahwa acara debat TIDAK MENARIK. Pertama, ia lebih suka jikalau capres cawapres menjawab pertanyaan panelis secara cepat, tanpa memperhatikan (menyimak) isi jawaban capres cawapres. Kedua, tidak ada kedalaman di balik pertanyaan serta jawaban capres cawapres. Ketiga, panelis dan presenter berebut ruang untuk bicara, seakan acara itu menjadi porsi mereka. Keempat, pemirsa di dalam studio sudah menentukan capres cawapres tertentu -- dan pemirsa di rumah tidak akan mengubah pilihannya setelah menyaksikan debat itu. Kelima, karena acara tidak menarik (bukan presentasi capres cawapres) maka pemirsa memindahkan chanel televisinya.

Saat ini mungkin hanya tim sukses capres cawapres yang masih giat mengotak-atik perkiraan angka perolehan Rabu 8 Juli mendatang. Selebihnya, banyak aktivis parpol hanya menunggu Hari H. Sementara masyarakat secara umum tampak lelah dengan kesibukan yang harus segera diselesaikan saat ini juga. Begitulah adanya, kita tidak begitu terlibat dengan ajang demokrasi lima tahunan untuk menentukan arah Republik Indonesia lima tahun ke depan. Bisa saja hal ini berlangsung karena kita belum lama melaksanakan pemilu legislatif 3 bulan ke belakang, lengkap dengan hiruk pikuknya, malah masih tersisa persoalan yang mengundang tanda tanya besar (baca: DPT).

Belum lagi bagi warga kebanyakan yang lebih suka berpikir sesaat, berpikir tentang pedaringan jomplang (tempat beras yang kosong), berpikir besarnya biaya pendidikan SMP dan SMA/ SMK, berpikir utang yang tidak selesai, berpikir mengenai kebutuhan sehari-hari. Jadi ruang untuk memikirkan nasib Indonesia lima tahun ke depan, sepertinya diserahkan kepada mereka yang mau saja.

"Bung, sudahlah menteri banyak. Gubernur, walikota, bupati banyak. Orang pintar banyak. Tidak perlu pikirkan negara. Pikirkan saja keluarga kita, makan apa hari ini?", gurau seorang kawan. Saya menjawab ringan, "Iya juga sih, tapi di kota ini juga banyak orang yang bertanya, makan di (restoran) mana hari ini?".

Bila perbincangan bertumpu pada makananan dan mengabaikan kepentingan yang lebih besar, boleh jadi Pilpres 2009 menjadi tidak menarik. TPS bakal sepi. Dengan kata lain bakal cepat KPPS menghitung perolehan suara kandidat presiden 2009 - 2014 di TPS masing-masing. Saya tidak tahu, apakah suasana seperti ini menguntungkan proses demokrasi di Indonesia. Atau sebaliknya, kini tengah berlangsung parodi demokrasi di Indonesia.