Selasa, 04 November 2014

Kang Ayip Muh, Kenangan Itu…



Oleh Dadang Kusnandar

TEATER anak-anak yang dikelola Agus DTA dan kawan-kawan di MI dan MTs An Nur Jagasatru, suatu saat dikabarkan menerima bantuan berupa fresh money dari Unesco, lembaga kebudayaan PBB. Alkisah, Dedi Kampleng, Khumed, dan Mahmud Yahya menemui KH Syarif Muhammad Yahya. Bertiga hendak menyampaikan kabar gembira itu kepada sesepuh pondok pesantran Jagasatru Cirebon. Teater Cahaya yang menampilkan proses kreatif anak-anak Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah dan SMP/ Tsanawiyah itu tergolong kelompok teater yang memberdayakan peralatan ala kadarnya saat itu. Kabar akan datangnya bantuan dari Unesco tentu saja membanggakan, sekaligus melambungkan angan. Perlengkapan lampu pertunjukan, sound system dan sebagainya, begitu menggoda.

Bertiga di atas menyampaikan kabar itu dengan wajah sumringah. Kang Ayip Muh mengatakan, “Bagus atuh baka mengkonon”. Tentu saja ujaran singkat itu dianggap justifikasi kesetujuan sang kiai atas bantuan bagi Teater Cahaya. Namun sang kiai meneruskan dengan pertanyaan, “Kalian mengirim proposal ke Unesco?”. Sontak ketiganya menjawab, “Nggih, kang”.

Itu namanya bukan bantuan, lanjut sang kiai. Itu artinya kalian mengemis. Jadi batalkan saja. Biar saja lampu pertunjukan Teater Cahaya pake kaleng, yang penting pentasnya segar dan bisa membuat penonton ngekek. Bagai disambar petir. Ketiga pegiat Teater Cahaya itu terpaku. Dengan lidah kelu, keputusan Kang Ayip Muh diterima. Sembari menghaturkan salam, ketiganya berlalu.

Teater Cahaya di lingkungan Pesantren Jagasatru merupakan satu-satunya teater anak-anak yang hingga kini masih bertahan di Cirebon. Pentas mereka senantiasa bermula dari hal-hal kecil yang menyisipkan pesan ajaran agama Islam. Penonton menerima pesan moral itu tanpa merasa digurui anak-anak. Sebabnya ialah pesan Kang Ayip Muh di atas itu tadi, “Yang penting pentasnya segar dan bisa membuat penonton ngekek”.

Kisah yang telah berlangsung puluhan tahun itu disampaikan Dedi Kampleng, belum lama ini kepada saya di meja makan kantin At Taqwa. Kisah yang menyiratkan dan menyuratkan ketegasan seseorang untuk tegak berdiri pada kemampuan dan ketersediaan perlengkapan yang ada. Tak harus meminta karena ujarnya, tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Dengan lain perkataan jadilah diri sendiri tidak dengan membungkukkan badan di hadapan juragan atau pemilik kapital.

Pelajaran berharga yang mungkin langka di kehidupan kita. Proses saling memberi dan menerima dalam transaksi sosial ekonomi kerap berlangsung lantaran ada pihak yang mengajukan bantuan. Bantuan diberikan manakala telah ditelaah (meski tidak rinci) secara administrasi. Pihak pemberi bantuan ~karena kedudukannya sebagai tangan di atas~ biasanya berdalih, “Kami hanya membantu. Soal bagaimana penggunaannya, terserah pihak penerima”.

Bantu membantu tak pelak merupakan hal biasa. Akan tetapi di tengah masyarakat kita, masih terdapat banyak person yang enggan mengajukan diri meminta bantuan. Bukan lantaran malu atau gengsi, melainkan terpatri ajaran moral untuk tidak merendahkan diri di hadapan orang lain. Juga bukan karena tidak butuh, sikap seperti itu muncul setelah secara sadar menerima kenyataan, destiny yang digariskan Tuhan.

Lalu apakah sikap nrimo ing pandum itu dimaknakan sebagai kepasrahan total atas kesejatian diri? Pembaca budiman dapat menilai sendiri menyoal itu. Setidaknya kelemahan  secara ekonomi tidak kemudian dapat dijadikan alasan untuk menempatkan kita di koridor objek. Baik itu objek pemberian yang bersifat kemanusiaan, terlebih yang bersifat politis.

Kelebihan seseorang konon terletak pada kekuatan sikap. Konsistensi dan komitmen pada pendirian merupakan hal langka. Satu yang langka itu pernah disampaikan oleh Kang Ayip Muh seperti digambarkan di atas.

Memaknai Pesan

Ada kisah lain yang saya dengar langsung ketika jamaah pengajian beliau hendak memberi sebuah mobil. Kiai sederhana yang berkain sarung dan kopiah hitam itu suatu ketika didatangi jamaahnya. “Saya ingin memberikan mobil kepada Kang Ayip untuk memperlancar dan mempercepat kegiatan dakhwah”. Kiai  bijak itu tersenyum. “Terima kasih atas niat baik sampeyan. Tapi kalau saya menerima mobil itu, kasihan tukang becak langganan saya”.

Begitulah kisah keteguhan pendirian seseorang yang kian tak terdengar lagi di era sekarang. Pendirian untuk kokoh pada kesejatian diri. Menolak pemberian dalam konteks ini bukan berarti menolak rizki. Bayangkan sebuah mobil pada tahun 1993 diberikan begitu saja, kendati sang pemberi iklas melakukannya, namun akan tersebar ke kancah umat bahwa “harga” sang kiai berupa sebuah mobil. Artinya keteguhan sikap Kang Ayip Muh terhindar dari bahan pembicaraan buruk tentang memberi dan menerima.

Kenangan kepada Kang Ayip Muh telah lama mendekam di benak. Kenangan demi kenangan itu kadang melintas, menggapai untuk segera dimaknai. Pemaknaan yang berangkat dari kesediaan kita untuk merenungkan hal-hal yang baik untuk seterusnya diterapkan pada keseharian. Apabila kita mampu menangkap pesan indah di balik kenangan pada seseorang yang kita banggakan, terlebih lintasan kenangan itu seperti menggapai, maka itulah saatnya berbenah. Saatnya menempatkan kesejatian diri di tengah kemampuan dan ketersediaan sarana yang kita miliki.

Biarlah tutup lampu panggung Teater Cahaya itu terbuat dari kaleng, biarlah Kang Ayip Muh tetap naik becak ke mana pun pergi sekitar Kota Cirebon, dan sejumlah kisah lain yang belum tertulis mengenai beliau. Penolakan indah itu menitipkan pesan agung yang telah sama-sama kita pahami. Agaknya sesuatu yang diam-diam menjauh dari kesejatian kita antara lain mengajukan bantuan kepada pihak lain guna berbagai alasan.

Mengutip ujaran bagus KH Wahid Hasyim, “Jangan remehkan siasat sesuatu yang (tampak) lemah. Terkadang, ular ganas mati oleh racun kalajengking. Ternyata, burung Hudhud sanggup menumbangkan singgasana ratu Bulqis, dan liang tikus mampu meruntuhkan bangunan kokoh”. Ujaran bagus ini analog dengan kekuatan kita untuk senantiasa berdiri di atas kaki sendiri.


Non Partisan

BAGI kalangan Muhammadiyah, Kang Ayip Muh tetap dikenang sebagai sosok sederhana yang memiliki peran sosial cukup penting di Cirebon khususnya. Kesediaan beliau menerima tamu berbagai kalangan menjadikannya tidak saja disegani melainkan mendapatkan tempat cukup indah bagi siapa pun. Tamu beliau pun merambah kepada teman-teman politisi dan pejabat.

Ada sebuah cerita yang saya lihat langsung manakala silaturahmi ke Ponpes Jagasatru, tepatnya ke rumah beliau. Waktu itu menjelang pemilihan Walikota Cirebon. Ketika kami asik berbincang dengan tema beragam ~sesuai topik yang disampaikan tamu~ tiba-tiba datang seorang pejabat pemda lantas menyampaikan maksudnya. Pemilihan kepala daerah yang diusung partai politik merupakan moment kunjungan politisi ke kediaman Kang Ayip Muh. Beragam maksud disampaikan, beragam pula saran dan atau nasihat yang diberikan sang kiai. Lantaran beliau mahir dalam hal ilmu mantiq (diplomasi), tak mudah nasihat keluar dari lisannya. Diperjelas dahulu dan dibolak-balik pertanyaan serta pernyataan sang tamu, setelah itu barulah beliau mengatakan sesuatu.

Jawaban yang muncul pun bukan petuah, apalagi perintah, akan tetapi permintaan terhadap sang pejabat untuk merenungkan langkahnya. Saya kaget ketika tiba-tiba beliau berkata kepada pejabat tadi sambil menunjuk, “Ente, calo calon walikota”. Tak elok jika nama pejabat dimaksud saya tulis di sini. Jawaban yang menohok itu tentu saja memusingkan sang pejabat yang kini sudah pensiun. 

Padahal jikalau Kang Ayip hendak mendulang uang, masa pencalonan kepala daerah merupakan saat yang tepat. Namun beliau tidak memihak kepada siapa pun dan tidak berdiri pada sebuah partai politik mana pun. Sekali pun Alwy Shihab, waktu itu menjabat Menteri Luar Negeri singgah ke pondok pesantrennya. Beberapa tamu pejabat Indonesia yang berkunjung kepada beliau, menunjukkan hubungan personal yang terjalin baik sehingga Kang Ayip dipercaya sebagai salah satu tempat bertanya.

Bertandang ke rumah beliau bagi penulis dan teman-teman membuat rasa nyaman. Mungkin karena ketulusan menerima tamu tanpa melihat apakah dia seorang penjudi, pemabuk, ustadz, orang kampung yang lugu, pemuda, pejabat dan segala profesi. Sikap tulus yang terpancar dari wajah bersihnya membuat kami betah berlama-lama duduk bersila di hamparan tikar di ruang tamunya.

Selasa menjelang Magrib 26 Desember 2006, Kang Ayip Muh wafat. Dalam waktu yang singkat, awan kesedihan menggelayuti Cirebon dan sekitarnya, kabar ini terhitung mengejutkan karena beberapa hari sebelumnya kesehatan beliau terpantau sehat, Ahad sebelumnya masih mengisi majelis Ta’lim seperti biasa, siangnya masih menghadiri acara dari parpol Islam, bahkan sorenya masih menerima tamu.  Abdul Qodir, demikianlah Ayah beliau memberikan nama sewaktu kecil, saat lahir 15 Juli 1932.***


(Catatan: Tulisan ini telah diterbitkan Harian Umum Fajar Cirebon pada Oktober 2014 dan diperpanjang pada bagian Non Partisan)

Selasa, 21 Oktober 2014

Buruk Muka Kampus Dibelah



Oleh Dadang Kusnandar

Penulis lepas, tinggal di Cirebon

KORUPSI, kata yang menakutkan bagi kalangan pengguna keuangan. Kata itu pula mengundang rasa ketidaknyamanan manakala disematkan kepada diri seseorang.  Aktivis politik tiba-tiba dikenai pasal korupsi, lalu publikasi meluas dan ia dihadapkan sebagai saksi, tersangka, terdakwa di pengadilan. Sanksi hukum pun harus ia terima, meski kerap merasa bahwa dirinya bukan koruptor, serta stigma koruptor padanya tak lebih dari sebuah proses politik yang cukup panjang.

Siapa pun orangnya dan apa pun jabatannya ketika terjerat kasus korupsi akan berkelit semampu mungkin untuk bisa lepas dari konsekuensi hukum. Di samping tentu pula menyangkut nama baik  yang tercoreng, runtuhnya kredibilitas dan kepercayaan publik. Rasa malu akhirnya datang ketika secara hukum positif ia ketahuan melakukan tindak korupsi. Yang paling berat ialah rasa malu kepada lembaga atau institusi tempat mengabdi.

Jika korupsi melanda ke dunia pendidikan, apa yang diharapkan kelak bagi lembaga penting sebagai pencetak generasi unggulan itu? Itu sebabnya menyangkut IAIN Syekh Nurjati Cirebon, “kabinet” ke depan harus mempunyai komitmen memberantas korupsi. Pelaporan semua aset kampus ke Kas Negara, sebagaimana dilakukan Rektor IAIN SNJ, mungkin saja positif bagi pemberantasan korupsi. Kepengurusan ke depan IAIN SNJ pun harus memiliki komitmen yang kuat terhadap bidang akademik. Ini penting mengingat masih adanya suara-suara negatif terhadap perilaku akademik beberapa dosen senior, bahkan guru besar. Kampus harus terbebas dari politisasi yang diam-diam dilakukan oleh civitas academicanya sendiri.


Masa depan kampus negeri satu-satunya (hingga saat ini) di Cirebon juga ditentukan oleh komitmen kerja yang unggul. Dalam arti seluruh elemen yang terkait dalam aktivitas intelektual itu mampu memperlihatkan kerja yang optimal sehingga mampu menaikkan gengsi kampus. Kerja unggul dengan hasil kerja unggulan sangat mungkin bagi iklim kondusif peningkatan kualitas pendidikan tinggi tersebut. Kerja unggul yang berangkat dari kepentingan lembaga, tak urung mesti disertai dengan dedikasi, etos kerja, maupun integritas intelektual para penghuninya ~di dalamnya termuat etika intelektual.

Korupsi yang melanda aktivitis politik boleh dikata hal biasa lantaran sejak diundangkannya pemberantasan korupsi, negara yang bersih dari tindakan korupsi-kolusi-nepostisme (KKN), didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), negeri kita memasuki fase cukup bagus dalam hal “pengamanan” keuangan negara. Sebaliknya korupsi yang menerpa dunia pendidikan merupakan sebuah kegagalan teramat besar sehingga tidak saja melahirkan ketidakpercayaan masyarakat. Korupsi pada dunia pendidikan harus segera diselesaikan secara tuntas dan menyeluruh, dan terhindar dari pepatah: Buruk Muka Cermin Dibelah.

Jargon KPK yang popular, “Kalau Bersih Kenapa Risih”, menitipkan pesan moral yang kuat. Betapa pun hantaman pihak dalam dan luar yang dialamatkan kepada setiap orang yang ditengarai melakukan tindak korupsi, agar tidak merasa risih. Kelak peradilan lah yang membuktikan apakah ia memang seorang koruptor atau pihak yang terkena hasutan sampai diproses sebagaimana layaknya. Koruptor atau bukan sangat tergantung pada keputusan pengadilan.

Dengan demikian kampus harus bersih supaya tidak risih. Bersih dari carut marut yang memungkinkan munculnya pertikaian internal. Bersih yang lain ialah bersih dari tindakan koruptif yang memicu kuatnya pertikaian sampai melupakan tugas utamanya, yakni mendidik generasi muda supaya memiliki pemahaman yang terintegrasi dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pertama Pendidikan, kedua Penelitian dan Pengembangan, ketiga Pengabdian Masyarakat.

Perguruan tinggi juga dapat mengembangkan model pembangunan yang benar-benar berbasis pada keilmuan dan sumberdaya lokal dalam kerangka sistem nilai budaya bangsa, membangun basis-basis pengembangan keilmuan yang benar-benar relevan dengan kebutuhan masyarakat dalam rangka merespon perubahan global yang sangat dinamis, mengembangkan pusat-pusat pengembangan masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya dan nilai-nilai lokal yang ada, membantu pengembangan kebijakan strategis terhadap legislatif dan eksekutif serta mengontrol implementasi kebijakan-kebijakan tersebut. Perguruan tinggi juga dapat berperan dalam mengembangkan strategi kebudayaan, hal tersebut sangat diperlukan dalam membangun peradaban bangsa, terutama untuk membangun nilai-nilai yang sejalan dengan kemajemukan bangsa agar keberagaman diterima sebagai sebuah kekayaan dan tidak dipertentangkan. Pembangunan peradaban itu sendiri perlu berbasis pada nilai etika dan nilai budaya yang sudah melekat dalam jari diri bangsa.

Apa yang bakal terjadi apabila kampus sibuk dengan masalah internal yang tidak produktif. Dan dapatkah Tri Dharma Perguruan Tinggi terwujud seandainya rektor, pembantu rektor, dekan, dosen senior, guru besar, petugas administrasi kampus terus bertikai melakukan pembenaran atas apa yang telah dilakukannya selama ia menjalankan tugas intelektualnya? Pembenaran yang bertolak belakang dengan kerja unggul demi menciptakan perguruan tinggi yang unggul serta menjadi contoh perguruan tinggi di sekitarnya. Sebagai satu-satunya PTN di wilayah Cirebon, seharusnya IAIN SNJ memberikan teladan yang baik dalam hal pengelolaan kampus.


Sengkurat kasus yang menimpa lembaga pendidikan tinggi negeri di wilayah Cirebon semoga menjadikan kita kian bijak bahwa membangun kekuatan lembaga dengan segenap daya dukung yang dimiliki akademisinya adalah jauh lebih penting daripada membangun diri atas nama lembaga. Membangun diri hanya berdampak pada diri sendiri dan orang terdekat yang mengitarinya, sementara membangun lembaga akan berdampak langsung bagi seluruh civitas academica yang tergabung di dalam lembaga itu.

Satu hal yang mesti diingat pula ialah pentingnya menjaga wibawa kampus. Kewibawaan yang antara lain ditunjukan oleh keinganan kuat menyelesaikan masalah internal tanpa melibatkan pihak eksternal. Artinya semakin sering pembahasan buruk menyoal kampus melalui publikasi media cetak elektronik, pada satu sisi menampilkan wajah buram yang buruk rupa. Sisi buruk itu terjadi mengikuti pepatah lama yang telah dianjarkan para orang tua kita, menepuk air di dulang terpecik muka sendiri. Dengan perkataan lain, insan pendidikan yang memiliki niat kuat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, marilah beranjak dari diri sendiri untuk menyelesaikan segala permasalahan internal dengan menepis dendam dan kesumat.***


Senin, 13 Oktober 2014

Lah, Sapa Sing Maca Bung



Oleh Dadang Kusnandar

Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Cirebon.

PAPAN pengumuman di kelurahan dan atau kecamatan lebih sesak oleh iklan. Baik iklan kredit perumahan, barang elektronik, maupun kendaraan. Hanya satu dua iklan plat merah (dari pemda setempat) yang berisi pengumuman kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tepat pada waktunya, atau kenaikan tarif air minum/ tarif dasar listrik dan sejenisnya. Masyarakat sekitar kelurahan relatif enggan berlama-lama berdiri di depan papan pengumuman.

Pemandangan lain tentang papan pengumuman justru saya temukan di Kabupen Jepara. Sekitar alun-alun, agak menyempit di samping gang, sebuah papan pengumuman berbingkai kayu dan ber jendela kaca serta terkunci, menyajikan koran Suara Merdeka. Saya menuliskan ini tanpa maksud mengiklankan koran tersebut. Dipasang berjejer per halaman dan mudah dibaca masyarakat sambil berdiri. Papan pengumuman itu sepertinya menjadi pilihan sesaat setelah lelah berolah raga di sekitar alun-alun depan tugu lambang kota. Juga saat menunggu seseorang dan sebagainya.

Pemasangan koran di papan pengumuman puluhan tahun lalu dilakukan teman-teman Pikiran Rakyat Jalan Kartini Cirebon. Entah mengapa usianya pendek dan tidak ada kelanjutannya. Agaknya bagus juga jika dihidupkan lagi, setidaknya ketika media cetak berhadapan dengan media elektronik yang lebih siap saji.

Pada era keterbukaan dan informasi publik, memfungsikan papan pengumuman secara optimal nampaknya patut dilakukan. Ini menyangkut, pertama, tidak semua pengguna dunia virtual membaca dengan teliti. Kedua, membaca melalui dunia virtual yang gampang dilakukan karena dengan mudah dapat diakses dari hp, biasanya hanya selintas dan mudah lupa. Ketiga, ada kecenderungan pengguna dunia virtual hanya membaca judulnya saja lantas beralih ke sosial media yang bisa berinteraksi secara langsung.

Padahal beberapa plang biasa berjejer merapat dan merusak pemandangan kantor kelurahan/ kecamatan, bahkan balai pertemuan kampung (baperkam) di tingkat RW. Plang-plang tersebut sepertinya memperlihatkan kesibukan yang bukan main. Berbagai lembaga pendukung RW, Kelurahan, dan Kecamatan itu memadati halaman parkir serta memperlihatkan aktivitas warga sekitarnya. Sebut saja misalnya PKK, LPM, Warga Siaga, Posyandu, dan lain-lain. Namun tetap saja papan pengumuman yang tersedia hanya berisi sesuatu yang tidak menarik minat baca (kecuali terpaksa).

Pada sebuah kesempatan saya pernah berbincang dengan Anggota DPRD Yang Terhormat. Tanpa prolog saya katakan, supaya warga mengetahui alokasi penggunaan keuangan daerah, sebaiknya APBD dipampang di papan pengumuman Kelurahan, dan Kecamatan. Ini saya sampaikan karena untuk Kota Cirebon hanya butuh 27 salinan APBD yang akan dipampang di lima kecamatan dan 22 kelurahan. Anggota DPRD itu mengelak dan menjawab, “Lah, sapa sing maca bung?”. Spontan saya jawab, “Ya pasti ana. Sok lah isun wani toto`an”.

Dialog pun macet meski sudah saya sampaikan, jangan beralasan uangnya dari mana. Teringat ucapan seorang sohib almarhum, “Itu bukan uang Anda. Gunakan saja. Itu uang rakyat, dan rakyat berhak tahu aliran keuangan daerahnya”. Dialog terhenti dan hingga kini tidak ada salinan APBD yang terbuka serta mudah diketahui siapa pun yang disediakan (dipajang) di papan pengumuman kecamatan serta kelurahan.

Keinginan membaca APBD muncul mengingat tidak semua warga diundang oleh DPRD saat pengesahan APBD melalui sidang paripurna (hehe….kalau diundang semua di mana tempatnya). Di balik ketersediaan salinan APBD yang terpampang di papan pengumuman publik kita dapat membaca secara jelas besaran dana plus alokasinya yang meliputi dua hal, yakni pengeluaran dengan nomenklatur belanja rutin dan belanja pembangunan. Masyarakat pun dapat menilai dan mengkritisi lalu memberi input kepada pemerintah daerah apabila terdapat hal-hal yang memihak publik.

Munculnya reaksi pada pengadaan mobil dinas yang kini ramai dibincangkan di Kota Cirebon, malah mengundang demo berbagai kalangan dapat diantisipasi seandainya salinan APBD telah dipajang di papan pengumuman secara terbuka. Kabar tentang mobil yang salah peruntukkan merebak lantaran berbanding terbalik dengan bunyi UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, utamanya di Pasal 3. Juga bertentangan dengan isi PP No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Membaca penjelasan Fauzan SH, Bankumham KNPI Kota Cirebon di media cetak Cirebon, mengingatkan perlunya keterbukaan informasi publik, khususnya bagi warga Kota Cirebon.

Itu baru satu contoh dan masih banyak contoh lain menyangkut pentingnya APBD diketahui warga masyarakat. Bisa saja menyoal bantuan atau dana non budgeter yang  hanya diketahui orang-orang tertentu. Demikian pula pos-pos lain yang mengandung dan mengundang potensi “rawan”.

Kembali ke persoalan menyoal papan pengumuman. Keterbukaan dan informasi publik, sesuai dengan peristilahannya, merupakan hak dasar masyarakat mengetahui segala sesuatu berkaitan dengan proses pembangunan daerah. UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik ini tentu saja diabdikan bagi kelangsungan pembangunan dengan pelibatan masyarakat di dalamnya. Ini selaras dengan napas reformasi, utamanya pada sisi pengetahuan masyarakat menyoal pembangunan fisik dan non fisik. Dan beriringan dengannya, Komisi Informasi Publik pun menjadi perlu untuk mengawal keperluan masyarakat mengenai informasi yang diperlukan bagi pembangunan daerah/ negara.

Komisi Informasi Publik (KIP) di Kota Cirebon sudah ada sekira 6 (enam) tahun dan berkantor di Jalan By-Pass Brigjen Dharsono. Tapi kiprahnya belum ketahuan dan belum dirasakan oleh publik. Membaca nama plang kantornya yang cukupkeren, tentu saja perlu aktivitas keren yang disajikan kepada publik Kota Cirebon. Jika keberadaannya belum dapat dioptimalkan oleh jajaran apparatus KIP Kota Cirebon, agaknya menjelang 2015 mendatang yang penuh tantangan serta kompetisi dengan pihak asing, KIP Kota Cirebon harus berbenah serta menyiapkan langkah strategis memenangkan persaingan di era AFTA. Minimal agar warga Kota Cirebon tidak sekadar jadi penonton tarik menarik kepentingan serta kepentungan asing di tanahnya sendiri.

Tulisan pendek ini disajikan sebagai urun rembug sangat kecil untuk masyarakat Kota Cirebon yang haus informasi. Tentu saja informasi yang kelak mengantarkan menuju perbaikan hidup, baik secara fisik maupun non fisik. Semoga ada yang berkenan membaca. Tidak seperti judul tulisan ini, “Lah, sapa sing maca, bung?”.***

Sabtu, 02 Agustus 2014

Air Kolam Itu



Oleh Dadang Kusnandar

Penulis lepas, tinggal di Cirebon

Alkisah, seseorang melaksanakan perintah puasa dengan tujuan kekebalan dan atau kesaktian lain pernah digunakan oleh kaum muslim Indonesia tatkala berperang melawan Kompeni. Berbincang dengan seorang tokoh Nahdathul `Ulama Cirebon yang pernah mondok di pesantren yang didirikan oleh KH Jazuli Malawi, belum lama ini, saya justru memperoleh pengetahuan baru tentang do`a dan karomah kiai.(Tentang Kiai Jazuli Malawi, ini link-nya  http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,13858-lang,id-c,warta-t,Masjid+Al+Kurdi+Masih+Kokoh+Meski+Tua-.phpx). Memang bukan puasa yang diceritakan sang tokoh, akan tetapi tradisi Jawa dalam kaitan dengan puasa tak pelak membuahkan apa yang kita tuju. 

Sang tokoh bercerita, pada peristiwa G30S/PKI 1965, Kiai Jazuli Malawi membacakan do`a, di tangan kanan segelas air putih tergenggam, usai berdo`a ditiuplah air di dalam gelas itu. Tak lama sesudah itu, air tadi dilemparkan ke dalam kolam di depan pondok. Para santrinya disuruh mandi, menyelam dan minum air kolam yang keruh itu. Usai melakukan “seremoni” itu, seorang santri diangkat tubuhnya oleh sang kiai lantas dilemparkan ke udara melintas ketinggian pohon. Lalu terjatuh dan badan santri tadi menimpa batu besar. Ternyata ia tidak luka serta tidak berdarah setetes pun. Tidak ada tulangnya yang retak dan sebagainya. Ia bagai tidak merasakan apa-apa.

Kiai mendekat lalu bertanya, “Sakit boten, cung?” (Sakitkah, anakku?)
“Boten, Mama Yai. (Tidak Kiai)”, jawab santri.
“Mangkat sira. Perang.(Pergilah kamu. Berperang.)”, sambung sang kiai.

Saya menyanggah cerita itu dengan bertanya, “Apakah kisah ini dilebih-lebihkan?”. Spontan ia menjawab, “Saya saksinya dan saya termasuk santri yang minum air kolam keruh itu. Saya ikut memerangi kekejaman PKI waktu itu. Sedikit pun tidak ada rasa takut berhadapan dengan musuh mana pun”, katanya mantap. Puasa dan kesaktian mungkin saja dibenarkan untuk suatu alasan yang lebih banyak manfshadatnya dibanding mudharatnya, terlebih jika untuk mempertahankan harga diri bangsa (misalnya merebut dan mempertahankan kemerdekaan) maupun untuk membela ghirah agama Islam.

Masjid Al Kurdi di Desa Karangmalang Kecamatan Ketanggungan Brebes, Jawa Tengah di tahun 1960-an itu merupakan mesjid utama pesantren yang dihuni tokoh NU yang berbincang dengan saya pada sebuah malam Ramadhan 1435 Hijriyah/ 2014 Masehi. Konon ketika itu santrinya mencapai jumlah 700-an dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia. 

Mungkin lantaran sang tokoh NU itu adalah seorang jawara pada masanya, maka ia lebih asik bercerita tentang “kesaktian”, tentang karomah kiai dan hal-hal seputar mujarabnya do`a para aulia kepada Allah swt.  Do`a yang terijabah salah satunya ialah do`a yang dipanjatkan oleh orang-orang yang dekat dengan Allah swt, yang selalu mendekatkankan diri kepadanya, sehingga istilah taqarub ilallah merupakan sebuah ajaran keimanan untuk menguatkan tauhid. Itulah yang dikisahkan kang Amin di kediamannya. 

Lelaki berusia sekira mendekati angka 70 tahun itu bertutur banyak tentang pertikaian NU vs PKI. Tentang pembantaian orang PKI yang diakuinya, meski sesaat sebelum eksekusi dilakukan, santri-santri NU bertanya terlebih dahulu. “Ayo ucapkan syahadat”, katanya. Orang PKI yang mengucapkan dua kalimat syahadat batal/ urung dieksekusi. Tetapi entah kenapa, ujarnya, kebanyakan mereka berkata, “Hidup PKI!” Tak lama kemudian, orang PKI itu pun (maaf, pen.) disembelih karena ketiadaan bedil dan pistol. 

Soal kesaktian para aulia (orang-orang suci)  saat berlangsungnya konflik horisontal atas nama ideologi dan agama, untuk saya cukup menarik. Kekuatan dan kemampuan berolah fisik diamanatkan oleh hadist Nabi saw yang menerangkan bahwa laki-laki harus bisa memanah, berkuda, dan berenang. Tiga hal yang dielaborasikan sebagai syarat pertama untuk maju ke medan perang di masa Nabi Muhammad saw dan para sahabat. Itu sebabnya tradisi Jawa yang dipertahankan manakala ajaran Islam masuk menjadi mediasi ketersebaran agama yang dibawa melalui pendekatan budaya.

Dia bertutur tentang seorang PKI yang sakti, di Brebes Jawa Tengah. Tidak mempan dikenai senjata tajam, bahkan dengan benda keras maupun dikubur hidup-hidup. Ia menantang kiai, “Ayo pateni isun (ayo, bunuhlah saya)”, katanya. Seorang kiai pesantren Limbangan pun akhirnya melaksanakan shalat, bermunajat kepada Allah swt minta diberikan petunjuk untuk memusnahkan sang PKI sakti itu. Akhirnya setelah dilinggis (dipukul menggunakan linggis) mulut sang PKI dikuak lantas sebatang rumput ditarik keluar masuk mulutnya, sang sakti itu pun meninggal dunia.

Saya agak merinding juga mendengar perseteruan NU vs PKI yang dikisahkan Kang Amin Muhaimin. Betapa politik yang begitu dahsyat mampu mengembangkan sayapnya ke sektor agama dan ideologi. Begitu kuat politik menyihir penganut agama dan penganut ideologi untuk saling mengklaim kebenaran diri. Semuanya bertaruh atas nama kepentingan. Atas nama perintah. Kelompok agama mengaku mendapat perintah Tuhan, sementara penganut ideologi mengaku mendapat perintah organisasi/ lembaga. Fakta dan data G30S/PKI di Indonesia  terlalu banyak  variannya, sehingga kekaburan sejarah itu lebih mengemuka daripada kejernihan kisahnya.

Saking kuatnya sihir politik itu, konon jikalau PKI memenangkan kudeta 1965 maka akan ada peraturan tentang anak-anak yang khusus dipelihara oleh negara sejak bayi. Menurut Kang Amin, jika seorang ibu melahirkan anak saat itu juga anaknya dipisahkan dengan orang tuanya. “Jadi sira kuh Jo (ia menunjuk kepada Johandi, teman baik saya) tugase mung macek bae. Toli anak sira dipasrahnang ning lembaga”. Sang anak  menjadi tanggungan degara dan didoktrin sebagai seorang komunis. Orang tua dan anak tidak saling mengenal. Mungkin saja di antara anak dan orang tua kandung akan terjadi pernikahan.
“Jangankan bicara birrul walidaini (hormat kepada orang tua), bahkan pendidikan anak sejak dalam buaian pasti sulit  karena tidak saling berjumpa. Dan celakanya, ini by design oleh negara.” Negara, dalam arti apabila pemberontakan G30S/PKI di tahun 1965 itu menang dan mengganti ideologi negara menjadi komunis. ***