Jumat, 07 Desember 2012

TEATER DI CIREBON



Catatan Dadang Kusnandar

I.                    I. TEATER RAKYAT

Belum diketahui tahun  kemunculan sandiwara/ tonil/ teater di Cirebon. Juga belum diketahui pencipta atau penggagas Masres. Sebagai kekayaan, sandiwara rakyat Cirebon yang dikenal dengan istilah Masres telah hidup cukup lama (ratusan tahun?) seiring perjalanan dakwah agama melalui kesenian. Apa dan bagaimana Masres,  telah menjadi pengetahuan publik karena beberapa ciri khas yang ada di dalamnya. Singkatnya, Masres memerlukan beberapa unsur pendukung pertunjukan. Unsur pendukung tersebut meliputi:
1.       1. Seni Tulis untuk cerita/ naskah
2.       2. Seni Lukis untuk backdrop panggung/ lanskap cerita
3.       3. Seni Musik Tardisi untuk mengiringi jalan cerita
4.       4. Seni Lampu atau lighting untuk menciptakan suasana cerita
5.       5. Seni Suara bagi pesinden sebagai pendukung dan sisipan cerita
6.       6. Seni Tari sebagai sisipan cerita
7.       7. Seni Bela Diri sebagai pendukung cerita
8.       8. Seni Rupa untuk seting panggung
9.       9. Seni Busana Tradisi untuk kostum pemain

Meskipun pentas Masres umumnya tidak didukung oleh naskah (yang ditulis dengan skenario lengkap) karena pemain hafal jalan cerita, namun kisah yang ditampilkan merupakan adaptasi seni tulis dari sejarah Cirebon yang terdapat pada manuskrip lama. Masres setidaknya merupakan teater rakyat yang cukup lengkap merangkum beberapa jenis kesenian. 

Selain Masres, kesenian rakyat ala teater adalah Tarling. Misalnya pula Tarling Putra Sangkala dibawah komando Haji Abdul Adjib, dan Tarling Nada Budaya dengan kepiawaian Sunarto Martaatmadja .  Jika Masres dan Tarling dapat dikategorikan sebagai teater rakyat, mulai tahun 1960-an muncul sekumpulan anak muda mendirikan teater modern (untuk ukuran saat itu) . Tulisan ini tidak membahas seni tradisi Cirebon yang tidak berlatar teater.

II.                 II. TEATER MODERN

Teater Tanah Air (TTA) berdiri tahun 1960-an di Kota Cirebon berkat tangan dingin Indra Soeradi. Lalu menyusul Teater Cob-cob Grage dibawah bimbingan trio seniman Gozali el-Hamidi, Nurdin M. Noer, dan Sumbadi Sastra Alam pada tahun 1977. Setelah itu Teater Nara dibawah asuhan Adrian Rahardjo  melalui tayangan TVRI yang masih berwarna layar hitam putih.

Mulailah tumbuh keinginan mendirikan teater modern, terutama di kalangan pelajar. Siswa SMP dan SMA tahun 1974 – 1992 di Kota Cirebon khususnya mempunyai grup teater yang manggung pada kegiatan hari besar agama dan hari besar nasional di sekolah masing-masing. Berkali pula berlangsung lomba teater tingkat SMP dan SMA. Sementara di tingkat Rukun Kampung (RK) sampai dengan tahun 1986 teater tampil pada peringatan HUT RI 17 Agustus. Setidaknya di RK saya, RK 10 Warnasari Kelurahan Kesambi Kota Cirebon dengan kehadiran seniman serba bisa yang bernama Amung.

Memasuki tahun 1990 - 2000, sanggar teater di Cirebon semakin banyak bermunculan, walaupun lomba teater jarang terjadi. Terakhir yang saya saksikan pada tahun 1991 di SMA Negeri 2 Cirebon diadakan lomba teater tingkat SMA dengan keterlibatan guru fisika Erly Tjahja Widjajanto. 

Hampir sama dengan teater rakyat, teater modern memerlukan sembilan unsur  kesenian (lihat ke atas) bahkan bertambah dengan kehadiran seni fotografi sebagai pendukung dokumentasi kegiatan. Bersamaan dengannya teknologi rekaman pun memperkuat teater modern. Kekuatan pun bertambah atas kehadiran Koran Masuk Desa (KMD) yang bernama Pikiran Rakyat Edisi Cirebon pada tahun 1978. Jadi sedikitnya ada daya dukung teater modern, yakni fotografi, recording, dan publikasi.  Tak berjarak lama, berdiri pula Tim Budaya PR Edisi dengan kegiatan antara lain teater. Wadah baru ini berhasil merekrut beberapa pegiat teater karena kekuatan publikasi koran lokal satu-satunya di Wilayah III Cirebon. Teater modern tidak semata-mata menampilkan naskah berlatar cerita rakyat, melainkan teater ini mengadopsi naskah saduran baik karya orang Indonesia maupun luar Indonesia. Dan lahir pula penulis skenario teater dari kalangan muda. Yang produktif menulis skenario adalah Nana Mulyana di bawah bendera Tim Budaya PR Edisi.
Keberadaan Gedung Pemuda di Jalan Lawanggada kian mengkondusif pentas teater yang dimainkan teater sekolah, dan teater non sekolah. Demikian pula Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang di Komplek Perkantoran Bima hingga sempat dihuni oleh Teater Gardu yang diawaki Nico Brur cs, Bengkel Seni di tangan Gabriel, Teater (maaf lupa namanya) yang diketuai Lyandra Rustam. Sayang sekali, sudah lebih dari 10 tahun Gedung Kesenian Cirebon sunyi dari aktivitas kesenian.

Yang tak boleh terlupakan adalah Teater An Nur (kini berubah menjadi Teater Cahaya) dengan pemain anak-anak Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah di bawah asuhan Agus DTA. Teater Cahaya masih hidup hingga sekarang. Bambang S. Bawono pun sempat sekali menyutradai pementasan Dokter Gadungan karya Moliere di Gedung Pemuda.

III.              III. TEATER KAMPUS

Tiga kampus perguruan tinggi Cirebon, yakni Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Swadaya Gunungjati (Unswagati), dan Universitas Tujuhbelas Agustus (Untag) mempunyai grup teater masing-masing. Teater Awal, Teater Dugal dan Teater  Parlemen. Koernadi Chalzoem tercatat sebagai orang paling penting di Teater Awal, Sutarno bagi Teater Dugal, dan Ahmad Syubbanuddin Alwy untuk Teater Parlemen. Berbagai pentas teater kampus itu (saya tidak tahu tahun kelahirannya) bahkan merambah ke luar kota. Hal yang juga dilakukan bidang teater Tim Budaya PR Edisi, Teater Nara, dan teater pendahulunya.
Sampai dengan tahun 2012 teater ketiga kampus di Kota Cirebon tetap berkreasi menampilkan karyanya. Dilengkapi dengan lomba teater tingkat SMA, hingga merambah ke film pendek yang ditayangkan di televisi lokal Cirebon, Teater Awal masih eksis hingga kini. Koernadi bersama Sumbadi melakukan eksplorasi teater ke media televisi. Naskah diangkat berdasar kisah rakyat Cirebon bagi pemirsa televisi. 

Teater Dugal pun tetap berkarya dan main di luar kota (Indramayu, Tegal, Purwokerto dsb). Di bawah bendera UKM Seni & Budaya Unswagati, Teater Dugal pun mengundang grup teater kampus lain pentas di Cirebon. Dan kegiatan Test Mental & Bakat (Temab) UKM Seni & Budaya Unswagati masih berlangsung sampai sekarang.

Teater Parlemen pun pernah menampilkan “Menyingkap Merah Putih” bersama Teater Satu Merah Panggung (Ratna Sarumpaet) di Tugu Proklamasi Jakarta. Naskah dan sutradara ketika itu Dedi Kampleng. Demikian pula naskah berjudul “Dunia Orang-orang Mati” karya Saini KM yang disutradarai Ken Nagasi tampil di Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI Bandung tahun 2002.

IV.                2012 DST

Masa depan teater Cirebon tahun 2012 dan seterusnya sangat bergantung di tangan seniman. Seniman kampus dan non kampus selayaknya terus melakukan eksplorasi teater agar keberadaannya tetap diperhitungkan. Eksplorasi seniman menjadi penting bagi keberlangsungan teater di Cirebon khususnya. Teater yang harus terus dihidupi karena di dalamnya terdapat banyak unsur kesenian pendukung yang tidak mustahil memberi manfaat kepada penonton. 

Pesan moral yang tampil pada pementasan teater merupakan hal paling berharga dibanding hal apa pun. Dengan begitu jangan sesekali takut untuk menghidupi teater. Salam Budaya!*** 


(Terima kasih kepada Nurdin M. Noer dan Dedi Kampleng atas beberapa pesan pendeknya sehingga tulisan pendek ini terbaca)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar