Catatan Dadang Kusnandar
I.
I. TEATER
RAKYAT
Belum diketahui tahun
kemunculan sandiwara/ tonil/ teater di Cirebon. Juga belum diketahui
pencipta atau penggagas Masres.
Sebagai kekayaan, sandiwara rakyat Cirebon yang dikenal dengan istilah Masres
telah hidup cukup lama (ratusan tahun?) seiring perjalanan dakwah agama melalui
kesenian. Apa dan bagaimana Masres, telah menjadi pengetahuan publik karena
beberapa ciri khas yang ada di dalamnya. Singkatnya, Masres memerlukan beberapa
unsur pendukung pertunjukan. Unsur pendukung tersebut meliputi:
1.
1. Seni Tulis untuk cerita/ naskah
2.
2. Seni Lukis untuk backdrop panggung/ lanskap cerita
3.
3. Seni Musik Tardisi untuk mengiringi jalan cerita
4.
4. Seni Lampu atau lighting untuk menciptakan suasana cerita
5.
5. Seni Suara bagi pesinden sebagai pendukung dan
sisipan cerita
6.
6. Seni Tari sebagai sisipan cerita
7.
7. Seni Bela Diri sebagai pendukung cerita
8.
8. Seni Rupa untuk seting panggung
9.
9. Seni Busana Tradisi untuk kostum pemain
Meskipun pentas Masres umumnya tidak didukung oleh naskah
(yang ditulis dengan skenario lengkap) karena pemain hafal jalan cerita, namun
kisah yang ditampilkan merupakan adaptasi seni tulis dari sejarah Cirebon yang
terdapat pada manuskrip lama. Masres setidaknya merupakan teater rakyat yang
cukup lengkap merangkum beberapa jenis kesenian.
Selain Masres, kesenian rakyat ala teater adalah Tarling.
Misalnya pula Tarling Putra Sangkala
dibawah komando Haji Abdul Adjib, dan Tarling Nada Budaya dengan kepiawaian Sunarto Martaatmadja . Jika Masres dan Tarling dapat dikategorikan
sebagai teater rakyat, mulai tahun 1960-an muncul sekumpulan anak muda
mendirikan teater modern (untuk ukuran saat itu) . Tulisan ini tidak membahas
seni tradisi Cirebon yang tidak berlatar teater.
II. II. TEATER
MODERN
Teater Tanah Air (TTA) berdiri tahun 1960-an di Kota Cirebon
berkat tangan dingin Indra Soeradi. Lalu menyusul Teater Cob-cob Grage dibawah bimbingan trio seniman Gozali
el-Hamidi, Nurdin M. Noer, dan Sumbadi Sastra Alam pada tahun 1977. Setelah itu
Teater Nara dibawah asuhan Adrian
Rahardjo melalui tayangan TVRI yang
masih berwarna layar hitam putih.
Mulailah tumbuh keinginan mendirikan teater modern, terutama
di kalangan pelajar. Siswa SMP dan SMA tahun 1974 – 1992 di Kota Cirebon
khususnya mempunyai grup teater yang manggung pada kegiatan hari besar agama
dan hari besar nasional di sekolah masing-masing. Berkali pula berlangsung
lomba teater tingkat SMP dan SMA. Sementara di tingkat Rukun Kampung (RK)
sampai dengan tahun 1986 teater tampil pada peringatan HUT RI 17 Agustus.
Setidaknya di RK saya, RK 10 Warnasari Kelurahan Kesambi Kota Cirebon dengan
kehadiran seniman serba bisa yang bernama Amung.
Memasuki tahun 1990 - 2000, sanggar teater di Cirebon
semakin banyak bermunculan, walaupun lomba teater jarang terjadi. Terakhir yang
saya saksikan pada tahun 1991 di SMA Negeri 2 Cirebon diadakan lomba teater
tingkat SMA dengan keterlibatan guru fisika Erly Tjahja Widjajanto.
Hampir sama dengan teater rakyat, teater modern memerlukan
sembilan unsur kesenian (lihat ke atas)
bahkan bertambah dengan kehadiran seni fotografi sebagai pendukung dokumentasi
kegiatan. Bersamaan dengannya teknologi rekaman pun memperkuat teater modern.
Kekuatan pun bertambah atas kehadiran Koran Masuk Desa (KMD) yang bernama
Pikiran Rakyat Edisi Cirebon pada tahun 1978. Jadi sedikitnya ada daya dukung
teater modern, yakni fotografi, recording,
dan publikasi. Tak berjarak lama,
berdiri pula Tim Budaya PR Edisi dengan kegiatan antara lain teater. Wadah baru
ini berhasil merekrut beberapa pegiat teater karena kekuatan publikasi koran
lokal satu-satunya di Wilayah III Cirebon. Teater modern tidak semata-mata
menampilkan naskah berlatar cerita rakyat, melainkan teater ini mengadopsi
naskah saduran baik karya orang Indonesia maupun luar Indonesia. Dan lahir pula
penulis skenario teater dari kalangan muda. Yang produktif menulis skenario
adalah Nana Mulyana di bawah bendera
Tim Budaya PR Edisi.
Keberadaan Gedung Pemuda di Jalan Lawanggada kian
mengkondusif pentas teater yang dimainkan teater sekolah, dan teater non
sekolah. Demikian pula Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang di Komplek
Perkantoran Bima hingga sempat dihuni oleh Teater Gardu yang diawaki Nico Brur
cs, Bengkel Seni di tangan Gabriel, Teater (maaf lupa namanya) yang diketuai
Lyandra Rustam. Sayang sekali, sudah lebih dari 10 tahun Gedung Kesenian
Cirebon sunyi dari aktivitas kesenian.
Yang tak boleh terlupakan adalah Teater An Nur (kini berubah
menjadi Teater Cahaya) dengan pemain anak-anak Madrasah Ibtidaiyah dan
Tsanawiyah di bawah asuhan Agus DTA. Teater Cahaya masih hidup hingga sekarang.
Bambang S. Bawono pun sempat sekali menyutradai pementasan Dokter Gadungan
karya Moliere di Gedung Pemuda.
III. III. TEATER
KAMPUS
Tiga kampus perguruan tinggi Cirebon, yakni Institut Agama
Islam Negeri (IAIN), Universitas Swadaya Gunungjati (Unswagati), dan
Universitas Tujuhbelas Agustus (Untag) mempunyai grup teater masing-masing.
Teater Awal, Teater Dugal dan Teater Parlemen. Koernadi Chalzoem tercatat sebagai
orang paling penting di Teater Awal, Sutarno bagi Teater Dugal, dan Ahmad Syubbanuddin
Alwy untuk Teater Parlemen. Berbagai pentas teater kampus itu (saya tidak tahu
tahun kelahirannya) bahkan merambah ke luar kota. Hal yang juga dilakukan
bidang teater Tim Budaya PR Edisi, Teater Nara, dan teater pendahulunya.
Sampai dengan tahun 2012 teater ketiga kampus di Kota
Cirebon tetap berkreasi menampilkan karyanya. Dilengkapi dengan lomba teater
tingkat SMA, hingga merambah ke film pendek yang ditayangkan di televisi lokal
Cirebon, Teater Awal masih eksis hingga kini. Koernadi bersama Sumbadi
melakukan eksplorasi teater ke media televisi. Naskah diangkat berdasar kisah
rakyat Cirebon bagi pemirsa televisi.
Teater Dugal pun tetap berkarya dan main di luar kota
(Indramayu, Tegal, Purwokerto dsb). Di bawah bendera UKM Seni & Budaya
Unswagati, Teater Dugal pun mengundang grup teater kampus lain pentas di
Cirebon. Dan kegiatan Test Mental & Bakat (Temab) UKM Seni & Budaya
Unswagati masih berlangsung sampai sekarang.
Teater Parlemen pun pernah menampilkan “Menyingkap Merah
Putih” bersama Teater Satu Merah Panggung (Ratna Sarumpaet) di Tugu Proklamasi
Jakarta. Naskah dan sutradara ketika itu Dedi Kampleng. Demikian pula naskah
berjudul “Dunia Orang-orang Mati” karya Saini KM yang disutradarai Ken Nagasi
tampil di Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI Bandung tahun 2002.
IV.
2012
DST
Masa depan teater Cirebon tahun 2012 dan seterusnya sangat
bergantung di tangan seniman. Seniman kampus dan non kampus selayaknya terus
melakukan eksplorasi teater agar keberadaannya tetap diperhitungkan. Eksplorasi
seniman menjadi penting bagi keberlangsungan teater di Cirebon khususnya.
Teater yang harus terus dihidupi karena di dalamnya terdapat banyak unsur
kesenian pendukung yang tidak mustahil memberi manfaat kepada penonton.
Pesan moral yang tampil pada pementasan teater merupakan hal
paling berharga dibanding hal apa pun. Dengan begitu jangan sesekali takut
untuk menghidupi teater. Salam Budaya!***
(Terima kasih kepada Nurdin M. Noer
dan Dedi Kampleng atas beberapa pesan pendeknya sehingga tulisan pendek ini
terbaca)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar