Senin, 18 November 2013

Stiker Soeharto yang Mengecoh

Oleh Dadang Kusnandar

SEBUAH stiker bergambar mantan Presiden Soeharto dengan senyum khasnya sambil melambaikan tangan dan bertuliskan: Enak jamanku to, le? ~cukup mengganggu pikiran saya. Saat bepergian ke luar kota pun bagian belakang truk menempelkan gambar tersebut. Bahkan beberapa tetangga saya menempelkan stiker itu di kaca jendela rumahnya. Tentu saja beredarnya stiker yang mengecoh masyarakat itu sebagai konsekuensi logis kegagalan pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Seingat saya ketika wacana kenaikan harga BBM tahun 2013 getol digalakkan pemerintah, diam-diam ada sekelompok orang yang mengambil momentum “menghidupkan” kembali Eyang Soeharto dari kuburnya. Mereka memberi alternatif menyesatkan dengan cara membandingkan era Orde Baru dengan Era Reformasi. Alternatif itu jelas menyesatkan dan mengecoh lantaran sangat terkesan semua presiden sebelum dan sesudah Soeharto tidak memberi kontrubusi apa pun bagi pembangunan negeri. Semua presiden Indonesia, kecuali Eyang Soeharto telah gagal memimpin sehingga akhirnya layak ditertawakan. Senyum Soeharto yang menggoda sampai ia dijuluki The Smiling General, menjadi salah satu modal menertawakan kegagalan pemimpin republik (terutama) setelah Soeharto tidak menjadi presiden lagi. 

Bila ditelisik ke belakang, memang banyak orang yang diuntungkan oleh kepemimpinan Soeharto. Banyak kelompok yang menikmati kekayaan Indonesia bagi kepentingan penguatan kartel Soeharto yang bertebaran di hampir seluruh pelosok Nusantara. Bahkan belum lama, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama alias Ahok mempublikasi kekayaan putra bungsu Soeharto, Hutama Mandala Putra alias Tommy Soeharto di Belitung. Saat itu boleh disebut era Soeharto ~yang naik ke pentas politik lantaran makar terhadap Bung Karno melalui Super Semar di Istana Bogor~ sepanjang 1966 – 1998. 

Akan tetapi jika ditelisik lebih cermat lagi, justru lebih banyak orang/ rakyat yang dirugikan oleh kepemimpinan Soerharto selama 32 tahun itu. Kerugian yang massif itu mengakibatkan ketidakpercayaan rakyat atas kepemimpinan Soeharto. Dan sebagaimana diketahui bersama, 20 Mei 1998 akhirnya Soeharto mundur dari kursi kekuasaannya.

Kemajuan Semu
 
Kembali ke stiker Enak jamanku to, le? sepertinya ada sekelompok masyarakat yang merindukan kembali kemajuan ekonomi semu, pembangunan semu, swasembada pangan semu, kamuflase harga kebutuhan pokok yang terjangkau rakyat, terkendalinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan sebagainya. Semuanya semu karena memang telah dirancang menjadi negeri seolah-olah. Seolah-olah berhasil memakmurkan rakyatnya. Seolah-olah menjadi negeri yang subur makmur tata tentram raharja. Seolah-olah menjadi Macan Asia yang ditakuti bangsa lain. Sejak dulu memang negeri di batas khatulistiwa ini layak dijuluki negeri seolah-olah. Bahkan ada pendapat mengatakan bahwa negeri ini merupakan Benua Atlantis yang tenggelam itu. 

Enak apanya di jaman Soeharto? Semua konsep Bung Karno dan founding father dinafikan mentah-mentah. Ide Soekarno untuk mengelola kekayaan alam oleh tangan bangsa sendiri seketika berubah sesaat setelah Soeharto menjadi presiden. Mahasiswa Indonesia yang tengah mengikuti kuliah energi dan perminyakan di Eropa Timur dan Uni Sovyet langsung disuruh pulang oleh Soeharto, lantas diadakanlah kontrak karya dengan asing yang berakibat terus hingga kini. Soeharto tergesa-gesa ingin menikmati uang minyak bumi Indonesia sehingga mendatangkan orang asing di bidang perminyakan sambil menyingkirkan puluhan pemuda cerdas yang telah (dan tengah) belajar perminyakan di Eropa Timur dan Uni Sovyet.
Lalu atas nama kekuasaan pula, Soeharto menempatkan kroni dan keluarganya pada bisnis strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak. Secara politik ia membangun kekuatan dengan Golongan Karya (Golkar) dan menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihat. Secara politik pula ia menempatkan anak dan keluarga di parlemen Senayan. Dan masih banyak praktek busuk yang dilakukan Soeharto demi proteksi kekuasaannya. 

Jadi apa alasan sebagian masyarakat percaya dengan bunyi stiker yang mengecoh itu: Enak jamanku to, le? Sungguh tidak beralasan pula seandainya kemajuan semu yang telah diperlihatkan era Soeharto malah terpampang di kaos/ T-Shirt yang dikenakan anak-anak muda. Anak-anak muda yang merupakan keturunan orang yang telah dirugikan oleh Soehartonomic. Anak-anak muda itu mungkin ingin tampil beda dengan mengenakan kaos bertuliskan unik, atau mungkin ingin meledak kegagalan kepemimpinan SBY. Namun demikian seharusnya pula disadari bahwa tulisan dan makna yang terirat pada stiker itu sebenarnya mengecoh dan menyesatkan.
 
Di sisi lain bisa saja kemunculan stiker itu hanya merupakan joke politik, sebuah senda gurau di tengah kebebasan ekspresi politik Indonesia saat ini. Dan boleh jadi ia (pencetus ide pembuatan stiker mengecoh itu) tidak menyangka joke politik yang dimunculkannya berakibat fatal. Setidaknya fatal bagi pembangunan karakter bangsa. 

Bangsa Indonesia saat ini memerlukan kembali pembangunan karakter yang kuat, sepenting memahami makna nasionalisme. Dengan kata lain kemunculan stiker Enak jamanku to, le? justru merusak tatanan pembangunan karakter bangsa yang (boleh jadi) sedang dilakukan oleh penguasa saat ini maupun oleh eksponen partai politik dan kelompok lain yang sadar atas nation caracter building.

Maka membaca stiker yang sangat mengecoh dan memperburuk kondisi politik Indonesia itu sebaiknya kita tidak spontan membenarkan setiap apa pun yang muncul sebagai reaksi atas kegaglan Era Reformasi. Terlebih menjelang pemilihan umum anggota legislatif 2014 dan pemilihan presiden 2014 mendatang, suhu politik memang cenderung memanas. Segala bentuk dekonstruksi akan muncul, mungkin tanpa kendali karena orang sibuk dengan dirinya sendiri. Sibuk untuk menjadi anggota parlemen, sibuk ingin menjadi kaya raya dengan berbagai cara dan salah satu cara itu ialah mencatatkan namanya sebagai calon anggota legislatif (caleg). Sibuk menebarkan citra di tengah masyarakat namun abai terhadap fenomena politik yang berlangsung pada saat yang sama.

Enak jamanku to, le? Enak apanya Eyang Soeharto? Memang enak tidak menjadi diri sendiri di negeri sendiri?***