Selasa, 02 Oktober 2012

Subjektivitas Kolektif 300965



Oleh Dadang Kusnandar

Penulis lepas, tinggal di Cirebon

TANGGAL  ini 47 tahun silam, adalah tanggal  mencekam, tanggal penuh tekanan. Orang saling tikam. Senjata memuntahkan peluru, dan korban jatuh. Empat puluh tujuh tahun silam, Jakarta memerah semerah rasa marah serta genangan darah. Tidak ada yang mau mengungkap fakta sebenarnya di balik kisah dan sejarah yang mengharu biru itu. Sejarah yang menandakan kepedihan menjadi bagian tak terpisah dari perjalanan republik di usia muda. Berpuluh (mungkin beratus) buku bertutur tentang tanggal menakutkan ini. Buku dengan suspens berbeda karena yang sama hanya satu: saling tikam antarsesama manusia. 

Teringat kembali peristiwa pilu 30 September 1965 bagai menyeret berjuta kepedihan. Kamu dan Saya berbeda lantas perbedaan itu menimbulkan konflik. Tak hanya politik yang guncang melainkan juga kemanusiaan. Politik dan kemanusiaan bagaikan dua sisi berseberangan serta sulit akur. Keduanya berada pada kemandirian masing-masing, berdiri pada “kesejatiannya” tanpa saling menyapa. Terlebih berpeluk dalam kesatuan. Rasa dan jiwa keduanya (jika mengingat tanggal ini 47 tahun lalu) menguap entah ke mana.

Seorang kawan (kini telah berpulang ke haribaan ilahi) menuturkan kisah pilu tanggal itu. Katanya, “Dibanding korban tsunami Aceh, kami diperlakukan sangat tidak manusiawi. Korban tsunami Aceh dibantu tentara dan masyarakat. Kami menyelamatkan diri, naik ke atas pohon, ke atap rumah, sembunyi di bawah tanah~ tapi kami ditembak tentara”. Teman yang lain bertutur emosional, “Anda tidak tahu, PKI itu kejam. Ayah saya seorang imam surau digorok lehernya hingga mati. Jadi jangan sekali-kali mengkhotbahkan isu kemanusiaan atas nama HAM, sementara Anda tidak tahu kekejaman PKI”. Saya juga teringat ujaran seorang tokoh pembela kemanusiaan di suatu pagi sekira 10 tahun lalu. “Harus diakui kehebatan PKI memobilisir massa. Di kampung saya, aktivis PKI mendata kepemilikan tanah. Data pun didapat. Ternyata nama pemilik tanah hamper 90% adalah muslim bertitel haji. Ah, seterusnya….. teman-teman paham apa yang terjadi”. Begitu pula ujaran seorang pensiunan TNI AD, “PKI itu kejam dan perilakunya merupakan makar terhadap pemerintahan yang syah”.

Alinea di atas (meski sedikit) memberi gambaran betapa perbedaan menjadikan tanda lantas menandai cara pandang dan persepsi kita pada penanggalan  47 tahun tahun lalu. Perbedaan itu sampai kini masih menjelma. Tentang jumlah korban, tentang apa siapa bagaimana, tentang muasal peristiwa, juga tentang kenapa peristiwa itu terjadi.

Sebagaimana pengetahuan yang merupakan rahasia umum, perbedaan adalah rahmat. Perbedaan adalah karunia sehingga keberbedaan menghasilkan pengenalan. Persoalannya kemudian, perbedaan tanggal ini 47 tahun lalu, bisakah dikatakan rahmat? Saya curiga, dalam konteks ini perbedaan adalah laknat. Perbedaan yang menghasilkan curiga dan baku tembak, perbedaan yang terus mencipta trauma sejarah sehingga bingkai sejarah Indonesia tercabik. Oleh peristiwa besar, sejarah, politik, dan kemanusiaan yang berangkat dari perbedaan.

Subjektivitas Kolektif

Semula banyak harapan disandarkan kepada beberapa orang penting yang hidup pada zaman itu agar mau mengisahkan 30 September 1965. Kini orang-orang penting yang tahu serta menjadi bagian peristiwa tersebut telah tiada. Demi menjaga nasionalisme, mereka tidak bercerita, menutup mulut rapat-rapat hingga menutup mata. Sejarah menguburkan dan mengaburkan kisah yang mestinya diketahui publik secara seimbang. Akan tetapi demi keutuhan nasional, demi stabilitas keamanan dan keindonesiaan ~tanggal ini 47 tahun lalu menyisakan subjektivitas kolektif.

Pikiran kolektif mengenai kekejaman, maupun upaya mempertahankan republik: mempertahankan dasar negara, saling berdesak berebut tempat. Pada pikiran kolektif kita yang terbatas ini, suasana kontradiktif berlalu lalang dan melenggang. Tak tahu hingga kapan lantaran sepeninggal sejumlah tokoh yang dekat dengan peristiwa hadir “tokoh-tokoh” baru membawakan kisah berbeda. Dengan kata lain pikiran kolektif kian merebak serta mencipta ruang baru yang bernama kebebasan berpikir dan kebebasan menilai. Dan pikiran serta penilaian itu saling berbeda. Satu dengan yang lain menampilkan wajahnya sendiri.

Lalu bagaimana kita dan generasi penerus memahami peristiwa bersejarah yang debatable dan multiinterpretasi ini? Akankah dibiarkan gone with the wind, berlalu bersama angin. Bersama angin sejarah yang punya hembusannya sendiri. Ataukah ada yang getol berupaya mengumpulkan kembali kisah-kisah terserak yang menopang ingatan (pikiran) kolektif itu? Sejarawan satu dengan yang lain berbeda titik pandang. Demikian pula politisi, tentara, pengikut komunisme Indonesia, mahasiswa, pelajar dan sebagainya memiliki subjektivitas yang tak dapat diterjang saat ini. Maka terciptalah jarak antara kita dengan peristiwa.

Menatap monumen Lubang Buaya di Jakarta Selatan, menatap bangunan kokoh Markas Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dekat stasiun kereta api Gambir, menatap gedung RRI di Merdeka Barat, lapangan udara yang kini menjadi markas besar TNI Angkatan Udara sekitar Halim, serta menatap berderet gambar korban (dari semua kalangan) ~menyisakan sebuah pertanyaan di benak: sampai kapan kita mau jujur terhadap sejarah bangsa sendiri?

Di sisi lain mungkinkah sejumlah analisis melalui pengumpulan kembali kisah-kisah terserak yang menaut Indonesia tahun 1965 itu ~mampu menghasilkan output yang baik atas kesejarahan kita? Dalam relasi ini kiranya kesungguhan memaparkan kisah buram 47 tahun lalu itu mesti menghadirkan banyak kalangan. Sedikitnya untuk mengurangi serta mengurai subjektivitas kolektif yang masih bertahta di pikiran. Dan tulisan pendek ini ditulis tidak dalam rangka menumbuhsuburkan kembali perlawanan atau sesuatu yang kelak berubah menjadi berdarah-darah. Melainkan untuk disandingkan sebagai pembanding yang diharapkan objektif, sesulit apa pun. Saya merindukan suasana itu. Suasana manakala tiap kita mahfum dengan kebesaran bangsa yang cinta damai. Bangsa yang cinta kebersamaan kendati ia dibangun di atas keberbagaian dan perbedaan.

Polemik

Tulisan singkat ini dipublish karena hingga kini peristiwa sejarah kelam dan berdarah-darah ini terus mengundang polemik. Mengutip Harian Terbit (26/7/12): Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras), menyambut gembira laporan hasil penyelidikan pro yustisia kekerasan awal Orba, termasuk peristiwa G 30 S PKI yang diluncurkan Komnas HAM. Laporan tersebut dinilainya sebagai pintu masuk bagi negara untuk mengungkap kebenaran, kepastian hukum, dan keadilan bagi korban. “Ini adalah kemajuan besar bangsa Indonesia. Senang atau tidak senang ,cemberut atau tidak cemberut muka SBY, ini pertama di Indonesia dokumen 65 didokumentasikan negara,” ujar Koordinator Kontra, Haris Azhar, kemarin, di Jakarta. Menurut Haris, selama ini pemberitaan tentang G 30 S PKI selalu didominasi kepentingan orde baru dan militer. Untuk itu, negara perlu mengambil langkah cepat mengingat kondisi korban yang semakin memprihatinkan akibat tua, sakit, miskin. Menurut laporan ada empat orang setiap bulan meninggal dunia. “Hasil Komnas HAM ini dan tindak lanjut yang tepat dengan memerhatikan faktor korban akan berkontribusi untuk meniadakan pembohongan publik yang luar biasa, di antaranya melalui pendidikan kepada masyarakat,” tambahnya.


Di sisi lain rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meminta maaf pada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, termasuk korban pembantaian tentara dan pemuda pada 1965 silam, ditentang sejumlah kalangan. Mengutip tempo.co : Sabtu, 4 Agustus 2012, penolakan itu dideklarasikan dalam bentuk penandatangan petisi di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Hadir dalam deklarasi itu: Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso, mantan Gubernur Jawa Barat Solihin GP dan Nuriana, serta politikus lokal Jawa Barat seperti Otje Popong Djundjunan, Cece Padmadinata, Uu Rukmana, dan Kiki Syahnakri. Para penanda tangan petisi juga mewakili organisasi seperti Pepabri, BPK 45 Jabar, LVRI, Pemuda Pancasila, dan Majelis Ulama Indonesia. 

Benarkah kader komunis telah menyusup ke pemerintahan sehingga harus ditolak dan pemerintah harus tegas karena komunisme banyak dosanya, sebagaimana dipaparkan mantan Gubernur Jawa Barat, Solihin GP? Pengurus Besar Nahdathul Ulama (NU) sebagaimana dirilis Indonesia Today  (16/8/2012)juga menolak upaya istana yang akan memberikan maaf kepada mantan PKI. "Kami (PBNU) menolak permintaan maaf SBY kepada korban tragedi 65. Menurut kami, yang harus didorong adalah rekonsiliasi bukan meminta maaf," kata Wakil Ketua Umum PBNU, As'ad Said Ali dalam deklrasi "Mewaspadai Kebangkitan PKI" di kantor pusat PBNU Salemba, Jakarta, Rabu (15/8). Kata mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini, tragedi kemanusiaan 1965 harus dilupakan karena mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur telah memulihkan hak-hak mantan anggota PKI. "Jadi permintaan maaf tidak perlu," ungkapnya.
Tulisan ini hanya ingin mengatakan, “Kapankah kita bersikap jujur pada sejarah?”. Wallahu `alam.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar