Selasa, 11 September 2012

Kebersamaan di Tengah Perbedaan



Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon

SEORANG kawan mencurigai dan memberondongkan pertanyaan menggelitik, “Benarkah Anda memilih jadi orang NU?”. Pertanyaan yang masih sarat dengan sektarianisme seharusnya tidak dijawab. Namun bila didiamkan agaknya keislaman (rata-rata) tetap berpangkal pada dua hal, NU dan atau Muhammadiyah. Padahal keduanya adalah organisasi alias lembaga yang mempersatukan sekumpulan orang pada gagasan dan cita-cita yang sama. NU dan atau Muhammadiyah tidak seharusnya menjadikan pemilahan dan dikotomi. Justru keduanya mesti sinergi merangkai sebuah rangka bangun desain bangsa yang bernama Indonesia. Keduanya saling bekerja sama menerapkan ajaran kebangsaan berlandaskan ajaran agama Islam. 

Pertanyaan itu makin melebar ketika NU yang dianut oleh sebagian besar penduduk negeri yang beribukota di Jakarta (dan cukup lama tak pindah) ini berbeda dalam penentuan tanggal berikut hari pertama bulan Ramadhan dan bulan Syawal . Pertanyaan iseng di awal tulisan itu sepertinya masih terasa sebagai keniscayaan manakala kita melihat sebuah keluarga tidak melaksanakan tahlil sejak malam pertama ada anggota keluarganya yang meninggal dunia. “Dia kan Muhammadiyah, bro. Jadi tak ada tahlil. Katanya tahlil itu bid`ah”. Pernyataan tentang bid`ah pada pelaksanaan ritual budaya tahlil, kendati sekuat apa pun ditutupi namun faktanya tetap berlangsung di masyarakat. Juga perbedaan awal/ akhir bulan pada penanggalan Qomariyah. 

Tulisan ini tidak bermaksud menghidupkan perbedaan pada dua organisasi besar di Indonesia itu. Tulisan pendek ini hanya sekadar mengingatkan atas satu soal: Kita kadang menjadi sublim apabila telah memilih/ menetapkan diri menjadi bagian (pengurus/ aktivis/ anggota) sebuah organisasi agama. Berangkat dari asumsi kepemilihan kita pada satu organisasi tak ubahnya menciptakan sekat organisasi, terutama saat berhadapan dengan persoalan fiqh. 

Mohon maaf apabila harus berani kita katakana bahwa Islam tidak berkelahi pada ruang yang bernama fiqh/ syari`ah. Ajaran Islam berkelahi pada pergumulan budaya yang membentang sepanjang bentang bumi. Saya tidak berani mengatakan `alam lantaran ayat-ayat Qur`an banyak yang menuliskan samawat wal ardl, langit dan bumi. Meski `alam(in) menjadi fokus utama hadirnya agama suci ini, yakni rahmatan lil `alamin. Akan tetapi jangankan untuk alam alias jagat raya jika di bumi saja kita masih bertikai. Tragisnya, pertikaian itu bermula dari hal yang furu`iyah (cabang) yang tidak penting serta tidak menjadi acuan utama keberagamaan atau keislaman kita.

Nahdathul Ulama (NU) yang berdiri sejak 1926 di Jombang Jawa Timur dalam perjalanan sejarahnya banyak menorehkan catatan kebudayaan. Catatan panjang itu menjadi bermakna seandainya Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) 2012 yang diadakan di Babakan Ciwaringin Kabupaten Cirebon 14 – 17 September 2012 bertepatan dengan 27 Syawal – Dzulqo`idah 1433 H sukses menggagas dan menjawab pertanyaan kebangsaan dalam konteks budaya Indonesia yang beragam.
Dengan kata lain pertanyaan yang mencurigai serta pernyataan yang menghakimi tidak akan menjadi pembatas/ demarkasi antarsesama umat Islam. Lebih jauh lagi dalam hubungannya dengan kesetaraan antarumat beragama. Harus diakui NU dan organisasi sayapnya mempunyai kepedulian tinggi serta layak ditiru dalam hal penghargaan atas tiga hal yang (dulu) menginspirasi Revolusi Prancis, kemerdekaan, kebebasan, dan persamaan. Tiga hal tadi sebenarnya jauh lebih awal diajarkan serta diterapkan rasulullah tercinta Kanjeng Nabi Muhammad saw, 15 abad lampau. Namun sebagai umat akhirul zaman kita kerap abai atas teladan Nabi. Zaman yang serba hedonis ini seakan menyeret kita pada sebuah keniscayaan lain, yakni persekutuan atas nama perbedaan untuk membangun kebersamaan. 

Sungguh agak berat saya menulis kalimat di atas (persekutuan atas nama perbedaan untuk membangun kebersamaan) lantaran kesesuaian antar anak kalimat itu bersifat kontradiktif. Perbedaan dan kebersamaan/ persamaan tetap saja tidak akan bertemu. Perbedaan “ideologi” yang membingkai sebuah kelompok tidak akan bertemu pada persamaan “ideologi”. Alhasil, perbedaan tetap ada serta seharusnya disyukuri sebagai kepastian (hukum alam, sunatullah) yang tidak tertolak. Firman tuhan yang menerangkan bahwa dijadikannya manusia berbeda, berkelompok dan berbangsa adalah untuk saling mengenal (li ta`arufi) pada akhirnya adalah aksioma absolut  tentang perbedaan. Kemajemukan. Heterogen.

Justru NU dalam hal heterogenitas dan pluralisme lebih baik dibanding organisasi lainnya. Juga dalam hal pemikiran keagamaan (bahkan) yang dianggap “riskan”. Namun keberanian ini, keberanian mempertanyakan apa saja dalam keberagamaan kita prinsipnya tetap berpegang pada tauhid yang utuh. Memegang teguh syahadat sembari mengejawantahkan makna syahadat (tauhid dan nabi) pada keseharian. Heterogenitas di dalam khasanah pemikiran NUmerupakan sebuah kekayaan yang kelak mampu membuka tabir perbedaan dengan tidak saling meniadakan. Sebaliknya perbedaan itu semakin memperkuat rangka bangun kebudayaan yang beraneka.

Beruntung kita bermukim di Indonesia, negeri kaya raya dengan sumber daya alam dan budayanya. Keberuntungan yang memungkinkan kita untuk saling memahami dan menghargai perbedaan. Bahwa perbedaan itu bukan virus, bukan penyebar laknat, melainkan rahmat ~sudah semestinya menjadi tugas aktivis keagamaan kepada umat. Biar pun sudah berabad  lalu Islam masuk ke Nusantara (ada sejarawan yang berkata pada abad 7 M) tetapi kini 14 abad kemudian, berbagai pergulatan pemikiran keagamaan sepertinya mengalami pengulangan. Pengulangan yang harus disikapi secara bijak agar terwujud Indonesia yang satu dalam kebhinekaan.

Saya yakin Munas dan Konbes NU 2012 di Cirebon itu beranjak dari spirit pembahasan masalah keindonesiaan, bukan melulu ke-NU-an. Karena bila cuma membahas ke-NU-an, maka butir-butir pemikiran jernih dan bening dalam konteks budaya Indonesia tidak akan muncul. Perhelatan alim ulama dan kiai di Babakan Ciwaringin Cirebon yang juga didukung oleh berbagai kegiatan bagi semaraknya kenduri budaya tersebut, bagi kita adalah anugerah. 

Berharapan indah akan suksesnya kegiatan kebudayaan dan keagamaan tatkala kita telah ditinggal pergi oleh sejumlah kiai besar, Munas dan Konbes NU 2012 di Cirebon meniupkan kembali angin segar atas pentingnya menjaga kebersamaan di tengah perbedaan. Semoga.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar