Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal
di Cirebon
SEORANG kawan mencurigai dan memberondongkan pertanyaan
menggelitik, “Benarkah Anda memilih jadi orang NU?”. Pertanyaan yang masih
sarat dengan sektarianisme seharusnya tidak dijawab. Namun bila didiamkan
agaknya keislaman (rata-rata) tetap berpangkal pada dua hal, NU dan atau
Muhammadiyah. Padahal keduanya adalah organisasi alias lembaga yang
mempersatukan sekumpulan orang pada gagasan dan cita-cita yang sama. NU dan
atau Muhammadiyah tidak seharusnya menjadikan pemilahan dan dikotomi. Justru
keduanya mesti sinergi merangkai sebuah rangka bangun desain bangsa yang
bernama Indonesia. Keduanya saling bekerja sama menerapkan ajaran kebangsaan
berlandaskan ajaran agama Islam.
Pertanyaan itu makin melebar ketika NU yang dianut oleh
sebagian besar penduduk negeri yang beribukota di Jakarta (dan cukup lama tak
pindah) ini berbeda dalam penentuan tanggal berikut hari pertama bulan Ramadhan
dan bulan Syawal . Pertanyaan iseng di
awal tulisan itu sepertinya masih terasa sebagai keniscayaan manakala kita
melihat sebuah keluarga tidak melaksanakan tahlil sejak malam pertama ada
anggota keluarganya yang meninggal dunia. “Dia kan Muhammadiyah, bro. Jadi tak ada tahlil. Katanya tahlil
itu bid`ah”. Pernyataan tentang
bid`ah pada pelaksanaan ritual budaya tahlil, kendati sekuat apa pun ditutupi
namun faktanya tetap berlangsung di masyarakat. Juga perbedaan awal/ akhir
bulan pada penanggalan Qomariyah.
Tulisan ini tidak bermaksud menghidupkan perbedaan pada dua
organisasi besar di Indonesia itu. Tulisan pendek ini hanya sekadar
mengingatkan atas satu soal: Kita kadang menjadi sublim apabila telah memilih/
menetapkan diri menjadi bagian (pengurus/ aktivis/ anggota) sebuah organisasi
agama. Berangkat dari asumsi kepemilihan kita pada satu organisasi tak ubahnya
menciptakan sekat organisasi, terutama saat berhadapan dengan persoalan fiqh.
Mohon maaf apabila harus berani kita katakana bahwa Islam
tidak berkelahi pada ruang yang bernama fiqh/ syari`ah. Ajaran Islam berkelahi
pada pergumulan budaya yang membentang sepanjang bentang bumi. Saya tidak
berani mengatakan `alam lantaran ayat-ayat Qur`an banyak yang menuliskan samawat wal ardl, langit dan bumi. Meski
`alam(in) menjadi fokus utama hadirnya agama suci ini, yakni rahmatan lil `alamin. Akan tetapi
jangankan untuk alam alias jagat raya jika di bumi saja kita masih bertikai.
Tragisnya, pertikaian itu bermula dari hal yang furu`iyah (cabang) yang tidak penting serta tidak menjadi acuan
utama keberagamaan atau keislaman kita.
Nahdathul Ulama (NU) yang berdiri sejak 1926 di Jombang Jawa
Timur dalam perjalanan sejarahnya banyak menorehkan catatan kebudayaan. Catatan
panjang itu menjadi bermakna seandainya Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama
dan Konferensi Besar (Konbes) 2012 yang diadakan di Babakan Ciwaringin
Kabupaten Cirebon 14 – 17 September 2012 bertepatan dengan 27 Syawal –
Dzulqo`idah 1433 H sukses menggagas dan menjawab pertanyaan kebangsaan dalam
konteks budaya Indonesia yang beragam.
Dengan kata lain pertanyaan yang mencurigai serta pernyataan yang
menghakimi tidak akan menjadi pembatas/ demarkasi antarsesama umat Islam. Lebih
jauh lagi dalam hubungannya dengan kesetaraan antarumat beragama. Harus diakui
NU dan organisasi sayapnya mempunyai kepedulian tinggi serta layak ditiru dalam
hal penghargaan atas tiga hal yang (dulu) menginspirasi Revolusi Prancis,
kemerdekaan, kebebasan, dan persamaan. Tiga hal tadi sebenarnya jauh lebih awal
diajarkan serta diterapkan rasulullah tercinta Kanjeng Nabi Muhammad saw, 15 abad lampau. Namun sebagai umat akhirul zaman kita kerap abai atas
teladan Nabi. Zaman yang serba hedonis ini seakan menyeret kita pada sebuah
keniscayaan lain, yakni persekutuan atas nama perbedaan untuk membangun kebersamaan.
Sungguh agak berat saya menulis kalimat di atas (persekutuan
atas nama perbedaan untuk membangun kebersamaan) lantaran kesesuaian antar anak
kalimat itu bersifat kontradiktif. Perbedaan dan kebersamaan/ persamaan tetap
saja tidak akan bertemu. Perbedaan “ideologi” yang membingkai sebuah kelompok
tidak akan bertemu pada persamaan “ideologi”. Alhasil, perbedaan tetap ada
serta seharusnya disyukuri sebagai kepastian (hukum alam, sunatullah) yang
tidak tertolak. Firman tuhan yang menerangkan bahwa dijadikannya manusia
berbeda, berkelompok dan berbangsa adalah untuk saling mengenal (li ta`arufi) pada akhirnya adalah
aksioma absolut tentang perbedaan.
Kemajemukan. Heterogen.
Justru NU dalam hal heterogenitas dan pluralisme lebih baik
dibanding organisasi lainnya. Juga dalam hal pemikiran keagamaan (bahkan) yang
dianggap “riskan”. Namun keberanian ini, keberanian mempertanyakan apa saja
dalam keberagamaan kita prinsipnya tetap berpegang pada tauhid yang utuh.
Memegang teguh syahadat sembari mengejawantahkan makna syahadat (tauhid dan
nabi) pada keseharian. Heterogenitas di dalam khasanah pemikiran NUmerupakan
sebuah kekayaan yang kelak mampu membuka tabir perbedaan dengan tidak saling
meniadakan. Sebaliknya perbedaan itu semakin memperkuat rangka bangun
kebudayaan yang beraneka.
Beruntung kita bermukim di Indonesia, negeri kaya raya
dengan sumber daya alam dan budayanya. Keberuntungan yang memungkinkan kita
untuk saling memahami dan menghargai perbedaan. Bahwa perbedaan itu bukan
virus, bukan penyebar laknat, melainkan rahmat ~sudah semestinya menjadi tugas
aktivis keagamaan kepada umat. Biar pun sudah berabad lalu Islam masuk ke Nusantara (ada sejarawan
yang berkata pada abad 7 M) tetapi kini 14 abad kemudian, berbagai pergulatan
pemikiran keagamaan sepertinya mengalami pengulangan. Pengulangan yang harus
disikapi secara bijak agar terwujud Indonesia yang satu dalam kebhinekaan.
Saya yakin Munas dan Konbes NU 2012 di Cirebon itu beranjak
dari spirit pembahasan masalah keindonesiaan, bukan melulu ke-NU-an. Karena
bila cuma membahas ke-NU-an, maka butir-butir pemikiran jernih dan bening dalam
konteks budaya Indonesia tidak akan muncul. Perhelatan alim ulama dan kiai di
Babakan Ciwaringin Cirebon yang juga didukung oleh berbagai kegiatan bagi
semaraknya kenduri budaya tersebut, bagi kita adalah anugerah.
Berharapan indah akan suksesnya kegiatan kebudayaan dan
keagamaan tatkala kita telah ditinggal pergi oleh sejumlah kiai besar, Munas
dan Konbes NU 2012 di Cirebon meniupkan kembali angin segar atas pentingnya
menjaga kebersamaan di tengah perbedaan. Semoga.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar