Selasa, 05 Maret 2013

Jepara, Seni Ukir dan Patung



Oleh Dadang Kusnandar

Penulis lepas, Anggota KMKK, tinggal di Cirebon

MENGIKUTI perhelatan kecil pengrajin ukir kayu di Jepara Jawa Tengah minggu lalu, tergambar beberapa hal menyoal industri kerajinan rakyat. Seni ukir kayu Jepara kabarnya telah ada dan diwariskan nenek moyang sejak jaman kerajaan Kalingga. Ingat Kalingga, ingat Ratu Shima dan keadilan masa kepemimpinannya. Ketika mobil yang dikemudikan Wahyu Rohaedi, Manajer Koperasi Mebel Kayu Kaliwulu (KMKK) berhenti di Hotel Kalingga Star di Jalan dr. Sutomo, bayangan saya melintas ke masa lalu. Masa ketika  keadilan Ratu Shima di Kerajaan Kalingga menandakan bahwa sang ratu menegakkan keadilan kepada siapa saja. Terbayang ratu hebat itu menerapkan hukum kepada anaknya sendiri.


Perhelatan kepada pengrajin ukir kayu berawal dari kurangnya keahlian mengukir para pengrajin mebel kayu Desa Kaliwulu. Umumnya pengrajin Kaliwulu hanya mampu mengerjakan pesanan mebel minimalis, alias tanpa motif  ukiran. Bila ada order yang minta diterakan ukiran maka pengusaha mebel mendatangkan ahli ukir dari Jepara. Konon sang ahli ukir kini menetap dengan keluarganya di Kaliwulu, saking seringnya ia memperoleh pesanan mengukir. Namanya Mang Mad, entah siapa nama lengkapnya, karena di KMKK ia biasa dipanggil begitu.

Agak sulit memang menyusur jejak sejarah  seni ukir warisan Kerajaan Hindu Kalingga (menurut wikipedia kerajaan itu terletak di Jepara) mengingat ketiadaan situs kerajaan yang mencapai puncak kejayaannya pada tahun 450 Masehi. Tetapi yang lebih penting ialah keadilan yang diterapkan Ratu Shima terhadap rakyatnya. Keadilan yang langka pada masa kini, termasuk masa berikutnya ketika seni ukir dan seni patung berhasil menghidupi masyarakat Jepara. Ia menjadi langka lantaran menurut pengrajin mebel yang saya temui, hingga lebih 20 tahun menggulati seni ukir kayu belum pernah memperoleh bantuan keuangan dari pemerintah daerah setempat. Usut punya usut, konon ia hanya sekali memperoleh bantuan pinjaman sebesar Rp 5 juta dari Asmindo, itu pun atas kedekatan personal dengan Slamet (pegiat Asmindo). 


Berbincang dengan Wahyu Rohaedi tentang seni ukir, ia menjawab KMKK fokus kepada kerajinan kayu dalam bentuk mebel (dan furniture) tanpa ukiran. Tangan lembut Mang Mad itulah yang menerakan ragam ukir Jepara pada karya mebelnya. Tergelitik pesan pendek sahabat saya, Daryanto, yang bekerja di Tangerang: Jepara kota bumi kartini, sejarah seni kriya ukir. SMS itu menggerakkan untuk sedikit tahu apa dan bagaimana seni kriya ukir (dan seni patung) Jepara.


Demikianlah manakala 10 peserta magang kerajinan seni ukir Jepara bersama Kepala Dinas Koperasi & UKM Kabupaten Cirebon berikut stafnya membawa kami ke Desa Mulyoharjo, lokasi pengrajin patung ~ada kekaguman melihat langsung aktivitas masyarakat desa itu. Ibu-ibu berkebaya, lelaki tak berbaju, bapak dengan kepulan asap rokok; tampak asik memahat motif dua ekor burung elang dalam posisi sedang memindahkan pakan melalui paruhnya. Bukan itu saja. Motif kuda berbagai pose (termasuk dengan buah zakar dan penisnya) menjadi lokasi narsis beberapa teman. Juga ada patung berbentuk tubuh Sam Poo Kong, singa, dan ikon Jepara yang masyhur itu: Macan Kurung.  Bentuk ikon Jepara tersebut ialah seekor macan diikat rantai ke terali kurungan, di sisi luar kurungan ada 4 (empat) ular Cobra dengan mulut menganga, dan di atas kurungan tampak seekor elang baru hinggap lalu menjejakkan kakinya di sebuah batu. Motif ini banyak ditemui di kampung pengrajin patung, Desa Mulyoharjo. Sedangkan yang dibuat dari semen dan adukan dijadikan batas Kabupaten Jepara dengan Kudus.


Jenis patung lain adalah gajah, ikan dalam berbagai pose, kepiting, kura-kura, dan sebagainya. Yang menarik seni ukir dekoratif pun tidak tertinggal. Ada kaligrafi bahasa Arab, juga ada kisah beberapa orang-orang berjanggut dan berambut gondrong tengah berdiskusi masa lampau dengan busana jubah. Kemampuan mengukir yang diwariskan ini (turun temurun) terus dipertahankan warga, baik sebagai penopang biaya hidup maupun keasikan seni kriya kayu, maka dengan mudah diterapkan pada seni mebel minimalis. Mebel minimalis artinya yang relatif sedikit menggunakan motif ukir sebagaimana produk mebel kayu Kaliwulu, misalnya meja kursi, lemari, buffet dan sebagainya.

Harga jual produk patung ukir Jepara bervariasi antara Rp 50 ribu – Rp 12 juta. Sementara ongkos kerja menggunakan dua model, yakni borongan dan harian. Produk ukir Jepara telah melanglang ke manca Negara, misalnya AS, India, Malaysia, Singapura, Arab, Jerman, Australia, Jepang, dan Korea. Pemesanan dalam negeri pun tak kalah ramai. Hanya saja saat ini menurut pengakuan pengrajin, pesanan sedang sepi, hal ini tampak pada banyaknya barang (produk ukir) yang menumpuk. Kayu didapat dari Klaten, Demak, Cilacap. Saat ini transaksi jual beli dalam keadaan sepi terlihat dari banyaknya barang hasil produksi yang menumpuk. 

Kartini, Nimas Kalinyamat

Menatap Jepara dari dekat sebanding dengan menatap jejak ibunda Kartini. Saat beliau resah dan menyendiri di pantai lantas menulis kegelisahannya tentang nasib kaum perempuan pada masa itu, lalu menulis sepucuk surat kepada sahabat perempuannya di Belanda yang bernama Stella, Pemda Kabupaten Jepara menamainya sebagai Pantai Kartini. Pantai Kartini merupakan lokasi wisata yang cukup menyenangkan bagi liburan atau acara santai keluarga. Patung besar berbentuk kura-kura dengan bagian perutnya difungsikan menjadi gedung yang memajang biota laut ~cukup asik untuk wisata ekologi. 


Saya belum paham tentang sebuah ruang bernama Peringgitan di Pendopo Kabupaten Jepara. Asumsi saya sederhana sekali, apakah saat itu ibunda Kartini menjual produk tertentu (sebagaimana Ibu Inggit Garnasih menjual Bedak Ningrum) lalu orang/ pembeli mengeluarkan uang ringgit. Namun menurut sebuah keterangan, bangunan Pendopo Kabupaten Jepara ini dibangun kurang lebih pada tahun 1750, yaitu pada era pemerintahan Adipati Citro Sumo III, beliau merupakan pimpinan pemerintahan yang ke 23 selama kurun waktu 22 tahun (1730-1760), sedangkan ayah RA Kartini merupakan bupati ke 31 selama kurun waktu 24 tahun (1881-1905). Di pendopo ini terdapat Ruang Peringgitan. Ruang ini dulu untuk menerima/menjamu tamu terbatas, sampai saat inipun tempat ini masih dipergunakan untuk dahar prasmanan dan menerima tamu.


Yang tak kalah penting adalah majalah dinding dengan Koran harian Suara Merdeka yang terletak di belakang Mesjid Raya Repara seberang alun-alun, ini merupakan wujud nyata ketersediaan fasilitas umum yang mencerdaskan dan layak ditiru. Berjalan kaki mencari angin segar dan sekadar handy craft Jepara, Anda tidak akan menjumpai pengemis dan pengamen, begitu pula trotoar yang benar-benar berfungsi bagi pejalan kaki lantaran di sana tidak berdiri tenda-tenda Pedagang Kaki Lima (PKL). Namun kelemahan Kabupaten Jepara ialah ketiadaan angkutan kota. Entah apa alasannya, yang pasti saya melihat siswa SD berjalan kaki tengah hari sepulang sekolah, ketika  suhu udara diperkirakan di atas 30 derajat Celcius.


Ukiran Jepara dengan demikian menyimpan cerita, tentang masa lalu yang gemilang ketika hadir tokoh penting berjuluk Nimas Kalinyamat yang bernama asli Ratu Retno Kencono dan memperoleh nama penghormatan dari Portugis yakni Rainha de Jepara “Senora de Rica” artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya raya. Itu sebabnya di pantai utara Jepara terdapat benteng Portugis, dan Nimas Kalinyamat kerap berperang melawan Portugis termasuk membantu Patih Unus dari Kerajaan Demak pada Oktober 1574. Sang Ratu Kalinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15.000 orang prajurit pilihan. Pengiriman armada militer kedua ini di pimpin oleh panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai Quilimo.

Seni kriya kayu ukir Jepara yang membanggakan ini menanti kesungguhan pemerintah agar tidak sekadar bertahan, akan tetapi kembali dapat meraih masa kejayaannya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar