Oleh
Dadang Kusnandar
Penulis
lepas, tinggal di Cirebon
TRILYUNAN rupiah amblas. Sebuah stasiun
televisi swasta menelusur permasalahan listrik yang diperkirakan merugikan
negara senilai trilyunan rupiah setiap tahun. Cukup bagus investigasi yang
dilakukannya. Memotret penggunaan listrik di pasar Jatinegara Jakarta Timur,
tampak jelas bahwa sejumlah pedagang melakukan pencurian listrik. Akan tetapi
pedagang tidak mungkin melakukannya tanpa kerjasama yang baik dengan oknum
petugas Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pedagang pun dipungut iuran cukup
besar, yakni Rp 20.000,00 (dua puluh ribu rupiah) semalam.
Tidak tanggung-tanggung, pencurian listrik
yang telah berlangsung tahunan itu pun mengambilnya langsung dari tiang listrik
terdekat. Bukan hanya bahaya yang mengintai melainkan juga berakibat pada
kerugian keuangan negara, serta memperburuk tata ruang kota yang terus
memburuk. Tidak hanya Pasar Malam Jatinegara, beberapa lokasi “pasar kaget” di
Indonesia boleh dikatakan melakukan pencurian aliran listrik.
Bagi konsumen rumahan, pencurian listrik
dilakukan secara memutar roda gigi (?) di dalam meteran yang disegel PLN.
Pelakunya siapa lagi kalau bukan oknum PLN sendiri. Dan ia pun tidak bekerja
sendiri. Beberapa orang di tubuh BUMN yang kabarnya terus merugi itu pun
kebagian jatah uang dengar. Seorang oknum PLN yang lihai memutar roda gigi di
dalam meteran mengatakan bahwa ia bisa menurunkan hingga 50% pengggunaan
listrik/ bulan. Ironinya teknologi PLN masih konvensional untuk melacak
pencurian listrik di rumahan. Pihak PLN dapat mengetahui terjadinya pencurian
listrik itu dengan cara mengecek langsung ke rumah konsumen. Sayang sekali investigasi televisi swasta itu
tidak menyusur pencurian listrik yang dilakukan oleh perusahaan besar.
Saya cukup terkejut mendengar penuturan
seorang kawan di Jakarta Barat. Katanya rekening listrik di rumahnya hanya
menghabiskan Rp 70 ribu – 76 ribu/ bulan, sementara 2 (dua) buah AC @ 1 PK
terpasang dengan daya 2200 KVA. Belum lagi alat elektronik lainnya yang
memerlukan daya listrik besar. Keterkejutan saya berlangsung ketika dibanding
teman lain di Kabupaten Cirebon yang pada tahun yang sama (2009) pengeluaran
biaya listriknya pada kisaran Rp 60 ribu
– 70 ribu/ bulan, dengan daya 900 KVA. Teman di Jakarta Barat itu seakan bangga
menceritakan “kehebatannya” menekan biaya pengeluaran listrik setiap bulan.
Ada apa dengan PLN? Ada pat gulipat apa
lagikah antara PLN dengan konsumen nakal? Sudah menjadi rahasia umum bahwa BUMN
ini ditempatkan pada posisi keempat sebagai instansi yang buruk dalam hal
pelayanan konsumen. Penilaian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) itu
tentu saja bukan tanpa parameter plus fakta yang terjumpa di lapangan. Buruknya
pelayanan konsumen oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini pun terlihat pada
saat petugas PLN mengeksekusi konsumen dari kalangan masyarakat bawah yang
nunggak pembayaran listrik selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. Tanpa ampun, aliran
listrik di rumah warga pun diputus sepihak. Di sisi lain manakala terjadi
listrik mati mendadak (kadang memakan waktu puluhan menit hingga 2 jam)
kerugian warga sama sekali tidak memperoleh kompensasi apa pun dari PLN. Bahkan
kata maaf pun tidak ada.
Buruknya
pelayanan ini semakin kentara dengan adanya kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL)
yang mulai diberlakukan pada tagihan bulan Januari 2013. Besaran kenaikan listrik
bervariasi, seperti pelanggan 1.300 VA, naik dari tarif awal Rp790/Kwh menjadi
Rp833/Kwh pada triwulan pertama, Rp879/Kwh pada triwulan kedua, dan Rp928/Kwh
per triwulan ketiga dan Rp979/Kwh. Sedangkan untuk golongan 6.600 VA ke atas,
pemerintah memastikan tidak akan menikmati subsidi pada akhir 2013 mendatang.
Wajar bila sejumlah kalangan keberatan dengan kenaikan TDL ini. Apa pun
alasannya setiap kenaikan tarif pasti membebani konsumen. Apa pun hitungan
algoritma yang dilakukan berdasar analisa ilmiah, kenaikan TDL berdampak pada
kenaikan harga barang dan jasa.
Ada pejabat
publik mengatakan demikian dalam pers rilisnya kepada LKBN Antara, “Rakyat yang
seharusnya diposisikan sebagai subyek yang diberikan pelayanan terbaik justru
sebaliknya, pembebanan berbagai defisit negara harus ditanggung rakyat,
pemerintah mengabaikan penderitaan rakyat." Pemerintah dalam hal ini PLN tahun ini harus
benar-benar bisa membuktikan pelayanan kepada masyarakat semakin baik dan
maksimal, dengan cara memenuhi elektrifikasi di wilayah yang masih belum
dialiri arus listrik. Selain itu fokus membangun pembangkit listrik yang
berbasis batu bara rendah kalori, panas bumi dan energi alternatif lainnya,
serta segera utang yang
dimiliki oleh perusahaanya diyakini tidak baik untuk kinerja perusahaan strum
pelat merah tersebut menghentikan pembangunan pembangkit listrik yang berbasis minyak
dan batu bara tinggi kalori.
Dengan kata
lain sebenarnya ada alternatif untuk tidak menaikkan TDL seandainya berbagai
jenis pelanggaran pencurian listrik serta transparansi neraca keuangan PLN
disajikan kepada publik tidak dengan rekayasa angka. BUMN sekali-kali jangan
bertindak memanipulasi laporan apa pun. Bukankah manipulasi laporan tertulis tergolong kejahatan
administrasi?
Utang PLN
Yang
mengejutkan justru membengkaknya utang PLN pada tahun anggaran 2012 yang
menembus angka Rp 200 Trilyun. Meminjam Nur Pamuji, Direktur Utama PLN, utang yang dimiliki oleh perusahaanya diyakini tidak baik untuk
kinerja perusahaan strum pelat merah tersebut. Utang PLN sudah 6 kali setengah
dari EBITDA atau keuntungan PLN. Jadi itu utang sudah tinggi sekali. Utang yang
aman adalah 4 kali dari EBITDA, itulah yang harus menjadi perhatian kita semua.
Kebutuhan investasi PLN di 2012 mencapai Rp48,40 triliun, sumber
dana utang yang sudah ada Rp8,86 triliun, dana internal Rp19,98 triliun dan
Rp28,84 triliun, kebutuhan pinjaman Rp19 triliun, pinjaman valas Rp 9,50
triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 10,06 triliun. Kemampuan pendanaan
internal sekitar 20-28% dari sekitar kebutuhan investasi, sisanya dari APBN dan
utang.Besarnya
utang PLN yang membebani APBN itu sangat kontradiktif dibanding dengan
kesejahteraan karyawan BUMN yang kabarnya selalu rugi itu. Tragis jika puluhan
ribu karyawan PLN hidup sejahtera di tengah besaran utang perusahaannya.
Yang mesti
ditelusur bukan sekadar alasan kenapa TDL harus naik tahun 2013 ini. Akan
tetapi efisiensi keuangan, antisipasi kebocoran atas pencurian listrik,
pelayanan konsumen yang profesional, pemerataan ketersediaan aliran listrik hingga nun jauh di pulau
terjauh dari ibukota negara, efektivitas penggunaan listrik dan penetapan
sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh konsumen sesuai undang-undang.
Listrik yang
byar pet di beberapa tempat ketika hujan deras dan angin kencang sudah bukan
jamannya lagi. Dan sudah bukan jamannya pula apabila PLN hanya mampu menaikkan
TDL tanpa melakukan pembenahan di lingkaran internalnya. Kinerja dan
profesionalitas PLN layak disorot seandainya selalu terjadi kenaikan TDL.***
Tulisan ini terbit di InilahKoran Rabu 20 Februari 2013 halaman 8 Rubrik Aspirasi