Minggu, 24 Februari 2013

Lima Satu



Oleh Dadang Kusnandar

Penulis lepas, tinggal di Cirebon

SATU jabatan diperebutkan lima pasang calon. Lima pasang calon rame-rame menuju satu puncak kekuasaan eksekutif di Gedung Sate dan Balaikota Cirebon. Angka 51 bukan pasangan calon kepala daerah nomor lima dan nomor satu, tetapi jumlah lima pasang menuju satu puncak kepemimpinan daerah.

Menyusur horoskop yang boleh dipercaya atau tidak, angka 51 sebagai angka campuran mempunyai potensi yang kuat, menjanjikan kemajuan mendadak di dalam hal apa pun yang dilakukan seseorang. Kata horoskop menyoal angka 51 ini, angka ini baik bagi mereka yang berada di lingkungan militer atau kelautan atau bagi para pemimpin. Jeleknya angka 51 pada saat yang sama menjadi musuh dan berbahaya serta memungkinkan terjadinya “pembantaian”. Percaya atau tidak, tiap angka memiliki misteri masing-masing.  

Berdasar data KPU terdapat 231.151 Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk pemilihan Wali Kota Cirebon dan 231.999 untuk pemilihan Gubernur Jawa Barat.  Ketika lima pasang bakal calon kepala daerah bertarung menuai angka perolehan suara sebanyak-banyaknya pada Minggu 24 Februari 2013 mendatang, ketika itulah warga Kota Cirebon berada pada dua opsi yang sama-sama tidak terkuak. Yakni mungkinkah pasangan calon yang terpilih kelak mampu memberikan kemajuan bagi daerah yang akan dipimpinnya, atau sebaliknya ia menciptakan rasa tidak nyaman (berbahaya) alias hanya sebatas memberi janji kemajuan. Celakanya apabila yang terpilih menduduki Kursi Nomor Satu ternyata diam-diam melakukan “pembantaian” atas keberlangsungan demokratisasi Indonesia. Jelas ini berbahaya bagi masa depan daerah terpimpin.

Proses pilkada Jawa Barat dan Kota Cirebon dengan hiruk pikuknya dapat ditengarai memenuhi dua pilihan ekstrem dan saling bertentangan di atas. Pilkada di mana pun dan kapan pun senantiasa berada pada dua titik ekstrem yang menakutkan. Kesejahteraan yang dijanjikan berhadapan dengan kenyataan membangun kartel kekuasaan. Keberhasilan membangun dengan kegagalan memimpin. Antara fiksi dan fakta. Pilihan yang sama-sama ekstrem itu kembali kepada warga Kota Cirebon yang terdaftar dalam DPT untuk memilih salah satu dari lima pasang calon itu atau tidak memilih satu pasang calon pun. Mengingat pilkada merupakan hak politik yang boleh digunakan atau diabaikan. 

Misteri Angka 51 sebagaimana tertulis di atas hanya untuk pengingat betapa politik dan kekuasaan kerap menjungkirkan pelakunya kepada kemajuan dan atau kesia-siaan.***

Selasa, 19 Februari 2013

Listrik Byar Pet TDL Naik



Oleh Dadang Kusnandar 

Penulis lepas, tinggal di Cirebon

TRILYUNAN rupiah amblas. Sebuah stasiun televisi swasta menelusur permasalahan listrik yang diperkirakan merugikan negara senilai trilyunan rupiah setiap tahun. Cukup bagus investigasi yang dilakukannya. Memotret penggunaan listrik di pasar Jatinegara Jakarta Timur, tampak jelas bahwa sejumlah pedagang melakukan pencurian listrik. Akan tetapi pedagang tidak mungkin melakukannya tanpa kerjasama yang baik dengan oknum petugas Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pedagang pun dipungut iuran cukup besar, yakni Rp 20.000,00 (dua puluh ribu rupiah) semalam.
Tidak tanggung-tanggung, pencurian listrik yang telah berlangsung tahunan itu pun mengambilnya langsung dari tiang listrik terdekat. Bukan hanya bahaya yang mengintai melainkan juga berakibat pada kerugian keuangan negara, serta memperburuk tata ruang kota yang terus memburuk. Tidak hanya Pasar Malam Jatinegara, beberapa lokasi “pasar kaget” di Indonesia boleh dikatakan melakukan pencurian aliran listrik.

Bagi konsumen rumahan, pencurian listrik dilakukan secara memutar roda gigi (?) di dalam meteran yang disegel PLN. Pelakunya siapa lagi kalau bukan oknum PLN sendiri. Dan ia pun tidak bekerja sendiri. Beberapa orang di tubuh BUMN yang kabarnya terus merugi itu pun kebagian jatah uang dengar. Seorang oknum PLN yang lihai memutar roda gigi di dalam meteran mengatakan bahwa ia bisa menurunkan hingga 50% pengggunaan listrik/ bulan. Ironinya teknologi PLN masih konvensional untuk melacak pencurian listrik di rumahan. Pihak PLN dapat mengetahui terjadinya pencurian listrik itu dengan cara mengecek langsung ke rumah konsumen.  Sayang sekali investigasi televisi swasta itu tidak menyusur pencurian listrik yang dilakukan oleh perusahaan besar.

Saya cukup terkejut mendengar penuturan seorang kawan di Jakarta Barat. Katanya rekening listrik di rumahnya hanya menghabiskan Rp 70 ribu – 76 ribu/ bulan, sementara 2 (dua) buah AC @ 1 PK terpasang dengan daya 2200 KVA. Belum lagi alat elektronik lainnya yang memerlukan daya listrik besar. Keterkejutan saya berlangsung ketika dibanding teman lain di Kabupaten Cirebon yang pada tahun yang sama (2009) pengeluaran biaya  listriknya pada kisaran Rp 60 ribu – 70 ribu/ bulan, dengan daya 900 KVA. Teman di Jakarta Barat itu seakan bangga menceritakan “kehebatannya” menekan biaya pengeluaran listrik setiap bulan.
Ada apa dengan PLN? Ada pat gulipat apa lagikah antara PLN dengan konsumen nakal? Sudah menjadi rahasia umum bahwa BUMN ini ditempatkan pada posisi keempat sebagai instansi yang buruk dalam hal pelayanan konsumen. Penilaian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) itu tentu saja bukan tanpa parameter plus fakta yang terjumpa di lapangan. Buruknya pelayanan konsumen oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini pun terlihat pada saat petugas PLN mengeksekusi konsumen dari kalangan masyarakat bawah yang nunggak pembayaran listrik selama 3 (tiga) bulan berturut-turut. Tanpa ampun, aliran listrik di rumah warga pun diputus sepihak. Di sisi lain manakala terjadi listrik mati mendadak (kadang memakan waktu puluhan menit hingga 2 jam) kerugian warga sama sekali tidak memperoleh kompensasi apa pun dari PLN. Bahkan kata maaf pun tidak ada.

Buruknya pelayanan ini semakin kentara dengan adanya kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang mulai diberlakukan pada tagihan bulan Januari 2013. Besaran kenaikan listrik bervariasi, seperti pelanggan 1.300 VA, naik dari tarif awal Rp790/Kwh menjadi Rp833/Kwh pada triwulan pertama, Rp879/Kwh pada triwulan kedua, dan Rp928/Kwh per triwulan ketiga dan Rp979/Kwh. Sedangkan untuk golongan 6.600 VA ke atas, pemerintah memastikan tidak akan menikmati subsidi pada akhir 2013 mendatang. Wajar bila sejumlah kalangan keberatan dengan kenaikan TDL ini. Apa pun alasannya setiap kenaikan tarif pasti membebani konsumen. Apa pun hitungan algoritma yang dilakukan berdasar analisa ilmiah, kenaikan TDL berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa. 

Ada pejabat publik mengatakan demikian dalam pers rilisnya kepada LKBN Antara, “Rakyat yang seharusnya diposisikan sebagai subyek yang diberikan pelayanan terbaik justru sebaliknya, pembebanan berbagai defisit negara harus ditanggung rakyat, pemerintah mengabaikan penderitaan rakyat."  Pemerintah dalam hal ini PLN tahun ini harus benar-benar bisa membuktikan pelayanan kepada masyarakat semakin baik dan maksimal, dengan cara memenuhi elektrifikasi di wilayah yang masih belum dialiri arus listrik. Selain itu fokus membangun pembangkit listrik yang berbasis batu bara rendah kalori, panas bumi dan energi alternatif lainnya, serta segera utang yang dimiliki oleh perusahaanya diyakini tidak baik untuk kinerja perusahaan strum pelat merah tersebut menghentikan pembangunan pembangkit listrik yang berbasis minyak dan batu bara tinggi kalori. 

Dengan kata lain sebenarnya ada alternatif untuk tidak menaikkan TDL seandainya berbagai jenis pelanggaran pencurian listrik serta transparansi neraca keuangan PLN disajikan kepada publik tidak dengan rekayasa angka. BUMN sekali-kali jangan bertindak memanipulasi laporan apa pun. Bukankah manipulasi  laporan tertulis tergolong kejahatan administrasi? 

Utang PLN

Yang mengejutkan justru membengkaknya utang PLN pada tahun anggaran 2012 yang menembus angka Rp 200 Trilyun. Meminjam Nur Pamuji, Direktur Utama PLN, utang yang dimiliki oleh perusahaanya diyakini tidak baik untuk kinerja perusahaan strum pelat merah tersebut. Utang PLN sudah 6 kali setengah dari EBITDA atau keuntungan PLN. Jadi itu utang sudah tinggi sekali. Utang yang aman adalah 4 kali dari EBITDA, itulah yang harus menjadi perhatian kita semua. Kebutuhan investasi PLN di 2012 mencapai Rp48,40 triliun, sumber dana utang yang sudah ada Rp8,86 triliun, dana internal Rp19,98 triliun dan Rp28,84 triliun, kebutuhan pinjaman Rp19 triliun, pinjaman valas Rp 9,50 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp 10,06 triliun. Kemampuan pendanaan internal sekitar 20-28% dari sekitar kebutuhan investasi, sisanya dari APBN dan utang.Besarnya utang PLN yang membebani APBN itu sangat kontradiktif dibanding dengan kesejahteraan karyawan BUMN yang kabarnya selalu rugi itu. Tragis jika puluhan ribu karyawan PLN hidup sejahtera di tengah besaran utang perusahaannya. 

Yang mesti ditelusur bukan sekadar alasan kenapa TDL harus naik tahun 2013 ini. Akan tetapi efisiensi keuangan, antisipasi kebocoran atas pencurian listrik, pelayanan konsumen yang profesional, pemerataan ketersediaan  aliran listrik hingga nun jauh di pulau terjauh dari ibukota negara, efektivitas penggunaan listrik dan penetapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh konsumen sesuai undang-undang. 

Listrik yang byar pet di beberapa tempat ketika hujan deras dan angin kencang sudah bukan jamannya lagi. Dan sudah bukan jamannya pula apabila PLN hanya mampu menaikkan TDL tanpa melakukan pembenahan di lingkaran internalnya. Kinerja dan profesionalitas PLN layak disorot seandainya selalu terjadi kenaikan TDL.***

Tulisan ini terbit di InilahKoran Rabu 20 Februari 2013 halaman 8 Rubrik Aspirasi