Senin, 16 Agustus 2010

Tari Topeng Losari


Oleh Dadang Kusnandar
penulis lepas, tinggal di Cirebon


MENYAKSIKAN tari topeng cirebon sesungguhnya kita menonton sekaligus mempelajari beberapa mitologi dari ajaran agama dan ajaran moral. Inilah sebabnya kedok topeng bisa dipakai untuk pentas wayang wong. Dan nama kedok topeng cirebon berbaur dengan nama-nama wayang purwa dengan karakter sama: Topeng Panji dengan Arjuna, Topeng Samba dengan Pamindo, Klana dengan Rahwana.

Perbincangan seputar Topeng Cirebon tak lepas dari nama Mimi Sawitri seniman tari yang wafat pada 10 Juni 1999, berdomisili di Losari Kabupaten Cirebon. Sepanjang usianya "dibaktikan" untuk menjaga keajegan kesenian ini dari terpaan kesenian modern. Mimi Sawitri putri penari topeng Losari yang ternama, Sumitra.

Ciri spesifik tari topeng Losari meminjam Nur `Anani M. Irman (32), cucu Mimi Sawitri, terletak pada gaya yang tidak dimiliki tari topeng lain. Gaya tersebut adalah galeong (sikap kayang), gantung sikil (menggantung kaki), dan pasang naga seser (kuda-kuda). Alumni STSI Bandung tahun 2002 jurusan Tari itu juga menyebut kostum tari topeng Losari yang berbeda dengan tari topeng Gegesik dan Slangit (Kabupaten Cirebon), Pekandangan dan Tambi (Kabupaten Indramayu), atau Bongas (Kabupaten Majalengka). Ciri lain yang membedakan topeng Losari dengan yang lain juga tampak pada musik (gamelan) yang mengiringi gerak penari. Pusat tari topeng Losari ~seperti juga topeng daerah lain~ tak lain terfokus pada kotak yang diletakkan di panggung pentas.

Ciri spesifik lain yang membedakan topeng losari dari topeng wilayah barat (Topeng Cirebon dan Topeng Indramayu) adalah dari segi musik/gamelan, urutan penyajian, koreografi. Dan juga kostum yang melatarbelakangi tari Topeng Losari yaitu dari cerita Panji.

Klana yang kerap dipilih sebagai tari topeng Losari yang mengundang aplaus lebih riuh, terletak pada kemampuan penari memainkan gerak keras (menghentak) yang dominan dan sesekali lembut lewat gerak tangan, kaki, dan tubuh yang menampilkan Dasamuka dengan balutan topeng dari bahan kulit. Mimik topeng mempertontonkan watak keras namun dinamis. Gerak lembut pada dasarnya merupakan antitesa terhadap kekauan (sikap kasar) dengan filosofi sederhana : sekasar apa pun seorang tokoh, ia tetap menyimpan kelembutan.

Dalam kerentaannya, Topeng Cirebon disibak kembali dan diangkat ke tengah publik agar terjaga kelestariannya dan tidak punah. Upaya itu antara lain dilakukan Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Disporbudpar) Kota Cirebon dengan menggelar acara Temu Pewaris Maestro Topeng Cirebon pada Senin 9 Agustus 2010 di halaman Gedung Kesenian Cirebon. Salah satu sanggar tari topeng yang tampil, tak lain Purwakencana dari Losari Barat. Kamis, 5 Agustus ybll Purwakencana tampil di acara hajatan pernikahan keluarga pengusaha Arifin Panigoro di Jalan Patimura Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Sabtu 7 Agustus 2010 Purwakencana pun ikut dalam acara Pemilihan Duta Topeng Cirebon di panggung budaya Ciayumajakuning Jalan Siliwangi Cirebon, sebagai kick off ke acara Festival Topeng Nusantara Oktober mendatang di Kabupaten Kuningan Jawa Barat.

Kantong-kantong kesenian dan lokus budaya cirebon pada mulanya dibangun untuk menciptakan iklim kondusif bagi keberlangsungan kesenian. Di beberapa tempat kesenian tradisional seakan hanya menjadi milik masa lalu. Tak terkecuali kesenian tradisional Cirebon. Padahal upaya keras mengangkat kembali kesenian tradisional cukup banyak dilakukan. Akan tetapi lantaran ketakakraban masyarakat terhadap seni tradisi, membuatnya terkubur oleh perjalanan dan waktu.

Dalam perubahan budaya global saat ini topeng cirebon bagai tersuruk mencari identitasnya sendiri, kata budayawan Endo Suanda. Di masa "kejayaannya" topeng cirebon merupakan modifikasi antara seni tari dan seni drama. Lebih jauh, para dalang wayang kulit biasanya juga memainkan tari topeng, khususnya dalam pertunjukkan wayang wong. Kejayaan topeng cirebon sekarang telah mengalami degradasi, baik secara kualitas atau kuantitas penampilan.

Ketika masyarakat cirebon kurang akrab dengan seni topengnya sendiri, berbagai kalangan menunjukkan keseriusannya secara mengikutsertakan pelajar SD - SLTA dalam pertunjukkan seni tradisi di beberapa tempat pertunjukkan kesenian. Demikian pula beberapa sanggar tari mematok tari topeng sebagai ikon tersendiri. Lantaran topeng cirebon merupakan modifikasi seni tari dan seni drama, maka kedok dalam topeng cirebon mempunyai kesamaan karakter dengan tokoh pewayangan. Tidak mudah menjadi penari topeng cirebon karena selain pandai menari, ia harus bisa bermain sandiwara sekaligus memainkan tokoh wayang wong.

PURWAKENCANA, sebuah grup atau sanggar tari topeng Losari yang sudah ada sejak generasi Buyut Sukanta, diteruskan oleh generasi Buyut Durman, dan Buyut Sumitra, lalu Mimi Sawitri nenek dari Nur`Anani M. Irman yang biasa dipanggil Nani Sawitri. Sanggar ini secara resmi berdiri formal pada 1982. Merunut penuturan Nani Sawitri, istri Deden seorang marketing koran local Cirebon, ia bersama saudara sepupunya Taningsih (mbak Ning) sejak kecil selalu berlatih tari topeng losari di Sanggar Purwakencana di Desa Astana Langgar Kecamatan Losari Barat Kabupaten Cirebon.

Selain Mimi Sawitri dari Losari juga ada maestro tari topeng bernama Mimi Dewi. Keduanya putri Buyut Sumitra dan sanggarnya berada di Losari Barat. Sementara di Losari Timur (Jawa Tengah) ada maestro tari topeng losari pula yang bernama Mama Rasbin. Sayang sekali pewaris topeng Mama Rasbin terhenti alias tidak ada generasi penerusnya. Mimi Sawitri anak ke Sembilan dari sebelas bersaudara keturunan Buyut Sumirta, yang semuanya menekuni kesenian. Kakak Mimi Sawitri semuanya dalang wayang kulit yang menari hanya Mimi Dewi dan Mimi Sawitri.

Mimi Sawitri dan Mimi Dewi, dua kakak beradik itu, mempunyai gaya dan cirri khas tersendiri ketika menari. Mimi Dewi menari lebih ke dalam (penjiwaan), sementara Mimi Sawitri lebih dinamis dan ekspresif. Keduanya pernah berguru teater kepada WS Rendra di Bengkel Teater selama 3 (tiga) bulan. Pentas pertama topeng losari dilakukan di Jatipiring Kabupaten Cirebon, tepatnya di Sanggar Pringgading, milik koreografer Handoyo MY. Budayawan pertama yang mengenalkan topeng Losari adalah Endo Suanda dan Roedjito.

Menyoal kaki yang menjejak kotak sentral pertunjukkan tari topeng losari juga sikap galeong (sikap kayang),gantung sikil (menggantung kaki di udara), Nani Sawitri menjelaskan, “Makna berbagai gaya kaki tersebut hanya sebagai bagian dari pertunjukkan. Tapi dalang topeng losari percaya sekali makna kotak dan nayaga memiliki kekuatan supranatural bagi penari. Jadi, ada semacam korelasi gerak tersebut dengan perangkat pertunjukkan di panggung/ pentas”.

Menarik memang. Tari Topeng Losari pada masa keemasan Mimi Sawitri, juga ikut mengantarkan sang cucu Nani ke berbagai negara di Eropa sebanyak dua kali seperti Belanda, Swiss, Belgia, Jerman, Prancis, Italia; termasuk ke dua kali ke Jepang, sekali ke Taiwan, Dubai, Bangladesh, Singapura, Malaysia, dan Brunai Darussalam di Asia. Juga mempertunjukkan tari topeng ini ke Australia dan Amerika Serikat.

DI tangan pewarisnya, nasib topeng losari dipertaruhkan dan dipertahankan dari keajegan dan kemilau masa lalu. Pentas yang (maaf) kini sunyi terpampang di depan mata, manakala saya bersama Agung Nugroho menyusur data perusahaan rokok yang dialokasikan bagi buruh dan pekerja kecil di Losari Barat. Kebetulan, Deni, suami mbak Ning (kakak Nani) bekerja di perusahaan rokok Panah Mas milik Haji Kusen.

Sanggar Purwakencana berada di belakang home industri rokok tersebut. Februari 2010 saya menyaksikan sanggar yang berdebu dan sepi pertunjukkan. Mbak Ning menjelaskan banyak hal mengenai tari topeng losari, bahkan mengeluarkan album foto pertunjukkan tarinya. Ia pun menunjukkan gudang penyimpanan gamelan tari topeng losari yang dimakan usia. Berkarat dan sudah tidak berfungsi lagi. Di rumah pusaka Mimi Sawitri tergantung foto hitam putih Buyut Sumirta yang berbingkai sederhana.

Demikianlah pergulatan mempertahankan tari topeng losari, mau tidak mau harus diimplementasikan melalui pentas panggung di berbagai tempat dan berulang. Di tangan pewarisnya, bersama juga nayaga yang bertambah sepuh, topeng losari harus menapak kembali jalan emas yang telah dilampaui Mimi Dewi dan Mimi Sawitri. Upaya ke arah itu akan tampak seandainya berbagai pihak yang merasa konsern terhadap tari topeng losari secara bersama melakukan upaya konkrit, dengan segala kemampuan serta kesempatan dan niat yang ditujukan bagi kembalinya tari topeng losari menjumput harapan.Harapan itulah agaknya yang terus menyulut semangat dan kerja keras para nayaga, dalang, serta penari Topeng Losari.Semoga tidak berhenti semata-mata pada harapan.***