Selasa, 11 Juni 2013

Suprijadi Pahlawan Peta



Oleh Dadang Kusnandar

Penulis lepas, tinggal di Cirebon

PEMBAHASAN sejarah senantiasa multitafsir. Termasuk ketika membicarakan ketokohan seseorang dalam sejarah, beragam tafsir meruyak. Menyangkut ketokohan tersebut yang sangat mungkin dinobatkan sebagai pahlawan ~karena terbukti perannya dalam peperangan nasional~ tidak sedikit dari pahlawan itu yang tidak ingin menampilkan jati dirinya. Sangat  mungkin ada banyak pelaku sejarah yang tak sempat terdokumentasi dengan jelas. Ada pula yang dengan sengaja menyembunyikan identitas dirinya untuk tujuan - tujuan yang lebih penting daripada sebuah ketenaran atau publisitas, demi kelangsungan hidup keturunannya. Bagi mereka memperjuangkan kemerdekaan jauh lebih penting dan bersahaja daripada menerima berbagai fasilitas negara, baik untuk dirinya maupun anak keturunannya. Kepada pahlawan misterius yang telah merelakan dirinya (dalam kata-kata Bung Karno: dibakar oleh api revolusi) hilang di tengah perjuangan bangsa, tulisan pendek ini disajikan.

Kesejatian pahlawan misterius itulah yang seharusnya menjadi teladan anak bangsa saat ini. Ketika nasionalisme memudar, dan ketika eksistensi personal menjadi ciri peradaban kiwari, kesejatian menjadi sangat langka. Berperang melawan musuh tidak untuk dicatat sejarah, bersedekah tanpa riya (berharap pujian), iklas membantu tanpa pretensi, berorganisasi tanpa berharap perolehan pemenuhan finansial dan keuangan, melaksanakan hubungan kemanusiaan dengan niat memanusiakan manusia, atau berinteraksi sosial tanpa maksud memungut kelebihan uang rakyat (APBD/ APBN).  Beberapa hal tadi kian menjauh dan sangat kontras apabila membaca kisah Suprijadi, yang tercatat dalam sejarah Pemberontakan Tanah Air (PETA) di Blitar, pada bulan Februari 1945.

Siapakah sosok Suprijadi itu? Dari Wikipedia diperoleh data: Fransiskus Xaverius Suprijadi (lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 13 April 1923 – meninggal tahun 2000 adalah pahlawan nasional Indonesia, pemimpin pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Ia ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat pada kabinet pertama Indonesia, Kabinet Presidensial, tapi digantikan oleh Jendral Sudirman pada 20 Oktober 1945 karena Suprijadi tidak pernah muncul. Selepas masa perjuangan kemerdekaan RI, beliau pernah mendampingi Presiden RI Soekarno sebagai pembantu (asisten) bersama dengan rekan seperjuangannya A.H Nasution pada waktu itu. Sekali berdinas di Departemen Pertanian di Jakarta menjabat Kepala Bagian Kepegawaian hingga memasuki usia pensiun.

Suprijadi mengikuti pendidikan peta dan sesudah itu diangkat menjadi Shodanco di Blitar. Ia sering bertugas mengawasi para romusha (kerja paksa di zaman Jepang) membuat benteng-benteng pertahanan dipantai selatan.Ia menyaksikan bagaimana sengsaranya para romusha. Makanan kurang dan kesehatan tidak terjamin. Banyak diantaranya yang meninggal dunia karena sakit, termasuk siksaan fisik.  Suprijadi tidak tahan melihat keadaan itu.Dengan beberapa orang temanya, ia merencanakan pemberontakan melawan tentara Jepang. Walaupun menyadari bahwa waktu itu Jepang sangat kuat, namun ia tetap berniat untuk melakukan perlawanan.

Pemberontakan dilancarkan dini hari tanggal 14 Februari 1945, di Daidan, Blitar, Jawa Timur. Jepang sangat terkejut mendengar perlawanan tersebut. Mereka mengerahkan kekuatan yang besar untuk menangkap anggota-anggota pasukan Peta Blitar. Selain itu,dilakukan pula siasat membujuk beberapa tokoh pemberontak. Karena kurang pengalaman dan kekuatan tidak seimbang pemberontakan itu ditindas Jepang.Tokoh-tokoh pemberontak yang tertangkap, diadili di mahkamah militer Jepang.Ada yang dihukum mati dan ada pula yang dipenjara. Suprijadi tidak ikut diadili, bahkan namanya tidak disebutkan dalam sidang pengadilan. Suprijadi dinyatakan hilang dan tidak pernah hadir dalam sidang pengadilan.  Supriyadi terus menjadi target teror agen-agen tentara sekutu (NICA) sehingga sering bersembunyi di kaki bukit di kota kelahirannya, Trenggalek, Jawa Timur.

Pada waktu itu, Supriyadi memimpin sebuah pasukan tentara bentukan Jepang yang beranggotakan orang orang Indonesia. Karena kesewenangan dan diskriminasi tentara Jepang terhadap tentara PETA dan rakyat Indonesia, Supriyadi gundah. Ia lantas memberontak bersama sejumlah rekannya sesama tentara PETA. Namun pemberontakannya tidak sukses. Pasukan pimpinan Supriyadi dikalahkan oleh pasukan bentukan Jepang lainnya, yang disebut Heiho.

Kabar yang berkembang kemudian, Supriyadi tewas. Tetapi, hingga kini tidak ditemukan mayat dan kuburannya. Oleh karena itu, meski telah dinobatkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah, keberadaan Supriyadi tetap misterius hingga kini. Sejarah yang ditulis pada buku-buku pelajaran sekolah pun menyebut Suprijadi hilang.

Dari Wikipedia diperoleh seperti ini: Selepas masa perjuangan kemerdekaan RI, beliau pernah mendampingi Presiden RI Soekarno sebagai pembantu (asisten) bersama dengan rekan seperjuangannya A.H Nasution pada waktu itu. Sekali berdinas di Departemen Pertanian di Jakarta menjabat Kepala Bagian Kepegawaian hingga memasuki usia pension ~sangat kontradiktif dengan keterangan di buku pelajaran sekolah yang menyatakan Suprijadi hilang/ menghilang. Akan tetapi tulisan pendek ini tidak bermaksud mengungkap kebenaran sejarah. Biarlah itu menjadi konsumsi sejarawan yang pakar dan mengetahui detil peristiwa PETA Februari 1945. Tulisan ini dipersembahkan bagi pengukuhan kembali nasionalisme Indonesia. Bagi bangsa besar yang tetap bertahan sekalipun mengalami banyak kegagalan lantaran banyak pihak yang menghendaki kehancuran bangsa dan negeri ini.

Berpuluh tahun kemudian sosok  pelaku utama sejarah PETA ini terangkat dalam beberapa topik dan perdebatan yang tak kunjung selesai, ada saksi yang mengatakan mengetahui siapa sebenarnya manusia misterius ini, ada yang datang mengklaim sebagai  “Sang Misterius" ini dengan beberapa bukti, namun tetap saja sosok - sosok asli ini tidak benar-benar diketahui jati diri sebenarnya. Hanya klaim dari beberapa orang dengan sumber cerita menurut versi masing – masing.
Namun yang membikin sosok Supriyadi semakin misterius adalah banyaknya kemunculan orang-orang yang mengaku sebagai Supriyadi. Salah satu yang cukup kontroversial adalah sebuah acara pembahasan buku ‘Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno’, yang diadakan di Semarang tahun 2010 lalu. Dalam acara itu, seorang pria sepuh bernama Andaryoko Wisnu Prabu membuka jati diri dia sesungguhnya. Dia mengaku sebagai Supriyadi, dan kini berusia 89 tahun. Sampai sekarang pengakuan tersebut belum bisa dibuktikan kebenarannya, meski secara perawakan dan sejumlah saksi membenarkan klaim tersebut.
Kisah inspiratif seorang Suprijadi adalah kerelaan beliau untuk tidak tampil mengambil jabatan Menteri Kemanan Rakyat pada kabinet pertama. Jabatan yang bisa mengantarkannya mencapai puncak karier militer Angkatan Darat. Berbagai asumsi yang berkembang saat itu ~menyoal ketidakmunculan Suprijadi~ boleh jadi berangkat dari status sang pahlawan kelahiran Trenggalek itu sebagai target operasi intelejen pasukan Jepang. Memilih bersembunyi di kaki bukit, mungkin menjadi petani dan berumah tangga sebagaimana masyarakat sekitarnya ~menuangkan pesan moral betapa tidak semata-mata jabatan yang dikejar sebagai hubungan sebab akibat sebuah perbuatan. Sebaliknya ia mengajarkan pentingnya berjuang melawan kesewenang-wenangan para penindas rakyat.

Dengan kata lain seluruh tindakan dan perbuatan kita sebaiknyalah dialokasikan, meminjam ujaran Pramudya Ananta Toer:  Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain.***