Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon
PELAJAR putri Indonesia (waktu saya sekolah dulu)
tiap tanggal 21 April dihimbau guru agar mengenakan kain kebaya dan
bersanggul ke sekolah. Tahun 1970-an hingga 1980-an itu masih banyak
ibu-ibu yang mengenakan kain kebaya dan bersanggul manakala pergi ke
sebuah pesta perkawinan dan atau kegiatan perempuan lainnya. Ibu saya
cukup sibuk mendandani adik perempuan saya ketika kalender menuding
ke angka 21 April. Demikian pula ibu-ibu yang lain. Tak jarang ada yang
mengambil jalan pintas: menggunakan jasa layanan salon kecantikan.
Pemandangan di sekolah jadi menarik. Teman-teman
perempuan yang biasanya hanya mengenakan pakaian seragam sekolah, kali
itu tampak cantik berbalut kain kebaya dengan rambut disanggul. Gaya
sanggul pun beragam. Sementara pelajar laki-laki tetap berpakaian seragam
karena saat itu belum populer penggunaan jas dasi bagi pelajar.
Tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Kartini, pahlawan
perempuan yang sukses mengangkat citra kaum perempuan (khususnya masyarakat
Jawa) pada masa kolonial. Kami di sekolah kerap menamakan peringatan
itu dengan istilah Kartinian. Artinya memperingati tanggal kelahiran Raden Ajeng
Kartini yang ditunjukkan melalui penggunaan pakaian yang dikenakan beliau
~mungkin hampir sepanjang hidup.
Tiap 21 April tidak ada kegiatan belajar mengajar.
Sekolah memang tidak libur, namun kegiatan terpusat pada semacam seremoni
mengenang Kartini. Kami hafal benar wajah Kartini karena di dinding
kelas fotonya dipajang berikut pahlawan-pahlawan lainnya. Trio pahlawan
perempuan yang kami ingat adalah RA Kartini, Cut Nyak Dien, dan Dewi
Sartika. Ketiganya bertengger di dinding kelas dan menampakkan eksistensinya
masing-masing. Kartini dengan kelembutan perempuan Jawa yang berpikiran
jauh ke depan melampaui perempuan-perempuan pada masanya. Cut Nyak Dien
dengan pakaian adat Aceh dan keris terhunus di tangan. Sementara Raden
Dewi Sartika dengan kebaya Sunda dan sanggulnya menampakkan sorot keberanian
melawan kesewenangan pemerintah Belanda.
Kartini, Cut Nyak Dien, dan Dewi Sartika ~semuanya
melakukan perlawanan terhadap zamannya. Kartini melalui kontemplasi
tertulisnya, sebuah pemberontakan batin melihat betapa getir budaya
mengurung perempuan Jawa. Cut Nyak Dien selain dikenal sebagai pemimpin
perang melawan Belanda, ternyata beliau pun seorang guru mengaji bagi
anak-anak. Dan Dewi Sartika berupaya memulihkan harkat derajat kaum
perempuan Sunda dengan mendirikan Sakola Kautamaan Istri di Bandung.
Kembali kepada kain kebaya dan sanggul. Suatu siang
menjelang 21 April 2014, seorang ibu berkendara sepeda motor tampak
mengantar anaknya ke sekolah. “Besok hari Kartini, jadi hari ini anak
saya harus memilih pakaian yang akan dikenakan besok”, katanya mantap.
Ternyata anak lelakinya bersekolah di SD Negeri Kartini Cirebon. Saya
tidak merinci pertanyaan pakaian model apa yang akan dikenakan anak
lelakinya pada 21 April. Yang saya tahu, Kartinian merupakan hari penggunaan kain kebaya dan rambut
yang disanggul bagi pelajar perempuan.
Seiring perjalanan dan mungkin saja kecenderungan
model busana, kain kebaya dan sanggul perlahan lenyap. Lemari pakaian
di rumah-rumah hampir tidak ditemui kain kebaya. Gaya berbusana tahun
1920-an (?) itu telah bergeser oleh kerudung dan busana muslim. Lemari
pakaian perempuan sesak oleh berbagai jenis dan motif busana muslim.
Begitu pula celana panjang jeans dan T-Shirt mudah dijumpai pada lemari
perempuan masa kini.
Dulu di lemari ibu saya selain terdapat beberapa potong
kain bawahan (motif batik dan bunga), juga banyak baju kebaya berbagai
warna dengan coraknya masing-masing. Selain itu ibu pun menggantung
rambut panjang (rambut palsu) yang biasa digulungkan ke rambut ibu lantas
dirangkai menjadi sanggul. Berkebaya dan bersanggul merupakan kesatuan
yang padu. Ditambah alas kaki berupa selop ~dengan hak rendah atau tinggi, maka sosok ibu seketika
berubah jadi cantik dan memancarkan pesona.
Kain kebaya dan sanggul itulah yang dikenakan adik-adik
perempuan saya pada tanggal 21 April. Dan ibu mendandani sendiri anak-anaknya.
Lalu adik-adik berangkat ke sekolah naik becak karena “susah”
kalau harus jalan kaki.
Berbusana kebaya dan bersanggul merupakan pemandangan
tersendiri yang mengingatkan betapa pada puluhan tahun lalu masyarakat
Indonesia telah menemukan baju khususnya yang dirancang bagi penampilan
dan eksistensi perempuan. Kebaya dan sanggul menjadi ciri pakaian perempuan
Indonesia. Sementara kaum lelaki diperlihatkan dengan penggunaan peci
hitam. Kabarnya peci hitam ini pertanda nasionalisme Indonesia, ujar
Bung Karno suatu ketika.
TAPI ke manakah kini kain kebaya dan sanggul? Apakah
cara berpakaian perempuan pun harus mengadopsi budaya pop yang serba
praktis? Celana jeans ketat dan T-Shirt lebih disukai perempuan sekarang,
bahkan ada perempuan yang mengenakan celana jeans agak kedodoran sehingga
belahan anusnya tampak. Di Cirebon dikenal istilah sms (silit metu setitik). Pengguna celana jeans bergaya sms ini banyak
terjumpa di jalanan. Mereka berbonceng sepeda motor dengan kawan lelakinya
sambil memainkan key pad ponsel. Di lampu lalu lintas, kalau Anda mau
menengok sekitar, satu dua pengguna celana jeans sms ini akan ditemui.
Persoalannya kemudian apakah kain kebaya dan sanggul
tergeser oleh celana jeans ketat dan T-Shirt? Atau kalah oleh celana
jeans ala sms?
Begitu mudahkah perempuan masa kini memperlihatkan sebagian tubuh belakangnya
kepada mata lelaki? Biasanya pula pengguna jeans sms ini mengenakan T-Shirt yang berbadan pendek, artinya pinggang
si perempuan terlihat saat ia duduk.
Kartini, Dewi Sartika adalah pengguna kain kebaya
dan sanggul. Keduanya bahkan mengajarkan berbagai keterampilan kepada
perempuan pada masanya supaya perempuan mampu bersanding dengan laki-laki,
tanpa terus menjadi beban ekonomi kaum lelaki. Begitu juga keduanya
mengangkat citra perempuan agar tidak tersubordinasi oleh laki-laki.
Kesetaraan yang dikenal dengan istilah emansipasi
perempuan waktu itu, atau kesetaraan gender saat ini, menjadi motivasi
perjuangan membebaskan perempuan dari gelap menuju cahaya. Dengan kain
kebaya dan rambut disanggul, pahlawan-pahlawan perempuan Indonesia mengelaborasi
kemampuan dirinya di ranah publik.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar