Kamis, 29 November 2012

Vinondini Indriati Menilai Saya



Buku: CIREBON Silang Peradaban

Oleh Nyi Vinon 
pada 24 November 2012 pukul 12:14 ·

Melihat judul buku yang ditulis Dadang Kusnandar  (2012) ini, langsung terlintas sebuah (seri) buku lain di benak saya: NUSA JAWA Silang Budaya yang ditulis Denys Lombard (2005). Denys Lombard dalam bukunya mengamati lapisan budaya yang ada di Jawa, menganalisis sejarah perkembangannya, membahas  masyarakat yang mengembangkannya. NUSA JAWA Silang Budaya berisi tentang  pengaruh Eropa, kedatangan agama Islam dan hubungannya dengan dunia Cina, serta pengaruh peradaban India.

peradaban          per.a.dab.an
[n] (1) kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin: bangsa-bangsa di dunia ini tidak sama tingkat ~ nya; (2) hal yg menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

budaya                bu.da.ya
[n] (1) pikiran; akal budi: hasil --; (2) adat istiadat: menyelidiki bahasa dan --; (3) sesuatu mengenai kebudayaan yg sudah berkembang (beradab, maju): jiwa yg --; (4) cak sesuatu yg sudah menjadi kebiasaan yg sudah sukar diubah (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

Penulis buku CIREBON Silang Peradaban tentunya mempunyai alasan sendiri memilih kata “peradaban” ketimbang “budaya”. Mungkin karena peradaban sudah mencakup budaya.
Adab (Arabic: أدب‎) in the context of behavior, refers to prescribed Islamic etiquette: "refinement, good manners, morals, decorum, decency, humaneness".[1] While interpretation of the scope and particulars of Adab may vary among different cultures, common among these interpretations is regard for personal standing through the observation of certain codes of behavior.[2] To exhibit Adab would be to show "proper discrimination of correct order, behavior, and taste."[2] (Wikipedia)

CIREBON Silang Peradaban kurang lebih bercerita tentang “kebudayaan Cirebon” dengan pengaruh-pengaruh serupa seperti NUSA JAWA, yaitu Eropa, Islam, Cina dan India. Pada buku CIREBON Silang Peradaban,  pengaruh Eropa  hanyalah Belanda, seperti: “Saat pertunjukan biasanya para penari atau para bangsawan meneguk minuman keras (arak) tapi tidak sampai mabuk, hanya untuk menghangatkan badan. Hal ini merupakan pengaruh kaum penjajah Belanda” (halaman 121). Sedangkan pengaruh India disampaikan dalam bentuk contoh rupa peristiwa, seperti pementasan wayang dengan lakon Mahabarata. Pengaruh musik India dan Arab pun disebutkan, bukan dalam isi buku ini, melainkan pada Kata Pengantar; Cirebon, Yang Perlahan Menguap, ditulis oleh Miqdad Husein, Peneliti Gerbang Informasi.

Dadang Kusnandar, penulis asal Cirebon, memiliki keuntungan dalam menulis buku ini. Banyak peristiwa atau kesenian yang ditulisnya dialami secara pribadi, ditulis dengan detail dan perasaannya. Berbagai kesenian Cirebon yang punah atau hampir punah, seperti sandiwara Masres, Dokmong (sastra lisan), Wayang Klitik (Dalang Repot), para penari topeng yang bebarang, pernah disaksikan langsung oleh penulis. Kesenian langka yang tidak diketahui banyak orang, kesenian langka yang tidak diketahui banyak bahkan oleh Orang Cirebon. Seperti yang disebutkan oleh penulis, beberapa kesenian tidak sempat terdokumentasikan, namun kiranya bisa direka ulang dan digambar sketsa situasinya berdasarkan beberapa saksi mata.

Amat disayangkan buku ini tidak dilengkapi foto-foto berbagai jenis kesenian yang mungkin tidak diketahui banyak pembaca, seperti contoh di foto sampul. Foto yang buram tersebut (mungkin bukan dari fotografernya, tapi soal teknik atau kualitas cetakan), juga tidak disertai keterangan peristiwa atau kesenian apa gerangan. Saya yakin, Ipon Bae, penyedia foto tersebut mampu menyediakan banyak foto lain dari berbagai kesenian Cirebon untuk tampil di buku ini mendukung isi tulisan. Bagaimana Tari Topeng Losari itu berbeda dengan Tari Topeng Gegesik, Slangit, Pekandangan, Tambi atau Bongas, misalnya.

Sebagai sesama orang pesisir Cirebon, saya agak heran ketika kesenian Burok luput dari tulisan ini. Sebuah kesenian yang ada karena datangnya agama Islam ke Cirebon, bukan kesenian dari Arab, seperti kesenian-kesenian Cirebon lain yang unik, yang hanya ditemukan di Cirebon. Saya sadar, buku setebal 132 halaman ini tidak mungkin memuat semuanya. Meskipun di pihak lain, saya juga sama sadarnya bahwa isi buku ini di beberapa bagian terdapat perulangan informasi yang kurang perlu. Contohnya “kutipan halaman 121” di atas dapat kita temui di halaman-halaman lainnya.

Banyak kesalahan ketik yang mengganggu di sekujur buku ini, yang merupakan kelalaian editornya. Seperti “kutipan halaman 121” di atas yang pada buku tercetak “…Hal ini merupakan merupakan pengaruh kaum penjajah Belanda”. Banyak juga dijumpai pemakaian kata dalam Bahasa Inggris yang bisa dihindari.
Dadang Kusnandar, yang hingga kini tinggal di Cirebon, aktif bergaul dengan para seniman dan budayawan Cirebon. Selain data-data tulisannya yang berhasil didapatkan dari sumber utama atau pelakunya, Penulis juga mampu memotret keadaan masa kini Cirebon. Adanya ulasan tentang kesenian kontemporer Cirebon, seperti Tari Batik yang merupakan gabungan seni batik tulis dan seni tari, atau Wayang Babad yang merupakan modifikasi wayang dan seni tari. Termasuk geliat masyarakat Cirebon, yang bukan hanya tentang tarik-menarik kuno Sunda dan Jawa; tapi juga tentang Sunda (Jawa Barat) dan Cirebon sendiri, menyoal kewenangan dan aset moderen (provinsi).

Begitulah kira-kira lengkapnya isi buku ini. Dari Sunan Gunung Jati hingga Grage Mall. Baik mewakili zaman maupun benda. Seperti yang ditulis Penulisnya di halaman 101: “Bukankah sulit mencari kesenian asli, bahkan pada seni tradisi?”

 Nyi Vinon,
Wong Cerbon 

Senin, 12 November 2012

Muhammadiyah 100 Tahun Kemudian


Oleh Dadang Kusnandar*)

KETIKA berstatus siswa SMP, saya tidak begitu paham Muhammadiyah. Yang ada di benak adalah teman-teman yang bersekolah di SMP Muhammadiyah Jalan Bahagia Cirebon. Saat itu baju putih celana pendek hijau menjadi ciri siswa Muhammadiyah. Selain itu, Mesjid Teja Suar yang mengundang Buya Hamka pada kutbah Jum`at awal 1979. Masih terbayang di ingatan, lambaian lemah tangan Buya Hamka menyapa jamaah mesjid bakda shalat Jum`at di tangga luar mesjid. Juga ucapan beliau, “Assalamu `alaikum warga Cirebon!”. Muhammadiyah yang saya ingat juga adalah balai pengobatan di Grubugan Kelurahan Kasepuhan Kecamatan Lemahwungkuk. Pakde  sempat membawa saya berobat ke sana, dan obat yang diterima ketika itu tak lain obat sakti berupa tablet berwarna putih dan kuning. Saya sebut obat sakti karena pasien lain pun (dengan keluhan dan rasa sakit berbeda) menerima obat yang sama.
Waktu kemudian mempertemukan dengan aktivis Muhammadiyah Kota Kabupaten Cirebon. Kutbah Jum`at Bapak Zainal Masduki di Mesjid An Nur  depan parkir Pasuketan  atau Mesjid Teja Suar, merupakan pengenalan kesekian saya tentang Muhammadiyah.  Bapak Rosyad Rais yang akhirnya bersama kawan-kawan lebih sering belajar di mushala rumahnya. Bapak Zaidin Aksan dengan suara gelegarnya dengan pembahasan favorit Tahayul Bid`ah Churafat Aqidah (TBCA). Meski ketika itu sudah mengenal Bapak Kosasih Natawijaya sebagai seorang khatib Jum`at di Mesjid An Nur, tapi saya tidak tahu jikalau ia bergiat di Muhammadiyah. Saya dengan Miqdad Husein, juga banyak kawan lain di Mesjid An Nur menjadi penjaga gawang dan pegiat aktivitas keagamaan saja. 

Perjalanan pula membawa saya mengenal lebih dalam tentang Muhammadiyah. Dua adik kandung saya lulusan Sekolah Menengah Farmasi (SMF) Muhammadiyah angkatan ketiga dan SMA Muhammadiyah Tuparev yang sudah dikenal dengan istilah Blok M. Otomatis saya membaca Muhammadiyah Cirebon. Melalui buku cetak adik maupun pelajaran sejarah organisasi nasional paska Serikat Dagang Islam (SDI) dan Boedi Oetomo (BO). 

Tahun 2011 secara formal dikukuhkan menjadi Personalia Pimpinan Majelis Pustaka, Informasi dan Litbang Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Cirebon  Periode 2010-2015, berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Cirebon Nomor: 12/KEP/III.0/D/2011 tertanggal 21 Rabiul Akhir 1432 H/ 26 Maret 2011 atas insiatif Sdr. Sunardi Suwela. Lalu muncul ide menelorkan bulletin (yang sudah berulang kali dilakukan Muhammadiyah Cirebon) dengan nama Buletin Sang Pencerah (BSP) yang terbit tiap hari Jum`at. 

TIDAK terasa kini Muhammadiyah berusia 100 tahun sejak berdiri di Yogyakarta pada 1912. Seabad usia Muhammadiyah, seabad pula liku perjalanan menghadang. Tapi sungguh organisasi ini akan tegak apabila komitmen awal para penerus gerakan Muhammadiyah berangkat dari pesan Dahlan Untuk Dahlan. Subjek yang juga bermakna sebagai Objek, dan sebaliknya. Dahlan menasihati dirinya sendiri agar ia tidak binasa ditelan hiruk pikuk zaman. Perjuangan dakwah yang telah dicontohkan Darwisy (nama kecil KH Ahmad Dahlan) memungkinkan penerusnya melakukan inovasi organisasi. Organisasi yang sangat berpeluang berkembang menjadi lebih baik dan maju apabila disertai kesungguhan menegakkan komitmen awal. 

Cut Zurnali dalam bukunya "Learning Organization, Competency, Organizational Commitment, dan Customer Orientation : Knowledge Worker - Kerangka Riset Manajemen Sumberdaya Manusia di Masa Depan " (2010) menyatakan bahwa perhatian umum dan tujuan kunci dari unit organisasi SDM adalah untuk mencari pengukuran yang dapat mengestimasikan secara akurat komitmen para pekerjanya dan mengembangkan program-program dan kegiatan-kegiatan yang meningkatkan komitmen pada organisasi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kajian penelitian yang luas dalam ilmu psikologi dan manajemen adalah tentang konsep dan peranan komitmen organisasional (organizational commitment). Konstruk ini dikaitkan pada pentingnya kinerja yang dihasilkan dan perputarannya (Hom and Griffeth, 1995). Ketika konstruk komitmen organisasional banyak diperhatikan dalam literatur psikologi dan manajemen, maka hal ini juga menjadi penting dalam bidang yang menyangkut teknologi dan pengembangannya, sehingga pihak manajemen di bidang ini mulai memfokuskan perhatiannya pada konstruk komitmen organisasional ini.

Sekali lagi komitmen organisasi sangat penting untuk mengembalikan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dengan konsep fastabikul khairat, berlomba dalam kebaikan. Komitmen awal untuk melakukan pencerahan kepada  masyarakat pada awal ke 20. Tak pelak dengan mengemban komitmen awal di atas, organisasi besar dengan jama`ah berjumlah jutaan ini mampu kembali mencerahkan spiritualitas bangsa. Sebaliknya apabila komitmen awal itu diam-diam dikhianati aktivisnya, sungguh jangan harap akan memacarkan cahaya mentari, dan jangan berharap mencerahkan warga bangsa.

Pembaca budiman, kita belum pernah mengalami kepahitan sebagaimana diterima Dahlan ketika membangun organisasi Muhammadiyah. Kita pun belum pernah diasingkan masyarakat hanya karena perbedaan persepsi keagamaan, sebagaimana Dahlan dituduh dengan julukan Kiai Palsu. Bisa jadi karena kita bukan kiai maka tidak seorang pun menuduh kita sebagai kiai palsu. Bisa jadi pula dakwah bil lisan yang kita lakukan selama ini ternyata belum sepenuhnya terbebas dari keinginan duniawi. Belum terbebas dari perolehan sesuatu yang memungkinkan timbulnya fitnah. Yang pasti dakwah melalui lisan dan tulisan kerap abai terhadap pesan Dahlan ketika ia membangun organisasi dakwah ini dengan sejuta keperihannya.

Seratus tahun alias satu abad tak pelak merupakan proses renungan perjalanan panjang organisasi yang kini dihuni jutaan masyarakat muslim Indonesia. Potensi besar ini mau tidak mau harus dikelola dengan managemen yang profesional oleh tangan-tangan tulus, tangan tanpa pretensi duniawi. Jika tidak akan berlangsung sebuah suasana buram yakni ketika organisasi yang sudah berusia 100 tahun ini kalah dalam berbagai hal. Kekalahan yang diam-diam terjadi karena ulah kita sendiri. Dengan kata lain jikalau tidak ingin kalah, segeralah berbenah dan berkaca kembali kepada perjuangan Dahlan tatkala membangun organisasi ini di tengah masa kolonial Belanda yang menghendaki hegemoni dalam kebudayaan. Termasuk hegemoni agama.

Tentu saja kita tidak ingin kalah, tidak hendak menjadi kekuatan semu yang berbasis seolah-olah. Aktivis Muhammadiyah, siapa pun dia dan apa pun statusnya dalam organisasi ~semua menginginkan adanya kejayaan organisasi. Sehingga dakwah yang dilakukan (lisan dan tulisan), atau melalui lembaga pendidikan dan kesehatan, memberi manfaat bagi khalayak. Bagi umat Islam. Bagi Indonesia. 

Teringat sebuah rumor seorang kawan: Di mana saja dan organisasi apa saja ketika masih kecil, ia memegang komitmen yang hebat, tetapi setelah besar komitmen itu mulai terkikis oleh bayang-bayang sendiri. Berharap semoga rumor itu tidak menimpa Muhammadiyah yang kini memasuki usia 100 tahun, Dahlan mengingatkan melalui pesan untuk dirinya sendiri: renungkanlah yang terdekat kepadamu.***

*)Penulis adalah Personalia Pimpinan Majelis Pustaka, Informasi dan Litbang Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Cirebon  Periode 2010-2015

Sabtu, 10 November 2012

Basa Cerbon : Adoh Seng Pakta



Dening Dadang Kusnandar

BADAN kula supados sehat jasmani rohani niku merluakaen prilakune sapertos pertami makanan minuman bergizi, kaping kalih istirahat ingkang cukup, kaping tiga urip teng lingkungan ingkang bersih. Teng agama islam wonten makanan minuman ingkang dihalalaken sareng diharamaken. Makanan ingkang halal yaniku saged saking sae didahar, contone hasil ternak kecuali ternak babi, makanan ingkang diharamaken aertine makanan ingkang dilarang oleh agama islam lan mboten sae didahar, contone yaiku babi, bangkai dll. Bahaya dahar makanan haram yaiku angsal dosa, badan mboten sehat lan mboten sae, ngelemahaken iman.

Materi pelajaran Basa lan Sastra Cebon kelas 9 semester ganjil di atas meski masih terdapat kesalahan, tetap saja siswa kelas 3 SLTP mengalami kesulitan menjawab pertanyaan dari wacana tersebut. Saya menyebut kesalahan misalnya pada kalimat pertama: merluaken prilakune (memerlukan perilaku). Juga masih terdapat penggunaan bahasa Indonesia, baik dalam bentuk kata (misalnya pertami, dll = dan lain-lain, oleh, makanan) serta gramatika yang membentuknya.

Dari satu kasus itu terbukti bahwa bahasa daerah itu sulit. Ia menjadi sulit karena semakin jarang pelajar berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan bahasa daerah. Di rumah sekali pun, orang tua yang masih memakai bahasa daerah bila berbincang dengan tetangganya, ia tidak menerapkan bahasa daerah Cirebon kepada anak-anaknya. Kondisi ini makin semaput pada pasangan suami istri yang tidak membiasakan berkomunikasi dengan bahasa daerah. Pilihan pun umumnya jatuh pada bahasa Indonesia, sebagian ada yang suka memilih bahasa Inggris, dan sedikit yang berbahasa Belanda.

Sepertinya berbincang dengan bahasa Cirebon menunjukkan kelas bawah. Ada rasa malu jika seorang perempuan cantik yang bekerja di perusahaan swasta dipanggil nok. Ia lebih senang dipanggil mbak atau neng. Padahal mbak dan neng berasal dari bahasa Jawa dan Sunda. Saya tergolong sering memanggil nok kepada perempuan pekerja di Cirebon, walaupun ia terpaksa menjawab namun ada raut wajah ketidaksenangan atas panggilan nok. Mungkin karena posisi saya sebagai pembeli maka perempuan pekerja itu mau menjawab pertanyaan saya, itu pun dijawab dengan bahasa Indonesia.

Pertanyaan yang muncul bagaimana kita melihat fakta bahasa Cirebon saat ini? Bahasa daerah yang mengalami dekonstruksi ternyata juga berlangsung pada kurikulum sekolah, dan ia semakin tidak dipahami manakala penggunanya lebih asik menggunakan bahasa lain. Fakta ini jelas memperburuk bahasa daerah, bahasa ibu, bahasa lokal dan sebutan lain yang mengena padanya. Buruk dalam pengertian, jangankan untuk berkembang, bahkan bertahan pun sulit. Dan diam-diam kita menjadi pelaku yang memperburuk bahasa Cirebon.

Secara pribadi saya pun mengalami kesulitan ketika anak bertanya Pekerjaan Rumah (PR) pelajaran Basa lan Sastra Cerbon saat SMP dulu. Beruntung ada yang bisa dimintai tolong untuk menjawabnya. Saya berkirim pesan pendek kepada Mas Nurdin, Mas Opan, Mas Supali, atau ke Dalang Kaji Mansur. Tapi setelah pelajaran bahasa Cirebon itu tidak dipelajari lagi oleh anak saya di tingkat SMA, saya pun lupa materi basa Cerbon apa yang pernah saya tanyakan kepada teman-teman. Inilah keadaan yang diam-diam memarginalkan bahasa daerah, menempatkan bahasa daerah pada subordinat, lantas menjelaskan betapa sebenarnya kita belum berpihak kepada bahasa daerah.

Itu sebabnya pelajaran bahasa Cirebon perlu diangkat kembali sebagai kekayaan, serta tidak sebatas memandangnya sebagai hiasan di etalase bahasa. Parahnya lagi jika hiasan itu tidak ditoleh sama sekali. Penghancuran bahasa daerah tentu akan berlangsung dalam waktu cepat, dan itulah yang memacu sejumlah kawan penggerak eksistensi Bahasa Cirebon untuk merumuskan kembali format yang tepat dan mudah dipahami siswa/ pelajar serta orang tua di rumah agar membiasakan penggunaan Bahasa Cirebon.***

Kamis, 01 November 2012

Pangeran Sabrang Lor dan Kedaulatan Laut

InilahKoran, Kamis 1 November 2012
Rubrik Aspirasi, halaman 8





Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon

MUSISI dan pencinta lingkungan hidup, Iwan Abdurahman alias Iwan Ompong alias Abah Iwan menulis: Merasa takut tetapi terus maju itulah keberanian sejati .  Keberanian sejati antara lain diperlihatkan ketika masa kerajaan Islam Jawa berulang kali menyerang kekuasaan Portugis di Malaka pada awal abad ke -16, abad ketika para pedagang Eropa dengan dukungan tentara dan armada lautnya berekspansi jauh mengelilingi bumi. Beralasan memang, paska aufklarung, Inggris, Belanda, Portugis, dan Spanyol menjadi bangsa ulung dalam hal penaklukkan negara lain. Jauh dari negerinya dan ditempuh berbulan-bulan menggunakan jalur laut.

Saya percaya bahwa rasa takut itu manusiawi, ia bersemayam pada setiap orang. Namun demi kepercayaan atas kepemimpinan di pundak, ribuan tokoh pemimpin berbagai bangsa dan negara melawan kepada orang asing yang hendak menguasai jalur perdagangan lantas menjajah serta menjarah kekayaan negerinya.  Perlawanan bersenjata yang dilakukan atas nama kekuasaan di negeri sendiri, tanpa campur tangan pihak asing. Dipertajam oleh perbedaan agama (dan ideologi) makin kuatlah semangat perlawanan bersenjata itu. Terlebih Nusantara pernah jaya di laut jauh sejak Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, hingga dikenal idiom jales veva jayamahe.  

Berbagai strategi pun dipahatkan. Terinspirasi cerpen Ipon Bae berjudul Sabrang Lor Gugur (InilahKoran, Minggu 28/10) penamaan yang sama pada beberapa tokoh sejarah memperlihatkan adanya strategi agar sang tokoh makin disegani lawan dan sulit ditiadakan. Artinya perlawanan terhadap imperialisme di suatu daerah didukung tokoh daerah lain dengan semangat yang sama untuk mengusir kaum penindas.

Kematian Sadam Husen yang dirilis media massa berulang kali ada lah contoh peristiwa yang menggambarkan hal tersebut. Jika tokoh sentral tak pernah mati, semangat perlawanan rakyat terus berkobar. Ini menandakan masa kerajaan islam indonesia pun telah mengenal nasionalisme. Nimas Ratu Kalinyamat dari Jepara yang mengerahkan ribuan pasukan dan kapal perang membantu Patih Unus/ Pangeran Sabrang Lor menyerang Portugis ke Malaka adalah satu contoh kebersamaan itu.

Bagaimana dengan kerajaan islam Cirebon? Teringat sejarah Perang Cirebon 1818 dari Desa Kedongdong yang menurunkan puluhan kapal perang Belanda, sangat mungkin armada laut Kerajaan Islam Cirebon saat itu cukup kuat. Kuat dalam pengertian sebenarnya dan semakin diperkuat oleh bantuan armada laut dari Demak, Makassar, Banten, dan Mataram. Memang belum ada fakta sejarah yang memperkuat asumsi ini. Tapi setidaknya dua kali kegagalan penyerbuan Demak dan Jepara ke Malaka saat dikuasai Portugis, dan dua kali kegagalan penyerbuan Mataram (di bawah Sultan Agung) ke Sunda Kalapa yang dikuasai Portugis, atau Banten yang akhirnya jatuh ke tangan Belanda ~memungkinkan armada laut dan tentaranya bergabung dengan Ki Bagus Rangin dan kawan-kawan pada Perang Cirebon 1818.

Sama-sama sebagai pasukan kalah perang, dengan musuh yang sama dan dibekali semangat keagamaan yang sama pula; maka perlawanan menjadi heroik serta merugikan pihak lawan. Kembali ke ungkapan Abah Iwan di atas, saya cenderung berasumsi bahwa bisa saja para pemimpin laskar perang terhadap kaum kolonial itu  merasa takut. Takut kalah lantaran persenjataan yang tak seimbang. Takut kalah karena sudah berulang kali dicoba dan terus gagal. Namun keberanian sejati telah tertanam, maka para pimpinan perang itu pun terus maju.

Sejarah memang mencatat beberapa episode peperangan tak berimbang. Bukan hanya perang kerajaan Islam Nusantara melawan Portugis dan Belanda. Endingnya kita paham dan dapat diduga: Kalah dengan berbagai alasan dan ketakmampuan menolak politik devide et impera. Namun di balik itu semua ada spirit yang tak pernah lekang dipanas dan tak kuyup dihujan, ialah keinginan mengelola negeri sendiri, memanage kekayaan bangsa sendiri, serta tidak mau menjadi budak/ kuli di negeri sendiri.

Laut Jawa

Peran Laut Jawa sangat strategis hingga sekarang. Pada masa kerajaan Islam Nusantara, perjalanan laut dari Eropa setelah melewati Selat Malaka harus lewat Laut Jawa. Masa kerajaan pra Islam (Hindu Budha) belum menorehkan catatan imperialisme meski perniagaan laut telah terbina dengan Arab, Persia,  India, Cina, dan Campa. Penaklukkan negeri lain oleh Eropa Barat melalui jalur laut sejak penyeberangan Vasco da Gama (Portugis) ke Calcuta, India hingga kedatangan pelaut VOC ke Nusantara. Kerajaan Islam Malaka jatuh ke tangan Portugis lalu melanjutkan penaklukkan itu ke Jawa untuk menjarah rempah-rempah di Maluku.

Logis jika sejarah peperangan laut antara kerajaan Islam yang ada di Jawa berhadapan dengan Portugis, VOC dan Belanda berlangsung di pula di Laut Jawa. Banten, Cirebon, Demak, Jepara, dan Mataram sangat mungkin memiliki armada laut yang gagah perkasa. Ingatan sejarah ini bukan sekadar romantika masa lalu, dan bukan hanya upaya kebanggaan semu (karena kalah perang), akan tetapi merupakan bahan renungan betapa kita dahulu telah memiliki pasukan laut yang kuat dan diperhitungkan. Sekali lagi sejarah mungkin hanya mencatat (bahkan luput dari catatan sejarah) perlawanan laut sebagaimana berita harian yang kita konsumsi melalui media massa. Catatan sejarah Nusantara lama setidaknya menjadi semacam spirit untuk penguatan kembali armada laut Indonesia.

Betapa tidak. Kita tidak pernah bisa menghitung berapa ton pasir besi yang terus diangkut armada laut Negara tetangga. Demikian pula kita mampu menghitung sumber daya alam dari laut Jawa (dan laut Nusantara) yang dieksploitasi armada laut negara lain. Alasan konvensi internasional tentang batas laut, zona ekonomi eksklusif (zee), territorial perairan dan laut Indonesia yang diatur bangsa asing ~memudahkan berlangsungnya eksploitasi sumber daya laut setiap hari. Bangsa asing yang mematok batas laut Indonesia itu bisa semena-mena mengeruk kekayaan laut kita.

Kembali ke masa kerajaan Islam Nusantara dengan armada lautnya yang perkasa itu, seperti nya kita kembali mengingat betapa saat itu (abad 16 – 19 Masehi) para pemimpin Nusantara sangat sadar akan makna kedaulatan. Daripada jatuh ke tangan asing, lebih baik perang berkalang tanah. Daripada terjerembab menjadi  imperium, lebih baik melawan dahulu. Tidak seperti sekarang. Laut dan kekayaan kita dikeruk hanya oleh sebuah ratifikasi perjanjian yang seolah-olah menguntungkan. Aneh memang. Kita yang punya laut tetapi penguasa laut dan perairan Indonesia adalah bangsa asing. Atas nama profesionalisme, globalisasi dan kerjasama luar negeri atau multilateral, kita selalu kalah.

Dengan kata lain rasa takut para pemimpin Indonesia saat ini jauh melebihi para pemimpin laskar laut Nusantara pada masa kerajaan Islam. Para pemimpin (yang dimuliakan Allah swt itu) memlih berperang terlebih dahulu, meski akhirnya kalah.

Dalam keadaan inilah sosok Pangeran Sabrang Lor diharapkan kembali menjelma. Sungguh saya merindukan sosok hebat nan perkasa itu muncul kembali. Minimal untuk merebut kembali kedaulatan laut Indonesia sehingga kita sebagai bangsa pelaut (diawali oleh nenek moyang) mampu mengelola lautnya sendiri. Jika pun harus meratifikasi sebuah perjanjian internasional, jangan mau ada di posisi sub ordinat. Ingatlah kita yang memiliki perairan dan laut. Bukan mereka!