Kamis, 21 Juni 2012

HUT Jakarta Kemeriahan Semata

Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon


TIAP 22 Juni Jakarta berulang tahun. Nama Jakarta sebelumnya ialah Jayakarata sebagai penghargaan atas jasa Pangeran Jayakarta Wijayakrama kini memasuki usia 485 tahun. Dihitung sejak tahun 1526 ketika ditundukannya Portugis dari Sunda Kalapa oleh Fatahilah atau Faletehan, kota megapolitan ini terus berderak dan memacu jaman. Guru besar Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Mansur Suryanegara pada sebuah kesempatan di Mesjid Salman ITB tahun 1980-an mengatakan, nama Sunda Kalapa diganti menjadi Fathan Mubina. Namun nama Jayakarta lebih akrab dan mengemuka ketimbang Fathan Mubina. Kata ini diambil dari ayat suci Qur`an, tepatnya Surat Al-Fath (48) ayat 1 yang artinya kemenangan yang jelas. Sampai Jan Pieterszoon Coen yang kemudian menjadi Gubernur Jendral Belanda (saat itu masih VOC) menghancurkan Jayakarta pada 1619. Nama Batavia dipakai sejak sekitar tahun 1621 sampai dengan tahun 1942. Ketika Hindia-Belanda jatuh ke tangan Jepang, sebagai bagian dari deNederlandisasi, nama kota diganti menjadi Jakarta.

Berulang kali pergantian nama Jakarta mencerminkan pergolakan sekaligus pergumulan budaya yang tercatat sejarah dengan pelbagai hiruk pikuknya. Kerajaan Sunda Kalapa di perut Jawa Barat menempatkan Jakarta sebagai kota pelabuhan, kota persinggahan dan perdagangan antarkerajaan saat itu. Konon Sunda Kalapa bekerja sama dengan Portugis sebagai mitra dagang dan perlahan menguasai pelabuhan itu. Masuknya agama Islam, kedatangan kongsi dagang VOC, masuknya Jepang ~ hingga kota itu dinamai Jakarta secara sekilas dapat dikatakan pencerminan pergulatan kebudayaan yang aduhai meriah. Pergulatan panjang itulah, hingga usia ke-485 tahun saat ini yang menggiring Jakarta pada penumpukan sejumlah masalah besar yang masih belum dapat diselesaikan; terutama bagi kesejahteraan warga Jakarta.

Sudah menjadi rahasia publik, magnet Jakarta membuahkan urbanisasi yang tidak dapat ditolak. Masalah sosial ekonomi dan politik jadi pelik dan mencekik Jakarta. Operasi justicia yang dilakukan paska lebaran Idul Fitri gagal mengurangi masuknya kaum urban tiap tahun. Beban Jakarta terus bertambah. Belum lagi kendala kemacetan lalu lintas dan banjir yang tidak dapat diselesaikan oleh hampir semua gubernur yang pernah memimpin Jakarta. Deret ukur kompleksitas problem Jakarta pun terus melaju meninggalkan kemampuan managerial para pimpinan daerahnya. Kini di tengah kemilau dan gemerlap Jakarta, catatan kemiskinan dan kampung kumuh tetap saja mengemuka.
Tahun ini, tepatnya 22 Juni 2012, Jakarta berulang tahun. Bukan sembarang usia. Bukan sembarang ulang tahun lantaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menggelar pawai kesenian yang dinamakan Jakarnaval 2012. Karnaval yang digelar oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta ini sebagai acara pemanasan jelang perayaan Hari “H”. Jaknarval 2012 berlangsung dari pukul 15.30 WIB hingga pukul 18.00 WIB. Pawai yang diikuti sekitar 3075 orang ini dilepas oleh Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo dari depan gedung Balai Kota DKI Jakarta. "Dengan memohon ridho Allah, saya nyatakan secara resmi Jakarnaval 2012 ini dibuka," kata Fauzi Bowo di lokasi acara, Minggu (10/6).

Kegiatan ulang tahun ini diharapkan dapat menambah rasa cinta warga Jakarta terhadap kotanya. Kalau orang semakin cinta kotanya, Pemerintah Daerah lebih mudah mengajak mereka untuk berpartisipasi. Partisipasi warga Jakarta untuk membangun kotanya sangat dibutuhkan pemerintah. Pemerintah setempat tentunya tidak mampu untuk membangun sendiri kotanya tanpa kerja sama yang terjalin dengan masyarakat.

Persoalannya adalah, apakah selama ini partisipasi masyarakat Jakarta begitu rendah sehingga pemerintah harus terus menerus mengajak dan atau menghimbau agar masyarakat Jakarta peduli dan mencintai kotanya? Kedua, Jakarta sebagai provinsi juga merangkap ibu kota negara. Tak ayal problem Jakarta setara dengan problem negara. Pemerintah DKI dengan demikian bisa mengelak beberapa tanggung jawab pembangunan fisik dan non fisik yang harus dikerjakannya. Dengan alasan ibu kota negara, boleh jadi keuangan/ anggaran negara yang tumpang tindih berlangsung di Jakarta. Ketiga, apabila HUT Jakarta selalu diawali karnaval yang menawarkan kemeriahan dan hiburan, hingga mengundang penampilan panggung artis ibu kota, Jakarta Fair di area eks bandara Kemayoran, dan sebagainya ~tidak akan memberi solusi bagi problem besar Jakarta.

Kemeriahan yang berulang tiap tahun, kemeriahan berbalut kemewahan yang tampil ke hadapan publik dan diteruskan media massa, seakan mencitrakan Jakarta sebagai kota impian. Fenomena ini justru akan memperkuat pertumbuhan kaum urban. Jika saja kaum urban itu memiliki spesialisasi dan keahlian tertentu, agaknya tidak seberapa membebani Jakarta. Ironinya kaum urban yang mempertaruhkan hidup untuk mengadu/ mengubah nasib ke Jakarta itu, dominan warga tanpa keahlian/ profesi yang dibutuhkan bagi pembangunan Jakarta. Problem kependudukan dalam relasi ini menjadi tantangan sekaligus rintangan bakal calon kepala DKI Jakarta berikutnya. Pilkada 21 Juli 2012 diam-diam mengintip peringatan HUT Jakarta ke-485 ini. Sangat mungkin semua bakal calon gubernur memanfaatkan momen ini bagi kampanye mereka. Tidak keliru memang, sepanjang tidak menggunakan uang dan fasilitas negara.

Kembali ke kemeriahan HUT Jakarta yang tidak lebih sebagai pengulangan tahun-tahun sebelumnya, kiranya lebih baik bila kemeriahan (yang terbiasa melakukan kamuflase) disederhanakan saja dengan pembenahan serta pembangunan yang perlu bagi struktur dan infrasuktur Jakarta. Alokasi dana HUT Jakarta dari pesta dialihkan ke kegiatan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat Jakarta. Dengan demikian partisipasi publik dan kekuatan mencintai Jakarta akan terus tumbuh dan berkembang. Pemerintah pun tidak harus menutupi kegalauan Jakarta dengan pesta dan kemeriahan HUT. Sebagaimana pesta dan kemeriahan, pasti tidak akan menampilkan kekumuhan dan keruwetan. Yang ada hanya keindahan dan pesona.

Problema Jakarta seperti disinggung di atas, adalah problem nasional dan diam-diam kota lain menghadapi persoalan yang hampir sama. Seharusnya Jakarta menoleh ke kota Surabaya yang sukses mengatasi problem lingkungan hidup di bidang penghijauan. Seharusnya Jakarta juga menoleh ke Surakarta yang berhasil menerapkan pendataan penduduk secara profesional. Dan seharusnya kemewahan HUT tidak menghipnotis masyarakat Jakarta hanya untuk sekadar mengatakan bahwa Jakarta memang megapolitan. Bukankah kini Jakarta boleh dinamakan Megaproblema?***


Sabtu, 16 Juni 2012

Air Minum di Indonesia

Catatan Dadang Kusnandar

DI bawah ini adalah ulasan serba sekilas mengenai sejarah air minum di Indonesia. Minum sebagai kegiatan penting sehari-hari menjadi catatan sejarah tersendiri sebagaimana orang Indian menemukan tembakau. Minum menjadi demikian penting karena mengandung dan mengundang kehidupan manusia. Di dalamnya terdapat proses yang saling berhubungan, terlebih lagi tatkala menjadi kegiatan ekonomi yang ditandai dengan berdirinya perusahaan air minum yang dikelola pemerintah daerah. Pada giliran berikutnya usaha swasta pun merambah dengan munculnya produk air minum kemasan. Kegiatan ekonomi kreatif menyangkut air minum terus berderak dengan ketersediaan usaha isi ulang air minum dalam galon.

Ditahun 1443 terekam adanya bukti tertulis sebagaimana dilaporkan bahwa pada masa itu air yang merupakan minuman sehari-hari orang Asia Tenggara dialirkan dari gunung mengalir kerumah-rumah penduduk dengan pipa bambu. Air minum disalurkan langsung ke Istana Aceh sedangkan sumur diperuntukan bagi daerah yang jauh dari sungai seperti dilaporkan terjadi pada tahun 1613.

Dimulailah penjajahan Belanda melalui misi dagangnya yang terkenal VOC (mulanya pada tahun 1613 VOC menyewa mendirikan loji tidak permanen dengan sewa 1.200 rijkdaader atau 3.000 gulden tapi kemudian mereka dengan liciknya membuat bangunan tembok permanen dengan bahan batu dan beton dan dijadikan benteng pertahanan mereka), kemudian mereka membumi hanguskan Bandar Sunda Kelapa dan mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia, resmilah Belanda menjajah Indonesia dengan diselingi oleh penjajah Perancis ( 1808-1811) dan penjajahan Inggris (1811-1816) penduduk Jakarta waktu itu sekitar 15.000 jiwa dan air minum masih sangat sederhana dengan memanfaatkan sumber air permukaan (sungai) yang pada masa itu kualitasnya masih baik. Di Asia Tenggara kebiasaan penduduk untuk mengendapkan air sungai dalam gentong atau kendi selama 3 minggu atau satu bulan telah dilakukan untuk mendapatkan air minum yang sehat.

Kurun 1800-an
Di Pulau Jawa sebagaimana dilaporkan oleh Raffles pada tahun 1817 penduduk selalu memasak air terlebih dulu dan diminum hangat-hangat untuk menjamin kebersihan dan kesehatan dan dilaporkan bahwa orang Belanda mulai mengikuti kebiasaan ini terutama di Kota Banjarmasin yang airnya keruh. Pada tahun 1818 salah satu syarat penting untuk pemilihan pusat kota serta Istana Raja ditentukan oleh faktor tersedianya air minum.

Di Jakarta tahun 1882 tercatat keberadaan air minum di Tanah Abang yang mempunyai kualitas jernih dan baik yang dijual oleh pemilik tanah den gan harga F 1,5 per drum, sedangkan untuk air sungai dijual 2-3 sen per pikul (isi dua kaleng minyak tanah). Pada masa pra-kemerdekaan, Dinas Pengairan Hindia Belanda (1800 - 1890) membangun saluran air sepanjang 12 kilometer dan bendungan yang mengalirkan air dari Sungai Elo ke pusat kota Magelang untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan mengairi sawah di wilayah Magelang.

Pemerintah Penjajahan Hindia Belanda di Surabaya, tahun 1890, memberikan hak konsesi kepada pengusaha Belanda warga Kota Surabaya, Mouner dan Bernie, yang dinilai berjasa merintis penyediaan air bersih di Surabaya. Konsesi ini berupa pengelolaan mata air Umbulan, Pasuruan, untuk dialirkan ke Kota Surabaya dengan memasang pipa sepanjang 20 kilometer selama dua tahun. Tahun 1900, pemerintah mendirikan perusahaan air minum dan instalasinya diresmikan tiga tahun kemudian. Untuk memberikan proteksi pada perusahaan tersebut, pemerintah mewajibkan penghuni rumah mewah untuk menjadi pelanggan. Tiga tahun setelah berdirinya perusahaan air minum itu, sambungan instalasi air minum di Surabaya mencapai 1.588 pelanggan. Status perusahaan air minum pada bulan Juli 1906 dialihkan dari pemerintah pusat menjadi dinas air minum kotapraja (kini PDAM Kota Surabaya).

Kurun 1900-an
Pada tahun 1905 terbentuklah Pemerintah Kota Batavia dan pada tahun 1918 berdiri PAM Batavia dengan sumber air bakunya berasal dari Mata Air Ciomas, pada masa itu penduduk kurang menyukai air sumur bor yang berada di Lapangan Banteng karena bila dipakai menyeduh teh menjadi berwarna hitam (kandungan Ferum/ besi tinggi).
Urusan ke-Cipta Karya-an masih sekitar pembanguan, perbaikan dan perluasan Gedung Gedung Negara. Pemerintah Pusat belum menangani air minum dikarenakan keterbatasan keuangan serta tenaga ahli dibidang air minum. Tahun 1953 dimulailah pembangunann Kota Baru Kebayoran di Jakarta, pada saat itu dilakukan pelimpahan urusan air minum ke pemerintah Propinsi Pulau Jawa dan Sumatera. Pada tahun 1955 diadakan Pemilu yang pertama.

Ditahun 1959 terbentuklah Djawatan Teknik Penjehatan yang mulai mengurusi air minum, dimulai pembangunan air minum di kota Jakarta (3.000 ltr/dt), Bandung (250 ltr/dt), Manado (250 ltr/dt), Banjarmasin (250 ltr/dt), Padang (250 ltr/dt) dan Pontianak (250 ltr/dt) dengan sistim “turn key project” loan dari Pemerintah Perancis. Terbitlah UU no. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dan mulailah dibentuk PDAM sampai sekarang. Melalui SK Menteri PUTL no 3/PRT/1968 lahir Direktorat Teknik Penyehatan, Ditjen Cipta Karya.

Tiga waduk yang dibangun di wilayah Jawa Barat dengan membendung Sungai Citarum, yaitu Waduk Jatiluhur (1966), Waduk Cirata (1987), dan Waduk Saguling (1986) menandai era dimulainya penanganan sumberdaya air secara terpadu. Waduk Jatiluhur, seluas sekitar 8.300 hektar, dimanfaatkan untuk mengairi sekitar 240.000 hektar sawah di empat kabupaten di utara Jawa Barat. Air waduk juga digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas terpasang 150 MW dan sebagai sumber air baku untuk air minum Jakarta (sekitar 80% kebutuhan air baku untuk Jakarta dipasok dari waduk ini melalui Saluran Tarum Barat).
Pembangunan sistem air minum secara lebih terencana mulai dilaksanakan pada periode pembangunan lima tahunan (Pelita). Dalam Pelita I (1969 - 1973), kebijaksanaan pembangunan air minum dititikberatkan pada rehabilitasi maupun perluasan sarana-sarana yang telah ada, serta peningkatan kapasitas produksi melalui pembangunan baru dan seluruhnya didanai oleh APBN.

Target pembangunan sebesar 8.000 liter/detik. Pembangunan air minum melalui pinjaman OECF (overseas economic cooperation fund) di kota-kota Jambi, Purwekerto, Malang, Banyuwangi dan Samarinda. Pada saat periode inilah mulai diperkenalkan penyusunan TOR (term of reference) atau KAK (kerangka acuan kerja). Hasil pebangunan prasarana/sarana air minum sebesar 6.220 liter/detik dan 172.000 SR (sambungan rumah) yang dapat melayani 2.700.000 jiwa. Pada tanggal 7-8 April 1972 lahir PERPAMSI yang merupakan organisasi persatuan perusahaan-perusahaan air minum seluruh Indonesia.

Pada Pelita II (1974 - 1978) pemerintah mulai menyusun rencana induk air bersih, perencanaan rinci dan pembangunan fisik di sejumlah kota Pada saat itu Pemerintah mulai menyusun Rencana Induk (master plan) Air Minum bagi 120 kota, DED untuk 110 kota dan RAB untuk 60 kota, dan pengembangan institusi Pemerintah mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki pengelolaan air minum dengan mendorong dilakukannya peralihan status dari Jawatan/Dinas menjadi Perusahaan Daerah Air Minum.
Mulailah pembangunan Air Minum di 106 kabupaten/ kota, yang dilanjutkan pembentukan BPAM (Badan Pengelola Air Minum) sebagai embrio PDAM yang mengelola prasarana dan sarana air minum yang telah selesai dibangun. Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam pembangunan “unit produksi” dan Pemda di jaringan distribusi, dalam perjalanan waktu kebijakan ini agak tersendat oleh karena keterlambatan Pemda dalam menyiapkan dana “sharingnya”. Asian Development Bank (ADB) memberikan pinjaman pada proyek BUDP (Bandung Urban Development Project), kemudian menyusul kota Medan dengan MUDP nya.
Periode berikutnya (Pelita III, 1979 - 1983), pembangunan sarana air minum diperluas sampai kota-kota kecil dan ibu kota kecamatan (IKK), melalui pendekatan kebutuhan dasar.

Diawal tahun 1981 pula diperkenalkan “dekade air minum” (Water Decade) yang dideklerasikan oleh PBB. Terjadi penyerahan kewenangan pembangunan air minum perdesaan dari Departemen Kesehatan kepada Departemen Pekerjaan Umum. Program pembangunan dengan menitikberatkan pada pemanfaatan kapasitas terpasang, prasarana yang telah terbangun, dan pengurangan kebocoran. Diperkenalkannya solar cell alternatif pemanfaatan enerji surya untuk pembangkit pompa air minum didaerah yang sulit air dan tidak terjangkau. Mulai diterapkan konsep P3KT (Pendekatan Pembangunan Prasarana Kota Terpadu) yang bersifat bottom up approach .

Era “bom minyak” telah mulai surut yang berimbas pada keterbatasan keuangan Negara sehingga pendekatan “full cost recovery” mulai diperkenalkan. PDAM/BPAM didorong untuk mencapai suatu kondisi tingkat pendapatan tertentu yang memungkinkan pembiayaan bagi operasi dan pemeliharaan sistem air minum atau lebih dikenal dengan istilah “break event point”.

Pada Repelita III melalui Mata Anggaran 16 sebagai penyertaan modal Pemerintah untuk pembangunan kota-kota dengan kebutuhan dasar diatas 125 liter/orang/hari dan pada saat itu juga dimulai pembangunan IPA (Instalasi Pengolahan Air) Paket bagi penduduk perkotaan dengan kebutuhan dasar 60 l/orang/hari konsep BNA (basic need approach).
Pembangunan 150 IKK dengan perhitungan 45-60 liter/orang/hari dan dipasang flow restrictor (alat pengendali aliran), sehingga pada pertengahan Repelita III telah dibangun 396 IKK didanai APBN, serta 99 IKK pinjaman Belanda, 44 pinjaman Denmark, 100 IKK pinjaman Perancis, dan 22 IKK hibah Jepang.

Dibidang rekayasa engineering melalui kerjasama Pemerintah RI dan Belanda, dalam Proyek GTA-46 ” Standard Water Purification Plants Indonesia “. Ciri khas dari teknologi ini adalah flokulasi heksakoidal serta sistim pencuciannya serta mudah dalam konstruksi maupun pemeliharaannya, juga hemat energi. Karena inovasi ini mampu menekan biaya investasi dan pemeliharaan hingga 30 %, yang akhirnya dijadikan sebagai prototipe IPA yang dibangun oleh Departemen PU sebagai IPA KEDASIH (KEluaran Direktorat Air berSIH). Hingga kini, IPA KEDASIH sudah diimplementasikan di banyak tempat di Indonesia, dengan kapasitas bervariasi, serta pada tahun 2005 menerima penghargaan dalam KONSTRUKSI INDONESIA kategori bangunan industri dan utilities.
Pada Pelita IV (1984 - 1988) pembangunan sarana air minum mulai dilaksanakan sampai ke perdesaan. Target perdesaan 14 juta jiwa di 3.000 desa. Diawal era 90-an terjadi perubahan organisasi yang tadinya berbasis sektoral, menjadi berbasis “wilayah”. Dimulailah perubahan lima hari kerja (40 jam per minggu).

Dimulai didengungkannya program KPS (kerjasama pemerintah dan swasta) di sektor air minum, contohnya mulai digarap Air Minum “Umbulan” Kabupaten Pasuruan sayang belum bisa terealisir karena adanya kendala “tarif air minum-nya” serta masalah kebijakan Pemda lainnya. Pada tahun 1984 lahir Direktorat Air Bersih melalui SK MenPU 211/KPTS/ 1984 yang mempunyai tugas nelaksanakan pembinaan sector air minum. Ditahun 1984 telah ditanda tangai SKB (surat keputusan bersama) antara Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Dalam Negeri tentang tugas pembinaan penyelenggara air minum. Dimana diwaktu itu telah beroperasi 148 BPAM dan 137 PDAM.

Pada tahun 1985 melalui Surat Edaran Mendagri tanggal 13 November diinstruksikan agar Pemerintah Propinsi membentuk Unit Pemantauan dan Pengembangan Air Minum atau lebih dikenal PMDU (Provincial Monitoring Development Unit) yang keberadaanya dibeberapa propinsi masih eksis hingga saat ini misalnya PMDU Propinsi Sumatera Barat. Pada saat itu mulailah diperkenalkan SIMPAM (Sistim Informasi Manajemen Perusahaan Air Minum) yang merupakan alat (tool) untuk mendiagnose kinerja PDAM, dan hasilnya dapat menunjukan kondisi PDAM per Kabupaten/Kota, Propinsi maupun tingkat nasional, program ini mendapat bantuan dari Pemerintah Belanda melalui program HRDP (Human Resources Development Program), sangat disayangkan SIMPAM ini tidak berlanjut.

Pelita V (1989 - 1993) diharapkan merupakan tahap kerangka lepas landas Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJP-II), dimana pembangunan sarana air minum diarahkan bukan hanya untuk melayani kebutuhan rumah tangga, tetapi juga untuk menunjang sektor-sektor industri, perdagangan dan pariwisata, yang diharapkan akan menambah kapasitas produksi air minum sebesar 14.000 liter/detik bagi 6 juta jiwa di 820 kota, serta pelayanan air minum perdesaan bagi 42 juta jiwa di 3.000 desa.
Pembangunan pada periode berikutnya (Pelita VI, 1994 - 1998) merupakan pinjakan landasan baru bagi pemerintah untuk memulai periode PJP II, akan tetapi krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang disertai dengan pergantian pemerintahan beberapa kali, telah mempengaruhi perkembangan air minum di Indonesia, banyak PDAM yang mengalami kesulitan, baik karena beban utang dari program investasi pada tahun-tahun sebelumnya, maupun akibat dari dampak krisis ekonomi yang terjadi.

Pada periode ini merupakan pijakan baru bagi Pemerintah untuk memulai Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Peningkatan kapasitas 30.000 liter/detik untuk 22 juta jiwa dan 22.000 desa bagi 16,5 juta jiwa. Adanya target penurunan kebocoran air dikota metropolitan dan besar dari 38 menjadi 25 %, dan kota sedang dan kecil dari 40 menjadi 30%.

Pemerintah mulai memberikan perhatian bagi Desa Tertinggal sehingga lahirlah program P3DT (Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal) yang dimotori oleh Bappenas yang beranggotakan Dep PU, Depdagri, Dep Keu yang selanjutnya juga lahir PPK (Program Pembangunan Kecamatan yang dimotori oleh Ditjen Bangdes, Depdagri. Kedua program diatas memberikan andil bagi pembangunan prasarana dan sarana air minum yang cukup signifikan pula di kawasan perdesaan khususnya. Tahun 1995 dimulailah program WSSLIC I (Water Supply and Sanitation for Low Income Community) yang dimotori oleh Depkes yang salah satu programnya adalah pembangunan prasarana dan sarana air minum bagi masyarakat perdesaan.


Tahun 2000 - Sekarang

Pada tahun 2000 terbit Permen OTDA No. 8/2000 tentang Pedoman Sistim Akuntasi PDAM yang berlaku sampai sekarang. Program WSSLIC I dilanjutkan pada tahun 2001i dengan nama WSLIC II (Water and Sanitation for Low Income Community), hilang istilah “S” satu dan Departemen Kesehatan sebagai ” executing agency”.
Tahun 2002 terbit Keputusan Menteri Kesehatan No. 907 Tahun 2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum, yang akan menjadikan pedoman dalam monitoring kualitas air minum yang diproduksi oleh PDAM.

Dalam rangka meningkatkan kinerja PDAM dan pembangunan sistem penyediaan air minum, dilakukan upaya perumusan kebijakan melalui Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI), dibawah Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan & Industri, dan telah dibentuk Sub Komite Penyehatan PDAM dibawah koordinasi KKPPI dengan maksud untuk merumuskan kebijakan dan strategi percepatan penyehatan PDAM dan melakukan koordinasi dalam program sektor air minum dengan sektor infrastruktur melalui peningkatan kerjasama kemitraan dengan pihak swasta/investor.

Peraturan dan perundangan yang memayungi air minum dimulai dengan terbitnya UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA (sumber daya air). Pada periode ini Pemerintah memulai program SB-AB (Subsidi Bahan Bakar melalui pembangunan Air Bersih) sebagai kompensasi bagi masyarakat miskin perkotaan akibat adanya kenaikan harga bahan bakar, selanjutnya program ini berganti nama menjadi SE-AB (Subsidi Enerji melalui pembangunan Air Bersih). Setelah 60 tahun Indonesia merdeka, tahun 2005 Indonesia baru memiliki peraturan tertinggi disektor air minum dengan terbitnya PP (peraturan pemerintah) No 16 tentang Pengembangan SPAM (sistim penyediaan air minum).

Ditahun ini terbit pula PP No. 23 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang merupakan pengejawantahan upaya Pemerintah dalam melayani air minum bagi masyarakatnya (public service obligation-pso) yang ditunjukan dengan dimungkinkannya alokasi APBD Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Terbitnya PP ini juga sejalan dengan niat semua pihak untuk mendukung Pemerintah mencari terobosan bentuk “kelembagaan” pengelola Air Minum, dimana pada tahun ini atas sponsor Bank Dunia berkumpul para penentu kebijakan dari Dep. PU, Depdagri, Depkeu dan Bappenas di Tanah Lot Bali untuk membahas perkembangan Air Minum khususnya kelembagaan pengelolanya.
Ditahun ini terbit PP No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, dengan lahirnya PP ini menjadi semakin jelaslah posisi KPS Air Minum.

Dengan dimulainya kembali pembinaan Air Minum dari yang semula berbasis “wilayah” menjadi berbasis “sektor” lahir kembali Direktorat Jenderal Cipta Karya dan Direktorat Pengembangan Air Minum keluarlah kebijakan “Penyehatan PDAM” yang dimulai dengan dilakukannya Bantek Penyehatan PDAM yang akan menghasilkan rekomendasi “Bantuan Program” yang merupakan bantuan fisik bagi PDAM serta “Bantuan Manajemen” berupa bantuan pelatihan non fisik. Pada masa ini sempat muncul pendekatan “rounding up” yaitu pendekatan program bagi PDAM untuk pembulatan kembali sistem PDAM dari segi teknis, keuangan maupun kelembagaannya.

Departemen PU di tahun 2005 memberikan penghargaan kepada Pemda dan PDAM dalam bentuk PKPD (Penilaian Kinerja Pemerintah Daerah) dalah dibidang penyelenggaraan Air Minum dan munculah kota/kabupaten Medan dan Buleleng menjadi pemenang pertamanya.
Ditahun ini pula terbit Permen PU 294/2005 tentang Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) yang mempunyai maksud untuk membantu pemerintah dalam terwujudnya pengelolaan dan pelayanan air minum berkualitas dengan harga terjangkau, tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan, dan tercapainya peningkatan efisiensi dan cakupan pelayanan air minum.

Permen PU No 20 tahun 2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan SPAM, sebagai langkah acuan bagi semua pihak dalam penyelenggaraan SPAM, dan terbit pula Permendagri 23 tahun 2006 tentang petunjuk perhitungan tarif air minum.
Sebagai realisasi amanat PP 16/2005 telah terbit Permen PU No. 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan SPAM, yang mulai memberikan penjelasan dari perencanaan, pembangunan pelaksanaan, rehabilitasi, pemeliharaan, evaluasi, pemantauan dan pelaporan. Termasuk didalamnya ada keharusan bagi Pemerintah Propinsi untuk membentuk unit pemantauan penyelenggaraan air minum di wilayahnya. Mulai tahun 2007 ini kembali Pemerintah mengulangi kesuksesan pembangunan IKK dengan membangun 59 IKK melalui Satker (Satuan Kerja) DJCK Pusat. Sebagai kelanjutan program WSSLIC I dan WSLIC II yang telah dimulai sejak tahun 1995 pada tahun ini nama program berubah menjadi “PAMSIMAS” dengan “executing agency” beralih dari Depkes ke Dep PU.
Untuk lebih memberikan panduan yang lebih rinci Dirjen Cipta Karya menerbitkan SE (Surat Edaran) No. 1 Tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan BLU-SPAM (Badan Layanan Umum SPAM), dan sejak saat itu mulailah terbentuk BLUD-SPAM dimulai dari paling barat BLUD-SPAM Kabupaten Aceh Jaya sampai kewilayah paling timur di Papua Barat yaitu BLUD-SPAM Kabupaten Teluk Wondama.

Terbit pula PMK (Peraturan Menteri Keuangan) No. 120 Tahun 2008 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi dan Rekening Pembangunan Daerah Pada Perusahaan Daerah Air Minum, yang intinya semua tunggakan, denda dan biaya administrasi dihapuskan kecuali hutang pokoknya sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pada tahun ini pula Pemerintah juga melanjutkan pembangunan 127 IKK yang pelaksanaannya dikerjakan oleh Satker PAM IKK Pusat.

Tahun 2009 muncul gagasan 10 juta SR (Sambungan Rumah) dimana Direktorat Jenderal Cipta Karya, Dep Pekerjaan Umum telah menghitung dana yang dibutuhkan sekitar Rp 78,4 trilyun, yang terdiri dari kebutuhan pembangunan unit air baku 85.000 l/detik sebesar Rp 7,4 trilyun, peningkatan unit produksi 65.000 liter/detik sebesar Rp. 17 trilyun, dan peningkatan unit distribusi dan sambungan rumag sebesar Rp. 54 trilyun Pembangunan IKK yang telah dimulai kembali tahun 2007 juga dilanjutkan dengan membangun 150-an IKK.

PDAM Kota Cirebon

INSIDEN meledaknya pipa besar PDAM Kota Cirebon hingga menelan korban jiwa Minggu 1 Agustus 2010 membuat warga Kota Cirebon mengalami krisis air bersih. Peristiwa serupa konon pernah terjadi pada tahun 1937. Bedanya, saat itu perigi (sumur) masih banyak di kota Cirebon. Bahkan hampir tiap rumah memiliki sumur serta banyak yang berada di luar rumah atau pekarangan.Pepatah lama, "Kalau ada sumur di ladang bolehlah kami menumpang mandi", diartikan secara maknawi. Sangat manusiawi!

Namun demikian terhentinya aliran air bersih ke kota Cirebon pada 2010 berakibat lain. Sulitnya air bersih bagi segala kebutuhan hidup sangat terasa. Tak cuma ibu-ibu yang menjerit, bahkan bapak-bapak pun mendapat pekerjaan tambahan: membeli dan atau mencari air bersih. Begitulah yang tampak dua hari ini di Kota Cirebon, ember berbagai ukuran, galon air, dirigen, gentong plastik jadi demikian bermakna untuk menadah air bersih. Jalanan pun ramai oleh suasana pembelian air bersih. Toko yang menjual air galon, air mineral gelas dan botol jadi "mrema" alias mendadak ketiban rejeki. Otomatis harga pun naik. Juga pedagang air keliling yang bertambah incomenya. Tak ketinggalan keadaan ini merangsang jenis pekerjaan baru (dadakan) berupa berjualan air bersih.

Perigi Tua belakang rumah saya, begitu julukan yang seketika muncul di benak, sontak ramai ditimba airnya oleh warga RT 05 Warnasari Kelurahan Kesambi Kecamatan Kesambi Kota Cirebon.Perigi yang semula hanya dimanfaatkan oleh keluarga pemiliknya, HM Suprayitno, menjadi begitu berarti, begitu diandalkan dan sepanjang hari senantiasa diambil airnya.

Sebelum adzan Shubuh berkumandang dari pengeras suara mesjid, ibu-ibu sudah menimba air perigi tua itu. Usai shalat Shubuh jumlahnya makin banyak, dan terus bertambah...tak ada henti. Air bagi kehidupan demikian penting. Dan perigi tua berair jernih itu telah menanamkan jasanya bagi situasi krisis air saat ini.

Proses pengambilan air pun menyisipkan cerita tersendiri. Ibu-ibu yang sabar menunggu giliran embernya diisi air, anak-anak yang menonton kegiatan baru orang tuanya, canda yang sesaat muncul, kebersamaan memperbaiki timba yang putus talinya, hingga celoteh mengenai tidak adanya upaya pemerintah Kota Cirebon menyediakan alternatif atas situasi krisis air ini. Di sisi lain, kita jadi paham siapa yang mengambil air dalam jumlah banyak, siapa saja yang mengambil air secukupnya, siapa yang diabaikan dalam pengisian air ke dalam ember, dan seterusnya.Oya, becak dan sepeda pun digunakan untuk mempermudah pengangkutan air dari perigi tua belakang rumah.

Ketika saya memotret kegiatan itu dengan kamera sederhana, ibu-ibu dan bapak-bapak yang terekam gambarnya langsung bertanya, "Mau dimasukkan koran apa, Dang?". Spontan saya jawab, "Koran Cap Kucing". Sontak mereka tertawa. Ada pula nenek yang berkata, "Saya jangan difoto, nanti terlihat seperti jurig (setan, bahasa Sunda)". Namun ada juga yang terang-terangan minta difoto, "Om, saya belum difoto. A difoto donk, ini lagi nyuci pakaian". Ah, suasana yang menyenangkan sekaligus pedih.
Membaca surat kabar lokal, ada penjelasan pihak PDAM Kota Cirebon yang memprediksi air akan normal sekira 2 (dua) minggu. Kalau benar, maka awal Ramadhan tahun ini masih akan menyaksikan kegiatan ngangsu dari perigi tua belakang rumah. Tapi mampukah fisik ibu-ibu dan bapak-bapak yang berpuasa mengangkat satu dua ember air dari perigi tua bagi kebutuhan sehari-hari? Menanggapi hal ini tentu saja menimbulkan ketakindahan. Bukankah sekarang saja ~belum masuk puasa~ kegiatan mandi sudah dikurangi?

Saat bertemu keluarga pemilik perigi, saya menyatakan terima kasih sedalam-dalamnya. Pertama karena warga mengambil air perigi itu tanpa permisi. Kedua, tentu saja jasa besar keberadaan perigi tua itu. Bayangkan jika tidak ada sumur tua itu. Pengeluaran rumah tangga akan terus bertambah karena naiknya harga air mineral untuk minum dan masak. Air perigi kadang berwarna kuning dan ada endapan pasir lantaran frekuensi pengambilan air yang melonjak, dan saat direbus di atas kompor tetap berwarna kuning. Akan tetapi jika sepi, air perigi jernih kembali. Karunia Tuhan yang kami rasakan, air perigi itu tak juga surut; malah ada yang berkata semakin ditimba airnya semakin bertambah debitnya!

Tetangga saya menyesalkan tidak adanya tindakan konkrit pemerintah Kota Cirebon menyoal krisis air ini. Katanya, seharusnya pemerintah menyediakan air bersih dengan menggunakan armada pemadam kebakaran (damkar). Damkar jangan hanya jadi pemadam sebuah demonstrasi massa. Ada lagi yang berkata, sungguh terlalu apabila Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Cirebon tetap menarik rekening air kepada konsumen. Lucunya lagi, pemerintah kota hanya mengatakan maaf kepada warga Kota Cirebon dan berencana mencari sumber mata air baru di Kabupaten Majalengka.

Dari catatan kecil ini, perigi tua belakang rumah, jauh lebih berarti ketimbang sikap pemerintah menyoal krisis air bersih yang menggelisahkan ratusan ribu penduduk Kota Cirebon.

Rencana yang masih berupa wacana mengenai kenaikan tarif air bersih tiap M3 di PDAM Kota Cirebon menuai protes mahasiswa. Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) Cirebon membawa 20-an mahasiswa Unswagati Cirebon melakukan demo penolakan rencana kenaikan tarif rekening air bersih. Unjuk rasa yang sudah kesekian kali dilakukan berbagai elemen masyarakat, termasuk warga Majasem Kota Cirebon bertahun lalu dengan membawa cucian kotor ke kantor PDAM lantaran air bersih tidak mengalir ke pemukimannya, berangkat dari pemikiran ketaksiapan pemerintah memberi layanan publik yang optimal. Terlebih menyangkut hajat hidup orang banyak: AIR.

Demo bukan satu-satunya penyelesai akhir, namun sebagai sock therapy cukup berhasil mempengaruhi rencana yang masih berupa wacana itu. Meski sedikitnya ada dua LSM yang sepakat terhadap rencana ini karena kenaikan tarif sementara dikenakan ke sektor industri dan secara bertahap ke konsumen rumah tangga. Pengguna air bersih paling banyak adalah konsumen rumah tangga, maka rencana yang masih berupa wacana ini ditolak. Bukankah kenaikan tarif (apalagi apa pun alasannya TETAP kenaikan harga dan bertambahnya pengeluaran keuangan) berbanding terbalik dengan efisiensi keuangan rumah tangga?

Tarif PDAM Kota Cirebon yang kabarnya paling murah di Indonesia dan sudah 6 (enam) tahun tidak naik, seharusnya merupakan prestasi dan layak dianugerahi penghargaan. Kenyataan ini bukan merupakan pembenar diberlakukannya kenaikan kenaikan tarif air bersih. Jangan heran apabila sejumlah pelanggan air di Griya Sunyaragi Permai kabarnya akan memboikot pembayaran rekeningan PDAM bulan ini. Sejauh mana keseriusan itu, wallahu `alam, akan tetapi dengan alasan bahkan untuk berwudlu pun sulit mana mungkin akan diberlakukan tarif baru.

Air PDAM Kota Cirebon bagi warga Pilang pun mengalir sekira pukul 22.00 WIB. Warga menampung di bak air, ember dan sebagainya untuk aktivitas rutin. Sejauh ini belum ada keberatan warga Pilang menyoal sulitnya air bersih. Tahun 2010 merupakan tahun cobaan bagi PDAM Kota Cirebon.

Kenaikan Tarif 2012
Ada empat catatan yang mengemuka menyangkut kenaikan tarif PDAM Kota Cirebon yang telah disepakati DPRD Kota Cirebon dan ditandatangani Walikota Cirebon. Keempat masalah tersebut ialah buruknya pelayanan pihak PDAM terhadap konsumen, Badan Pengawas (BP) PDAM, Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan minta kenaikan pembayaran air kepada Pemerintah Kota Cirebon, dan reaksi yang muncul atas kenaikan tarif ini.
Apologi PDAM mengenai biaya produksi air bersih yang timpang dibanding harga jual, sehingga perusahaan rugi menjadi paradoks melihat fakta adanya setoran PDAM ke kas dinas pendapatan daerah. Air sebagai sumber kehidupan seharusnya memberi kontribusi besar bagi PAD mengingat ketersediaan sumber daya alam yang melimpah itu di Indonesia. Berbekal transparansi managemen dan keuangan perusahaan, pengelolaan air bersih insya allah mampu mencipta kesejahteraan warga.***


Rujukan

:
Bambang Purwanto (Kompasiana), Dadang Kusnandar (dakusnandar.multiply.com)


Disampaikan pada diskusi Menanggapi Kenaikan Tarif PDAM Kota Cirebon,
Badan Eksekutif Mahasiswa Unswagati Cirebon, Sabtu 9 Juni 2012


Kamis, 14 Juni 2012

Tanah: Jalan Tak Ada Ujung

Dadang Kusnandar* - BeningPost

RIBUAN petani dari lima desa di Kabupaten Ogan Ilir berunjuk rasa di Markas Kepolisian Daerah Sumatra Selatan, Rabu (13/6). Mereka memprotes penahanan terhadap 14 petani sebagai tersangka. Demonstran meminta petani yang ditahan dibebaskan. Sengketa lahan pertanian, sengketa lama nan tiada ujung. Impian ketersediaan tanah untuk rakyat pun bagai impian tak berujung. Semua bagai mimpi. Land reform yang selalu kandas di tangan kapitalis, yang selalu berhadapan dengan kepentingan politik ekonomi, dan yang kerap menggusur orang kecil. Bukan hanya kali ini reformasi pertanahan menelan korban jiwa. Peristiwa serupa berulang terjadi dan menimbulkan konflik yang mengganggu stabilitas politik. Meski tidak seriuh konflik politik lain, sengketa pertanahan tetap saja mengundang ketidakpercayaan rakyat terhadap land reform. Sampai kapan?

Sampai kapan tidak ada lagi ujung laras senapan berhenti mengeluarkan timah putih yang diarahkan kepada kerumunan massa yang memperjuangkan hak atas tanah mereka. Sampai kapan penataan kembali pertanahan menjadi fokus kerja Badan Pertanahan Nasional? Dan sampai kapan sengketa pertanahan berganti menjadi pengelolaan tanah Indonesia yang agraris itu untuk kesejahteraan rakyat? Memperhatikan berbagai sengketa tanah agaknya kita mafhum bahwa sistem pertanahan nasional masih berurusan dengan banyak pihak terkait. Semua merasa sebagai pemilik sah atas tanah (sengketa) itu. Alasan yang biasa mengemuka antara lain fakta bahwa tanah itu merupakan warisan leluhur yang secara turun temurun dikelola puluhan tahun. Tanah yang disebut hak ulayat umumnya merupakan lahan hijau, serapan air atau lahan hutan lindung yang dikuatkan oleh undang-undang.

Alasan lain bisa berangkat dari fakta administrasi. Misalnya grup bisnis membeli ratusan hektar tanah dengan bekal pelepasan dari pemilik awal. Tak lama setelah itu di tanah tersebut berdiri pabrik atau industri yang berpedoman pada usaha rakyat setempat. Konflik pun bukan sekadar dari masalah ganti rugi tanah yang tidak sebanding, akan tetapi melebar kepada “kematian” usaha produktif warga setempat. Sudah menjadi rahasia umum, di ladang perkebunan yang menjadi urat nadi warga (misalnya) berdiri pabrik gula. Pabrik gula itu hanya sedikit merekrut pekerja warga setempat, sementara lahan perkebunan yang semula digarap warga beralih tangan menjadi milik perusahaan. Ekonomi warga tidak terbangun kendati aktivitas industri pertanian/perkebunan bergemuruh di daerah itu.

Adakah yang salah dari industrialisasi yang berawal dari sengketa pertanahan? Kenapa harus ada instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Hendarman Supandji untuk menyelesaikan masalah sengketa tanah di dalam negeri. "Permasalahan yang sering dihadapi oleh masyarakat luas yang mengait kepada BPN adalah sengketa pertanahan permasalahan hukum," kata Presiden Yudhoyono.

DIALOG Marhaen dengan Bung Karno tahun 1930-an mengingatkan kembali tentang pentingnya hak kepemilikan, pengelolaan atas tanah. Sepetak tanah keluarga Marhaen yang digarap sendiri lantas hasil kebunnya dijual sendiri ke pasar-- menandakan kemerdekaan penggunaan tanah. Masalah pertanahan terus menjadi agenda tak pernah henti. Seolah berbagai masalah yang muncul sekitar pertanahan terus dirundung kepelikan yang tak pernah usai. dari produk hukum kolonial, status kepemilikan tanah yang bertingkat dari tanah girik-hak guna-sertifikat-tanah negera ~bagai tak ada ujung. Mirip roman Mochtar Lubis: Jalan Tak Ada Ujung.

Tanah kini jadi komoditas bisnis. Munculnya makelar tanah, pialang tanah hingga kekuatan modal yang biasa mengggusur tanah rakyat demi pengembangan korporasi bisnisnya. Tanah menjadi penting karena UUD 45 mencantumkan hutan, tanah, air dan kekayaan alam dikuasai negara bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Tapi benarkah substansi sebesar-besarnya kepentingan rakyat telah termanifestasi dalam masalah pertanahan di Indonesia?

Berbeda dengan ratusan hektar tanah di Kramat Jati Jakarta Timur yang melalui kekuasaan dan kekuatan modal dapat berubah menjadi Taman Mini Indonesia Indah pada 1970-an, atau lahan hijau di Sentul Bogor yang berganti menjadi arena balap mobil pada 1980-an. Ketika rakyat susah memperoleh tanah, sebagian kecil penguasa dapat dengan mudah menyulap tanah menjadi performa lain dalam perspektif bisnis keluarga. Belum lagi isu jual beli pulau yang lantas dijadikan area wisata di kawasan terluar Indonesia.

Pada zaman kerajaan,rakyat boleh menggunakan tanah sawah dan kebun bagi kepentingan pertanian. Kerajaan pun menyediakan sistem irigasi untuk menunjang kesuburan tanaman. Rakyat memberi pajak berupa hasil sawah dan kebun itu kepada kerajaan paska panen. Namun kini tinggal cerita. Bahkan keluarga kerajaan/ keraton sibuk bersengketa status tanah dengan pemerintah. Tak adakah kebijakan politik pemerintah yang berpihak kepada rakyat dalam hal pertanahan di Indonesia? Bukankah Kerajaan Thailand, pemerintahan sosialis Venezuela dan Bolivia sanggup menyerahkan tanah negara untuk dikelola rakyatnya? Seperti juga RRC yang menyediakan tanah negara bagi industri rakyat. Indonesia masih belum berani melakukan perombakan kebijakan pertanahan bagi kepentingan rakyat.

Yang ada adalah sebuah plang/ papan bertuliskan: Tanah Milik Negara. Dilarang Mendirikan Bangunan di Atas Tanah Ini

. Hingga dibiarkan telantar dan ditumbuhi semak belukar yang tingginya melebihi pagar pembatas; tanah negara itu tidak produktif. Belum lagi mudahnya sertifikat tanah diagunkan ke bank atau pegadaian atau pialang tanah untuk memperoleh sejumlah uang. Dalam kaitan ini munculnya sertifikasi ganda atas sepetak tanah mudah ditengarai.

TANAH akhirnya menjadi barang mewah, terlebih adanya keyakinan masyarakat bahwa semakin lama harga tanah semakin mahal. Fenomena ini menunjukkan betapa sulitnya memperoleh sepetak tanah, betapa sulitnya rakyat dapat hidup tenang tak harus mengontrak rumah di perkotaan lantaran ketakmampuan ekonomi. Peliknya masalah pertanahan juga kian dipertajam dengan kenyataan mahalnya biaya pengurusan sertifikasi tanah milik. Jutaan rupiah harus dikeluarkan rakyat untuk perolehan selembar sertifikat tanah. Badan Pertanahan Nasional setempat pun memang digenjot Pemda untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah.

Makin pelik masalah tanah diurai satu demi satu. Makin sulit rakyat kecil menikmati peroleh tanah, dan makin jauh tingkat kepedulian pemerintah melaksanakan program Tanah Untuk Rakyat. Di sisi lain semakin banyak petani yang menyewakan tanahnya kepada korporasi bisnis karena ketidakmampuan mengelola lahan sawah dan kebun akibat mahalnya harga bibit, obat tanaman dan pupuk. Setelah itu petani dan keluarganya menjadi buruh di tanah sendiri. Jangan heran jikalau masalah pertanahan banyak menyisipkan rasa ketidakadilan publik.


Jalan terbaik untuk sedikit mengurangi beban masalah pertanahan ialah keberanian kepala daerah di Indonesia untuk menyerahkan tanah tidur milik negara kepada rakyat bagi kepentingan pertanian/ perkebunan. Dengan demikian tugas Hendarman Supandji untuk melakukan reformasi pertanahan tidak dapat ditunda lagi.



*Penulis lepas, tinggal di Cirebon

Minggu, 10 Juni 2012

Rasisme, Fanatisme Suporter

Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon


LATIHAN terbuka tim Belanda di Krakow berbuntut insiden teriakan rasisme. UEFA mengakui adanya insiden itu tetapi masih harus menunggu protes resmi tim Oranye sebelum mengambi tindakan. Kapten Belanda, Mark van Bommel menyatakan, “Kami semua mendengar teriakan monyet. Kami tidak bisa menerima itu. Jika kami mendengar seperti itu selama pertandingan, saya akan langsung mendekati wasit dan memintanya mengambil tindakan”. Isu rasisme menjadi salah satu topik utama di Polandia dan Ukraina, setelah striker Italia Mario Balotelli mengancam akan meninggalkan lapangan jika ia mendapat ejekan rasisme, serta Departemen Luar Negeri Inggris meminta fans tim Inggris diminta berhati-hati meneriakkan ejekan.

Laporan Theo Mathias dari goal.com agaknya bukan hal baru dalam persepakbolaan. Pemain sepak bola yang berkulit gelap alias kulit hitam yang merumput di Italia biasa menerima ejekan rasisme. Warna kulit masih menjadi sasaran ejekan kendati Eropa kerap dikatakan sebagai bangsa terbuka, bangsa yang menghargai perbedaan dan getol menyuarakan kesetaraan. Teriakan neger susah dihindari bagi warga kulit hitam di Amerika Serikat. Teriakan monyet pada putaran piala Eropa 2012 diperoleh tim Oranye, lantaran warna kulit mereka yang (maaf) mirip monyet.

Sebagaimana pembaca budiman ketahui, pesepak bola asal negara-negara Afrika banyak yang hijrah dan merumput di berbagai klub sepak bola Eropa. Kelihaian dan kelincahan memainkan si kulit bundar tak urung menggiring mereka menjadi warga negara pada satu negara Eropa. Kemampuan inilah yang akhirnya mengubah kehidupan pesepak bola asal Afrika itu. Secara geografis, Afrika dan Eropa dibatasi oleh Laut Tengah. Imigran asal negara-negara Afrika Utara, seperti dari Tunisia, Maroko, Mesir, Lybia, Aljazair, Sudan, dan Sahara Barat menuju daratan Eropa melalui Laut Tengah. Jarak yang relatif lebih dekat dan tidak mengundang hempasan ombak Lautan Atlantik dari arah Timur. Imigran asal Afrika itu banyak menempati wilayah Italia Selatan, serta tidak mustahil di antara mereka ada yang jadi pesepak bola berkelas.

Secara sosiologis para imigran itu menjadi warga negara kelas dua, menempati hunian kumuh dan berprofesi serabutan di Eropa. Perjudian nasib pun menyemangati niat mengubah nasib dan manakala mereka berkumpul di wilayah yang sama, komunitas pun terbentuk. Budaya negara asal tetap dipertahankan, begitu pula keyakinan/ agama. Komunitas Islam asal negara-negara Afrika itu pun lalu harus berbaur dengan undang-undang negara setempat. Tak urung mereka mengalami benturan budaya, menerima perlakuan hukum yang kurang sepadan dibanding penduduk setempat yang lebih awal menghuni daerah tersebut ~terlebih dengan warga negara kulit putih. Kita akhirnya masih mendengar kabar pelarangan pengenaan busana muslim bagi pelajar/ mahasiswa muslim di Italia, Prancis dan sebagainya. Fakta ini biasanya berlangsung bersamaan menguatnya isu terorisme yang dialamatkan kepada Islam (fundamentalis) yang biasa memperoleh stigma pelaku teror, pelaku ledakan bom di tempat umum, stasiun kereta api, atau gedung tertentu sebagai target ledakan bom.

RASISME terbukti masih meruyak dalam perhelatan sepak bola bergengsi yang akan berakhir 2 Juli mendatang. Rasisme itu telah dengan sengaja dilontarkan fans fanatik Inggris kepada tim Oranye Belanda yang kalah pada pertandingan pertama saat berhadapan dengan tim Dinamit Denmark. Menyedihkan memang. Konon negeri beradab dan dianggap sebagai standard internasional terbukti masih bertindak rasis. Kendati tidak seluruhnya demikian, sepak bola seakan membuka kembali ruang rasisme. Sepak bola sebagai budaya kontemporer yang mampu menyedot perhatian publik dunia tidak sekadar beirisi perjudian dan trik penentu pemenang pertandingan, tidak melulu berisi transfer pemain unggul atau pemain unggul yang merosot prestasinya di lapangan hijau. Sepak bola juga memunculkan perubahan gaya hidup pemain top dunia, kesederhanaan yang berganti jadi glamor dan dunia selebritis yang (nampaknya kini) diyakini sebagai sesuatu yang hebat. Sepak bola, olah raga bergengsi pun ditangani seorang perdana menteri, misalnya Silvio Berlusconi. Tak kalah pula raja minyak dari Saudi Arabia dan negara kaya sekitar jazirah Arabia dan Teluk Parsi menjadi owner

klub bergengsi di Eropa. Cara yang dilakukan ialah membeli sebagian besar saham klub Eropa yang pailit dilanda krisis keuangan.

Sejalan dengan itu ternyata rasisme masih mengintip dari persepakbolaan Eropa, bahkan di Piala Dunia. Rasisme yang sangat ditentang karena berbanding terbalik dengan isu kesetaraan atas penghargaan kemanusiaan, serta isu besar yang bernama hak asasi manusia. Namun tetap saja terjadi pelanggaran penghormatan atas prestasi seseorang, hanya lantaran ia berkulit gelap. Hanya lantaran warna kulitnya berbeda dengan warga kebanyakan, seperti halnya anak-anak kecil di Indonesia dengan senang ketika mengejek orang barat dengan sebutan bule.

Rasisme dengan demikian adalah diskriminasi berdasar warna kulit, sebuah sikap sosial yang ditentang oleh maklumat Perserikatan Bangsa Bangsa sejak diundangkan pada tahun 1948. Rasisme juga sesungguhnya ditolak oleh undang-undang negara mana pun. Tapi diam-diam ia tetap muncul seiring munculnya event internasional, dan rasisme dilontarkan tanpa ragu saat klub sepak bola kesayangannya kalah bertanding, atau didasari niat mempengaruhi kondisi psikis pemain sepak bola sebagaimana dilakukan terhadap tim Oranye ketika berlatih di Krakow.

Piala Eropa mengundang rasisme yang berawal dari fanatisme berlebihan. Pada mulanya bisa jadi mereka tidak sadar bahwa lontaran ejekan kepada tim lawan itu berbau rasisme. Hal itu sangat mungkin meluncur begitu saja. Akan tetapi di balik itu, prestasi istimewa seseorang dengan warna kulit berbeda dengan orang kebanyakan menimbulkan iri warga kebanyakan. Ditunjang perbedaan warna kulit, dibumbui rasa iri lantaran mereka tak pandai mendrible bola, tak mampu memainkan si kulit bundar dengan kepala, paha, dan kedua kaki, lalu muncullah ejekan. Dan ejekan paling mudah adalah yang kasiat mata, dari warna kulit. Sikap sosial demikian tentu saja mengurangi sportivitas sejumlah besar supporter sepak bola.

Sport alias olah raga diilhami dari kata sportif, yakni bersikap bijak menerima fakta tentang kemampuan dan kehebatan lawan. Bersedia mengakui kekalahan paska pertandingan. Bersikap wajar dan tidak mengedepankan rasisme, apalagi fakta ini berlangsung di negeri beradab, negeri yang kaya dengan sastra klasik dan budaya masa lalu yang mencengangkan. Bayangkan jika tim Oranye memenangkan pertandingan pertama mereka melawan tim Dinamit Belanda.

Senin, 04 Juni 2012

Kesenian Vs. Kejahatan

Oleh Dadang Kusnandar
Penuis Lepas, tinggal di Cirebon


PUNAHNYA kesenian daerah, misalnya Tari Topeng Cirebon dan Tari Topeng Indramayu, kerap jadi keprihatinan dalam banyak perbincangan antarseniman. Kesenian daerah yang memunculkan banyak nama besar atau maestro itu, sebagaimana menjadi pengetahuan publik kerap dibajak dan atau diklaim negara lain sebagai miliknya. Sontak komunitas yang merasa memiliki kesenian daerah itu bereaksi dan melakukan penolakan. Persoalannya adalah kenapa kesenian daerah bisa punah dan atau pindah ke negeri lain. Kedua, mengapa tidak ada antisipasi pemerintah agar kesenian daerah tetap hidup di tempat asalnya. Ketiga, salahkah jika kesenian lokal suatu negara pindah ke negara lain, hidup dan berkembang di negara baru.

Tari Topeng sebagai warisan kebudayaan memang harus dipelihara. Ia tidak hanya mempertontonkan gerak penari melainkan ada filosopi dan makna di dalamnya. Makna itulah yang memperkuat keinginan para senimannnya untuk mempertahankan eksistensi tari ini dari kepunahan. Kendati pemaknaan terhadap sebuah jenis kesenian tradisi sangat variatif namun bagi seniman tari topeng, eksistensi ini menjadi sangat penting lantaran kekuatan seni tari ini telah memberi kesejatian bagi senimannya. Mimi Rasinah, Mama Sudjana Ardja, Mimi Sawitri, Mimi Dewi adalah nama-nama besar yang tetap hidup karena menghidupi tari topeng.

Tak berlebihan kiranya jika kehendak para penerus maestro tersebut di atas untuk mempertahankan tari topeng dari desakan globalisasi dan pasar bebas. Berbagai upaya terus dilakukan, antara lain memasyarakatkan tari topeng ke sekolah-sekolah dasar, penampilan tari topeng secara reguler di sanggar-sanggar kesenian, workshop dan penerbitan leaflet menyoal tari topeng. Kegiatan itu menjadi kekuatan penggiat kesenian lokal untuk tetap mempertahankan kekayaan sendiri di tanah kelahirnya. Setidaknya agar kekuatan global dan pasar bebas tidak sampai menggeser kesenian ini hengkang lantas berganti pemilik.

Fakta bahwa kesenian pun bermigrasi, berinteraksi dengan kesenian di tempat lain memang juga terjadi pada tari topeng. Hanya saja jikalau sampai berpindah pemilik dan atau diklaim sebagai milik negara lain, maka sedikitnya ada dua alasan. Pertama, kemudahan transfer budaya mengiringi pergeseran lokasi serta “kepemilikan” kesenian. Kedua, kekuatan pasar bebas memungkinkan kesenian lokal nan luhur yang kaya makna berubah wujud menjadi industri kesenian. Atas nama pasar budaya dan perluasan ketersebaran kesenian lokal, bisa saja pada suatu masa kesenian lokal berpindah kepemilikan. Contoh paling jelas adalah kesenian wayang. Kesenian yang berasal dan berawal dari India ini ternyata bergeser dan menjadi milik Nusantara pada masa Hindu yang lantas mengalami islamisasi pada masa Wali Sanga.

Banyaknya etnomusikolog asing yang mempelajari tari topeng cirebon dan indramayu memungkinkan suatu ketika nanti kesenian lokal dari tanah Jawa ini pindah dan berelaborasi dengan jenis kesenian lain di berbagai belahan bumi. Tidak semata di tanah Jawa. Hal mana juga didukung pentas tunggal beberapa maestro tari topeng ke berbagai negara Asia, Eropa, dan Amerika. Pentas nan memukau ini menjadi titik kontak pertama penyebaran serta penyerapan kesenian lokal ke negara lain. Kendati Wangi Indria, penari topeng Desa Tambi Indramayu seusai pentas di London tahun 2010 lalu menitikan air mata sembari berkata, “Saya teringat desa kelahiran saya. Saya persembahkan tari ini untuk desa saya.” Kejujuran Wangi Indria atas kerinduannya pada desa yang melahirkan tari topeng sangat mungkin membukan ruang berdatangannya etnomusikolog (asing) ke Desa Tambi Kecamatan Karang Ampel Kabupaten Indramayu untuk belajar tari topeng dan untuk suatu masa mengembangkan kesenian ini di negaranya.
Peran Negara

Hak Kekayaan Intelektual (Haki) tentang kesenian telah diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1994. Undang-undang itu mengakui tentang HAKI masyarakat adat yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati, termasuk kesenian tradisi di dalamnya. Sementara arus globalisasi - perlahan tapi pasti - akan terus melaju, yang memungkinkan terjadinya pelanggaran atas Haki Kesenian. Dari sudut pandang Hukum Hak Cipta, tari serta koreografi, juga kesenian lainnya adalah salah satu jenis ciptaan yang dapat dilindungi Hak Cipta berdasarkan UU no. 19 tahun 2001 tentang Hak Cipta, dengan masa perlindungan sampai limapuluh tahun sejak meninggalnya si pencipta. Undang-Undang No.19 Tahun 2001 merupakan penyempurnaan Undang-Undang No.5 Tahun 1994.

Di sisi lain, potensi masyarakat adat Indonesia belum seluruhnya tergali, yang memang sayangnya tidak ada data statistik yang mendukung tentang potensi dan jumlah mereka. Namun jika kita berpatokan bahwa umumnya masyarakat adat adalah masyarakat pedesaan, maka angka itu bisa mencapai 80% penduduk Indonesia atau 160 juta jiwa.

Fakta di atas memperlihatkan sebenarnya seniman sebagai pencipta atau kreator seni memiliki perlindungan dan kekuatan hukum untuk mempertahankan kekayaan intelektualnya. Hal ini perlu mengingat sudah cukup banyak kasus klaim kesenian lokal Indonesia oleh Malaysia sehingga menimbulkan reaksi. Fakta ini dengan pemberlakuan UU Tentang Haki Kesenian memagari kreasi seniman agar memiliki kebanggaan atas karyanya. Di samping itu ada royalti yang bakal diperoleh manakala karya seninya diperbanyak dalam bentuk digital oleh orang lain. Royalti itulah penanda bahwa kesenian tadi masih menjadi hak milik sang kreator.

Suatu siang di Cirebon, Iman (55), seniman pembatik (pelukis corak batik) asal Trusmi Plered bertutur kepada saya tentang pembajakan karya batiknya oleh perancang batik nasional ternama. Katanya, tempat kerjanya didatangi sang perancang dari Jakarta untuk melihat karya batik Iman. Iman pun ditawari untuk melakukan pameran di Jakarta atas sponsorship sang perancang. Berbagai janji ditaburkan saat itu. Iman percaya maka ia pun mengijinkan sang perancang meneliti dan melihat detil corak lukisan batiknya. Tanpa curiga.

Berbulan lewat, sang perancang itu tak juga datang. Padahal Iman sudah mengeluarkan karya terbaiknya saat dikunjungi. Meski Iman melarang agar tidak memotret karya batiknya, tapi teknologi bicara lain. Iman tidak tahu jika ballpoint yang digunakan sang perancang ketika itu pun berfungsi sebagai kamera. Begitulah Iman terkaget-kaget saat mendengar berita ada pameran batik karya terbaru sang perancang tadi di sebuah hotel berbintang di Jakarta. Motif yang dipamerkan adalah motif batik karya Iman yang diklaim sebagai karya sang perancang. Hebatnya lagi karya itu sudah dipatenkan melalui Haki Kesenian.

Berapa banyak Iman lainnya yang terpedaya oleh kelihaian sebagaimana dilakukan sang perancang kepadanya? Berapa banyak seniman tradisi menjadi korban ketidakpahaman urusan administrasi bagi kepemilikan hak paten atas karya seninya? Bukankah perancang di kota-kota besar sangat sadar mendaftarkan “karya seninya” untuk memperoleh Haki? Sementara seniman dalam kuantitas besar sering tidak peduli dan pasrah saja melihat karya seninya dibajak orang lain, bahkan diklaim jadi milik orang lain lantas dipublikasikan terbuka sebagai karya sang pembajak.

Kesenian dengan demikian kerap menjadi santapan lezat segelintir orang yang punya maksud buruk dan upaya memperoleh keuntungan finansial semata. Undang-Undang Haki Kesenian pun belum mempraktekkan sanksi apabila terjadi pembajakan karya seni yang merugikan seniman yang membuat kreasi seni tersebut. Lantaran pada umumnya seniman tradisi kita tidak atau belum terbiasa mendaftarkan hak paten keseniannya secara hukum.

Agar terhindar dari kisah Iman wong Trusmi itu, saya kira seharusnya pemerintah lokal membantu mensosialisasikan UU Haki Kesenian terutama kepada seniman tradisi. Demikian pula para aktivis kesenian tidak gampang tergoda untuk memperdaya seniman tradisi lantaran kemampuan “akting” tatkala menipu seniman tradisi.

Pialang Kesenian


Berbagai pentas kesenian lokal di mana pun selalu saja menguntungkan “pialang” alias penggiat acara kesenian yang sama sekali tidak mampu memainkan satu alat musik pun, selain juga tidak mampu menjadi pemain panggung kesenian lokal. Aktivis dalam pengertian ini biasanya terdiri dari mereka yang mengenal seniman secara personal lalu menjadi mediator untuk mengubungkan dengan rekanannya guna mementaskan kesenian lokal. Pada satu sisi keberadaan “pialang” ini menguntungkan lantaran seni tradisi dapat tampil ke hadapan publik. Namun pada sisi lain, keuntungan finansial yang mereka peroleh jauh lebih besar ketimbang para seniman. Artinya ada ketakseimbangan pendapatan yang diperoleh.

Profesi pialang sebenarnya sah dan tidak keliru sepanjang masih ada pada bagi hasil yang sepadan. Jangan sampai seniman tradisi selalu menjadi objek perolehan finansial para pialang itu. Mestinya ada kontrak tertulis menyoal pendapatan yang bakal diperoleh masing-masing pihak. Ini menjadi penting supaya seniman memperoleh penghargaan yang layak serta tidak semata-mata menjadi objek.

Dengan kata lain kesenian lokal berhadapan dengan tiga persoalan besar, yakni pembajakan karya, kelemahan managemen para pimpinan kesenian, dan ulah segelintir orang yang bergiat di dunia kesenian sendiri.***