Jumat, 07 Desember 2012

TEATER DI CIREBON



Catatan Dadang Kusnandar

I.                    I. TEATER RAKYAT

Belum diketahui tahun  kemunculan sandiwara/ tonil/ teater di Cirebon. Juga belum diketahui pencipta atau penggagas Masres. Sebagai kekayaan, sandiwara rakyat Cirebon yang dikenal dengan istilah Masres telah hidup cukup lama (ratusan tahun?) seiring perjalanan dakwah agama melalui kesenian. Apa dan bagaimana Masres,  telah menjadi pengetahuan publik karena beberapa ciri khas yang ada di dalamnya. Singkatnya, Masres memerlukan beberapa unsur pendukung pertunjukan. Unsur pendukung tersebut meliputi:
1.       1. Seni Tulis untuk cerita/ naskah
2.       2. Seni Lukis untuk backdrop panggung/ lanskap cerita
3.       3. Seni Musik Tardisi untuk mengiringi jalan cerita
4.       4. Seni Lampu atau lighting untuk menciptakan suasana cerita
5.       5. Seni Suara bagi pesinden sebagai pendukung dan sisipan cerita
6.       6. Seni Tari sebagai sisipan cerita
7.       7. Seni Bela Diri sebagai pendukung cerita
8.       8. Seni Rupa untuk seting panggung
9.       9. Seni Busana Tradisi untuk kostum pemain

Meskipun pentas Masres umumnya tidak didukung oleh naskah (yang ditulis dengan skenario lengkap) karena pemain hafal jalan cerita, namun kisah yang ditampilkan merupakan adaptasi seni tulis dari sejarah Cirebon yang terdapat pada manuskrip lama. Masres setidaknya merupakan teater rakyat yang cukup lengkap merangkum beberapa jenis kesenian. 

Selain Masres, kesenian rakyat ala teater adalah Tarling. Misalnya pula Tarling Putra Sangkala dibawah komando Haji Abdul Adjib, dan Tarling Nada Budaya dengan kepiawaian Sunarto Martaatmadja .  Jika Masres dan Tarling dapat dikategorikan sebagai teater rakyat, mulai tahun 1960-an muncul sekumpulan anak muda mendirikan teater modern (untuk ukuran saat itu) . Tulisan ini tidak membahas seni tradisi Cirebon yang tidak berlatar teater.

II.                 II. TEATER MODERN

Teater Tanah Air (TTA) berdiri tahun 1960-an di Kota Cirebon berkat tangan dingin Indra Soeradi. Lalu menyusul Teater Cob-cob Grage dibawah bimbingan trio seniman Gozali el-Hamidi, Nurdin M. Noer, dan Sumbadi Sastra Alam pada tahun 1977. Setelah itu Teater Nara dibawah asuhan Adrian Rahardjo  melalui tayangan TVRI yang masih berwarna layar hitam putih.

Mulailah tumbuh keinginan mendirikan teater modern, terutama di kalangan pelajar. Siswa SMP dan SMA tahun 1974 – 1992 di Kota Cirebon khususnya mempunyai grup teater yang manggung pada kegiatan hari besar agama dan hari besar nasional di sekolah masing-masing. Berkali pula berlangsung lomba teater tingkat SMP dan SMA. Sementara di tingkat Rukun Kampung (RK) sampai dengan tahun 1986 teater tampil pada peringatan HUT RI 17 Agustus. Setidaknya di RK saya, RK 10 Warnasari Kelurahan Kesambi Kota Cirebon dengan kehadiran seniman serba bisa yang bernama Amung.

Memasuki tahun 1990 - 2000, sanggar teater di Cirebon semakin banyak bermunculan, walaupun lomba teater jarang terjadi. Terakhir yang saya saksikan pada tahun 1991 di SMA Negeri 2 Cirebon diadakan lomba teater tingkat SMA dengan keterlibatan guru fisika Erly Tjahja Widjajanto. 

Hampir sama dengan teater rakyat, teater modern memerlukan sembilan unsur  kesenian (lihat ke atas) bahkan bertambah dengan kehadiran seni fotografi sebagai pendukung dokumentasi kegiatan. Bersamaan dengannya teknologi rekaman pun memperkuat teater modern. Kekuatan pun bertambah atas kehadiran Koran Masuk Desa (KMD) yang bernama Pikiran Rakyat Edisi Cirebon pada tahun 1978. Jadi sedikitnya ada daya dukung teater modern, yakni fotografi, recording, dan publikasi.  Tak berjarak lama, berdiri pula Tim Budaya PR Edisi dengan kegiatan antara lain teater. Wadah baru ini berhasil merekrut beberapa pegiat teater karena kekuatan publikasi koran lokal satu-satunya di Wilayah III Cirebon. Teater modern tidak semata-mata menampilkan naskah berlatar cerita rakyat, melainkan teater ini mengadopsi naskah saduran baik karya orang Indonesia maupun luar Indonesia. Dan lahir pula penulis skenario teater dari kalangan muda. Yang produktif menulis skenario adalah Nana Mulyana di bawah bendera Tim Budaya PR Edisi.
Keberadaan Gedung Pemuda di Jalan Lawanggada kian mengkondusif pentas teater yang dimainkan teater sekolah, dan teater non sekolah. Demikian pula Gedung Kesenian Nyi Mas Rarasantang di Komplek Perkantoran Bima hingga sempat dihuni oleh Teater Gardu yang diawaki Nico Brur cs, Bengkel Seni di tangan Gabriel, Teater (maaf lupa namanya) yang diketuai Lyandra Rustam. Sayang sekali, sudah lebih dari 10 tahun Gedung Kesenian Cirebon sunyi dari aktivitas kesenian.

Yang tak boleh terlupakan adalah Teater An Nur (kini berubah menjadi Teater Cahaya) dengan pemain anak-anak Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah di bawah asuhan Agus DTA. Teater Cahaya masih hidup hingga sekarang. Bambang S. Bawono pun sempat sekali menyutradai pementasan Dokter Gadungan karya Moliere di Gedung Pemuda.

III.              III. TEATER KAMPUS

Tiga kampus perguruan tinggi Cirebon, yakni Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Universitas Swadaya Gunungjati (Unswagati), dan Universitas Tujuhbelas Agustus (Untag) mempunyai grup teater masing-masing. Teater Awal, Teater Dugal dan Teater  Parlemen. Koernadi Chalzoem tercatat sebagai orang paling penting di Teater Awal, Sutarno bagi Teater Dugal, dan Ahmad Syubbanuddin Alwy untuk Teater Parlemen. Berbagai pentas teater kampus itu (saya tidak tahu tahun kelahirannya) bahkan merambah ke luar kota. Hal yang juga dilakukan bidang teater Tim Budaya PR Edisi, Teater Nara, dan teater pendahulunya.
Sampai dengan tahun 2012 teater ketiga kampus di Kota Cirebon tetap berkreasi menampilkan karyanya. Dilengkapi dengan lomba teater tingkat SMA, hingga merambah ke film pendek yang ditayangkan di televisi lokal Cirebon, Teater Awal masih eksis hingga kini. Koernadi bersama Sumbadi melakukan eksplorasi teater ke media televisi. Naskah diangkat berdasar kisah rakyat Cirebon bagi pemirsa televisi. 

Teater Dugal pun tetap berkarya dan main di luar kota (Indramayu, Tegal, Purwokerto dsb). Di bawah bendera UKM Seni & Budaya Unswagati, Teater Dugal pun mengundang grup teater kampus lain pentas di Cirebon. Dan kegiatan Test Mental & Bakat (Temab) UKM Seni & Budaya Unswagati masih berlangsung sampai sekarang.

Teater Parlemen pun pernah menampilkan “Menyingkap Merah Putih” bersama Teater Satu Merah Panggung (Ratna Sarumpaet) di Tugu Proklamasi Jakarta. Naskah dan sutradara ketika itu Dedi Kampleng. Demikian pula naskah berjudul “Dunia Orang-orang Mati” karya Saini KM yang disutradarai Ken Nagasi tampil di Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI Bandung tahun 2002.

IV.                2012 DST

Masa depan teater Cirebon tahun 2012 dan seterusnya sangat bergantung di tangan seniman. Seniman kampus dan non kampus selayaknya terus melakukan eksplorasi teater agar keberadaannya tetap diperhitungkan. Eksplorasi seniman menjadi penting bagi keberlangsungan teater di Cirebon khususnya. Teater yang harus terus dihidupi karena di dalamnya terdapat banyak unsur kesenian pendukung yang tidak mustahil memberi manfaat kepada penonton. 

Pesan moral yang tampil pada pementasan teater merupakan hal paling berharga dibanding hal apa pun. Dengan begitu jangan sesekali takut untuk menghidupi teater. Salam Budaya!*** 


(Terima kasih kepada Nurdin M. Noer dan Dedi Kampleng atas beberapa pesan pendeknya sehingga tulisan pendek ini terbaca)

Kamis, 29 November 2012

Vinondini Indriati Menilai Saya



Buku: CIREBON Silang Peradaban

Oleh Nyi Vinon 
pada 24 November 2012 pukul 12:14 ·

Melihat judul buku yang ditulis Dadang Kusnandar  (2012) ini, langsung terlintas sebuah (seri) buku lain di benak saya: NUSA JAWA Silang Budaya yang ditulis Denys Lombard (2005). Denys Lombard dalam bukunya mengamati lapisan budaya yang ada di Jawa, menganalisis sejarah perkembangannya, membahas  masyarakat yang mengembangkannya. NUSA JAWA Silang Budaya berisi tentang  pengaruh Eropa, kedatangan agama Islam dan hubungannya dengan dunia Cina, serta pengaruh peradaban India.

peradaban          per.a.dab.an
[n] (1) kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin: bangsa-bangsa di dunia ini tidak sama tingkat ~ nya; (2) hal yg menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

budaya                bu.da.ya
[n] (1) pikiran; akal budi: hasil --; (2) adat istiadat: menyelidiki bahasa dan --; (3) sesuatu mengenai kebudayaan yg sudah berkembang (beradab, maju): jiwa yg --; (4) cak sesuatu yg sudah menjadi kebiasaan yg sudah sukar diubah (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

Penulis buku CIREBON Silang Peradaban tentunya mempunyai alasan sendiri memilih kata “peradaban” ketimbang “budaya”. Mungkin karena peradaban sudah mencakup budaya.
Adab (Arabic: أدب‎) in the context of behavior, refers to prescribed Islamic etiquette: "refinement, good manners, morals, decorum, decency, humaneness".[1] While interpretation of the scope and particulars of Adab may vary among different cultures, common among these interpretations is regard for personal standing through the observation of certain codes of behavior.[2] To exhibit Adab would be to show "proper discrimination of correct order, behavior, and taste."[2] (Wikipedia)

CIREBON Silang Peradaban kurang lebih bercerita tentang “kebudayaan Cirebon” dengan pengaruh-pengaruh serupa seperti NUSA JAWA, yaitu Eropa, Islam, Cina dan India. Pada buku CIREBON Silang Peradaban,  pengaruh Eropa  hanyalah Belanda, seperti: “Saat pertunjukan biasanya para penari atau para bangsawan meneguk minuman keras (arak) tapi tidak sampai mabuk, hanya untuk menghangatkan badan. Hal ini merupakan pengaruh kaum penjajah Belanda” (halaman 121). Sedangkan pengaruh India disampaikan dalam bentuk contoh rupa peristiwa, seperti pementasan wayang dengan lakon Mahabarata. Pengaruh musik India dan Arab pun disebutkan, bukan dalam isi buku ini, melainkan pada Kata Pengantar; Cirebon, Yang Perlahan Menguap, ditulis oleh Miqdad Husein, Peneliti Gerbang Informasi.

Dadang Kusnandar, penulis asal Cirebon, memiliki keuntungan dalam menulis buku ini. Banyak peristiwa atau kesenian yang ditulisnya dialami secara pribadi, ditulis dengan detail dan perasaannya. Berbagai kesenian Cirebon yang punah atau hampir punah, seperti sandiwara Masres, Dokmong (sastra lisan), Wayang Klitik (Dalang Repot), para penari topeng yang bebarang, pernah disaksikan langsung oleh penulis. Kesenian langka yang tidak diketahui banyak orang, kesenian langka yang tidak diketahui banyak bahkan oleh Orang Cirebon. Seperti yang disebutkan oleh penulis, beberapa kesenian tidak sempat terdokumentasikan, namun kiranya bisa direka ulang dan digambar sketsa situasinya berdasarkan beberapa saksi mata.

Amat disayangkan buku ini tidak dilengkapi foto-foto berbagai jenis kesenian yang mungkin tidak diketahui banyak pembaca, seperti contoh di foto sampul. Foto yang buram tersebut (mungkin bukan dari fotografernya, tapi soal teknik atau kualitas cetakan), juga tidak disertai keterangan peristiwa atau kesenian apa gerangan. Saya yakin, Ipon Bae, penyedia foto tersebut mampu menyediakan banyak foto lain dari berbagai kesenian Cirebon untuk tampil di buku ini mendukung isi tulisan. Bagaimana Tari Topeng Losari itu berbeda dengan Tari Topeng Gegesik, Slangit, Pekandangan, Tambi atau Bongas, misalnya.

Sebagai sesama orang pesisir Cirebon, saya agak heran ketika kesenian Burok luput dari tulisan ini. Sebuah kesenian yang ada karena datangnya agama Islam ke Cirebon, bukan kesenian dari Arab, seperti kesenian-kesenian Cirebon lain yang unik, yang hanya ditemukan di Cirebon. Saya sadar, buku setebal 132 halaman ini tidak mungkin memuat semuanya. Meskipun di pihak lain, saya juga sama sadarnya bahwa isi buku ini di beberapa bagian terdapat perulangan informasi yang kurang perlu. Contohnya “kutipan halaman 121” di atas dapat kita temui di halaman-halaman lainnya.

Banyak kesalahan ketik yang mengganggu di sekujur buku ini, yang merupakan kelalaian editornya. Seperti “kutipan halaman 121” di atas yang pada buku tercetak “…Hal ini merupakan merupakan pengaruh kaum penjajah Belanda”. Banyak juga dijumpai pemakaian kata dalam Bahasa Inggris yang bisa dihindari.
Dadang Kusnandar, yang hingga kini tinggal di Cirebon, aktif bergaul dengan para seniman dan budayawan Cirebon. Selain data-data tulisannya yang berhasil didapatkan dari sumber utama atau pelakunya, Penulis juga mampu memotret keadaan masa kini Cirebon. Adanya ulasan tentang kesenian kontemporer Cirebon, seperti Tari Batik yang merupakan gabungan seni batik tulis dan seni tari, atau Wayang Babad yang merupakan modifikasi wayang dan seni tari. Termasuk geliat masyarakat Cirebon, yang bukan hanya tentang tarik-menarik kuno Sunda dan Jawa; tapi juga tentang Sunda (Jawa Barat) dan Cirebon sendiri, menyoal kewenangan dan aset moderen (provinsi).

Begitulah kira-kira lengkapnya isi buku ini. Dari Sunan Gunung Jati hingga Grage Mall. Baik mewakili zaman maupun benda. Seperti yang ditulis Penulisnya di halaman 101: “Bukankah sulit mencari kesenian asli, bahkan pada seni tradisi?”

 Nyi Vinon,
Wong Cerbon 

Senin, 12 November 2012

Muhammadiyah 100 Tahun Kemudian


Oleh Dadang Kusnandar*)

KETIKA berstatus siswa SMP, saya tidak begitu paham Muhammadiyah. Yang ada di benak adalah teman-teman yang bersekolah di SMP Muhammadiyah Jalan Bahagia Cirebon. Saat itu baju putih celana pendek hijau menjadi ciri siswa Muhammadiyah. Selain itu, Mesjid Teja Suar yang mengundang Buya Hamka pada kutbah Jum`at awal 1979. Masih terbayang di ingatan, lambaian lemah tangan Buya Hamka menyapa jamaah mesjid bakda shalat Jum`at di tangga luar mesjid. Juga ucapan beliau, “Assalamu `alaikum warga Cirebon!”. Muhammadiyah yang saya ingat juga adalah balai pengobatan di Grubugan Kelurahan Kasepuhan Kecamatan Lemahwungkuk. Pakde  sempat membawa saya berobat ke sana, dan obat yang diterima ketika itu tak lain obat sakti berupa tablet berwarna putih dan kuning. Saya sebut obat sakti karena pasien lain pun (dengan keluhan dan rasa sakit berbeda) menerima obat yang sama.
Waktu kemudian mempertemukan dengan aktivis Muhammadiyah Kota Kabupaten Cirebon. Kutbah Jum`at Bapak Zainal Masduki di Mesjid An Nur  depan parkir Pasuketan  atau Mesjid Teja Suar, merupakan pengenalan kesekian saya tentang Muhammadiyah.  Bapak Rosyad Rais yang akhirnya bersama kawan-kawan lebih sering belajar di mushala rumahnya. Bapak Zaidin Aksan dengan suara gelegarnya dengan pembahasan favorit Tahayul Bid`ah Churafat Aqidah (TBCA). Meski ketika itu sudah mengenal Bapak Kosasih Natawijaya sebagai seorang khatib Jum`at di Mesjid An Nur, tapi saya tidak tahu jikalau ia bergiat di Muhammadiyah. Saya dengan Miqdad Husein, juga banyak kawan lain di Mesjid An Nur menjadi penjaga gawang dan pegiat aktivitas keagamaan saja. 

Perjalanan pula membawa saya mengenal lebih dalam tentang Muhammadiyah. Dua adik kandung saya lulusan Sekolah Menengah Farmasi (SMF) Muhammadiyah angkatan ketiga dan SMA Muhammadiyah Tuparev yang sudah dikenal dengan istilah Blok M. Otomatis saya membaca Muhammadiyah Cirebon. Melalui buku cetak adik maupun pelajaran sejarah organisasi nasional paska Serikat Dagang Islam (SDI) dan Boedi Oetomo (BO). 

Tahun 2011 secara formal dikukuhkan menjadi Personalia Pimpinan Majelis Pustaka, Informasi dan Litbang Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Cirebon  Periode 2010-2015, berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Cirebon Nomor: 12/KEP/III.0/D/2011 tertanggal 21 Rabiul Akhir 1432 H/ 26 Maret 2011 atas insiatif Sdr. Sunardi Suwela. Lalu muncul ide menelorkan bulletin (yang sudah berulang kali dilakukan Muhammadiyah Cirebon) dengan nama Buletin Sang Pencerah (BSP) yang terbit tiap hari Jum`at. 

TIDAK terasa kini Muhammadiyah berusia 100 tahun sejak berdiri di Yogyakarta pada 1912. Seabad usia Muhammadiyah, seabad pula liku perjalanan menghadang. Tapi sungguh organisasi ini akan tegak apabila komitmen awal para penerus gerakan Muhammadiyah berangkat dari pesan Dahlan Untuk Dahlan. Subjek yang juga bermakna sebagai Objek, dan sebaliknya. Dahlan menasihati dirinya sendiri agar ia tidak binasa ditelan hiruk pikuk zaman. Perjuangan dakwah yang telah dicontohkan Darwisy (nama kecil KH Ahmad Dahlan) memungkinkan penerusnya melakukan inovasi organisasi. Organisasi yang sangat berpeluang berkembang menjadi lebih baik dan maju apabila disertai kesungguhan menegakkan komitmen awal. 

Cut Zurnali dalam bukunya "Learning Organization, Competency, Organizational Commitment, dan Customer Orientation : Knowledge Worker - Kerangka Riset Manajemen Sumberdaya Manusia di Masa Depan " (2010) menyatakan bahwa perhatian umum dan tujuan kunci dari unit organisasi SDM adalah untuk mencari pengukuran yang dapat mengestimasikan secara akurat komitmen para pekerjanya dan mengembangkan program-program dan kegiatan-kegiatan yang meningkatkan komitmen pada organisasi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kajian penelitian yang luas dalam ilmu psikologi dan manajemen adalah tentang konsep dan peranan komitmen organisasional (organizational commitment). Konstruk ini dikaitkan pada pentingnya kinerja yang dihasilkan dan perputarannya (Hom and Griffeth, 1995). Ketika konstruk komitmen organisasional banyak diperhatikan dalam literatur psikologi dan manajemen, maka hal ini juga menjadi penting dalam bidang yang menyangkut teknologi dan pengembangannya, sehingga pihak manajemen di bidang ini mulai memfokuskan perhatiannya pada konstruk komitmen organisasional ini.

Sekali lagi komitmen organisasi sangat penting untuk mengembalikan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dengan konsep fastabikul khairat, berlomba dalam kebaikan. Komitmen awal untuk melakukan pencerahan kepada  masyarakat pada awal ke 20. Tak pelak dengan mengemban komitmen awal di atas, organisasi besar dengan jama`ah berjumlah jutaan ini mampu kembali mencerahkan spiritualitas bangsa. Sebaliknya apabila komitmen awal itu diam-diam dikhianati aktivisnya, sungguh jangan harap akan memacarkan cahaya mentari, dan jangan berharap mencerahkan warga bangsa.

Pembaca budiman, kita belum pernah mengalami kepahitan sebagaimana diterima Dahlan ketika membangun organisasi Muhammadiyah. Kita pun belum pernah diasingkan masyarakat hanya karena perbedaan persepsi keagamaan, sebagaimana Dahlan dituduh dengan julukan Kiai Palsu. Bisa jadi karena kita bukan kiai maka tidak seorang pun menuduh kita sebagai kiai palsu. Bisa jadi pula dakwah bil lisan yang kita lakukan selama ini ternyata belum sepenuhnya terbebas dari keinginan duniawi. Belum terbebas dari perolehan sesuatu yang memungkinkan timbulnya fitnah. Yang pasti dakwah melalui lisan dan tulisan kerap abai terhadap pesan Dahlan ketika ia membangun organisasi dakwah ini dengan sejuta keperihannya.

Seratus tahun alias satu abad tak pelak merupakan proses renungan perjalanan panjang organisasi yang kini dihuni jutaan masyarakat muslim Indonesia. Potensi besar ini mau tidak mau harus dikelola dengan managemen yang profesional oleh tangan-tangan tulus, tangan tanpa pretensi duniawi. Jika tidak akan berlangsung sebuah suasana buram yakni ketika organisasi yang sudah berusia 100 tahun ini kalah dalam berbagai hal. Kekalahan yang diam-diam terjadi karena ulah kita sendiri. Dengan kata lain jikalau tidak ingin kalah, segeralah berbenah dan berkaca kembali kepada perjuangan Dahlan tatkala membangun organisasi ini di tengah masa kolonial Belanda yang menghendaki hegemoni dalam kebudayaan. Termasuk hegemoni agama.

Tentu saja kita tidak ingin kalah, tidak hendak menjadi kekuatan semu yang berbasis seolah-olah. Aktivis Muhammadiyah, siapa pun dia dan apa pun statusnya dalam organisasi ~semua menginginkan adanya kejayaan organisasi. Sehingga dakwah yang dilakukan (lisan dan tulisan), atau melalui lembaga pendidikan dan kesehatan, memberi manfaat bagi khalayak. Bagi umat Islam. Bagi Indonesia. 

Teringat sebuah rumor seorang kawan: Di mana saja dan organisasi apa saja ketika masih kecil, ia memegang komitmen yang hebat, tetapi setelah besar komitmen itu mulai terkikis oleh bayang-bayang sendiri. Berharap semoga rumor itu tidak menimpa Muhammadiyah yang kini memasuki usia 100 tahun, Dahlan mengingatkan melalui pesan untuk dirinya sendiri: renungkanlah yang terdekat kepadamu.***

*)Penulis adalah Personalia Pimpinan Majelis Pustaka, Informasi dan Litbang Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Cirebon  Periode 2010-2015

Sabtu, 10 November 2012

Basa Cerbon : Adoh Seng Pakta



Dening Dadang Kusnandar

BADAN kula supados sehat jasmani rohani niku merluakaen prilakune sapertos pertami makanan minuman bergizi, kaping kalih istirahat ingkang cukup, kaping tiga urip teng lingkungan ingkang bersih. Teng agama islam wonten makanan minuman ingkang dihalalaken sareng diharamaken. Makanan ingkang halal yaniku saged saking sae didahar, contone hasil ternak kecuali ternak babi, makanan ingkang diharamaken aertine makanan ingkang dilarang oleh agama islam lan mboten sae didahar, contone yaiku babi, bangkai dll. Bahaya dahar makanan haram yaiku angsal dosa, badan mboten sehat lan mboten sae, ngelemahaken iman.

Materi pelajaran Basa lan Sastra Cebon kelas 9 semester ganjil di atas meski masih terdapat kesalahan, tetap saja siswa kelas 3 SLTP mengalami kesulitan menjawab pertanyaan dari wacana tersebut. Saya menyebut kesalahan misalnya pada kalimat pertama: merluaken prilakune (memerlukan perilaku). Juga masih terdapat penggunaan bahasa Indonesia, baik dalam bentuk kata (misalnya pertami, dll = dan lain-lain, oleh, makanan) serta gramatika yang membentuknya.

Dari satu kasus itu terbukti bahwa bahasa daerah itu sulit. Ia menjadi sulit karena semakin jarang pelajar berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan bahasa daerah. Di rumah sekali pun, orang tua yang masih memakai bahasa daerah bila berbincang dengan tetangganya, ia tidak menerapkan bahasa daerah Cirebon kepada anak-anaknya. Kondisi ini makin semaput pada pasangan suami istri yang tidak membiasakan berkomunikasi dengan bahasa daerah. Pilihan pun umumnya jatuh pada bahasa Indonesia, sebagian ada yang suka memilih bahasa Inggris, dan sedikit yang berbahasa Belanda.

Sepertinya berbincang dengan bahasa Cirebon menunjukkan kelas bawah. Ada rasa malu jika seorang perempuan cantik yang bekerja di perusahaan swasta dipanggil nok. Ia lebih senang dipanggil mbak atau neng. Padahal mbak dan neng berasal dari bahasa Jawa dan Sunda. Saya tergolong sering memanggil nok kepada perempuan pekerja di Cirebon, walaupun ia terpaksa menjawab namun ada raut wajah ketidaksenangan atas panggilan nok. Mungkin karena posisi saya sebagai pembeli maka perempuan pekerja itu mau menjawab pertanyaan saya, itu pun dijawab dengan bahasa Indonesia.

Pertanyaan yang muncul bagaimana kita melihat fakta bahasa Cirebon saat ini? Bahasa daerah yang mengalami dekonstruksi ternyata juga berlangsung pada kurikulum sekolah, dan ia semakin tidak dipahami manakala penggunanya lebih asik menggunakan bahasa lain. Fakta ini jelas memperburuk bahasa daerah, bahasa ibu, bahasa lokal dan sebutan lain yang mengena padanya. Buruk dalam pengertian, jangankan untuk berkembang, bahkan bertahan pun sulit. Dan diam-diam kita menjadi pelaku yang memperburuk bahasa Cirebon.

Secara pribadi saya pun mengalami kesulitan ketika anak bertanya Pekerjaan Rumah (PR) pelajaran Basa lan Sastra Cerbon saat SMP dulu. Beruntung ada yang bisa dimintai tolong untuk menjawabnya. Saya berkirim pesan pendek kepada Mas Nurdin, Mas Opan, Mas Supali, atau ke Dalang Kaji Mansur. Tapi setelah pelajaran bahasa Cirebon itu tidak dipelajari lagi oleh anak saya di tingkat SMA, saya pun lupa materi basa Cerbon apa yang pernah saya tanyakan kepada teman-teman. Inilah keadaan yang diam-diam memarginalkan bahasa daerah, menempatkan bahasa daerah pada subordinat, lantas menjelaskan betapa sebenarnya kita belum berpihak kepada bahasa daerah.

Itu sebabnya pelajaran bahasa Cirebon perlu diangkat kembali sebagai kekayaan, serta tidak sebatas memandangnya sebagai hiasan di etalase bahasa. Parahnya lagi jika hiasan itu tidak ditoleh sama sekali. Penghancuran bahasa daerah tentu akan berlangsung dalam waktu cepat, dan itulah yang memacu sejumlah kawan penggerak eksistensi Bahasa Cirebon untuk merumuskan kembali format yang tepat dan mudah dipahami siswa/ pelajar serta orang tua di rumah agar membiasakan penggunaan Bahasa Cirebon.***