Jumat, 16 Februari 2018

Bantaran Sungai




BANGUNAN di atas bantaran sungai merupakan pemandangan teramat biasa di Indonesia. Hampir di setiap kota/ kabupaten dengan mudah kita dapati deretan bangunan di bantaran sungai/ kali. Terlebih jikalau letak geografis kali/ sungai tersebut “menguntungkan” secara ekonomi. Dari berbagai penjuru, pedagang berdatangan lalu mendirikan bangunan semi permanen hanya untuk berjualan.

Lambat laun manakala keuntungan perniagaan itu dianggap cukup, bangunan semi permanen itu ditingkatkan kualitasnya. Semen, pasir dan bata mulai bekerja.

Adanya pertumbuhan pendapatan kaum pedagang (urban) di atas bantaran kali itu memungkinkan ia mengajak sanak keluarga untuk ikut serta mengadu nasib di kota. Berbekal keberanian dan tekad mengubah nasib, semakin banyak jumlah pedagang di atas bantaran kali. Mereka pun tidur di bangunan itu. Mereka pun bahkan membawa serta anak istri.

Apa jadinya? Bantaran kali kian sesak oleh bangunan. Kali menyempit. Para pedagang itu membuang sampah serampangan karena di belakang bangunan tersedia kali. Akibat lain tentu saja kota kehilangan sungai. Kehilangan penampung air untuk mengalirkan ke laut. Di samping itu, potensi banjir mengancam.

Pemerintah DKI Jaya ketika dipimpin Ahok tergolong berhasil mengatasi masalah pemindahan penduduk dari bantaran kali ke rusunawa. Sudah menjadi rahasia umum, menghadapi wong cilik tidak mudah. Sikap reaktif menjadi kebiasaan keseharian lantaran beratnya tantangan hidup di kota.

Keberhasilan mengatasi bangunan di atas bantaran kali sebagaimana dilakukan pemda DKI seharusnya menjadi contoh pemda-pemda lain. Penyelesaian tanpa kekerasan dan saling menguntungkan kedua pihak. Pemda bisa mengembalikan fungsi kali/ sungai ke asalnya, sementara para pendiri bangunan di atas bantaran sungai memiliki rumah sebagai kompensasi.

Sebenarnya pemda tidak  harus memberi kompensasi apa pun. Akan tetapi faktor kemanusiaan mengemuka di sini.
Ketika berhadapan dengan masalah bangunan di atas bantaran kali,  pemda dihadapkan pada dilema. Membiarkan berarti menyalahi peruntukkan bantaran sungai dan menindak berarti berhadapan dengan para jawara, serta diklaim sebagai kesewengan penguasa.

Pemda dan pendiri bangunan di atas bantaran kali pun sama-sama berpikir dalam kerangka subjektif. Berkali operasi penertiban dilakukan, berkali pula muncul ketaksepahaman. Ada kalanya ketaksepahaman itu berujung pada sikap kurang bersahabat, antara lain saling menyalahkan. Lalu kapan masalah ini selesai apabila semua pihak terkait merasa benar dengan asumsinya sendiri?

Menyimak Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dengan mensyaratkan 70 persen digunakan untuk bangunan dan 30 persen untuk lahan hijau/ lahan publik, pemda setempat menjabarkan UU tersebut di atas dengan mengesahkan peraturan daerah (perda). Perda itu diantaranya mengatur tentang pelarangan bagi setiap orang/ warga untuk melakukan usaha pada tempat-tempat yang bukan peruntukkan usaha (di atas trotoar, di atas bantaran sungai, saluran drainase, jalur hijau, badan jalan, lapangan baik sementara atau pun tetap). Perda berkekuatan hukum itu susah
direalisasikan. Perda itu seperti halnya UU No. 26/ 2007 tentang ruang hijau terbuka selalu menjadi problem tetap pemda se-Indonesia.

Berharap adanya penyelesaian kedua pihak, yakni pemda dengan para pendiri bangunan di atas bantaran sungai/ kali, tanpa mengundang masalah baru yang lebih besar, kiranya pemda harus mampu menjadi bapak yang menggembirakan anak-anaknya, bukan memanjakan anak-anaknya. Bapak yang mengayomi anak-anaknya, meskipun terkadang anak-anaknya menjadi nakal. Anak-anak nakal itu pada musim politik adalah anak-anak potensial demi keberhasilan keinginan politik Sang Bapak.

Proses penyelesaian pendiri bangunan di atas bantaran kali/ sungai sejatinya dapat dimediasi oleh bantuan pemda yang telah berhasil melaksanakan UU No. 26 Tahun 2007, pemda Surabaya umpamanya.
Pemda dan DPRD  dituntut kerja keras menyelesaikan problem rutin yang boleh dikata tidak terselesaikan serta selalu muncul pada tiap perioda kepemimpinan. Satu probem yang mengemuka kini ialah bangunan di atas bantaran kali. Jikalau pemda  berhasil melaksanakan amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Ruang Hijau Terbuka, tanpa kekerasan,  berarti pemda tersebut telah melaksanakan tugasnya secara baik. Keberhasilan tadi kelak akan menjadi contoh dan referensi proses penyelesaian dengan kaum urban. Dan akan lebih bermakna lagi apabila disertai kebijakan politik dengan menyediakan lapangan kerja sehingga kaum urban yang memadati kota tidak menjadi penghuni tetap di atas bantaran kali/ sungai.***





Selasa, 13 Februari 2018

Kartu Lebaran



SAMPAI dengan sekitar awal tahun 2000, kita masih memperoleh kartu lebaran. Baik dari teman, kerabat atau saudara. Saat memperoleh kartu lebaran yang terkirim melalui pak pos  berkendaraan sepeda motor warna oranye, kegembiraan terpancar dari wajah sang penerima. Sambil mengucapkan terima kasih kepada pak pos, kartu lebaran itu diperlihatkan kepada teman dan atau saudara. Semakin banyak memperoleh kiriman kartu lebaran menunjukkan bahwa kita punya banyak teman.

Kartu lebaran bergambar masjid disertai kaligrafi bahasa Arab bertuliskan Taqabalallahu mina wa minkum. Taqabal ya karim, bergambar ketupat, beduk, anak lelaki bersarung plus kopiah dan perempuan berbusana muslim. Sepertinya mewakili ketidakhadiran fisik pada tanggal 1 Syawal. Entah karena jarak yang jauh atau kendala lain, misalnya keenganan menemui teman-kerabat-saudara lantaran keterbatasan waktu. Atau mungkin karena kartu lebaran dianggap cukup efektif untuk memohon maaf dan saling memaafkan. Itu sebabnya ada tradisi saling bertukar kartu lebaran.

Di Jalan Kesambi Kota Cirebon ada sebuah toko yang menjual aneka kartu lebaran, Toko Jago namanya (sampai sekarang toko ini masih ada). Di Jalan Lawanggada Toko Milik dan Toko Mulus juga menjual kartu lebaran. Kedua toko itu sudah lama gulung tikar dan berganti owner. Di Jalan Pulasaren ada Toko Kita yang menyediakan kartu lebaran. Begitu pula semua toko buku di Kota Cirebon: TB Dasco di Jalan Pagongan, TB Setia di Jalan Pasuketan, TB Attamimi di Jalan Panjunan, Toko Lima di Jalan Pasuketan dan lain-lain tak urung menjual kartu lebaran.

Keberadaan kartu lebaran mengundang kreativitas anak muda yang pandai menggambar. Bermodal kertas jeruk atau kertas asturo, cryon, pastel,  pinsil warna, tinta bak/ tinta Cina dan pena runcing, spidol dan media pewarna lainnya ~anak muda yang pandai menggambar menjual kartu lebaran. Baik kepada teman-temannya sendiri dari rumah ke rumah,  maupun membuka lapak meja kecil di trotoar, malah ada yang menggelar penjualan kartu lebaran di pinggir jalan secara menggelar plastik lipat.

Ingat kartu lebaran bagai mengingat kembali ketika di beberapa super market/ toserba di Kota Cirebon menyediakan kartu lebaran dalam jumlah banyak (produk cetak) di dalam boks yang mudah terlihat konsumen. Ingat kartu lebaran juga mengingat kreativitas para pekerja percetakan.
Kartu lebaran akhirnya kalah saing oleh hand phone sekitar tahun 1998. Layanan pesan pendek/ small message service (sms) menggusur peran kartu lebaran. Setidaknya mengurangi kuota produksi dan penjualan kartu lebaran.

Seorang teman berujar, “Isun sih bli kiyeng mbales sms Selamat Idul Fitri. Bli sopan. Rayaan ya kudu teka. Marek”, ketika hand phone belum begitu mewabah seperti saat ini. Namun kini dia menjadi pengguna hp yang aktif berselancar di media sosial mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin, dan di bawahnya mencantumkan nama saat berkirim sms.

Kartu lebaran masih ada hingga kini dan biasanya cukup banyak tersebar di kalangan instansi. Akan tetapi tidak untuk masyarakat banyak. Bagaimana pun keberadaan kartu lebaran menunjukkan pentingnya saling memaafkan atas segala hilap dan salah antarsesama muslim. Sengaja atau tidak kata maaf harus terucap/ tertulis. []

Oo dan Encim

ENTAH kenapa panggilan kepada masyarakat Tionghoa tak jauh dari Oo dan Encim. Ada kalanya juga dipanggil Taci atau Babah. 

Empat julukan yang akrab di sebagian besar masyarakat terhadap etnis Tionghoa biasanya berlangsung akibat transaksi jual beli. Sebagaimana diketahui keturunan etnis Tionghoa pada umumnya piawai berniaga.

Sejak kecil saya mengenal etnis Tionghoa. Berawal dari tetangga dekat rumah yang selalu mengirim dodol menjelang imlek. Encim tetangga saya itu (meski tidak diketahui namanya) menyuruh cucunya mengirimkan dodol. Tetapi soal dodol imlek yang dibagikan ke tetangga terdekat itu telah berlalu. Tahun 1980 (kalau tak salah ingat) encim itu meninggal dunia.

Pengenalan terhadap etnis Tionghoa pun didukung oleh ayahanda yang berjualan kain untuk penghasilan tambahan. Kain itu diperoleh dari grosir Toko Anatex di Pasar Balong sebelum ada mal di sana.

Bukan kebetulan bila lingkungan tempat tinggal saya dihuni cukup banyak oleh etnis Tionghoa. Konon kata teman sepermainan kecil, kampung Warnasari Kelurahan Kesambi cukup memberi hoki bagi warga keturunan etnis Tionghoa. Dua nama yang masih teringat ialah Babah Kolim di Jalan Kesambi Dalam dan Babah 52 di Jalan Kartini.

Pengenalan lain tentang Tionghoa banyak diperoleh melalui tontonan film-film kungfu dan silat Mandarin di bioskop era 1970 - 1980 an, selain melalui kitab silat yang kadang dibumbui fiksi sejarah. Kitab itu sangat terkenal sehingga banyak yang kehilangan setelah Asmaraman S. Kho Ping Ho meninggal dunia di Surakarta.

Pengenalan atas budaya Tionghoa pun akhirnya diperoleh secara langsung dengan beberapa musabab. Umumnya bersifat transaksi dagang dan hanya sedikit yang berangkat dari sebab lain. Itu sebabnya ketika beberapa orang Tionghoa tampil di arena politik nasional fakta ini menjelaskan kebhinekaan yang patut disyukuri. Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama agaknya paling menonjol dalam hal ini.

Oo dan Encim atau apa pun julukannya menandakan bahwa Cirebon sebagai kota tujuan kaum urban (segala etnis dan sub etnis) harus bisa mempertahankan keberbagaian budaya. Dengan kata lain kehadiran etnis mana pun merupakan berkah bagi NKRI. Banyak sisi positif yang dapat diambil dari persilangan budaya antaretnis.

IMLEK tahun 2018 ini khususnya di Cirebon semoga mampu menghapus sentimen yang tidak berdasar tethadap etnis Tionghoa. Justru kebangkitan RRC ada baiknya dirujuk pemerintah RI, terutama dalam hal penguatan akar budaya dan etos kerja masyarakatnya.@

Kamis, 08 Februari 2018

Dokmong

FOLKLORE atau cerita rakyat di Cirebon salah satu bentuknya bernama dokmong, dodok bari ngomong. Dokmong bisa pula diartikan monolog yang dilakukan seorang dalang wayang.

Pada pentas dokmong itu dalang merangkap sebagai panjak (pencerita), sinden dan nayaga (penabuh alat musik). Cerita yang dituturkan dalang umumnya berupa nasihat kehidupan. Menurut filolog Dr. Rafan Hasyim, M.Hum dalang dokmong pun menceritakan masa sebelum dunia diciptakan Tuhan.

Kadang sang dalang berkisah mengenai Yajuz Majuz, jaman para nabi, juga kehidupan ukhrawi. Akan tetapi bila audince didominasi anak-anak maka dalang mengisahkan fabel (dunia hewan). Referensi Dokmong diperoleh dari kitab Babad Jaman. Boleh jadi dalang dokmong tidak lain adalah penganut tarekat Satariyah.

Hingga tahun 1970-an di Cirebon Dokmong masih terlihat pada hajatan/ kenduri dan mider/ bebarang. Tahun 1980-an dokmong tinggal istilah. Bahkan ada kesalahpahaman mengenai dokmong yang seakan-akan hanya duduk dan ngobrol saja pada sebuah hajatan, alias tidak nanggap apa pun.

Dokmong dikaitkan dengan pilkada 2018  terlihat pada perjumpaan bakal calon kepala daerah dengan calon pemilih. Duduk manis, menyebar senyum, penuh perhatian seakan menjadi pendengar yang baik atas keluhan masyarakat, lalu dia ngomong.

Yang diomongkan tentu saja janji apabila ia terpilih sebagai kepala daerah. Apakah janji itu akan direalisasikan atau benar-benar dokmong, semuanya kembali kepada pribadi sang bakal calon.

Dokmong dulu dan kini berbeda pada dua hal. Dokmong terdahulu dituturkan oleh dalang yang seorang sufi. Dokmong sekarang dituturkan calon kepala daerah yang lebih sering ingkar janji daripada menepati janji.@

Senin, 23 Mei 2016

NU dan Kepekaan Sosial




Catatan Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon

KONFERCAB Nahdathul 'Ulama (NU) Kota Cirebon ke-12 dengan tema Melestarikan Islam Nusantara yang Damai dan Toleran untuk Cirebon Ramah, berakhir Minggu 22 Mei 2016 sekira pukul 19.30 WIB.  Terpilih Dr. KH. Samsudin sebagai Rois Syuriyah dan Ustadz Yusuf, SE, MM sebagai Ketua Tanfidziyah periode 2016-2021. 

Acara yang digelar sejak Minggu pagi di Mesjid Hijau Grage City itu dihadiri sejumlah Kiai NU, Walikota Cirebon, Ketua DPRD Kota Cirebon dan berbagai stakeholder NU. Diikuti peserta konferensi cabang dari 5 (lima) MWC NU yang terdiri dari MWC Harjamuki, MWC Kesambi, MWC Pekalipan, MWC Lemahwungkuk dan MWC Kejakasan ~proses pemilihan di penghujung rangkaian acara merupakan moment yang ditunggu. 

Muktamirin lain adalah PCNU, Pengurus Ranting, Lembaga/ Lajnah serta Badan Otonom PCNU, dan undangan khusus Ulama/ Kiai pesantren.

Sebagaimana halnya konfercab, panitia menjadwalkan berbagai acara yakni beberapa sidang pleno berupa: Pengesahan Tatib, LPJ PC NU 2011-2016, Pandangan Umum dan Jawaban PCNU, Sidang Komisi Program, Sidang Komisi Organisasi, Sidang Komisi Rekomendasi, Pengesahan Sidang Komisi, Demisioner PCNU, Pemilihan Rais Suriyah, Ketua Tanfidziyah dan Formatur 2016-2021.

Sebagai sebuah gerakan dakwah, NU yang mengedepankan pendekatan kultural sejak didirikan pada tahun 1926 semakin memperjelas sosoknya dengan pemihakan atas masalah-masalah yang muncul di masyarkat. Itu sebabnya NU Kota Cirebon menurut Ustadz Yusuf yang baru saja terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah, akan memediasi persoalan krusial yang berkembang di tengah masyarakat. Mediasi yang dilakukan bisa berupa pendampingan maupun mencarikan solusi atas persoalan.

"Ke depan saya yakin tantangan NU kian besar. Terlebih di era MEA kini, kita dihadapkan pada kompetisi tajam terutama menyangkut kekuatan modal", lanjut Ustadz Yusuf. Ia menambahkan, kita tidak perlu khawatir karena jumlah warga NU yang besar merupakan aset dan modal yang cukup kuat.

Sementara itu Ketua SC Konfercab NU ke-12, Prof. Dr. Jamali Sahrodi usai pemilihan Rois dan Ketua PCNU Kota Cirebon menyampaikan harapan agar pengurus periode 5 tahun ke depan mampu bekerja dengan baik disertai semangat nahdhiyin yang memperhatikan pentingnya aspek kepekaan sosial. Dan kepekaan itu mesti ditunjang oleh kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, serta kecerdasan spiritual. Berpangkal dari tiga kecerdasan itulah, NU akan semakin memiliki empati kebangsaan yang berawal dari pemahaman Islam Nusantara.


NU sebagai gerakan dakwah berbasis pendekatan kuktural terbukti mampu bertahan di segala jaman. Kekuatan spirit yang diperoleh dari pemahaman budaya lokal lantas diadaptasi dengan kaidah ajaran Islam pada akhirnya kian membuka mata, bahwa pribumisasi Islam memang perlu di Indonesia ini. Merujuk pada ajaran Wali Sanga, saya kira NU merupakan perpanjangan upaya kreatif para wali manakala mengislamkan tanah Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara.

Konfercab secara legalitas diselenggarakan sebagai amanat dari AD/ART NU hasil Muktamar Jombang tahun 2015 lalu, terlebih dengan adanya sistem AHWA (Ahlul Halil Wal Aqdhi) dalam pemilihan Rois Syuriyah NU sebagai kepemimpinan tertinggi di NU dan untuk menjaga kehormatan ulama di tingkat kepengurusan NU dan masyarakat.

Untuk menjaga kehormatan ulama itulah maka NU senantiasa peka dan memiliki empati atas fenomena yang berkembang secara dinamis di masyarakat.

Mengutip AD/ART NU Bab IV Pasal 9 point b : Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membina umat agar menjadi muslim yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil serta berguna bagi agama, bangsa dan negara. Sementara poin c berisi : Di bidang sosial menguapayakan dan mendorong pemberdayaan di bidang kesehatatan, kemaslahatan dan ketahanan keluarga, dan pendampingan masyarakat yang terpinggirkan (mustadl'afin).

Dua poin di atas menggambarkan keberpihakan NU atas permasalahan besar bangsa ini. Di samping tentu saja masih banyak aspek penting lain, misalnya di bidang ekonomi dan kerjasama luar negeri demi peningkatan kualitas SDM warga NU.

Terpilihnya Dr. KH. Samsudin dan Ustadz Yusuf, SE, MM  pada periode 2016-2021 ini semoga menjadikan organisasi keagamaan berbasis budaya ini semakin mampu mengikat masyarakat di bumi dengan sembilan bintang yang mengitarinya, sesuai dengan logo NU.

MENGIKUTI jalannya konfercab NU Kota Cirebon ke 12 sejak pukul 14.40 WIB hingga terpilihnya Rois Syuriyah dan Ketua Tanfidziyah kita diingatkan untuk selalu memahami bahwa roda organisasi agama dapat berputar apabila para pemutarnya berada dalam jalur dan sikap demokratis. Organisasi keagamaan berbasis kultural yang memang didirikan bagi tersebarnya siar Islam yang merangkum kebudayaan lokal sejatinya berangkat dari kekuatan umat dalam hal penghargaan atas keberbagaian. Keberbagaian yang menghidupi Nusantara itulah titik masuk Islamisasi. Kepiawaian Wali Sanga pada abad 15-16 Masehi ternyata telah diteruskan oleh organisasi massa yang bernama Nahdhatul `Ulama(NU) yang didirikan di Asembagus Situbondo Jawa Timur pada tahun 1926.

Imbasnya, kini anak-anak muda NU tergerak melakukan perubhan sosial di masyarakat dengan interes yang cukup tinggi dalam pemberdayaan masyarakat. Pemerdayaan tersebut juga diikuti dengan peningkatan intelektual anak muda NU di bidang pendidikan formal. Penguatan pendidikan formal merupakan sarana memahami persoalan yang trerus berkembang secara dinamis di masyarakat. Bekal itulah yang membawa NU semakin memiliki kepekaan sosial.***
.

Selasa, 04 November 2014

Kang Ayip Muh, Kenangan Itu…



Oleh Dadang Kusnandar

TEATER anak-anak yang dikelola Agus DTA dan kawan-kawan di MI dan MTs An Nur Jagasatru, suatu saat dikabarkan menerima bantuan berupa fresh money dari Unesco, lembaga kebudayaan PBB. Alkisah, Dedi Kampleng, Khumed, dan Mahmud Yahya menemui KH Syarif Muhammad Yahya. Bertiga hendak menyampaikan kabar gembira itu kepada sesepuh pondok pesantran Jagasatru Cirebon. Teater Cahaya yang menampilkan proses kreatif anak-anak Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah dan SMP/ Tsanawiyah itu tergolong kelompok teater yang memberdayakan peralatan ala kadarnya saat itu. Kabar akan datangnya bantuan dari Unesco tentu saja membanggakan, sekaligus melambungkan angan. Perlengkapan lampu pertunjukan, sound system dan sebagainya, begitu menggoda.

Bertiga di atas menyampaikan kabar itu dengan wajah sumringah. Kang Ayip Muh mengatakan, “Bagus atuh baka mengkonon”. Tentu saja ujaran singkat itu dianggap justifikasi kesetujuan sang kiai atas bantuan bagi Teater Cahaya. Namun sang kiai meneruskan dengan pertanyaan, “Kalian mengirim proposal ke Unesco?”. Sontak ketiganya menjawab, “Nggih, kang”.

Itu namanya bukan bantuan, lanjut sang kiai. Itu artinya kalian mengemis. Jadi batalkan saja. Biar saja lampu pertunjukan Teater Cahaya pake kaleng, yang penting pentasnya segar dan bisa membuat penonton ngekek. Bagai disambar petir. Ketiga pegiat Teater Cahaya itu terpaku. Dengan lidah kelu, keputusan Kang Ayip Muh diterima. Sembari menghaturkan salam, ketiganya berlalu.

Teater Cahaya di lingkungan Pesantren Jagasatru merupakan satu-satunya teater anak-anak yang hingga kini masih bertahan di Cirebon. Pentas mereka senantiasa bermula dari hal-hal kecil yang menyisipkan pesan ajaran agama Islam. Penonton menerima pesan moral itu tanpa merasa digurui anak-anak. Sebabnya ialah pesan Kang Ayip Muh di atas itu tadi, “Yang penting pentasnya segar dan bisa membuat penonton ngekek”.

Kisah yang telah berlangsung puluhan tahun itu disampaikan Dedi Kampleng, belum lama ini kepada saya di meja makan kantin At Taqwa. Kisah yang menyiratkan dan menyuratkan ketegasan seseorang untuk tegak berdiri pada kemampuan dan ketersediaan perlengkapan yang ada. Tak harus meminta karena ujarnya, tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Dengan lain perkataan jadilah diri sendiri tidak dengan membungkukkan badan di hadapan juragan atau pemilik kapital.

Pelajaran berharga yang mungkin langka di kehidupan kita. Proses saling memberi dan menerima dalam transaksi sosial ekonomi kerap berlangsung lantaran ada pihak yang mengajukan bantuan. Bantuan diberikan manakala telah ditelaah (meski tidak rinci) secara administrasi. Pihak pemberi bantuan ~karena kedudukannya sebagai tangan di atas~ biasanya berdalih, “Kami hanya membantu. Soal bagaimana penggunaannya, terserah pihak penerima”.

Bantu membantu tak pelak merupakan hal biasa. Akan tetapi di tengah masyarakat kita, masih terdapat banyak person yang enggan mengajukan diri meminta bantuan. Bukan lantaran malu atau gengsi, melainkan terpatri ajaran moral untuk tidak merendahkan diri di hadapan orang lain. Juga bukan karena tidak butuh, sikap seperti itu muncul setelah secara sadar menerima kenyataan, destiny yang digariskan Tuhan.

Lalu apakah sikap nrimo ing pandum itu dimaknakan sebagai kepasrahan total atas kesejatian diri? Pembaca budiman dapat menilai sendiri menyoal itu. Setidaknya kelemahan  secara ekonomi tidak kemudian dapat dijadikan alasan untuk menempatkan kita di koridor objek. Baik itu objek pemberian yang bersifat kemanusiaan, terlebih yang bersifat politis.

Kelebihan seseorang konon terletak pada kekuatan sikap. Konsistensi dan komitmen pada pendirian merupakan hal langka. Satu yang langka itu pernah disampaikan oleh Kang Ayip Muh seperti digambarkan di atas.

Memaknai Pesan

Ada kisah lain yang saya dengar langsung ketika jamaah pengajian beliau hendak memberi sebuah mobil. Kiai sederhana yang berkain sarung dan kopiah hitam itu suatu ketika didatangi jamaahnya. “Saya ingin memberikan mobil kepada Kang Ayip untuk memperlancar dan mempercepat kegiatan dakhwah”. Kiai  bijak itu tersenyum. “Terima kasih atas niat baik sampeyan. Tapi kalau saya menerima mobil itu, kasihan tukang becak langganan saya”.

Begitulah kisah keteguhan pendirian seseorang yang kian tak terdengar lagi di era sekarang. Pendirian untuk kokoh pada kesejatian diri. Menolak pemberian dalam konteks ini bukan berarti menolak rizki. Bayangkan sebuah mobil pada tahun 1993 diberikan begitu saja, kendati sang pemberi iklas melakukannya, namun akan tersebar ke kancah umat bahwa “harga” sang kiai berupa sebuah mobil. Artinya keteguhan sikap Kang Ayip Muh terhindar dari bahan pembicaraan buruk tentang memberi dan menerima.

Kenangan kepada Kang Ayip Muh telah lama mendekam di benak. Kenangan demi kenangan itu kadang melintas, menggapai untuk segera dimaknai. Pemaknaan yang berangkat dari kesediaan kita untuk merenungkan hal-hal yang baik untuk seterusnya diterapkan pada keseharian. Apabila kita mampu menangkap pesan indah di balik kenangan pada seseorang yang kita banggakan, terlebih lintasan kenangan itu seperti menggapai, maka itulah saatnya berbenah. Saatnya menempatkan kesejatian diri di tengah kemampuan dan ketersediaan sarana yang kita miliki.

Biarlah tutup lampu panggung Teater Cahaya itu terbuat dari kaleng, biarlah Kang Ayip Muh tetap naik becak ke mana pun pergi sekitar Kota Cirebon, dan sejumlah kisah lain yang belum tertulis mengenai beliau. Penolakan indah itu menitipkan pesan agung yang telah sama-sama kita pahami. Agaknya sesuatu yang diam-diam menjauh dari kesejatian kita antara lain mengajukan bantuan kepada pihak lain guna berbagai alasan.

Mengutip ujaran bagus KH Wahid Hasyim, “Jangan remehkan siasat sesuatu yang (tampak) lemah. Terkadang, ular ganas mati oleh racun kalajengking. Ternyata, burung Hudhud sanggup menumbangkan singgasana ratu Bulqis, dan liang tikus mampu meruntuhkan bangunan kokoh”. Ujaran bagus ini analog dengan kekuatan kita untuk senantiasa berdiri di atas kaki sendiri.


Non Partisan

BAGI kalangan Muhammadiyah, Kang Ayip Muh tetap dikenang sebagai sosok sederhana yang memiliki peran sosial cukup penting di Cirebon khususnya. Kesediaan beliau menerima tamu berbagai kalangan menjadikannya tidak saja disegani melainkan mendapatkan tempat cukup indah bagi siapa pun. Tamu beliau pun merambah kepada teman-teman politisi dan pejabat.

Ada sebuah cerita yang saya lihat langsung manakala silaturahmi ke Ponpes Jagasatru, tepatnya ke rumah beliau. Waktu itu menjelang pemilihan Walikota Cirebon. Ketika kami asik berbincang dengan tema beragam ~sesuai topik yang disampaikan tamu~ tiba-tiba datang seorang pejabat pemda lantas menyampaikan maksudnya. Pemilihan kepala daerah yang diusung partai politik merupakan moment kunjungan politisi ke kediaman Kang Ayip Muh. Beragam maksud disampaikan, beragam pula saran dan atau nasihat yang diberikan sang kiai. Lantaran beliau mahir dalam hal ilmu mantiq (diplomasi), tak mudah nasihat keluar dari lisannya. Diperjelas dahulu dan dibolak-balik pertanyaan serta pernyataan sang tamu, setelah itu barulah beliau mengatakan sesuatu.

Jawaban yang muncul pun bukan petuah, apalagi perintah, akan tetapi permintaan terhadap sang pejabat untuk merenungkan langkahnya. Saya kaget ketika tiba-tiba beliau berkata kepada pejabat tadi sambil menunjuk, “Ente, calo calon walikota”. Tak elok jika nama pejabat dimaksud saya tulis di sini. Jawaban yang menohok itu tentu saja memusingkan sang pejabat yang kini sudah pensiun. 

Padahal jikalau Kang Ayip hendak mendulang uang, masa pencalonan kepala daerah merupakan saat yang tepat. Namun beliau tidak memihak kepada siapa pun dan tidak berdiri pada sebuah partai politik mana pun. Sekali pun Alwy Shihab, waktu itu menjabat Menteri Luar Negeri singgah ke pondok pesantrennya. Beberapa tamu pejabat Indonesia yang berkunjung kepada beliau, menunjukkan hubungan personal yang terjalin baik sehingga Kang Ayip dipercaya sebagai salah satu tempat bertanya.

Bertandang ke rumah beliau bagi penulis dan teman-teman membuat rasa nyaman. Mungkin karena ketulusan menerima tamu tanpa melihat apakah dia seorang penjudi, pemabuk, ustadz, orang kampung yang lugu, pemuda, pejabat dan segala profesi. Sikap tulus yang terpancar dari wajah bersihnya membuat kami betah berlama-lama duduk bersila di hamparan tikar di ruang tamunya.

Selasa menjelang Magrib 26 Desember 2006, Kang Ayip Muh wafat. Dalam waktu yang singkat, awan kesedihan menggelayuti Cirebon dan sekitarnya, kabar ini terhitung mengejutkan karena beberapa hari sebelumnya kesehatan beliau terpantau sehat, Ahad sebelumnya masih mengisi majelis Ta’lim seperti biasa, siangnya masih menghadiri acara dari parpol Islam, bahkan sorenya masih menerima tamu.  Abdul Qodir, demikianlah Ayah beliau memberikan nama sewaktu kecil, saat lahir 15 Juli 1932.***


(Catatan: Tulisan ini telah diterbitkan Harian Umum Fajar Cirebon pada Oktober 2014 dan diperpanjang pada bagian Non Partisan)

Selasa, 21 Oktober 2014

Buruk Muka Kampus Dibelah



Oleh Dadang Kusnandar

Penulis lepas, tinggal di Cirebon

KORUPSI, kata yang menakutkan bagi kalangan pengguna keuangan. Kata itu pula mengundang rasa ketidaknyamanan manakala disematkan kepada diri seseorang.  Aktivis politik tiba-tiba dikenai pasal korupsi, lalu publikasi meluas dan ia dihadapkan sebagai saksi, tersangka, terdakwa di pengadilan. Sanksi hukum pun harus ia terima, meski kerap merasa bahwa dirinya bukan koruptor, serta stigma koruptor padanya tak lebih dari sebuah proses politik yang cukup panjang.

Siapa pun orangnya dan apa pun jabatannya ketika terjerat kasus korupsi akan berkelit semampu mungkin untuk bisa lepas dari konsekuensi hukum. Di samping tentu pula menyangkut nama baik  yang tercoreng, runtuhnya kredibilitas dan kepercayaan publik. Rasa malu akhirnya datang ketika secara hukum positif ia ketahuan melakukan tindak korupsi. Yang paling berat ialah rasa malu kepada lembaga atau institusi tempat mengabdi.

Jika korupsi melanda ke dunia pendidikan, apa yang diharapkan kelak bagi lembaga penting sebagai pencetak generasi unggulan itu? Itu sebabnya menyangkut IAIN Syekh Nurjati Cirebon, “kabinet” ke depan harus mempunyai komitmen memberantas korupsi. Pelaporan semua aset kampus ke Kas Negara, sebagaimana dilakukan Rektor IAIN SNJ, mungkin saja positif bagi pemberantasan korupsi. Kepengurusan ke depan IAIN SNJ pun harus memiliki komitmen yang kuat terhadap bidang akademik. Ini penting mengingat masih adanya suara-suara negatif terhadap perilaku akademik beberapa dosen senior, bahkan guru besar. Kampus harus terbebas dari politisasi yang diam-diam dilakukan oleh civitas academicanya sendiri.


Masa depan kampus negeri satu-satunya (hingga saat ini) di Cirebon juga ditentukan oleh komitmen kerja yang unggul. Dalam arti seluruh elemen yang terkait dalam aktivitas intelektual itu mampu memperlihatkan kerja yang optimal sehingga mampu menaikkan gengsi kampus. Kerja unggul dengan hasil kerja unggulan sangat mungkin bagi iklim kondusif peningkatan kualitas pendidikan tinggi tersebut. Kerja unggul yang berangkat dari kepentingan lembaga, tak urung mesti disertai dengan dedikasi, etos kerja, maupun integritas intelektual para penghuninya ~di dalamnya termuat etika intelektual.

Korupsi yang melanda aktivitis politik boleh dikata hal biasa lantaran sejak diundangkannya pemberantasan korupsi, negara yang bersih dari tindakan korupsi-kolusi-nepostisme (KKN), didirikannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), negeri kita memasuki fase cukup bagus dalam hal “pengamanan” keuangan negara. Sebaliknya korupsi yang menerpa dunia pendidikan merupakan sebuah kegagalan teramat besar sehingga tidak saja melahirkan ketidakpercayaan masyarakat. Korupsi pada dunia pendidikan harus segera diselesaikan secara tuntas dan menyeluruh, dan terhindar dari pepatah: Buruk Muka Cermin Dibelah.

Jargon KPK yang popular, “Kalau Bersih Kenapa Risih”, menitipkan pesan moral yang kuat. Betapa pun hantaman pihak dalam dan luar yang dialamatkan kepada setiap orang yang ditengarai melakukan tindak korupsi, agar tidak merasa risih. Kelak peradilan lah yang membuktikan apakah ia memang seorang koruptor atau pihak yang terkena hasutan sampai diproses sebagaimana layaknya. Koruptor atau bukan sangat tergantung pada keputusan pengadilan.

Dengan demikian kampus harus bersih supaya tidak risih. Bersih dari carut marut yang memungkinkan munculnya pertikaian internal. Bersih yang lain ialah bersih dari tindakan koruptif yang memicu kuatnya pertikaian sampai melupakan tugas utamanya, yakni mendidik generasi muda supaya memiliki pemahaman yang terintegrasi dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pertama Pendidikan, kedua Penelitian dan Pengembangan, ketiga Pengabdian Masyarakat.

Perguruan tinggi juga dapat mengembangkan model pembangunan yang benar-benar berbasis pada keilmuan dan sumberdaya lokal dalam kerangka sistem nilai budaya bangsa, membangun basis-basis pengembangan keilmuan yang benar-benar relevan dengan kebutuhan masyarakat dalam rangka merespon perubahan global yang sangat dinamis, mengembangkan pusat-pusat pengembangan masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya dan nilai-nilai lokal yang ada, membantu pengembangan kebijakan strategis terhadap legislatif dan eksekutif serta mengontrol implementasi kebijakan-kebijakan tersebut. Perguruan tinggi juga dapat berperan dalam mengembangkan strategi kebudayaan, hal tersebut sangat diperlukan dalam membangun peradaban bangsa, terutama untuk membangun nilai-nilai yang sejalan dengan kemajemukan bangsa agar keberagaman diterima sebagai sebuah kekayaan dan tidak dipertentangkan. Pembangunan peradaban itu sendiri perlu berbasis pada nilai etika dan nilai budaya yang sudah melekat dalam jari diri bangsa.

Apa yang bakal terjadi apabila kampus sibuk dengan masalah internal yang tidak produktif. Dan dapatkah Tri Dharma Perguruan Tinggi terwujud seandainya rektor, pembantu rektor, dekan, dosen senior, guru besar, petugas administrasi kampus terus bertikai melakukan pembenaran atas apa yang telah dilakukannya selama ia menjalankan tugas intelektualnya? Pembenaran yang bertolak belakang dengan kerja unggul demi menciptakan perguruan tinggi yang unggul serta menjadi contoh perguruan tinggi di sekitarnya. Sebagai satu-satunya PTN di wilayah Cirebon, seharusnya IAIN SNJ memberikan teladan yang baik dalam hal pengelolaan kampus.


Sengkurat kasus yang menimpa lembaga pendidikan tinggi negeri di wilayah Cirebon semoga menjadikan kita kian bijak bahwa membangun kekuatan lembaga dengan segenap daya dukung yang dimiliki akademisinya adalah jauh lebih penting daripada membangun diri atas nama lembaga. Membangun diri hanya berdampak pada diri sendiri dan orang terdekat yang mengitarinya, sementara membangun lembaga akan berdampak langsung bagi seluruh civitas academica yang tergabung di dalam lembaga itu.

Satu hal yang mesti diingat pula ialah pentingnya menjaga wibawa kampus. Kewibawaan yang antara lain ditunjukan oleh keinganan kuat menyelesaikan masalah internal tanpa melibatkan pihak eksternal. Artinya semakin sering pembahasan buruk menyoal kampus melalui publikasi media cetak elektronik, pada satu sisi menampilkan wajah buram yang buruk rupa. Sisi buruk itu terjadi mengikuti pepatah lama yang telah dianjarkan para orang tua kita, menepuk air di dulang terpecik muka sendiri. Dengan perkataan lain, insan pendidikan yang memiliki niat kuat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, marilah beranjak dari diri sendiri untuk menyelesaikan segala permasalahan internal dengan menepis dendam dan kesumat.***