Jumat, 16 Februari 2018

Bantaran Sungai




BANGUNAN di atas bantaran sungai merupakan pemandangan teramat biasa di Indonesia. Hampir di setiap kota/ kabupaten dengan mudah kita dapati deretan bangunan di bantaran sungai/ kali. Terlebih jikalau letak geografis kali/ sungai tersebut “menguntungkan” secara ekonomi. Dari berbagai penjuru, pedagang berdatangan lalu mendirikan bangunan semi permanen hanya untuk berjualan.

Lambat laun manakala keuntungan perniagaan itu dianggap cukup, bangunan semi permanen itu ditingkatkan kualitasnya. Semen, pasir dan bata mulai bekerja.

Adanya pertumbuhan pendapatan kaum pedagang (urban) di atas bantaran kali itu memungkinkan ia mengajak sanak keluarga untuk ikut serta mengadu nasib di kota. Berbekal keberanian dan tekad mengubah nasib, semakin banyak jumlah pedagang di atas bantaran kali. Mereka pun tidur di bangunan itu. Mereka pun bahkan membawa serta anak istri.

Apa jadinya? Bantaran kali kian sesak oleh bangunan. Kali menyempit. Para pedagang itu membuang sampah serampangan karena di belakang bangunan tersedia kali. Akibat lain tentu saja kota kehilangan sungai. Kehilangan penampung air untuk mengalirkan ke laut. Di samping itu, potensi banjir mengancam.

Pemerintah DKI Jaya ketika dipimpin Ahok tergolong berhasil mengatasi masalah pemindahan penduduk dari bantaran kali ke rusunawa. Sudah menjadi rahasia umum, menghadapi wong cilik tidak mudah. Sikap reaktif menjadi kebiasaan keseharian lantaran beratnya tantangan hidup di kota.

Keberhasilan mengatasi bangunan di atas bantaran kali sebagaimana dilakukan pemda DKI seharusnya menjadi contoh pemda-pemda lain. Penyelesaian tanpa kekerasan dan saling menguntungkan kedua pihak. Pemda bisa mengembalikan fungsi kali/ sungai ke asalnya, sementara para pendiri bangunan di atas bantaran sungai memiliki rumah sebagai kompensasi.

Sebenarnya pemda tidak  harus memberi kompensasi apa pun. Akan tetapi faktor kemanusiaan mengemuka di sini.
Ketika berhadapan dengan masalah bangunan di atas bantaran kali,  pemda dihadapkan pada dilema. Membiarkan berarti menyalahi peruntukkan bantaran sungai dan menindak berarti berhadapan dengan para jawara, serta diklaim sebagai kesewengan penguasa.

Pemda dan pendiri bangunan di atas bantaran kali pun sama-sama berpikir dalam kerangka subjektif. Berkali operasi penertiban dilakukan, berkali pula muncul ketaksepahaman. Ada kalanya ketaksepahaman itu berujung pada sikap kurang bersahabat, antara lain saling menyalahkan. Lalu kapan masalah ini selesai apabila semua pihak terkait merasa benar dengan asumsinya sendiri?

Menyimak Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang dengan mensyaratkan 70 persen digunakan untuk bangunan dan 30 persen untuk lahan hijau/ lahan publik, pemda setempat menjabarkan UU tersebut di atas dengan mengesahkan peraturan daerah (perda). Perda itu diantaranya mengatur tentang pelarangan bagi setiap orang/ warga untuk melakukan usaha pada tempat-tempat yang bukan peruntukkan usaha (di atas trotoar, di atas bantaran sungai, saluran drainase, jalur hijau, badan jalan, lapangan baik sementara atau pun tetap). Perda berkekuatan hukum itu susah
direalisasikan. Perda itu seperti halnya UU No. 26/ 2007 tentang ruang hijau terbuka selalu menjadi problem tetap pemda se-Indonesia.

Berharap adanya penyelesaian kedua pihak, yakni pemda dengan para pendiri bangunan di atas bantaran sungai/ kali, tanpa mengundang masalah baru yang lebih besar, kiranya pemda harus mampu menjadi bapak yang menggembirakan anak-anaknya, bukan memanjakan anak-anaknya. Bapak yang mengayomi anak-anaknya, meskipun terkadang anak-anaknya menjadi nakal. Anak-anak nakal itu pada musim politik adalah anak-anak potensial demi keberhasilan keinginan politik Sang Bapak.

Proses penyelesaian pendiri bangunan di atas bantaran kali/ sungai sejatinya dapat dimediasi oleh bantuan pemda yang telah berhasil melaksanakan UU No. 26 Tahun 2007, pemda Surabaya umpamanya.
Pemda dan DPRD  dituntut kerja keras menyelesaikan problem rutin yang boleh dikata tidak terselesaikan serta selalu muncul pada tiap perioda kepemimpinan. Satu probem yang mengemuka kini ialah bangunan di atas bantaran kali. Jikalau pemda  berhasil melaksanakan amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Ruang Hijau Terbuka, tanpa kekerasan,  berarti pemda tersebut telah melaksanakan tugasnya secara baik. Keberhasilan tadi kelak akan menjadi contoh dan referensi proses penyelesaian dengan kaum urban. Dan akan lebih bermakna lagi apabila disertai kebijakan politik dengan menyediakan lapangan kerja sehingga kaum urban yang memadati kota tidak menjadi penghuni tetap di atas bantaran kali/ sungai.***





Selasa, 13 Februari 2018

Kartu Lebaran



SAMPAI dengan sekitar awal tahun 2000, kita masih memperoleh kartu lebaran. Baik dari teman, kerabat atau saudara. Saat memperoleh kartu lebaran yang terkirim melalui pak pos  berkendaraan sepeda motor warna oranye, kegembiraan terpancar dari wajah sang penerima. Sambil mengucapkan terima kasih kepada pak pos, kartu lebaran itu diperlihatkan kepada teman dan atau saudara. Semakin banyak memperoleh kiriman kartu lebaran menunjukkan bahwa kita punya banyak teman.

Kartu lebaran bergambar masjid disertai kaligrafi bahasa Arab bertuliskan Taqabalallahu mina wa minkum. Taqabal ya karim, bergambar ketupat, beduk, anak lelaki bersarung plus kopiah dan perempuan berbusana muslim. Sepertinya mewakili ketidakhadiran fisik pada tanggal 1 Syawal. Entah karena jarak yang jauh atau kendala lain, misalnya keenganan menemui teman-kerabat-saudara lantaran keterbatasan waktu. Atau mungkin karena kartu lebaran dianggap cukup efektif untuk memohon maaf dan saling memaafkan. Itu sebabnya ada tradisi saling bertukar kartu lebaran.

Di Jalan Kesambi Kota Cirebon ada sebuah toko yang menjual aneka kartu lebaran, Toko Jago namanya (sampai sekarang toko ini masih ada). Di Jalan Lawanggada Toko Milik dan Toko Mulus juga menjual kartu lebaran. Kedua toko itu sudah lama gulung tikar dan berganti owner. Di Jalan Pulasaren ada Toko Kita yang menyediakan kartu lebaran. Begitu pula semua toko buku di Kota Cirebon: TB Dasco di Jalan Pagongan, TB Setia di Jalan Pasuketan, TB Attamimi di Jalan Panjunan, Toko Lima di Jalan Pasuketan dan lain-lain tak urung menjual kartu lebaran.

Keberadaan kartu lebaran mengundang kreativitas anak muda yang pandai menggambar. Bermodal kertas jeruk atau kertas asturo, cryon, pastel,  pinsil warna, tinta bak/ tinta Cina dan pena runcing, spidol dan media pewarna lainnya ~anak muda yang pandai menggambar menjual kartu lebaran. Baik kepada teman-temannya sendiri dari rumah ke rumah,  maupun membuka lapak meja kecil di trotoar, malah ada yang menggelar penjualan kartu lebaran di pinggir jalan secara menggelar plastik lipat.

Ingat kartu lebaran bagai mengingat kembali ketika di beberapa super market/ toserba di Kota Cirebon menyediakan kartu lebaran dalam jumlah banyak (produk cetak) di dalam boks yang mudah terlihat konsumen. Ingat kartu lebaran juga mengingat kreativitas para pekerja percetakan.
Kartu lebaran akhirnya kalah saing oleh hand phone sekitar tahun 1998. Layanan pesan pendek/ small message service (sms) menggusur peran kartu lebaran. Setidaknya mengurangi kuota produksi dan penjualan kartu lebaran.

Seorang teman berujar, “Isun sih bli kiyeng mbales sms Selamat Idul Fitri. Bli sopan. Rayaan ya kudu teka. Marek”, ketika hand phone belum begitu mewabah seperti saat ini. Namun kini dia menjadi pengguna hp yang aktif berselancar di media sosial mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin, dan di bawahnya mencantumkan nama saat berkirim sms.

Kartu lebaran masih ada hingga kini dan biasanya cukup banyak tersebar di kalangan instansi. Akan tetapi tidak untuk masyarakat banyak. Bagaimana pun keberadaan kartu lebaran menunjukkan pentingnya saling memaafkan atas segala hilap dan salah antarsesama muslim. Sengaja atau tidak kata maaf harus terucap/ tertulis. []

Oo dan Encim

ENTAH kenapa panggilan kepada masyarakat Tionghoa tak jauh dari Oo dan Encim. Ada kalanya juga dipanggil Taci atau Babah. 

Empat julukan yang akrab di sebagian besar masyarakat terhadap etnis Tionghoa biasanya berlangsung akibat transaksi jual beli. Sebagaimana diketahui keturunan etnis Tionghoa pada umumnya piawai berniaga.

Sejak kecil saya mengenal etnis Tionghoa. Berawal dari tetangga dekat rumah yang selalu mengirim dodol menjelang imlek. Encim tetangga saya itu (meski tidak diketahui namanya) menyuruh cucunya mengirimkan dodol. Tetapi soal dodol imlek yang dibagikan ke tetangga terdekat itu telah berlalu. Tahun 1980 (kalau tak salah ingat) encim itu meninggal dunia.

Pengenalan terhadap etnis Tionghoa pun didukung oleh ayahanda yang berjualan kain untuk penghasilan tambahan. Kain itu diperoleh dari grosir Toko Anatex di Pasar Balong sebelum ada mal di sana.

Bukan kebetulan bila lingkungan tempat tinggal saya dihuni cukup banyak oleh etnis Tionghoa. Konon kata teman sepermainan kecil, kampung Warnasari Kelurahan Kesambi cukup memberi hoki bagi warga keturunan etnis Tionghoa. Dua nama yang masih teringat ialah Babah Kolim di Jalan Kesambi Dalam dan Babah 52 di Jalan Kartini.

Pengenalan lain tentang Tionghoa banyak diperoleh melalui tontonan film-film kungfu dan silat Mandarin di bioskop era 1970 - 1980 an, selain melalui kitab silat yang kadang dibumbui fiksi sejarah. Kitab itu sangat terkenal sehingga banyak yang kehilangan setelah Asmaraman S. Kho Ping Ho meninggal dunia di Surakarta.

Pengenalan atas budaya Tionghoa pun akhirnya diperoleh secara langsung dengan beberapa musabab. Umumnya bersifat transaksi dagang dan hanya sedikit yang berangkat dari sebab lain. Itu sebabnya ketika beberapa orang Tionghoa tampil di arena politik nasional fakta ini menjelaskan kebhinekaan yang patut disyukuri. Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama agaknya paling menonjol dalam hal ini.

Oo dan Encim atau apa pun julukannya menandakan bahwa Cirebon sebagai kota tujuan kaum urban (segala etnis dan sub etnis) harus bisa mempertahankan keberbagaian budaya. Dengan kata lain kehadiran etnis mana pun merupakan berkah bagi NKRI. Banyak sisi positif yang dapat diambil dari persilangan budaya antaretnis.

IMLEK tahun 2018 ini khususnya di Cirebon semoga mampu menghapus sentimen yang tidak berdasar tethadap etnis Tionghoa. Justru kebangkitan RRC ada baiknya dirujuk pemerintah RI, terutama dalam hal penguatan akar budaya dan etos kerja masyarakatnya.@

Kamis, 08 Februari 2018

Dokmong

FOLKLORE atau cerita rakyat di Cirebon salah satu bentuknya bernama dokmong, dodok bari ngomong. Dokmong bisa pula diartikan monolog yang dilakukan seorang dalang wayang.

Pada pentas dokmong itu dalang merangkap sebagai panjak (pencerita), sinden dan nayaga (penabuh alat musik). Cerita yang dituturkan dalang umumnya berupa nasihat kehidupan. Menurut filolog Dr. Rafan Hasyim, M.Hum dalang dokmong pun menceritakan masa sebelum dunia diciptakan Tuhan.

Kadang sang dalang berkisah mengenai Yajuz Majuz, jaman para nabi, juga kehidupan ukhrawi. Akan tetapi bila audince didominasi anak-anak maka dalang mengisahkan fabel (dunia hewan). Referensi Dokmong diperoleh dari kitab Babad Jaman. Boleh jadi dalang dokmong tidak lain adalah penganut tarekat Satariyah.

Hingga tahun 1970-an di Cirebon Dokmong masih terlihat pada hajatan/ kenduri dan mider/ bebarang. Tahun 1980-an dokmong tinggal istilah. Bahkan ada kesalahpahaman mengenai dokmong yang seakan-akan hanya duduk dan ngobrol saja pada sebuah hajatan, alias tidak nanggap apa pun.

Dokmong dikaitkan dengan pilkada 2018  terlihat pada perjumpaan bakal calon kepala daerah dengan calon pemilih. Duduk manis, menyebar senyum, penuh perhatian seakan menjadi pendengar yang baik atas keluhan masyarakat, lalu dia ngomong.

Yang diomongkan tentu saja janji apabila ia terpilih sebagai kepala daerah. Apakah janji itu akan direalisasikan atau benar-benar dokmong, semuanya kembali kepada pribadi sang bakal calon.

Dokmong dulu dan kini berbeda pada dua hal. Dokmong terdahulu dituturkan oleh dalang yang seorang sufi. Dokmong sekarang dituturkan calon kepala daerah yang lebih sering ingkar janji daripada menepati janji.@