Sabtu, 02 Agustus 2014

Air Kolam Itu



Oleh Dadang Kusnandar

Penulis lepas, tinggal di Cirebon

Alkisah, seseorang melaksanakan perintah puasa dengan tujuan kekebalan dan atau kesaktian lain pernah digunakan oleh kaum muslim Indonesia tatkala berperang melawan Kompeni. Berbincang dengan seorang tokoh Nahdathul `Ulama Cirebon yang pernah mondok di pesantren yang didirikan oleh KH Jazuli Malawi, belum lama ini, saya justru memperoleh pengetahuan baru tentang do`a dan karomah kiai.(Tentang Kiai Jazuli Malawi, ini link-nya  http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,13858-lang,id-c,warta-t,Masjid+Al+Kurdi+Masih+Kokoh+Meski+Tua-.phpx). Memang bukan puasa yang diceritakan sang tokoh, akan tetapi tradisi Jawa dalam kaitan dengan puasa tak pelak membuahkan apa yang kita tuju. 

Sang tokoh bercerita, pada peristiwa G30S/PKI 1965, Kiai Jazuli Malawi membacakan do`a, di tangan kanan segelas air putih tergenggam, usai berdo`a ditiuplah air di dalam gelas itu. Tak lama sesudah itu, air tadi dilemparkan ke dalam kolam di depan pondok. Para santrinya disuruh mandi, menyelam dan minum air kolam yang keruh itu. Usai melakukan “seremoni” itu, seorang santri diangkat tubuhnya oleh sang kiai lantas dilemparkan ke udara melintas ketinggian pohon. Lalu terjatuh dan badan santri tadi menimpa batu besar. Ternyata ia tidak luka serta tidak berdarah setetes pun. Tidak ada tulangnya yang retak dan sebagainya. Ia bagai tidak merasakan apa-apa.

Kiai mendekat lalu bertanya, “Sakit boten, cung?” (Sakitkah, anakku?)
“Boten, Mama Yai. (Tidak Kiai)”, jawab santri.
“Mangkat sira. Perang.(Pergilah kamu. Berperang.)”, sambung sang kiai.

Saya menyanggah cerita itu dengan bertanya, “Apakah kisah ini dilebih-lebihkan?”. Spontan ia menjawab, “Saya saksinya dan saya termasuk santri yang minum air kolam keruh itu. Saya ikut memerangi kekejaman PKI waktu itu. Sedikit pun tidak ada rasa takut berhadapan dengan musuh mana pun”, katanya mantap. Puasa dan kesaktian mungkin saja dibenarkan untuk suatu alasan yang lebih banyak manfshadatnya dibanding mudharatnya, terlebih jika untuk mempertahankan harga diri bangsa (misalnya merebut dan mempertahankan kemerdekaan) maupun untuk membela ghirah agama Islam.

Masjid Al Kurdi di Desa Karangmalang Kecamatan Ketanggungan Brebes, Jawa Tengah di tahun 1960-an itu merupakan mesjid utama pesantren yang dihuni tokoh NU yang berbincang dengan saya pada sebuah malam Ramadhan 1435 Hijriyah/ 2014 Masehi. Konon ketika itu santrinya mencapai jumlah 700-an dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia. 

Mungkin lantaran sang tokoh NU itu adalah seorang jawara pada masanya, maka ia lebih asik bercerita tentang “kesaktian”, tentang karomah kiai dan hal-hal seputar mujarabnya do`a para aulia kepada Allah swt.  Do`a yang terijabah salah satunya ialah do`a yang dipanjatkan oleh orang-orang yang dekat dengan Allah swt, yang selalu mendekatkankan diri kepadanya, sehingga istilah taqarub ilallah merupakan sebuah ajaran keimanan untuk menguatkan tauhid. Itulah yang dikisahkan kang Amin di kediamannya. 

Lelaki berusia sekira mendekati angka 70 tahun itu bertutur banyak tentang pertikaian NU vs PKI. Tentang pembantaian orang PKI yang diakuinya, meski sesaat sebelum eksekusi dilakukan, santri-santri NU bertanya terlebih dahulu. “Ayo ucapkan syahadat”, katanya. Orang PKI yang mengucapkan dua kalimat syahadat batal/ urung dieksekusi. Tetapi entah kenapa, ujarnya, kebanyakan mereka berkata, “Hidup PKI!” Tak lama kemudian, orang PKI itu pun (maaf, pen.) disembelih karena ketiadaan bedil dan pistol. 

Soal kesaktian para aulia (orang-orang suci)  saat berlangsungnya konflik horisontal atas nama ideologi dan agama, untuk saya cukup menarik. Kekuatan dan kemampuan berolah fisik diamanatkan oleh hadist Nabi saw yang menerangkan bahwa laki-laki harus bisa memanah, berkuda, dan berenang. Tiga hal yang dielaborasikan sebagai syarat pertama untuk maju ke medan perang di masa Nabi Muhammad saw dan para sahabat. Itu sebabnya tradisi Jawa yang dipertahankan manakala ajaran Islam masuk menjadi mediasi ketersebaran agama yang dibawa melalui pendekatan budaya.

Dia bertutur tentang seorang PKI yang sakti, di Brebes Jawa Tengah. Tidak mempan dikenai senjata tajam, bahkan dengan benda keras maupun dikubur hidup-hidup. Ia menantang kiai, “Ayo pateni isun (ayo, bunuhlah saya)”, katanya. Seorang kiai pesantren Limbangan pun akhirnya melaksanakan shalat, bermunajat kepada Allah swt minta diberikan petunjuk untuk memusnahkan sang PKI sakti itu. Akhirnya setelah dilinggis (dipukul menggunakan linggis) mulut sang PKI dikuak lantas sebatang rumput ditarik keluar masuk mulutnya, sang sakti itu pun meninggal dunia.

Saya agak merinding juga mendengar perseteruan NU vs PKI yang dikisahkan Kang Amin Muhaimin. Betapa politik yang begitu dahsyat mampu mengembangkan sayapnya ke sektor agama dan ideologi. Begitu kuat politik menyihir penganut agama dan penganut ideologi untuk saling mengklaim kebenaran diri. Semuanya bertaruh atas nama kepentingan. Atas nama perintah. Kelompok agama mengaku mendapat perintah Tuhan, sementara penganut ideologi mengaku mendapat perintah organisasi/ lembaga. Fakta dan data G30S/PKI di Indonesia  terlalu banyak  variannya, sehingga kekaburan sejarah itu lebih mengemuka daripada kejernihan kisahnya.

Saking kuatnya sihir politik itu, konon jikalau PKI memenangkan kudeta 1965 maka akan ada peraturan tentang anak-anak yang khusus dipelihara oleh negara sejak bayi. Menurut Kang Amin, jika seorang ibu melahirkan anak saat itu juga anaknya dipisahkan dengan orang tuanya. “Jadi sira kuh Jo (ia menunjuk kepada Johandi, teman baik saya) tugase mung macek bae. Toli anak sira dipasrahnang ning lembaga”. Sang anak  menjadi tanggungan degara dan didoktrin sebagai seorang komunis. Orang tua dan anak tidak saling mengenal. Mungkin saja di antara anak dan orang tua kandung akan terjadi pernikahan.
“Jangankan bicara birrul walidaini (hormat kepada orang tua), bahkan pendidikan anak sejak dalam buaian pasti sulit  karena tidak saling berjumpa. Dan celakanya, ini by design oleh negara.” Negara, dalam arti apabila pemberontakan G30S/PKI di tahun 1965 itu menang dan mengganti ideologi negara menjadi komunis. ***