Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal
di Cirebon
Alkisah, seseorang melaksanakan perintah puasa dengan tujuan
kekebalan dan atau kesaktian lain pernah digunakan oleh kaum muslim Indonesia
tatkala berperang melawan Kompeni. Berbincang dengan seorang tokoh Nahdathul `Ulama
Cirebon yang pernah mondok di pesantren yang didirikan oleh KH Jazuli Malawi,
belum lama ini, saya justru memperoleh pengetahuan baru tentang do`a dan
karomah kiai.(Tentang Kiai Jazuli Malawi, ini link-nya http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,13858-lang,id-c,warta-t,Masjid+Al+Kurdi+Masih+Kokoh+Meski+Tua-.phpx).
Memang bukan puasa yang diceritakan sang tokoh, akan tetapi tradisi Jawa dalam
kaitan dengan puasa tak pelak membuahkan apa yang kita tuju.
Sang tokoh bercerita, pada peristiwa G30S/PKI 1965, Kiai
Jazuli Malawi membacakan do`a, di tangan kanan segelas air putih tergenggam,
usai berdo`a ditiuplah air di dalam gelas itu. Tak lama sesudah itu, air tadi
dilemparkan ke dalam kolam di depan pondok. Para santrinya disuruh mandi,
menyelam dan minum air kolam yang keruh itu. Usai melakukan “seremoni” itu,
seorang santri diangkat tubuhnya oleh sang kiai lantas dilemparkan ke udara
melintas ketinggian pohon. Lalu terjatuh dan badan santri tadi menimpa batu
besar. Ternyata ia tidak luka serta tidak berdarah setetes pun.
Tidak ada tulangnya yang retak dan sebagainya. Ia bagai tidak merasakan
apa-apa.
Kiai mendekat lalu bertanya, “Sakit boten, cung?” (Sakitkah, anakku?)
“Boten, Mama Yai. (Tidak
Kiai)”, jawab santri.
“Mangkat sira. Perang.(Pergilah
kamu. Berperang.)”, sambung sang kiai.
Saya menyanggah cerita itu dengan bertanya, “Apakah kisah ini dilebih-lebihkan?”. Spontan ia menjawab, “Saya saksinya dan saya termasuk santri yang minum air kolam keruh itu. Saya ikut memerangi kekejaman PKI waktu itu. Sedikit pun tidak ada rasa takut berhadapan dengan musuh mana pun”, katanya mantap. Puasa dan kesaktian mungkin saja dibenarkan untuk suatu alasan yang lebih banyak manfshadatnya dibanding mudharatnya, terlebih jika untuk mempertahankan harga diri bangsa (misalnya merebut dan mempertahankan kemerdekaan) maupun untuk membela ghirah agama Islam.
Masjid Al Kurdi di Desa Karangmalang Kecamatan Ketanggungan
Brebes, Jawa Tengah di tahun 1960-an itu merupakan mesjid utama pesantren yang
dihuni tokoh NU yang berbincang dengan saya pada sebuah malam Ramadhan 1435
Hijriyah/ 2014 Masehi. Konon ketika itu santrinya mencapai jumlah 700-an dan
berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Mungkin lantaran sang tokoh NU itu adalah seorang jawara
pada masanya, maka ia lebih asik bercerita tentang “kesaktian”, tentang karomah
kiai dan hal-hal seputar mujarabnya do`a para aulia kepada Allah swt. Do`a
yang terijabah salah satunya ialah do`a yang dipanjatkan oleh orang-orang yang
dekat dengan Allah swt, yang selalu mendekatkankan diri kepadanya, sehingga
istilah taqarub ilallah merupakan
sebuah ajaran keimanan untuk menguatkan tauhid. Itulah yang dikisahkan kang
Amin di kediamannya.
Lelaki berusia sekira mendekati angka 70 tahun itu bertutur
banyak tentang pertikaian NU vs PKI. Tentang pembantaian orang PKI yang
diakuinya, meski sesaat sebelum eksekusi dilakukan, santri-santri NU bertanya
terlebih dahulu. “Ayo ucapkan syahadat”,
katanya. Orang PKI yang mengucapkan dua kalimat syahadat batal/ urung
dieksekusi. Tetapi entah kenapa, ujarnya, kebanyakan mereka berkata, “Hidup
PKI!” Tak lama kemudian, orang PKI itu pun (maaf,
pen.) disembelih karena ketiadaan bedil dan pistol.
Soal kesaktian para aulia
(orang-orang suci) saat berlangsungnya
konflik horisontal atas nama ideologi dan agama, untuk saya cukup menarik.
Kekuatan dan kemampuan berolah fisik diamanatkan oleh hadist Nabi saw yang
menerangkan bahwa laki-laki harus bisa memanah, berkuda, dan berenang. Tiga hal
yang dielaborasikan sebagai syarat pertama untuk maju ke medan perang di masa
Nabi Muhammad saw dan para sahabat. Itu sebabnya tradisi Jawa yang
dipertahankan manakala ajaran Islam masuk menjadi mediasi ketersebaran agama
yang dibawa melalui pendekatan budaya.
Dia bertutur tentang seorang PKI yang sakti, di Brebes Jawa
Tengah. Tidak mempan dikenai senjata tajam, bahkan dengan benda keras maupun dikubur
hidup-hidup. Ia menantang kiai, “Ayo
pateni isun (ayo, bunuhlah saya)”, katanya. Seorang kiai pesantren
Limbangan pun akhirnya melaksanakan shalat, bermunajat kepada Allah swt minta
diberikan petunjuk untuk memusnahkan sang PKI sakti itu. Akhirnya setelah dilinggis (dipukul menggunakan linggis)
mulut sang PKI dikuak lantas sebatang rumput ditarik keluar masuk mulutnya,
sang sakti itu pun meninggal dunia.
Saya agak merinding juga mendengar perseteruan NU vs PKI
yang dikisahkan Kang Amin Muhaimin. Betapa politik yang begitu dahsyat mampu
mengembangkan sayapnya ke sektor agama dan ideologi. Begitu kuat politik
menyihir penganut agama dan penganut ideologi untuk saling mengklaim kebenaran
diri. Semuanya bertaruh atas nama kepentingan. Atas nama perintah. Kelompok
agama mengaku mendapat perintah Tuhan, sementara penganut ideologi mengaku
mendapat perintah organisasi/ lembaga. Fakta dan data G30S/PKI di
Indonesia terlalu banyak variannya, sehingga kekaburan sejarah itu
lebih mengemuka daripada kejernihan kisahnya.
Saking kuatnya sihir politik itu, konon jikalau PKI
memenangkan kudeta 1965 maka akan ada peraturan tentang anak-anak yang khusus
dipelihara oleh negara sejak bayi. Menurut Kang Amin, jika seorang ibu
melahirkan anak saat itu juga anaknya dipisahkan dengan orang tuanya. “Jadi sira kuh Jo (ia menunjuk kepada
Johandi, teman baik saya) tugase mung
macek bae. Toli anak sira dipasrahnang ning lembaga”. Sang anak menjadi tanggungan degara dan didoktrin
sebagai seorang komunis. Orang tua dan anak tidak saling mengenal. Mungkin saja
di antara anak dan orang tua kandung akan terjadi pernikahan.
“Jangankan bicara birrul
walidaini (hormat kepada orang tua), bahkan pendidikan anak sejak dalam
buaian pasti sulit karena tidak saling
berjumpa. Dan celakanya, ini by design
oleh negara.” Negara, dalam arti apabila pemberontakan G30S/PKI di tahun 1965
itu menang dan mengganti ideologi negara menjadi komunis. ***