Kamis, 20 September 2012
Rubrik Aspirasi Halaman 8
Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal
di Cirebon
PENGENALAN saya kali pertama tentang Nahdathul `Ulama (NU)
ialah ketika ayahanda (alm) membeli buku berjudul Guruku Orang-orang Pesantren. Berbalut cover warna hijau khas NU, buku
400-an halaman itu cukup memberi pengetahuan awal mengenai organisasi besar
yang didirikan di Jombang Jawa Timur tahun 1926. Membaca otobiografi KH Saifuddin Zuhri yang kali pertama
diterbitkan oleh Penerbit Al-Ma’arif Bandung, pada tahun 1974 itu merupakan
titik kontak pertama yang menyenangkan. Menyenangkan mengetahui kisah hidup
ulama besar, menyenangkan mengetahui kehidupan pondok pesantren, juga
menyenangkan mengetahui NU. Kini buku bagus yang enak dibaca tersebut
diterbitkan kembali oleh LKiS Jogjakarta pada 2001.
Setelah mengenal NU melalui buku, pengenalan berikutnya adalah fakta bahwa pamanda (alm) masuk menjadi anggota NU Kota Cirebon. Bisa jadi karena pergaulan seorganisasi mesjid bersama pengurus NU, juga pamanda berstatus khotib Jum`at, maka keikusertaannya ke dalam NU bukan tanpa alasan. Saat itu, tahun 1975 saya hanya membaca Guruku Orang-orang Pesantren, tanpa pendalaman. Akan tetapi sebagai sebuah masukan awal tentang kehidupan pesantren tradisional di Jawa Timur, otobiografi yang ditulis mirip novel ini terbukti enak dibaca.
Setelah mengenal NU melalui buku, pengenalan berikutnya adalah fakta bahwa pamanda (alm) masuk menjadi anggota NU Kota Cirebon. Bisa jadi karena pergaulan seorganisasi mesjid bersama pengurus NU, juga pamanda berstatus khotib Jum`at, maka keikusertaannya ke dalam NU bukan tanpa alasan. Saat itu, tahun 1975 saya hanya membaca Guruku Orang-orang Pesantren, tanpa pendalaman. Akan tetapi sebagai sebuah masukan awal tentang kehidupan pesantren tradisional di Jawa Timur, otobiografi yang ditulis mirip novel ini terbukti enak dibaca.
Begitulah, perjalanan
mengantarkan saya mengenal dan berkawan akrab dengan beberapa tokoh muda NU
pada kurun berikutnya. Dan saya menaruh kebanggaan kepada tokoh-tokoh muda NU
yang bersua melalui berbagai kegiatan. Biasanya berupa pelatihan, workshop,
diskusi, seminar di Cirebon. Tokoh-tokoh muda memberi gambaran yang riil
tentang pluralisme, penghargaan atas keberbagaian dan (terpenting)
keindonesiaan dalam bingkai Pancasila. Kepada tokoh muda NU itulah kiranya harapan
NU ke depan disandangkan sekaligus disandingkan. Bahwa kecerdasan intelektual
yang terkuak dari perjalanan batin dan perjalanan lahirnya adalah modal penting
bagi keberlangsungan NU masa yang akan datang.
Menjelang akhir hayat
Kang Ayip Usman Yahya, pengasuh Pondok Pesantren Kempek Kabupaten Cirebon,
berkali berbincang sambil nonton Piala Dunia 2010 (ini sudah saya tulis di koran
lokal Cirebon: Kami Kehilangan Abah),
saya mendapat ilmu tentang pandangan seorang Kiai NU menyangkut pelbagai
masalah yang muncul. Kedekatan pun tercipta dan asumsi saya tetap sama: NU
merupakan organisasi agama lengkap dengan keberbagaiannya.
Pajak dan Korupsi
Demikianlah
Musyawarah Alim `Ulama dan Konferensi Besar NU tahun 2012 diadakan di Babakan
Ciwaringin Kabupaten Cirebon. Sudah pasti masalah negara menjadi kajian penting
dalam munas dan konbes selama empat hari itu. 14 September 2012 – 17 September
2012 adalah tanggal berharga pada kalender NU. Masalah penting menyangkut
negara yang memperoleh perhatian ialah pajak. Pajak yang dibayarkan rakyat,
pajak yang merupakan sumber devisa negara dengan besaran yang sangat signifikan
kepada APBN kerap dikorupsi sejumlah pejabat. Pajak dan korupsi memang dua hal
berbeda. Akan tetapi apabila pajak yang dibayarkan rakyat (sebagian dengan
susah payah) itu terlalu sering dikorupsi, lalu untuk apa bayar pajak?
Munculnya ide boikot
pajak pada Munas dan Konbes NU menurut hemat saya beralasan, mengingat pertama, jumlah anggota NU se-Indonesia
kini mencapai hitungan puluhan juta itu adalah pembayar pajak yang potensial. Kedua, jika pajak yang mencapai angka dalam APBN-P 2011
sebesar Rp 872,6 triliun atau 99,3
persen dari target tidak didayagunakan bagi pembangunan umat, maka perlu
mempertanyakan alokasi sektor pajak dalam pembangunan Indonesia. Ketiga, celakanya penyakit korupsi
hingga kini masih asik bertahta di lingkar kekuasaan Indonesia. Akibatnya pajak
rakyat (yang sebagian adalah warga NU) menjadi ajang rebutan (korupsi) elit
politik di berbagai tingkatan, dari pusat hingga ke daerah. Keempat, harus ada kebijakan pemerintah menyangkut sistem dan
mekanisme perpajakan yang transparan dan predictable.
Artinya pajak tidak semata-mata menjadi alat tagih yang tidak dapat dielak
seluruh warga namun masih rentan untuk dikorupsi dan manipulasi.
Rekomendasi hasil Munas dan Konbes NU di
Cirebon yang baru lalu dalam hal pajak berbunyi: 1. Pemerintah harus lebih transparan dan
bertanggungjawab terkait dengan penerimaan dan pengalokasian uang pajak, serta
memastikan tidak ada kebocoran; 2. Pemerintah harus megutamakan kemashlahatan
warga negara terutama fakir miskin dalam penggunaan pajak; 3. PBNU perlu
mengkaji dan mempertimbangkan mengenai kemungkinan hilangnya kewajiban warga
negara membayar pajak ketika pemerintah tidak dapat melaksanakan rekomendasi
kedua poin di atas.
Tiga rekomendasi tersebut berkait erat dengan rekomendasi
mengenai politik dan korupsi yang berbunyi demikian: Pertama, presiden harus segera menggunakan kewenangannya secara
penuh dan tanpa tebang pilih atas upaya-upaya penanggulangan korupsi dalam
penyelenggaraan pemerintah, utamanya terkait dengan aparat pemerintahan yang
terlibat korupsi. Kedua, masyarakat
agar berkontribusi aktif dalam upaya meruntuhkan budaya korupsi dengan
memperkuat sanksi sosial terhadap koruptor, sehingga dapat menimbulkan efek
jera dan juga efek pencegahan bagi tindakan korupsi berikutnya.
Pertalian erat antara pajak dengan korupsi dan sebaliknya,
mau tak mau, memulihkan ingatan kita tentang betapa pentingnya pengelolaan uang
rakyat bagi terselenggaranya pembangunan yang manusiawi. Pembangunan yang tidak
mencederai demokrasi dan perasaan rakyat. Pengelolaan uang rakyat (uang negara)
apabila dilaksanakan menggunakan konsep amar
makruf nahi munkar (memerintahkan berbuat baik dan mencegah berbuat buruk/
jahat) pada gilirannya berakhir pada
kemapanan pengelolaan negara.
Korupsi, manipulasi, mark
up harga biaya pembangunan dan beberapa kemunkaran sebagaimana kerap kita
saksikan belakangan ini ~sungguh tidak saya jumpai pada buku bagus karya ulama
besar NU, Kiai Haji Saifuddin Zuhri: Guruku Orang-orang Pesantren.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar