Sabtu, 22 September 2012

NU, Pajak dan Korupsi

Inilah KoranJabar - www.inilah.com
Kamis, 20 September 2012
Rubrik Aspirasi Halaman 8



Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon

PENGENALAN saya kali pertama tentang Nahdathul `Ulama (NU) ialah ketika ayahanda (alm) membeli buku berjudul Guruku Orang-orang Pesantren. Berbalut cover warna hijau khas NU, buku 400-an halaman itu cukup memberi pengetahuan awal mengenai organisasi besar yang didirikan di Jombang Jawa Timur tahun 1926. Membaca otobiografi KH Saifuddin Zuhri yang kali pertama diterbitkan oleh Penerbit Al-Ma’arif Bandung, pada tahun 1974 itu merupakan titik kontak pertama yang menyenangkan. Menyenangkan mengetahui kisah hidup ulama besar, menyenangkan mengetahui kehidupan pondok pesantren, juga menyenangkan mengetahui NU. Kini buku bagus yang enak dibaca tersebut diterbitkan kembali oleh LKiS Jogjakarta pada 2001.

Setelah mengenal NU melalui buku, pengenalan berikutnya adalah fakta bahwa pamanda (alm) masuk menjadi anggota NU Kota Cirebon. Bisa jadi karena pergaulan seorganisasi mesjid bersama pengurus NU, juga pamanda berstatus khotib Jum`at, maka keikusertaannya ke dalam NU bukan tanpa alasan. Saat itu, tahun 1975 saya hanya membaca Guruku Orang-orang Pesantren, tanpa pendalaman. Akan tetapi sebagai sebuah masukan awal tentang kehidupan pesantren tradisional di Jawa Timur, otobiografi yang ditulis  mirip novel ini terbukti enak dibaca.

Begitulah, perjalanan mengantarkan saya mengenal dan berkawan akrab dengan beberapa tokoh muda NU pada kurun berikutnya. Dan saya menaruh kebanggaan kepada tokoh-tokoh muda NU yang bersua melalui berbagai kegiatan. Biasanya berupa pelatihan, workshop, diskusi, seminar di Cirebon. Tokoh-tokoh muda memberi gambaran yang riil tentang pluralisme, penghargaan atas keberbagaian dan (terpenting) keindonesiaan dalam bingkai Pancasila. Kepada tokoh muda NU itulah kiranya harapan NU ke depan disandangkan sekaligus disandingkan. Bahwa kecerdasan intelektual yang terkuak dari perjalanan batin dan perjalanan lahirnya adalah modal penting bagi keberlangsungan NU masa yang akan datang.

Menjelang akhir hayat Kang Ayip Usman Yahya, pengasuh Pondok Pesantren Kempek Kabupaten Cirebon, berkali berbincang sambil nonton Piala Dunia 2010 (ini sudah saya tulis di koran lokal Cirebon: Kami Kehilangan Abah), saya mendapat ilmu tentang pandangan seorang Kiai NU menyangkut pelbagai masalah yang muncul. Kedekatan pun tercipta dan asumsi saya tetap sama: NU merupakan organisasi agama lengkap dengan keberbagaiannya.

Pajak dan Korupsi

Demikianlah Musyawarah Alim `Ulama dan Konferensi Besar NU tahun 2012 diadakan di Babakan Ciwaringin Kabupaten Cirebon. Sudah pasti masalah negara menjadi kajian penting dalam munas dan konbes selama empat hari itu. 14 September 2012 – 17 September 2012 adalah tanggal berharga pada kalender NU. Masalah penting menyangkut negara yang memperoleh perhatian ialah pajak. Pajak yang dibayarkan rakyat, pajak yang merupakan sumber devisa negara dengan besaran yang sangat signifikan kepada APBN kerap dikorupsi sejumlah pejabat. Pajak dan korupsi memang dua hal berbeda. Akan tetapi apabila pajak yang dibayarkan rakyat (sebagian dengan susah payah) itu terlalu sering dikorupsi, lalu untuk apa bayar pajak?

Munculnya ide boikot pajak pada Munas dan Konbes NU menurut hemat saya beralasan, mengingat pertama, jumlah anggota NU se-Indonesia kini mencapai hitungan puluhan juta itu adalah pembayar pajak yang potensial. Kedua, jika pajak yang mencapai angka dalam APBN-P 2011 sebesar  Rp 872,6 triliun atau 99,3 persen dari target tidak didayagunakan bagi pembangunan umat, maka perlu mempertanyakan alokasi sektor pajak dalam pembangunan Indonesia. Ketiga, celakanya penyakit korupsi hingga kini masih asik bertahta di lingkar kekuasaan Indonesia. Akibatnya pajak rakyat (yang sebagian adalah warga NU) menjadi ajang rebutan (korupsi) elit politik di berbagai tingkatan, dari pusat hingga ke daerah. Keempat, harus ada kebijakan pemerintah menyangkut sistem dan mekanisme perpajakan yang transparan dan predictable. Artinya pajak tidak semata-mata menjadi alat tagih yang tidak dapat dielak seluruh warga namun masih rentan untuk dikorupsi dan manipulasi.

Rekomendasi hasil Munas dan Konbes NU di Cirebon yang baru lalu dalam hal pajak berbunyi:  1. Pemerintah harus lebih transparan dan bertanggungjawab terkait dengan penerimaan dan pengalokasian uang pajak, serta memastikan tidak ada kebocoran; 2. Pemerintah harus megutamakan kemashlahatan warga negara terutama fakir miskin dalam penggunaan pajak; 3. PBNU perlu mengkaji dan mempertimbangkan mengenai kemungkinan hilangnya kewajiban warga negara membayar pajak ketika pemerintah tidak dapat melaksanakan rekomendasi kedua poin di atas.

Tiga rekomendasi tersebut berkait erat dengan rekomendasi mengenai politik dan korupsi yang berbunyi demikian: Pertama, presiden harus segera menggunakan kewenangannya secara penuh dan tanpa tebang pilih atas upaya-upaya penanggulangan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintah, utamanya terkait dengan aparat pemerintahan yang terlibat korupsi. Kedua, masyarakat agar berkontribusi aktif dalam upaya meruntuhkan budaya korupsi dengan memperkuat sanksi sosial terhadap koruptor, sehingga dapat menimbulkan efek jera dan juga efek pencegahan bagi tindakan korupsi berikutnya.

Pertalian erat antara pajak dengan korupsi dan sebaliknya, mau tak mau, memulihkan ingatan kita tentang betapa pentingnya pengelolaan uang rakyat bagi terselenggaranya pembangunan yang manusiawi. Pembangunan yang tidak mencederai demokrasi dan perasaan rakyat. Pengelolaan uang rakyat (uang negara) apabila dilaksanakan menggunakan konsep amar makruf nahi munkar (memerintahkan berbuat baik dan mencegah berbuat buruk/ jahat)  pada gilirannya berakhir pada kemapanan pengelolaan negara. 
Korupsi, manipulasi, mark up harga biaya pembangunan dan beberapa kemunkaran sebagaimana kerap kita saksikan belakangan ini ~sungguh tidak saya jumpai pada buku bagus karya ulama besar NU, Kiai Haji Saifuddin Zuhri: Guruku Orang-orang Pesantren.***


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar