Jumat, 01 Oktober 2010

Pacar Merah Indonesia





Pacar Merah Indonesia

Oleh Dadang Kusnandar
penulis lepas, tinggal di Cirebon

CIREBON akhir Juli 2010 di siang hari yang panas, pak Pos mengirim sebuah paket buku ke alamat saya. Dapat ditebak buku itu kiriman teman di Jakarta, Rita Matu Mona. Dan benar, saya langsung menyobek amplopnya. Novel Sejarah PACAR MERAH INDONESIA, Petualangan Tan Malaka Menjadi Buron Polisi Rahasia Kolonial, karya Matu Mona/ Hasbullah Parindurie terpampang di depan saya. Sejak dulu, guru bahasa Indonesia saya lapat-lapat pernah bercerita tentang kehebatan Tan Malaka, juga guru sejarah saya ketika SMP dan SMA puluhan tahun lalu. Teman saya pun seorang ideolog Tan Malaka, kini jadi pedagang kelontong di Sindanglaut Kabupaten Cirebon, kerap bertutur menyoal Madilog atau Materialisme Dialektika dan Logika karya Tan Malaka. Betapa bangga ia menceritakan Tan Malaka yang konon pikiran-pikiran briliannya diterjemahkan ke dalam Partai Murba --tokoh di parpol ini ialah Adam Malik.

Saya juga bangga akan kehebatan Tan Malaka. Bahkan sempat jadi moderator Hasan Nasbi (penulis buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka) tahun 2006 lalu di Cirebon. Acara tersebut diadakan Pemuda Demokrat Kota Cirebon. Dan dalam beberapa perbincangan dengan teman-teman sosialis,nasionalis, bahkan agamis ~Tan Malaka senantiasa jadi buah pikir yang tak pernah kering.

Berbagai asumsi muncul. Wajar adanya. Lantaran kehebatan tokoh pergerakan nasional yang sejak muda sudah menjejakkan kaki di berbagai negara Eropa dan Asia ini memakzulkan insprirasi bagi anak-anak muda. Setidaknya, jika tidak mampu seperti beliau, minimal mewarisi ide-ide besarnya tentang negara kesejahteraan, negara merdeka yang senantiasa peduli kepada orang kecil. Meminjam ujaran teman sang ideolog Tan Malaka di atas, sebut saja Oding, kekayaan Tan Malaka ditenggelamkan oleh tokoh pergerakan nasional yang menjadi rivalnya. Benar atau tidak asumsi tersebut, hingga kini saya belum mendapat kejelasan yang rasional. Mungkin karena lemahnya ingatan saya terhadap sosok hebat ini.

Novel Tak Berujung

Sejak dulu guru saya menjelaskan Tan Malaka dinamai Pacar Merah. Bukan karena beliau suka warna merah, melainkan merah dalam pengertian keberanian melawan kesewenang-wenangan (despotisme) kaum kolonial di mana pun. Tidak hanya di Indonesia. Perjalanan hidup membawa Tan Malaka kuliah di Belanda yang pada awal tahun 1920-an mulai gencar dengan “pulihnya” kesadaran perlakuan terhadap (maaf) kaum inlander alias imperiumnya di belahan bumi lain. Kesadaran ini tumbuh karena banyaknya alumni Prancis dan Inggris yang menawarkan konsep kiri.

Tan Malaka selepas mendulang ilmu di Belanda ditempatkan sebagai guru yang mengajar anak-anak kuli di perkebunan sawit Sumatra Utara.Pada bagian ini orang muda yang hebat itu berontak kepada kolonial.

Guru saya pun menjelaskan sebuah novel bertajuk Pacar Merah sebagai roman yang menggugah kesadaran pembacanya tentang nasionalisme. Tokoh fiktif yang dirujuk sebagai tokoh utama, tidak lain adalah Tan Malaka. Dulu ada yang berkata, Pacar Merah itu karya Tan Malaka namun ia menulis dengan berbagai nama.Karena baginya yang penting ialah pesan yang hendak disampaikan dalam roman atau katakanlah novel tak berujung itu.

Tapi sungguh kaget, dalam persahabatan dengan Rita Matu Mona, ternyata penulis Pacar Merah tidak lain adalah ayahandanya, Hasbullah Parindurie yang menggunakan nama samaran Matu Mona.
Bagi Pacar Merah hanya ada satu cinta, yaitu cinta bagi tanah airnya. Cintanya itu demikian besar, sampai-sampai tiada tempat bagi seorang wanita. Bahkan si cantik Ninon tak pernah menggoyahkan keyakinan dia akan cita-citanya yang satu ini.

Pada pertengahan tahun 1938, Matu Mona/ Hasbullah Parindurie di Singapura diundang oleh tukang jahit asal Sumatra Barat agar singgah di tokonya. Muncul Tan Malaka yang bernampilan seperti orang Cina dan hanya ingin berkenalan dengan pengarang PACAR MERAH INDONESIA yang telah dibacanya.

Ia tidak mau diwawancarai karena tak ingin tempat tinggalnya diketahui orang. Percakapan hanya sekadar ramah tamah hanya lima menit. Akhir 1938 terbit ROL PATJAR MERAH INDONESIA cs (Peranan Pacar Merah cs.). Sjarqawi dalam kata pengantarnya bertanya, "Siapa Patjar Merah cs itoe? Tak perloe diterangkan lagi bahasa orangnja ta' ada sama sekali, melainkan figuur-figuur yang hidoep dalam chajal si pengarang belaka: sebagaimana joega The Scarlet Pimpernel dari boeah renoengan Baronesse Orczy!'' Tak ada orang yang dikelabui oleh jawaban ini. Para pembaca tidak, dan pihak berwenang kemungkinan besar juga tidak.

Matu Mona pada tahun 1940 dihukum karena delik pers, sebagai penanggung jawab atas cerita bersambung dalam mingguan Penjedar, yang ia pimpin. Hal ini ditulis Soebagjo I.N pada sketsa biografi Matu Mona dalam buku ini. Matu Mona dihukum karena mengarang ROL PATJAR MERAH INDONESIA cs, dan proses pengadilannya berlangsung di Banjarmasin. Mungkin bobot hukumannya ditingkatkan tanpa dinyatakan, untuk membungkan seorang wartawan berbahaya untuk jangka waktu yang lama (nukilan kata pengantar Harry A. Poeze, Di Antara Fakta dan Fiksi).

Pemimpin komunis terkenal waktu Matu Mona mengarang bukunya semua ada di luar negeri ~karena dibuang atau melarikan diri dari Hindia Belanda~ yaitu Muso sebagai Paul Musotte, Alimin sebagai Ivan Alminsky, Darsono sebagai Darsonoff dan Semaun sebagai Semounoff. Tokoh lain dari kuintet ini, sekaligus tokoh utama novel sejarah ini : Tan Malaka.

Di Thailaind bernama Vichitra, di Cina bernama Tan Min Kha, seterusnya ia disebut "PATJAR MERAH". Dua teman seperjuangan Tan Malaka yakni Soebakat sebagai Soe Beng Kiat, dan Djamaluddin Tamin sebagai Djalumin.

Membaca Pacar Merah, kita dibawa berkeliling ke negeri-negeri jauh dengan konflik sosial politik yang berlangsung di situ. Thailand atau Negeri Gajah Putih merupakan pembuka yang mengantarkan pembaca menjelajah eksistensi Tan Malaka. Matu Mona piawai benar melukiskan detil Bangkok, tak hanya dari sisi pariwisata dengan “aceuk” atau nona-nona genit yang cantik manis asal Chiangmai, namun juga dari pergulatan politik yang berlangsung di sana pada tahun 1930 an.

Saya hampir terjebak menganalogikan Tan Malaka sebagai Tengku Rahidin dari Johor Malaysia. Lagi-lagi di sini kehebatan Matu Mona menggabungkan tokoh fiktif dan tokoh realis pada satu karya. Novel tak berujung ini menuturkan tentang spionase yang dilakukan Tan Malaka (Pacar Merah), bahkan dalam keadaan sakit yang sangat parah di tempat persembunyian rumah nelayan miskin di Bangkok.

Ragam Sejarah
Novel sejarah ini (pada hemat saya) didasari tiga alasan. Pertama, sebagaimana halnya kisah spionase, pembaca diajak keliling ke negeri jauh sesuai seting cerita, Kedua, hingga akhir hayatnya, Tan Malaka dan Matu Mona menutup biografinya sehingga ending yang diharapkan pembaca tidak nampak, Ketiga, seperti kelaziman catatan sejarah, semakin banyak versi semakin menarik.

Beberapa kali Tan Malaka punya pengalaman pemogokan dan perlawanan terhadap kaum pemilik modal. Di Medan tahun 1920 saat berada di perkebunan Deli, terjadi pemogokan kaum buruh yang dipimpin oleh Krediet. Krediet kemudian dipaksa mengundurkan diri dan dipulangkan ke Belanda. Tahun 1922 setelah terpilih menjadi Ketua PKI, Tan Malaka mendukung upaya mogok buruh pegadaian. Dukungan Tan Malaka ini dijadikan alasan untuk menangkap dan membuang Tan Malaka. (Hasan Nasbi : Filosofi Negara Menurut Tan Malaka)

Pada sekuel Keramaian di Kota Paris (halaman 103 - 146) dikisahkan kedatangan Alminsky/ Alimin dari Moskow untuk menjumpai Paul Mussotte/ Muso. Alminsky membawa pesan Semaunoff/ Semaun, "Untuk menjumpai Pacar Merah! Dia sudah bertindak sesukanya sendiri, rupanya dia memutuskan hubungan dengan Moskow."

Sampai kini saya belum memperoleh penjelasan yang reasonable, mengapa novel (dalam genre apa pun) selalu menyisipkan percintaan. Termasuk Pacar Merah Indonesia. Apakah percintaan lelaki dan perempuan ditulis untuk mengaduk emosi pembaca, atau guna memperpanjang cerita, ataukah sejarah tak pernah mampu menghindar dari percintaan?

Madamoiselle Ninon -putri Kun Phra Pao pembesar dinas rahasia internasional di Thailand- yang jatuh cinta kepada Pacar Merah, Mademoiselle Marcelle -putri Francois d'Iserre pemuka Partai Sosialis Prancis- yang saling jatuh cinta dengan Ivan Alminsky, juga Mamselle Aime yang berstatus mistress Paul Mussote.

Novel spionase mana pun senantiasa melibatkan kisah cinta. Kendati alur cerita Pacar Merah Indonesia lebih kaya merepresentasi pergerakan pemuda Indonesia menjelang kemerdekaan bangsa yang ditunggu itu, tapi tak lepas dari bumbu cinta.

Dialog Ivan Alminsky dengan Marcelle di depan Menara Eiffel (halaman 151) :

Kekasihku, hidupku ini bagaikan hidup seorang patriot, aku tidak boleh memikirkan kepentingan diriku sendiri. Aku mempunyai dua cinta. Pertama, cintaku pada tanah airku, kedua, cintaku kepada kau, ma petite sorite! (kekasihku yang budiman). Begitu besar cintaku pada tanah airku, begitu besar pula cintaku pada kau, Marcelle. Karena itu aku merasa serba salah. Kalau aku tidak memenuhi kewajibanku pada tanah airku niscaya aku diaanggap sebagai seorang pengkhianat dan pengecut. Kau tahu sekarang Marcelle, bagaimana kehidupanku penuh dengan marabahaya. Ibarat kata pepatah bangsa kami, "Nasib sabut timbul, nasib batu tenggelam". Kalau nasibku mujur nona, selamatlah aku pulang kembali menjumpaimu nona, tapi bila nasibku bagai batu maka tenggelamlah aku di dalam lubuk kesengsaraan atau lebih tegas dimasukkan ke dalam penjara yang amat sengsara sekali. Akan tetapi saya percaya kalau nona akan mendo'akanku sepanjang masa, mudah-mudahan saya dapat melepaskan diri dari segala bencana yang menghadang itu.***