Sabtu, 15 September 2012

FKN, Kehendak, dan Imajinasi



Oleh Dadang Kusnandar

Kontingen Kesultanan Kanoman pada FKN VIII Buton


BEKAL kesenian tradisi, persiapan busana pengantin, kuliner yang hendak disajikan, benda pusaka yang dibawa untuk pameran dan sebagainya; merupakan bagian integral Kesultanan Kanoman Cirebon pada Festival Keraton Nusantara (FKN) VIII yang baru lalu. Baubau Sulawesi Tenggara, awal September tahun ini gempita. Tiga puluh enam kontingen keraton se-Indonesia memadati kota berbukit di tepi pantai itu untuk penyelenggaraan FKN. Bukan itu saja, kota seluas 221 km2 dengan keindahan pantai dan bukitnya terkenal dengaan benteng terluas peninggalan sejarah. Otomatis kontingen Keraton Kanoman Cirebon menikmati kota ini selain mengikuti semua perhelatan FKN yang digelar/ diagendakan panitia.

Bau-Bau menduduki peringkat ke-8 sebagai kota terbesar di Sulawesi berdasarkan jumlah populasi tahun 2010 atau urutan ke-2 untuk Propinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Kota Baubau sebanyak 137.118 jiwa, dengan kepadatan sebesar 1.113 per km2, dan pertumbuhan sebesar 2,975% per tahun. Nilai PDRB daerah Kota Bau-Bau berdasarkan harga berlaku pada tahun 2007 sebesar. Rp 1.254,49 miliar, sedangkan berdasarkan harga konstan sebesar Rp. 586,32 miliar.

Tak ada yang luput dari keikutsertaan Kanoman. Sejak pembukaan di area kantor Walikota Baubau yang berhadapan dengan pantai Palagimata, pameran benda pusaka di Gedung Maedani GOR Betoambari, Kirab Agung Prajurit yang menyusur jalan-jalan utama kota, pentas seni tradisi berupa Tari Putri Binangkit dan peragaan busana pengantin di Kotamara, pameran kuliner (diikuti oleh enam keraton) yang menyediakan nasi lengko, dialog budaya dan musyawarah raja/ sultan di Baruga Sorowolio, dan penutupan FKN di Kotamara. Kontingen FKN Keraton Kanoman di Buton turut mempromosikan asset seni budaya Cirebon di propinsi Sultra sebagai kekuatan memperbaiki pariwisata yang telah digagas selama ini.

Berbicara Kesultanan Kanoman tentu tak lepas dari event budaya yang “mengawali” FKN. Di sela kesibukan aktivitas FKN VIII Buton, Pangeran Nurochim bergelar Pangeran Kumisi memaparkan Catur Sagotro. Wisma Hing Amimah di Jalan Diponegoro 16 C Baubau malam itu Pangeran Kumisi melayangkan kembali ingatan masa lalu. Ketika Muludan hanya ada di Keraton Kanoman Cirebon. Katanya, Catur Sagotro, artinya empat (dalam) satu musyawarah,  dilaksanakan secara berkala 4 (empat) tahun sekali. Pesertanya adalah Kesultanan Yogyakarta, Pakualam, Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Kanoman. Tahun 1976 Catur Sagotro diadakan diadakan di Kanoman Cirebon, Yogyakarta 1985 dan 1994. Cikal bakal FKN katanya berawal dari sini, dari Catur Sagotro. 



Catur Sagotro 1976 di Kanoman menampilkan kirab agung prajurit, pameran benda pusaka, pentas kesenian keraton. Akan tetapi acara ini tidak dibiayai negara, melainkan tiap kontingen membiayai dirinya sendiri. Uang masuk yang diperoleh dari harga tiket pada tiap mata acara Catur Sagotro, juga meminjam sejumlah uang ke bank. Perolehan uang pun didapat dari acara Sekaten/ Muludan di Kesultanan Kanoman Cirebon. Otomatis pelaksanaan event seni budaya keraton ini bersifat mandiri dan tidak tergantung pada “kebaikan” APBN dan APBD. 

Saya diingatkan tahun 1976 pada acara Catur Sagotro terjadi kebakaran besar di Kesultanan Kanoman. Akan tetapi Sultan Kanoman ke 10 ketika itu, Sultan Nurus Samawat memberi  uang ganti rugi kepada pedagang yang dilanda kebakaran. Meskipun jumlahnya tidak mencukupi akibat kebakaran tersebut, setidaknya pihak kesultanan memberi santunan. Bahkan menurut Pangeran Kumisi yang tinggal di Gunungjati, di belakang Mesjid Syekh Bayanullah itu, hingga kini masih ada pedagang yang menyimpan uang pemberian sultan. Mungkin dianggap jimat atau untuk kenang-kenangan.

Menyimak keterangan Pangeran Nurochim di sela kegiatan FKN VIII Buton, saya tercenung sekaligus berharapan besar kepada keraton dan kerabatnya yang kaya raya supaya mengembalikan FKN sebagaimana Catur  Sagotro. Artinya perhelatan seni budaya lokal dapat terus dilaksanakan tanpa ketergantungan keuangan Negara. Tanpa bantuan APBN dan APBD serta dilaksanakan pada event budaya yang menarik antusiasme masyarakat, misalnya Sekaten/ Muludan. Pendapat Pangeran Kumisi dibenarkan oleh Patih Qodiran. Katanya, “Kita harus belajar kembali dari Catur Sagotro agar FKN lebih mampu mempromisikan seni budaya tradisi keraton untuk menciptakan kemandirian”.

Kesultanan Kanoman pada FKN VIII juga merupakan ajang kreasi seniman Pangeran Mamat Nurochmat. Dari tangan dinginnya lahir karya seni yang layak dipersembahkan pada event nasional, sebagaimana berlangsung di Baubau Sulawesi Tenggara. Menyoal ini Raja Ratu Arimbi mengatakan perlunya menumbuhkan kreativitas kesenian yang dapat digali dari khasanah lama Cirebon. “Dan Kanoman memiliki khasanah itu. Kembali kepada para seniman keraton untuk memperkaya seni budaya itu sebagai kajian yang membanggakan. Kami hanya bisa memfasilitasi, dan tanpa keseriusan seniman, maka khasanah budaya itu hanya akan tersimpan rapat. Tidak terkuak ke permukaan”, ungkapnya.

MEMBACA gelar seni budaya awal September lalu di Buton, agaknya ada geliat baru menyangkut FKN. Geliat itu menandakan semakin tumbuhnya kesadaran atas pengelolaan seni budaya yang berangkat dari penghargaan atas nilai-nilai lampau. Seperti posmodernis yang mengajarkan keberbagaian teori, dan menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Penggabungan nilai lama dan nilai baru itulah yang layak diperbuat bagi seni budaya Cirebon. Dalam hubungan ini Keraton Kanoman menyediakan kekayaan budaya lama itu yang akan jadi kian harmonis jikalau dikreasikan oleh seniman untuk sebuah karya.


FKN Buton dengan segala plus minusnya merupakan tanda bahwa di sana-sini masih terdapat kekuatan lama yang menginspirasi kesenian khususnya dan kebudayaan secara umum. Perhelatan kebudayaan itu memang telah selesai, namun ia menyimpan kenangan. Betapa nusantara masa lalu telah memetakan sebuah tatanan yang bernama pluralism. Tepat kiranya bila ada yang mengartikan nusantara sebagai nusa (pulau) antara. Artinya di dalamnya ada perseteruan serta pertarungan budaya yang berlangsung antarpulau. Ini terbaca dari dua dialog kebudayaan pra FKN dan menjelang akhir FKN yang baru lalu. Sejarah Nusantara yang kaya atas nilai-nilai itu mengantarkan kepada pertumbuhan sejumlah kerajaan, lantas berganti menjadi republik.

Dengan kata lain perhatian dan pertautan kerajaan dengan republik saat ini mestinya tidak mencipta riak perseteruan keduanya. Akan tetapi muncul persekutuan untuk dan atas nama peningkatan nilai kebudayaan (yang berawal dari seni pertunjukkan). Persekutuan antara eks kerajaan/ kesultanan dengan republik pada gilirannya dapat kian memperkaya keindonesiaan. Indonesia yang harus dibangkitkan lagi oleh kehendak kita. Oleh imajinasi kita. Dan oleh kebersamaan kita.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar