Oleh Dadang Kusnandar
Kontingen Kesultanan
Kanoman pada FKN VIII Buton
BEKAL kesenian tradisi, persiapan busana pengantin, kuliner
yang hendak disajikan, benda pusaka yang dibawa untuk pameran dan sebagainya;
merupakan bagian integral Kesultanan Kanoman Cirebon pada Festival Keraton
Nusantara (FKN) VIII yang baru lalu. Baubau Sulawesi Tenggara, awal September
tahun ini gempita. Tiga puluh enam kontingen keraton se-Indonesia memadati kota
berbukit di tepi pantai itu untuk penyelenggaraan FKN. Bukan itu saja, kota
seluas 221 km2 dengan keindahan pantai dan bukitnya terkenal dengaan benteng
terluas peninggalan sejarah. Otomatis kontingen Keraton Kanoman Cirebon
menikmati kota ini selain mengikuti semua perhelatan FKN yang digelar/
diagendakan panitia.
Tak ada yang luput dari keikutsertaan Kanoman. Sejak pembukaan di area kantor Walikota Baubau yang berhadapan dengan pantai Palagimata, pameran benda pusaka di Gedung Maedani GOR Betoambari, Kirab Agung Prajurit yang menyusur jalan-jalan utama kota, pentas seni tradisi berupa Tari Putri Binangkit dan peragaan busana pengantin di Kotamara, pameran kuliner (diikuti oleh enam keraton) yang menyediakan nasi lengko, dialog budaya dan musyawarah raja/ sultan di Baruga Sorowolio, dan penutupan FKN di Kotamara. Kontingen FKN Keraton Kanoman di Buton turut mempromosikan asset seni budaya Cirebon di propinsi Sultra sebagai kekuatan memperbaiki pariwisata yang telah digagas selama ini.
Berbicara Kesultanan Kanoman tentu tak lepas dari event
budaya yang “mengawali” FKN. Di sela kesibukan aktivitas FKN VIII Buton,
Pangeran Nurochim bergelar Pangeran Kumisi memaparkan Catur Sagotro. Wisma Hing Amimah di Jalan Diponegoro 16 C Baubau
malam itu Pangeran Kumisi melayangkan kembali ingatan masa lalu. Ketika Muludan
hanya ada di Keraton Kanoman Cirebon. Katanya, Catur Sagotro, artinya empat (dalam) satu musyawarah, dilaksanakan secara berkala 4 (empat) tahun
sekali. Pesertanya adalah Kesultanan Yogyakarta, Pakualam, Kasunanan Surakarta,
dan Kesultanan Kanoman. Tahun 1976 Catur Sagotro diadakan diadakan di Kanoman
Cirebon, Yogyakarta 1985 dan 1994. Cikal bakal FKN katanya berawal dari sini,
dari Catur Sagotro.
Catur Sagotro 1976 di Kanoman menampilkan kirab agung
prajurit, pameran benda pusaka, pentas kesenian keraton. Akan tetapi acara ini tidak dibiayai negara, melainkan tiap
kontingen membiayai dirinya sendiri. Uang masuk yang diperoleh dari harga tiket
pada tiap mata acara Catur Sagotro, juga meminjam sejumlah uang ke bank.
Perolehan uang pun didapat dari acara Sekaten/ Muludan di Kesultanan Kanoman
Cirebon. Otomatis pelaksanaan event seni budaya keraton ini bersifat mandiri
dan tidak tergantung pada “kebaikan” APBN dan APBD.
Saya diingatkan tahun 1976 pada acara Catur Sagotro terjadi
kebakaran besar di Kesultanan Kanoman. Akan tetapi Sultan Kanoman ke 10 ketika
itu, Sultan Nurus Samawat
memberi uang ganti rugi kepada pedagang
yang dilanda kebakaran. Meskipun jumlahnya tidak mencukupi akibat kebakaran
tersebut, setidaknya pihak kesultanan memberi santunan. Bahkan menurut Pangeran
Kumisi yang tinggal di Gunungjati, di belakang Mesjid Syekh Bayanullah itu,
hingga kini masih ada pedagang yang menyimpan uang pemberian sultan. Mungkin
dianggap jimat atau untuk
kenang-kenangan.
Menyimak keterangan Pangeran Nurochim di sela kegiatan FKN
VIII Buton, saya tercenung sekaligus berharapan besar kepada keraton dan
kerabatnya yang kaya raya supaya mengembalikan FKN sebagaimana Catur Sagotro. Artinya perhelatan seni budaya lokal
dapat terus dilaksanakan tanpa ketergantungan keuangan Negara. Tanpa bantuan
APBN dan APBD serta dilaksanakan pada event budaya yang menarik antusiasme
masyarakat, misalnya Sekaten/ Muludan. Pendapat Pangeran Kumisi dibenarkan oleh
Patih Qodiran. Katanya, “Kita harus belajar kembali dari Catur Sagotro agar FKN
lebih mampu mempromisikan seni budaya tradisi keraton untuk menciptakan
kemandirian”.
Kesultanan Kanoman pada FKN VIII juga merupakan ajang kreasi
seniman Pangeran Mamat Nurochmat. Dari tangan dinginnya lahir karya seni yang
layak dipersembahkan pada event nasional, sebagaimana berlangsung di Baubau
Sulawesi Tenggara. Menyoal ini Raja Ratu Arimbi mengatakan perlunya menumbuhkan
kreativitas kesenian yang dapat digali dari khasanah lama Cirebon. “Dan Kanoman
memiliki khasanah itu. Kembali kepada para seniman keraton untuk memperkaya
seni budaya itu sebagai kajian yang membanggakan. Kami hanya bisa
memfasilitasi, dan tanpa keseriusan seniman, maka khasanah budaya itu hanya
akan tersimpan rapat. Tidak terkuak ke permukaan”, ungkapnya.
MEMBACA gelar seni budaya awal September lalu di Buton,
agaknya ada geliat baru menyangkut FKN. Geliat itu menandakan semakin tumbuhnya
kesadaran atas pengelolaan seni budaya yang berangkat dari penghargaan atas
nilai-nilai lampau. Seperti posmodernis yang mengajarkan keberbagaian teori,
dan menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang
tunggal. Penggabungan nilai lama dan nilai baru itulah yang layak diperbuat
bagi seni budaya Cirebon. Dalam hubungan ini Keraton Kanoman menyediakan
kekayaan budaya lama itu yang akan jadi kian harmonis jikalau dikreasikan oleh
seniman untuk sebuah karya.
FKN Buton dengan segala plus minusnya merupakan tanda bahwa
di sana-sini masih terdapat kekuatan lama yang menginspirasi kesenian khususnya
dan kebudayaan secara umum. Perhelatan kebudayaan itu memang telah selesai,
namun ia menyimpan kenangan. Betapa nusantara masa lalu telah memetakan sebuah
tatanan yang bernama pluralism. Tepat kiranya bila ada yang mengartikan
nusantara sebagai nusa (pulau) antara. Artinya di dalamnya ada perseteruan
serta pertarungan budaya yang berlangsung antarpulau. Ini terbaca dari dua
dialog kebudayaan pra FKN dan menjelang akhir FKN yang baru lalu. Sejarah
Nusantara yang kaya atas nilai-nilai itu mengantarkan kepada pertumbuhan
sejumlah kerajaan, lantas berganti menjadi republik.
Dengan kata lain perhatian dan pertautan kerajaan dengan
republik saat ini mestinya tidak mencipta riak perseteruan keduanya. Akan
tetapi muncul persekutuan untuk dan atas nama peningkatan nilai kebudayaan
(yang berawal dari seni pertunjukkan). Persekutuan antara eks kerajaan/
kesultanan dengan republik pada gilirannya dapat kian memperkaya keindonesiaan.
Indonesia yang harus dibangkitkan lagi oleh kehendak kita. Oleh imajinasi kita.
Dan oleh kebersamaan kita.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar