Oleh Dadang Kusnandar
Penulis Lepas, tinggal
di Cirebon
Foto : Ipon Bae
UNGKAPAN rasa syukur itu beragam. Ada yang dilakukan secara
personal dan ada yang secara komunal. Pada sebuah komunitas ~sebutlah komunitas
adat~ ungkapan rasa syukur itu dilakukan secara komunal dan terus menerus
setiap tahun. Komunitas adat Sunda di Jawa Barat dengan dominasi profesi
sebagai petani mengungkapkan rasa syukur itu dengan menyerahkan sebagian hasil
panennya. Pisang, nangka, ubi, padi, salak, kelapa dan sebagainya dibawa ke Cigugur,
tepatnya Gedung Paseban Tri Panca Tunggal.
Di tempat ini, hasil bumi itu tidak sekadar dikumpulkan. Sebagian dijadikan
hiasan, sebagian dimasak, sebagian disediakan langsung untuk para tamu, dan
sebagian besar dikembalikan atau dibagikan kepada siapa saja yang hadir pada
perhelatan rasa syukur atas kemurahan alam menumbuhkan biji dan pepohonan.
Begitulah komunitas adat Sunda di Jawa Barat khususnya
menyebut perhelatan rasa syukur ini dengan istilah Seren Taun. Sebuah upacara ungkapan rasa syukur masyarakat agraris
di tatar sunda, upacara ini pun mirip thank`sgiving
day untuk menumbuhkan kesadaran diri selaku manusia dan kesadaran diri
selaku bangsa. Menurut ungkapan Rama Kusumajati (79) kesadaran yang dimaksud
meliputi kesadaran diri, kesadaran bermasyarakat, kesadaran berketuhanan, dan
kesadaran bernegara. Maka dalam Seren Taun ini semua manusia adalah sama. “Tidak ada seorang pun yang dilirik berdasar
status sosialnya. Acara ini menjunjung tinggi kebersamaan dan kesetaraan
manusia tanpa memandang status apa pun”, ujar Nanang Gumilang (39), Ketua
Panitia Seren Taun yang bertepatan dengan tanggal 22 Rayagung 1944 Saka Sunda.
Komunitas adat yang akan hadir pada Seren Taun 2011 ini
adalah masyarakat adat Baduy Jaro, Ciptagelar, Citorek dari Banten, juga
masyarakat adat Kampung Dukuh dari Garut, Kampung Naga dari Tasikmalaya,
masyarakat adat Sumedang Larang, dan masyarakat adat Geger Sunten dari Ciamis,
juga masyarakat adat Hanjatan Karahayuan dari Panjalu Ciamis, dan Cireunde
Kabupaten Cimahi. Selain masyarakat adat, komunitas agama pun hadir turut
mensyukuri karunia Tuhan, keberadaan pemuka agama itu terlibat dalam ritual
do`a menjelang Seren Taun digelar. Do`a para pemuka Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Kong Hu Chu boleh disebut sebagai pembuka Seren Taun dengan
harapan memperoleh berkah bagi pertumbuhan biji dan pepohonan pada tiap
penanaman. Inilah sebabnya do`a para pemuka agama ini dinamai Kidung Spiritual.
Ratusan kali Seren Taun digelar di Cigugur. Ratusan kali
pula keberadaan Seren Taun menyedot geliat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Warung yang menjadi ramai, transportasi umum yang terdongkrak karena keramaian,
serta dinamika sosial yang ikut tumbuh ~setidaknya menandakan bahwa Seren Taun
berhasil menyejahterakan warga sekitar. Agaknya inilah makna Tri Tangtu atau Tiga Ketentuan yang
meliputi ketentuan untuk rakyat, untuk negara, dan untuk raga. Tiga hal yang
kait mengait dalam kehidupan. Maknanya meski kita tidak sepengetahuan tetapi
sepengertian. Rama Kusumajati mencontohkan angka sepuluh bukan hanya merupakan
hasil penambahan angka lima dengan lima, melainkan satu dengan sembilan, dua
dengan delapan, tiga dengan tujuh, dan empat dengan enam. Artinya ada banyak
pengertian menuju satu pemahaman.
Seren Taun pun kerap dimeriahkan dengan kehadiran utusan
keraton se Indonesia. Kabarnya beberapa sultan dan keluarga keraton dari Jawa,
Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku akan hadir pada Seren Taun kali ini.
Bahkan tamu kehormatan dari Kerajaan Brunei Darussalam pun akan hadir ke
Cigugur. Dengan demikian Seren Taun dapat disebut bagai even budaya yang
menyegerakan untuk dibenahi dan dikelola secara profesional. Beruntung
pemerintah daerah setempat (Kabupaten Kuningan) pun terlibat di kegiatan
reguler ini. Demikian pula pemerintah Propinsi Jawa Barat.
Berbagai Kegiatan
Seren Taun yang diadakan sejak 14 – 19 November 2011 ini
menggelar berbagai kegiatan yang potensial melestarikan budaya masyarakat
agraris. Acara tersebut antara lain Damar Sewu, Kaulinan Barudak, Karinding
Cirendeu, Karinding Mayang Sari Bandung. Juga ada Pesta Dadung, Pembuangan
Hama, Penanaman Pohon, Seribu Kentongan, Rampak Kendang, Pentas Angklung, Lomba
Menggambar dan Mewarnai, Tari Tani Anak, dan Gondang. Pada hari ketiga tanggal
16 November kegiatan Seren Taun meliputi Lomba Panahan Tradisional, Lomba
Nyiblung dan Dayung Buyung, Rampak Sekar
dan Pupuh Sunda, Pengobatan Gratis dari Rumah Sakit Medical Kuningan.
Berikutnya tanggal 17 November ada Workshop Iket, yakni ikat
kepala yang biasa dikenakan masyarakat Sunda. Juga dipentaskan Tari Merak, Tari
Kijang, Tari Kandangan dan Tayuban dari Ciamis. Tanggal 18 November kegiatan
yang melengkapi Seren Taun ialah Dialog Masyarakat Adat, Helaran Budaya di Kota
Kuningan, Do`a Bersama, Kidung Spiritual, Gelar Pusaka Monggang dan Tayuban,
Tari Pwah Aci, dan Ngareremokeun. Sementara puncak acara Seren Taun diisi oleh
kegiatan Tari Buyung, Angklung Kanekes dari masyarakat adat Baduy (Banten
Selatan), Angklung Buncis, Ngajayak, Rajah Pamuka, dan Penumbukan Padi di Saung
Panutuan.
Kegiatan yang memeriahkan Seren Taun ini pun dilengkapi
dengan pameran foto karya Rama Kusumajati, yang sejak berusia 20-an suka
memotret dengan kamera pada waktu itu. Sekira 20-an karya fotonya dipamerkan di
Taman Sari Paseban, lantas dilanjutkan dengan diskusi fotografi yang dipandu
oleh fotografer Ray Bachtiar Drajat dari Jakarta. Pada kesempatan ini Rama Jati
berencana akan mengadakan lomba foto untuk kegiatan Seren Taun 2012. Rama pun
ternyata pandai menuangkan imajinasi dalam karya fotonya. Bayangkan sebatang
pohon Kamboja Jepang di pot ukuran kecil, di atas dahannya diletakkan topeng
penari. Alhasil karya foto itu memperlihatkan liukan tubuh seorang penari
dengan gerak tangannya. Rama juga pandai memainkan warna dan cahaya dalam karya
fotonya.
Begitulah kegiatan Seren Taun yang substansinya merupakan
ungkapan rasa syukur atas pemberian Tuhan kepada manusia dan alam. Interaksi
ketiganya yang terus menerus membingkai kehidupan. Dengan demikian setiap kita,
siapa pun kita, sudah seharusnyalah mensyukuri pemberian (karunia) Tuhan itu
dengan ekspresi. Tak sekadar kata, namun upaya pelestarian budaya serta
pengukuhan eksistensi masyarakat adat : yang hingga kini masih belum diterima
oleh negara. Masyarakat adat yang secara komunal membentuk ikatannya itu untuk
mempertahankan diri dari pelbagai anasir yang kerap mengusik. Keberadaan
masyarakat adat Sunda di Jawa Barat ini agaknya dapat menjadi referensi untuk
menilai dan memahami masyarakat adat di propinsi lain di Indonesia. Tentu saja
supaya ada perlakuan yang sama oleh negara kepada komunitas tersebut.
Bukankah ciri dasar yang menegakkan Nusantara adalah
keberbagaiannya, yang antara lain ditandai oleh masyarakat adat?***