Jumat, 28 September 2012

Biji dan Pepohonan Tumbuh

Catatan Upacara Adat Seren Taun di Cigugur Kabupaten Kuningan



Oleh Dadang Kusnandar
Penulis Lepas, tinggal di Cirebon
Foto : Ipon Bae

UNGKAPAN rasa syukur itu beragam. Ada yang dilakukan secara personal dan ada yang secara komunal. Pada sebuah komunitas ~sebutlah komunitas adat~ ungkapan rasa syukur itu dilakukan secara komunal dan terus menerus setiap tahun. Komunitas adat Sunda di Jawa Barat dengan dominasi profesi sebagai petani mengungkapkan rasa syukur itu dengan menyerahkan sebagian hasil panennya. Pisang, nangka, ubi, padi, salak, kelapa dan sebagainya dibawa ke Cigugur, tepatnya Gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Di tempat ini, hasil bumi itu tidak sekadar dikumpulkan. Sebagian dijadikan hiasan, sebagian dimasak, sebagian disediakan langsung untuk para tamu, dan sebagian besar dikembalikan atau dibagikan kepada siapa saja yang hadir pada perhelatan rasa syukur atas kemurahan alam menumbuhkan biji dan pepohonan.

Begitulah komunitas adat Sunda di Jawa Barat khususnya menyebut perhelatan rasa syukur ini dengan istilah Seren Taun. Sebuah upacara ungkapan rasa syukur masyarakat agraris di tatar sunda, upacara ini pun mirip thank`sgiving day untuk menumbuhkan kesadaran diri selaku manusia dan kesadaran diri selaku bangsa. Menurut ungkapan Rama Kusumajati (79) kesadaran yang dimaksud meliputi kesadaran diri, kesadaran bermasyarakat, kesadaran berketuhanan, dan kesadaran bernegara. Maka dalam Seren Taun ini semua manusia adalah sama. “Tidak ada seorang pun yang dilirik berdasar status sosialnya. Acara ini menjunjung tinggi kebersamaan dan kesetaraan manusia tanpa memandang status apa pun”, ujar Nanang Gumilang (39), Ketua Panitia Seren Taun yang bertepatan dengan tanggal 22 Rayagung 1944 Saka Sunda. 


Komunitas adat yang akan hadir pada Seren Taun 2011 ini adalah masyarakat adat Baduy Jaro, Ciptagelar, Citorek dari Banten, juga masyarakat adat Kampung Dukuh dari Garut, Kampung Naga dari Tasikmalaya, masyarakat adat Sumedang Larang, dan masyarakat adat Geger Sunten dari Ciamis, juga masyarakat adat Hanjatan Karahayuan dari Panjalu Ciamis, dan Cireunde Kabupaten Cimahi. Selain masyarakat adat, komunitas agama pun hadir turut mensyukuri karunia Tuhan, keberadaan pemuka agama itu terlibat dalam ritual do`a menjelang Seren Taun digelar. Do`a para pemuka Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu boleh disebut sebagai pembuka Seren Taun dengan harapan memperoleh berkah bagi pertumbuhan biji dan pepohonan pada tiap penanaman. Inilah sebabnya do`a para pemuka agama ini dinamai Kidung Spiritual.


Ratusan kali Seren Taun digelar di Cigugur. Ratusan kali pula keberadaan Seren Taun menyedot geliat ekonomi bagi masyarakat sekitar. Warung yang menjadi ramai, transportasi umum yang terdongkrak karena keramaian, serta dinamika sosial yang ikut tumbuh ~setidaknya menandakan bahwa Seren Taun berhasil menyejahterakan warga sekitar. Agaknya inilah makna Tri Tangtu atau Tiga Ketentuan yang meliputi ketentuan untuk rakyat, untuk negara, dan untuk raga. Tiga hal yang kait mengait dalam kehidupan. Maknanya meski kita tidak sepengetahuan tetapi sepengertian. Rama Kusumajati mencontohkan angka sepuluh bukan hanya merupakan hasil penambahan angka lima dengan lima, melainkan satu dengan sembilan, dua dengan delapan, tiga dengan tujuh, dan empat dengan enam. Artinya ada banyak pengertian menuju satu pemahaman. 

Seren Taun pun kerap dimeriahkan dengan kehadiran utusan keraton se Indonesia. Kabarnya beberapa sultan dan keluarga keraton dari Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan Maluku akan hadir pada Seren Taun kali ini. Bahkan tamu kehormatan dari Kerajaan Brunei Darussalam pun akan hadir ke Cigugur. Dengan demikian Seren Taun dapat disebut bagai even budaya yang menyegerakan untuk dibenahi dan dikelola secara profesional. Beruntung pemerintah daerah setempat (Kabupaten Kuningan) pun terlibat di kegiatan reguler ini. Demikian pula pemerintah Propinsi Jawa Barat.

 



Berbagai Kegiatan

Seren Taun yang diadakan sejak 14 – 19 November 2011 ini menggelar berbagai kegiatan yang potensial melestarikan budaya masyarakat agraris. Acara tersebut antara lain Damar Sewu, Kaulinan Barudak, Karinding Cirendeu, Karinding Mayang Sari Bandung. Juga ada Pesta Dadung, Pembuangan Hama, Penanaman Pohon, Seribu Kentongan, Rampak Kendang, Pentas Angklung, Lomba Menggambar dan Mewarnai, Tari Tani Anak, dan Gondang. Pada hari ketiga tanggal 16 November kegiatan Seren Taun meliputi Lomba Panahan Tradisional, Lomba Nyiblung dan Dayung Buyung, Rampak  Sekar dan Pupuh Sunda, Pengobatan Gratis dari Rumah Sakit Medical Kuningan.

Berikutnya tanggal 17 November ada Workshop Iket, yakni ikat kepala yang biasa dikenakan masyarakat Sunda. Juga dipentaskan Tari Merak, Tari Kijang, Tari Kandangan dan Tayuban dari Ciamis. Tanggal 18 November kegiatan yang melengkapi Seren Taun ialah Dialog Masyarakat Adat, Helaran Budaya di Kota Kuningan, Do`a Bersama, Kidung Spiritual, Gelar Pusaka Monggang dan Tayuban, Tari Pwah Aci, dan Ngareremokeun. Sementara puncak acara Seren Taun diisi oleh kegiatan Tari Buyung, Angklung Kanekes dari masyarakat adat Baduy (Banten Selatan), Angklung Buncis, Ngajayak, Rajah Pamuka, dan Penumbukan Padi di Saung Panutuan.


Kegiatan yang memeriahkan Seren Taun ini pun dilengkapi dengan pameran foto karya Rama Kusumajati, yang sejak berusia 20-an suka memotret dengan kamera pada waktu itu. Sekira 20-an karya fotonya dipamerkan di Taman Sari Paseban, lantas dilanjutkan dengan diskusi fotografi yang dipandu oleh fotografer Ray Bachtiar Drajat dari Jakarta. Pada kesempatan ini Rama Jati berencana akan mengadakan lomba foto untuk kegiatan Seren Taun 2012. Rama pun ternyata pandai menuangkan imajinasi dalam karya fotonya. Bayangkan sebatang pohon Kamboja Jepang di pot ukuran kecil, di atas dahannya diletakkan topeng penari. Alhasil karya foto itu memperlihatkan liukan tubuh seorang penari dengan gerak tangannya. Rama juga pandai memainkan warna dan cahaya dalam karya fotonya. 

Begitulah kegiatan Seren Taun yang substansinya merupakan ungkapan rasa syukur atas pemberian Tuhan kepada manusia dan alam. Interaksi ketiganya yang terus menerus membingkai kehidupan. Dengan demikian setiap kita, siapa pun kita, sudah seharusnyalah mensyukuri pemberian (karunia) Tuhan itu dengan ekspresi. Tak sekadar kata, namun upaya pelestarian budaya serta pengukuhan eksistensi masyarakat adat : yang hingga kini masih belum diterima oleh negara. Masyarakat adat yang secara komunal membentuk ikatannya itu untuk mempertahankan diri dari pelbagai anasir yang kerap mengusik. Keberadaan masyarakat adat Sunda di Jawa Barat ini agaknya dapat menjadi referensi untuk menilai dan memahami masyarakat adat di propinsi lain di Indonesia. Tentu saja supaya ada perlakuan yang sama oleh negara kepada komunitas tersebut.


Bukankah ciri dasar yang menegakkan Nusantara adalah keberbagaiannya, yang antara lain ditandai oleh masyarakat adat?***

Rabu, 26 September 2012

Cirebon, Silang Peradaban

Penulis: Dadang Kusnandar
Tebal: 142 hlm
Ukuran: 14 x 21 cm
Harga: Rp 40.000
Kertas: Bookpaper

Deskripsi:

Memotret Cirebon dalam bingkai kaku, akan membuat siapapun terjebak pada penyederhanaan. Tak akan pernah mudah menggambarkan keaslian Cirebon baik dari segi bahasa, kesenian maupun kehidupan sosial budaya masyarakatnya; paling tidak di era modern saat ini. 

Baik sosial budaya mau pun geografis, Cirebon memang berada pada posisi persinggungan dua arus besar kekhasan Sunda dan Jawa. Dengan posisinya sebagai jalur utama, arus lalu lintas masyarakat, varian-varian budaya Cirebon makin terasa. Interaksi kultural, yang penuh warna warni itu, sulit dihindari untuk memberikan sentuhan-sentuhan yang mempengaruhi atau bisa jadi memperkaya dan membuat Cirebon benar-benar khas, unik, dan sangat mungkin dinamis dari perspektif kultural.

Membandingkan Cirebon dalam kurun waktu sepuluh tahun saja dengan Cirebon kontemporer, sudah terasa perubahannya. Perkembangan industri, padatnya arus lalu lintas, ditambah perkembangan inforkom yang menabjubkan, makin menggoda budaya Cirebon, semakin bersolek. Tarling misalnya, sudah mengalami persentuhan luar biasa, baik dari aransemen musik mau pun lirik-liriknya. Barangkali, kosa kata Cirebonlah, yang membuat Tarling, masih dianggap sebagai produk budaya Cirebon. Pengaruh campur sari, dangdut, serta menyelip pula aroma musik India dan Arab; musik Cirebon itu sejatinya saat ini, memang mengalami metamorfase. Mungkin, bukan sebuah penghianatan budaya, tetapi lebih pada sebuah pergeseran warna. Seperti budaya, yang tak akan pernah ada yang mampu merobahnya, tak ada kekuatan pula yang dapat membentengi budaya dari sentuhan-sentuhan godaan perubahan.

Ada memang khasanah lama Cirebon, yang menjadi ciri Cirebon yang tetap hidup. Namun, tak pelak, serbuan arus budaya metropolit membuat berbagai kekhasan Cirebon seperti hidup bagai kerakap di atas batu. Kesenian sejenis tari topeng, tidak lagi hidup sebagai bagian dari dinamika kehidupan masyarakat tetapi lebih sekedar sebuah upaya berdiri membentuk monumen yang sepi dan bisu. Kekhasan Cirebon, memang pelan terasa menguap, dengan sedikit jejak-jejak yang mulai kabur. Suram.

Pemesanan: 085292263873 
Dicetak secara POD, lama proses cetak 7-14 hari
Harga belum termasuk biaya kirim

Senin, 24 September 2012

Wakatobi Pada Tutur FKN



Oleh Dadang Kusnandar
Kontingen Keraton Kanoman FKN VIII Buton

MENYUSUR kepulauan yang mengitari pulau Buton Sulawesi Tenggara, seseorang mengingatkan, “Kunjungi Wakatobi. Anda akan melihat betapa kuasa tuhan dengan keindahan alam terpatri dalam ingatan serta rasa takjub”. Menemani seniman tradisi Heri Komarahadi (Sanggar Sekar Pandan Cirebon) iseng memancing memancing di belakang Hotel Mira Kota Baubau, saya berkenalan dengan dua warga Wakatobi. Heri dan Tomi, nama yang juga ada pada grup sanggar asuhan Keraton Kacirebonan. Keduanya bertutur singkat tentang Wakatobi, tentang perjalanan ke sana yang dapat ditempuh 30 menit menggunakan pesawat terbang jenis foker yang hanya memuat 16 penumpang. “Terbangnya rendah dan kita dapat memotret Wakatobi dari dalam pesawat”, kata Tomi.

Mancing iseng di belakang Hotel Mira malam itu tidak memperoleh satu ekor ikan pun. Tepian pantai berkarang yang kotor oleh sampah plastik yang mengapung, ikan-ikan kecil yang malas mendekati umpan, sorot lampu 500 watt yang tiba-tiba dinyalakan petugas hotel yang berjaga malam itu, tak mengurangi pembicaraan tentang Wakatobi. Pulau indah yang dapat dikunjungi sembilan jam perjalanan laut. Tomi dan Heri bukan kontingen Festival Keraton Nusantara (FKN) VIII Buton. Keduanya adalah pekerja yang biasa pulang balik Wakatobi – Kendari dan singgah di Baubau. Tomi dan Heri malam itu bergaya ala pemandu wisata.

Ingat Wakatobi, ingat sebuah foto yang dikirim sahabat Nana Mulyana di Jakarta melalui akun facebooknya. Ia berfoto sambil memainkan laptopnya di atas perahu. Ia pula yang menyarankan agar saya singgah ke sana.  Akan tetapi, untuk singgah ke Wakatobi tentu tak sedikit waktu yang harus ditebus, sementara sebagai kontingen Keraton Kanoman Cirebon pada FKN VIII saya harus bisa membagi kegiatan yang imbang, baik untuk publikasi Kanoman maupun untuk kegiatan pribadi di Baubau. 

Demikianlah ketika kesempatan itu tiba, kesempatan diajak pergi ke Wakatobi, dengan berat hati saya urungkan. Empat pulau yang merangkai nama Wakatobi, yakni Wangiwangi (Wa), Kaledupa (Ka), Tomea (To) dan Binongko (Bi) mempunyai kisah mistifikasi yang dipercaya sebagian warga Buton dan sekitarnya.  Kabarnya, tatkala Anda bepergian mendekat Pulau Wangiwangi di situ tercium bau harum atau wangi-wangian. Di pulau kedua, Kaledupa ternyata ada pembakaran dupa. Setelah tercium wewangian dari dupa ternyata ada orang yang melakukannya di Pulau Tomea. Dalam bahasa Buton, te artinya ada dan mia artinya orang. Ini pulau ketiga. Dan di Pulau keempat Binongko, salah satu pulau di gugusan kepulauan wilayah Kabupaten Wakatobi, provinsi Sulawesi Tenggara. Pulau ini terletak di selatan Pulau Tomia, terdapat banyak pandai besi. 

Jika keempat nama tersebut dirangkai maka artinya lebih kurang wewangian dari sebuah dupa yang menandakan adanya kehidupan (orang, masyarakat) dan masyarakat di sana yang menangguk penghasilan dari kepandaiannya mengolah besi. Besi yang diolah menjadi senjata (pada masa kerajaan sangat penting untuk pertahanan) serta untuk keperluan masa kini (baik sebagai parang untuk membersihkan taman, golok untuk membelah kayu dan sebagainya). 

Lantas di manakah mistifikasi Wakatobi? Apakah ia bermula dari Pulau Wangiwangi di Pulau Kaledupa yang ditiupkan dari Pulau Tomia? Seorang lelaki, teman seperjalanan di Kapal Motor Dobonsolo bercerita kepada saya. Cerita khas Nusantara yang kaya dengan mistis. Namun karena fokus saat itu hanya untuk sekadar berkenalan maka mistifikasi Wakatobi tidak terkuak. Justru Muhammad Jaya (36) karyawan Sub Divisi Regional Badan Urusan Logistik Kota Baubau yang berhasil menjelaskan adanya kekuatan kutub magnetis di dasar laut gugus pulau Wakatobi. Katanya, dua tahun lalu dua orang temannya seharian terapung di perairan Wakatobi, tepat di pusaran kekuatan kutub magnetis dasar laut. Kompas kapal mati, semua saluran komunikasi tertutup dan kedua temannya tidak bisa berenang. Namun Alhamdulillah kapal bermuatan beras itu bisa menepi ke satu gugus pulau kecil, Pulau Hoga, dan selamatlah kedua teman Jaya.

Berdasar penjelasan yang didapat dari kegiatan Pameran Benda Pusaka FKN Buton di Gedung Maedani GOR Betoambari, kepandaian warga Binongko mengolah besi menjadi senjata pada masa kerajaan ternyata merupakan kontibusi sejumlah perang laut antara Pasukan Sultan Hasanudin melawan VOC dan Sultan Babullah kerajaan Ternate ketika mengusir Portugis. Senjata dengan bahan dasar besi itu dikirim ke Makassar dan Ternate, juga sebaliknya ada yang mengambil ke Binongko.

Berbagai hal menyangkut Wakatobi dari beberapa narasumber langsung itu sediktinya menuangkan asumsi, pertama, untuk memahami kekayaan kisah/ mithe Nusantara diperlukan kearifan dan cara pandang yang logis. Kedua, kekayaan alam/ keindahan pulau di beberapa lokasi Indonesia seharusnya dapat dimaksimalkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di tempat tersebut. Bukan hanya dieksploitasi oleh orang luar pulau hanya lantaran ia memiliki kapital yang kuat dan besar. Ketiga, untuk penyeimbang pengetahuan kita pada sebuah misteri pulau (yang tak dikenal karena belum pernah kita singgahi) maka perlu sedikit pengetahuan sejarah untuk memudahkan persepsi. Keempat, home industry yang berkembang di pulau mana pun memperlihatkan geliat masyarakat pada sejarah bangsa, dan dengan demikian kita mendapati geliat ekonomi masyarakat.

Empat asumsi di atas kiranya dapat jadi rujukan apabila muncul keinginan membangun struktur dan infrastruktur pulau indah dengan alamnya yang mempesona, dengan biota lautnya yang dapat didokumentasikan alat elektronik ~mesti berawal dari keinginan utama, yakni bukan semata-mata untuk memperoleh benefit. Melalinkan industri yang akan dibangun harus selaras dengan keseimbangan ekosistem. Artinya pola keseimbangan harus terjaga, amdal yang teruji, serta pelaku (manusia) yang bertanggung jawab melaksanakan pembangunan bukan pengrusakan.

Kisah Wakatobi pun terulang kembali saat bersama penyair Sumatra Barat, Riki Dhamparan Putra, menikmati secangkir kopi di bandara Betoambari yang terletak di Kelurahan Katobengke Kecamatan Betoambari, Baubau dan menunggu pemberangkatan ke Makassar. Lelaki berpenampilan cerdas berstatus PNS di RSUD Wakatobi menuturkan tentang pentingnya kehadiran sejumlah orang pintar untuk mengajar pengolahan hasil hutan dan limbahnya ke Wakatobi. “Ini lebih efisien dan tepat daripada membawa dan melatih orang Wakatobi ke Jawa”, ujar dia.***

Sabtu, 22 September 2012

Distribusi Kekayaan Negara

Oleh Dadang Kusnandar

BERBAGAI cara penyampaian kata-kata, ekspresi, dan ajakan saling memaafkan tertata merangkai kalimat indah pada sms yang saling bertukar sesama saudara dan teman menjelang lebaran idul fitri 1430 H. Idul fitri dan ramadhan terus berulang, begitu juga kata maaf. Agaknya ada pengulangan yang diam-diam kita sukai: idul fitri yang boleh makan minum di siang hari dan menerima/ memberi maaf lantaran kita suka berbuat salah. Idul fitri yang diterakan dengan kesucian insan yang telah sebulan melaksanakan puasa , tarawih, tadarus, dzikir, shadakoh, dan zakat harta --mengingatkan kita tentang satu hal. Yakni ketekunan pada urusan ukhrawi tetap harus dilengkapi dengan urusan duniawi.

Urusan bermanja-manja dengan Tuhan juga harus ditutup dengan kepedulian kepada orang lain. Ibadah di bulan ramadhan ternyata disudahi oleh penunaian zakat fitrah dan zakat harta. Puasa tahun 2009 yang didera suhu bumi yang terus naik, pada akhirnya adalah kepedulian kepada orang lain. Zakat yang kita keluarkan sebagai ibadah sosial senantiasa ingatkan pada distribusi kekayaan warga negara, yang mestinya diatur oleh negara. Zakat dalam pengertian ini adalah empati kita melihat ketimpangan sosial ekonomi dan buruknya distribusi kekayaan negara bagi warganya sendiri. Zakat dan distribusi kekayaan tak pelak jadi bagian penting manifestasi ibadah sepanjang bulan ramadhan.

Distribusi kekayaan negara dalam relasi ini adalah pemenuhan hak-hak dasar rakyat oleh negara: pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik yang manusiawi. Pemenuhan hak-hak dasar itu pun harus disertai oleh ketepatan alokasi dana rakyat yang terhimpun dalam APBN. Pendidikan, kesehatan dan pelayanan publik merupakan tugas utama negara kepada seluruh rakyatnya. Artinya jika negara tidak mampu menyediakan pelayanan publik yang manusiawi dalam hal pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan sebagainya maka negara telah gagal melaksanakan tugasnya sebagai pelayan publik. Kegagalan yang terus berulang ini semestinya berakhir karena tiap tahun selalu bertemu dengan bulan ramadhan yang mengajarkan kesalehan dan kearifan sosial. Dengan kata lain belajar dari ramadhan, terutama distribusi zakat harta di ujung ramadhan, pemerintah dapat mempeljari sistem zakat ini bagi kepentingan warga negara.

Jika ratusan tahun silam saja pemerintahan/ khilafah islamiyah telah mampu melaksanakan distribusi kekayaan negara kepada seluruh warganya, sungguh tepat jikalau ide dasar ini diadopsi, dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat indonesia. Angka kemiskinan yang masih membuat kita giris, dalam hitungan puluhan juta orang dan puluhan persen dari jumlah rakyat, seharusnya dapat segera tertangani apabila didukung kebijakan publik untuk segera keluar dari kemelut kemiskinan. Apabila seluruh pejabat negara TIDAK menghamba kepada pemenuhan finansial dirinya, dan apabila pemerintah mengajak warga negaranya untuk sama-sama menjadi kaya raya menikmati kekayaan indonesia yang melimpah itu.

Di sisi lain juga harus ada political will kepala negara dan kepala daerah untuk membatasi penggunaan anggaran bagi kebutuhan sekunder. Pada contoh sederhana, pejabat yang telah memiliki kendaraan pribadi tidak harus menerima kendaraan dinas. Demikian pula halnya dengan rumah dinas dan sebagainya. Kita sungguh terperangah ketika mendengar pemda di indonesia menjual mobil dinas kepada pejabat yang telah menggunakan kendaraan tersebut dengan harga murah. Dan dalam waktu tak lama pemda membeli lagi kendaraan-kendaraan dinas bagi pejabat baru. Apresiasi atas kerja pejabat bukan diukur oleh pembelian sejumlah benda, melainkan penghargaan atas karya nyata. Artinya jikalau sang pejabat tidak menunjukkan prestasi apa pun selama masa kerjanya, maka buat apa diberi sejumlah benda; terlebih bila ia pun sudah memiliki benda yang sama.

Redistribusi kekayaan negara dapat dilakukan melalui langkah berani kepala daerah untuk memangkas dana-dana rakyat bagi pos-pos yang tidak simultan bagi penanganan kemiskinan rakyat. Belajar dari sepenggal kisah Jendral Sudirman yang menolak makan semangkok sup ayam sementara anak buahnya mengkonsumsi ubi, padahal beliau tengah sakit -- adalah bentuk kepemimpinan seorang yang mau sama-sama merasakan keprihatinan bersama. Zakat dan atau pajak maupun retribusi rakyat seharusnya mampu mengurangi jumlah kaum miskin di indonesia. Sungguh sulit dibayangkan bila suatu saat orang miskin berkata: kami tidak butuh harta kalian, kami ingin darah kalian! Inilah kejadian yang mengilhami penyerbuan Penjara Bastille menjelang Reolusi Prancis yang monumental itu.

Orang miskin sesungguhnya tidak menuntut banyak kepada negara, kecuali kemudahan perolehan hak-haknya sebagai warga negara. Kaum miskin yang terus menerus jadi objek itu mestinya dipulihkan dari ketertinggalannya. Untuk kaum miskin tidak ada yang lebih berharga selain wujud Undang-undang dan peraturan daerah yang berpihak kepada publik. Mereka hanya ingin agar pengelolaan kekayaan indonesia itu tidak cuma berputar pada golongan tertentu alias para penjarah keringat rakyat yang dikabarkan bekerja untuk rakyat miskin. Kaum miskin menghendaki perubahan yang secara serentak dapat mengakhiri kemiskinan mereka.

Sekali lagi jikalau pemerintah secara tepat melaksanakan pembangunan karakter bangsa, dalam pandangan saya harus diawali dari penggunaan APBN dan APBD yang tepat sasaran. Bukan memoles bangunan mentereng tapi dinyatakan membangun/ merenovasi dengan mark up harga yang nilainya besar. Bukan mengatakan membangun bila hanya tambal sulam sejumlah bangunan negara.

Kembali ke soal awal, distribusi zakat harta yang kerap dilaksanakan pada akhir ramadhan akan jadi lebih bermakna apabila dikombinasikan dengan pengelolaan keuangan negara yang tidak menyakiti perasaan publik. Terutama perasaan kaum miskin dan tertindas.***