Selasa, 13 September 2011

Seandainya Pak Imron Suka Menulis

Mengenang Prof. Dr. HM Imron Abdullah

TOKOH pendidikan berpenampilan sederhana yang oleh kolega dekatnya dipanggil "abang" Minggu 11 September 2011 pulang ke haribaan ilahi. Tak dinyana, Minggu pagi abang masih membuka acara halal bi halal di Islamic Centre At Taqwa Cirebon. Setelah itu menghadiri resepsi pernikahan di sebuah hotel. Abang rebah lalu dibawa ke RS Pertamina Klayan, dan pukul 12.30 menghembuskan napas terakhirnya.

Beberapa kawan saling berkirim kabar melalui pesan pendek tentang kepergian abang. Semua terkejut lantaran tidak banyak yang tahu bahwa abang mengidap penyakit jantung, asam urat, dan gejala ginjal. Abang tetap ingin tampak sehat di depan teman-temannya. Termasuk ketika hari Rabu 7 September lalu menerima kedatangan pengurus At Taqwa di rumahnya.

Abang yang saya kenal cukup dekat ini, sejak sering kami undang berceramah di Klub Kajian Gerbang Informasi tahun 1990-an, memang dikenal luwes bergaul. Berbagai kalangan mengenal abang.

Sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Cirebon perinde tahun 2000 - 2010 bukan berarti kepemimpinan abang tanpa konflik dan friksi. Namun abang menyikapinya dengan kepala dingin. Tak banyak komentar kendati wartawan mengejar. Tahun konflik itu abang mengikuti saran almarhum KH Syarif Usman Yahya dari pondok pesantren Kempek Ciwaringin.

Diam itu emas, ternyata membuahkan hasil. Semakin diam semakin meredam persoalan, karena segala sesuatunya sudah ada yang mengurus. Alhamdulillah konflik pun berakhir.

Meski abang tidak lagi memimpin STAIN Cirebon, yang kemudian balik nama lagi menjadi IAIN, abang tetap mengajar di kampus tersebut. Sebagai guru besar pemikiran Islam, abang tetap konsisten membagi ilmunya kepada mahasiswa S1 dan S2.

Kedekatan abang dengan berbagai kalangan itu pula yang mengantarkannya memimpin Mesjid Raya At Taqwa dan Islamic Centre Kota Cirebon. Bersama sejumlah aktivis mesjid, berbagai program dirancang bagi kemaslahatan umat.

Namun tak ada yang tahu usia manusia kecuali Al Khaliq. Usia 60 abang pulang. Tak akan terlihat lagi pria yang suka menolong orang lain itu, termasuk dalam hal keuangan. Kabarnya, abang suka datang ke lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswanya untuk memberi spirit (bahkan) sejumlah uang kepada mahasiswanya.
Di hadapan mahasiswanya, ketika abang memberi kuliah menggunakan cara yang mudah dipahami, karena abang selalu mengajak mahasiswa berpikir kritis dan selalu mengedepankan logika berpikir sebagai alternatif dalam merespons perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula abang adalah orang mempermudah urusan dan member kemudahan kepada siapa pun yang meminta bantuan. “Dan dalam hal perbedaan pendapat, abang tidak diragukan lagi,” papar Syaiful Badar, mantan mahasiswa abang yang juga bersama abang menjabat pengurus Mesjid At Taqwa dan Islamic Centre Cirebon.

Usai dishalatkan di Mesjid Al Muhajirin Komplek Mega Endah Cirebon menjelang Maghrib, jenazah diberangkatkan ke kampung kelahirannya di RT 5 RW 13 Kelurahan Brebes Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Rektor IAIN Nurjati Cirebon Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar dan Sekretaris Daerah Kota Cirebon Drs. H. Hasanudin Manaf dan kerabat turut mengangkat keranda jenazah abang dari mesjid ke mobil ambulance. Tangis anak perempuan abang menghanyutkan suasana duka. Rombongan kendaraan pun bergerak menuju Brebes.

Dalam sambutannya, Maksum Mukhtar mengatakan, "Abang adalah orang baik. Saya bersaksi adalah orang baik yang mengetahui kesalahan-kesalahan bawahannya dalam kepemimpinannya di IAIN. Tapi abang juga adalah orang yang pandai menutupi kesalahan bawahannya. Saya mengenal beliau sangat dekat dan saya merasa kehilangan."


Bagi aktivis pergerakan mahasiswa, abang bergiat di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sejak kuliah S1 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta lalu menjadi dosen di IAIN Sunan Gunungjati Cirebon. Aktivitas di HMI pula penyebab abang dekat dengan lingkaran intelektual dan aktivis di Jakarta.

Menurut pengakuan seorang mahasiswa, jelang Reformasi 1998 abang tak tinggal diam. Berbarengan tengah mengikuti perkuliahan S3 di IAIN Jakarta, abang diam-diam menjadi bagian tak tertulis dari gerakan mahasiswa saat itu. Konon abang biasa loncat dari kereta api saat perlahan memasuki stasiun Jatinegara agar mudah mendapat angkutan umum.

Suatu ketika abang bercerita tentang ayahandanya di Brebes. Katanya, ayah saya itulah yang menanamkan berbagai pelajaran kehidupan. Sikap abang yang sederhana, mengalah, moderat dan merangkul berbagai organisasi Islam ~merupakan bagian pelajaran ayahandanya. Demikian pula kebiasaannya menyimak pembicaraan orang lain.

"Keuntungan menjadi pendengar ialah memperoleh banyak informasi dari orang lain. Kita lantas memformulasi input tersebut untuk mengambil langkah terbaik," kata abang.

Kedekatan kembali dengan abang berlangsung saat pengasuh pondok pesantren Kempek Ciwaringin KH Syarif Usman Yahya sakit. Abang kerap sowan kepada Kang Ayip. Di perjalanan abang bertutur tentang masalah pendidikan dan situasi sosial politik.

Namun sayang sekali, kita yang ditinggalkan abang tidak memperoleh sebuah kitab karya abang menyangkut pemikiran Islam yang terus berkembang. Pemikiran agama yang selalu dihadapkan dengan berbagai pemikiran lain dan saling berebut menyesaki wacana dan ruang publik. Seandainya abang suka menulis --baik di koran majalah atau buku-- tentu kita akan lebih memahami pemikirannya. Terlebih bagi sejumlah teman yang jarang berdialog dengan abang.

Seandainya abang senang menulis di media apa pun, kepergiannya yang cukup mengagetkan itu dapat sedikit terobati dengan membaca karya tulisnya. Seandainya abang senang mempublikasikan tulisan-tulisannya mengenai perkembangan Islam, pergulatan pemikiran Islam, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam dan kemanusiaan, maka jika merindukannya kita dapat menelaah karya-karya tulisnya.

Meminjam Pramudya Ananta Toer dalam Rumah Kaca, “Agar seseorang tidak hilang dari masyarakat dan sejarah, maka tak ada jalan lain kecuali menulis”.***

Kamis, 04 Agustus 2011

Titip Nasib ke Pabrik Gula

Oleh Dadang Kusnandar

TAHUN 1700-an di Jakarta ada delapan buah pabrik gula. Tidak dijelaskan lokasi pabrik tersebut, namun data itu menunjukkan kesungguhan kolonial (VOC) mengeksploitasi kekayaan bumi imperiumnya untuk memenuhi kas negaranya di Belanda. Pulau Jawa memang jadi sasaran berdirinya lokasi pabrik gula, dari Jawa Barat ke Jawa Timur jumlahnya mencapai 44 (empat puluh empat) buah. Pendirian pabrik gula di Jawa beralasan karena tanahnya yang subur dengan puluhan gunung vulkanik yang turut membantu kesuburan tanahnya. Tak terkecuali di Cirebon. Beberapa pabrik gula dibangun, lahan tebu pun tersebar mencapai area ratusan hektar.

Entah ini sebuah keberuntungan atau kesialan. Beruntung lantaran dinamika ekonomi kolonial yang hegemonik itu pun, mampu menarik tenaga kerja kaum pribumi. Kendati pendapatan yang diperoleh sangat tidak berimbang bila dibanding dengan tauke Tionghoa dan pihak kolonial. Keberadaan pabrik gula pun menyegerakan terbentuknya pemukiman buruh ladang tebu dan kuli pabrik. Sial lantaran kerja keras kaum pribumi tidak memperoleh haknya secara pantas. Bahwa tanah yang didirikan pabrik di atasnya adalah milik mereka yang dirampas, begitu pula ladang tebunya. Sementara kaum penghisap dan tauke Tionghoa mendulang untung sangat besar bagi pemenuhan pundi-pundi emas dan kekayaan mereka.

Kesialan lainnya adalah Sistem Tanam Paksa yang diterapkan van den Bosch atas tanah jajahannya berusaha mengambil 1/5 luas lahan tanah yang dikerjakan rakyat untuk ditanami tanaman ekspor yang laku di pasaran Eropa. Tanah tersebut harus dikerjakan oleh rakyat tanpa bayaran di bawah kendali para petugas bangsa Eropa yang ahli di bidang teknis. Hasil tanaman tersebut diserahkan kepada pemerintah yang selanjutnya meyerahkan pengolahannya pada para pengusaha. Ketentuan pelaksanaan Sistem Tanam Paksa dimuat dalam Lembaran Negara (Staatsblad) No. 22, 1834. Di dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa penyerahan tanah adalah atas dasar persetujuan penduduk, dengan pembebasan pajak bumi bagian tanah yang terkena wajib tanam. Apabila hasilnya melebihi nilai pajak bumi, maka kelebihannya itu akan diberikan pada petani, namun apabila lebih rendah petani tidak memperoleh apapun, dan kegagalan panen yang tebukti bukan karena kelalaian petani menjadi resiko pemerintah.

Pada tahun 1830-1870 gula telah menjadi konsumsi harian masyarakat Eropa dan hal itu merupakan bukti adanya celah pasar untuk perdagangan gula di level internasional. Celah pemasaran gula di Eropa terjadi karena para investor gula yang sebagian besar berkebangsaan Inggris bangkrut akibat kegagalan investasi di Pamanukan-Ciasem.Periode ketiga perkembangan industri gula di Jawa yang merupakan pelaksanaan eksploitasi pihak swasta atas tanah jajahan terbentuk atas landasan periode kedua yaitu pada kurun Sistem Tanam Paksa.

Sistem Tanam Paksa yang diperkenalkan oleh Johannes van den Bosch pada 1830 mempunyai tujuan utama yaitu mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari hasil komoditas perkebunan di Jawa yang dapat dijual ke pasaran Eropa. Hasil perkebunan yang dimaksud adalah produk hasil bumi pertanian beserta perangkat pengolahan dasar. Agar dapat bersaing di pasar dunia, maka komoditas hasil Sistem Tanam Paksa harus mempunyai kualitas, mutu yang setara atau lebih baik dan berharga murah dibandingkan dengan komoditas serupa yang diproduksi oleh bangsa lain di dunia.

Untuk mencapai tujuan itu, maka pemerintah kolonial Hindia Belanda merasa perlu membuat pribumi Jawa memproduksi dan mengolah komoditas yang dikehendaki namun dengan biaya seminimal mungkin. Hal itu berarti pemerintah kolonial berusaha menggagas corak produksi yang berjalan terpisah dengan azas-azas pengaturan yang diatur pasar dunia. Dengan kata lain, Jawa dijadikan daerah produksi yang memenuhi kebutuhan sendiri dengan corak masyarakat sosialis modern (van Niel, 2003: 58).

Pada 13 Agustus 1830, Bosch telah menyetujui penanaman tebu dan penggilingan gula di keresidenan-keresidenan yang dianggap potensial bagi indutri gula sepanjang pesisir pantai utara Jawa (Elson, 1978: 37). Terdapat tiga variasi dalam penentuan letak pabrik gula yang dapat dibedakan berdasarkan geografis, yaitu: pola wilayah tengah yang meliputi Cirebon-Pekalongan-Semarang; pola distrik Jepara; dan pola wilayah timurmeliputi Surabaya-Pasuruan-Besuki (van Niel, 2003: 58). Hal yang penting dalam penentuan tempat (keresidenan) bagi penempatan industri gula adalah keresidenan yang memiliki jumlah populasi yang memadai. Olehkarena pada saat itu masih sulit mendapatkan pengusaha yang berminat mendirikan pabrik gula berdasarkan kontrak pemerintah, maka penanaman tebu dilakukan dalam skala terbatas di wilayah Cirebon-Pekalongan-Semarang (Cahyono, 1991: 15; Atmosudirdjo, 1983: 2000).

Petani Vs Pemilik Pabrik
Terbengkalainya pertanian sawah sebagai akibat dari munculnya industri gula selalu menyebabkan sumber konflik antara petani dengan pemilik pabrik. Konflik itu merupakan wujud dari persaingan secara langsung antara petani pemilik lahan yang menginginkan lahannya digunakan untuk tanaman pangan dengan pabrik gula yang membutuhkan lahan yang murah bagi tebu. Akumulasi dari konflik itu pada akhirnya banyak menuai reaksi dari petani dengan cara pembakaran perkebunan tebu. Pembakaran tebu merupakan fenomena yang biasa terjadi, karena dengan cara tersebut para petani dapat mengungkapkan protesnya. Pembakaran perkebunan tebu oleh petani di Jawa sering terjadi pada bulan Mei hingga Oktober, yaitu pada saat lahan sawah ditanami tebu dan pula pada waktu tersebut merupakan bulan-bulan dengan suhu terpanas ditambah lagi dengan banyaknya daun tebu yang mengering sehingga dengan mudah dapat terbakar. Pembakaran perkebunan tebu itu tidak hanya mengancam produksi gula namun juga mengancam stabilitas politik di daerah penanaman tebu (Mubyarto,1992: 80).

Munculnya konflik petani dengan pemilik pabrik memperlihatkan betapa sistem ekonomi kapatalistik dan hegemonik yang diterapkan pemerintah kolonial berakhir dengan kekerasan massa. Beralasan kiranya bila sejarah Indonesia mencatat pemberontakan petani di Banten, yang dapat kita baca di buku Sartono Kartodirdjo. Pemberontakan petani itu merupakan kausalitas ketidakpuasan petani atas kesewenangan dan perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Petani hanya menjadi korban penghisapan, sedangkan pemerintah kolonial meraup keuntungan besar di atas keringat dan darah petani.

Demikianlah lintasan pendek menyoal pabrik gula di Jawa dengan petani. Petani yang pada akhirnya tidak memiliki apa-apa dan tetap dengan kemiskinannya. Ironinya sampai kini pun petani tetap miskin lantaran tanah yang dimiliki disewakan kepada pabrik gula. Lantas mereka menjadi petani penggarap di atas tanahnya sendiri. Menjadi buruh di tanah sendiri, suatu keadaan yang berbalik diametral dengan konsep swadesi ala Mahatma Gandhi, atau Marhaen ala Bung Karno.

Dengan demikian perlu adanya format baru dalam hubungan petani tebu, pabrik gula (yang telah dinasionalisasi), pedagang gula yang difasilitasi oleh negara. Di sinilah kiranya keberadaan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (ATPRI) menjadi penting untuk menjembatani hubungan mutualis agar kesialan petani tebu tidak terulang kembali. Di tengah kondisi mesin produksi pengolahan tebu yang tua, produksi gula nasional terus digenjot agar mampu mencapai swasembasa gula pada 2014. Tentu saja ini perlu kerja keras semua pihak terkait.

Kabar terakhir, dua pabrik gula di Cirebon yakni PG Sindanglaut dan Karangsuwung akan tutup. Menurut data yang ada, kebangkrutan kedua pabrik itu tinggal menghitung bulan. Akan dikemanakan para pekerja di sana, lalu bagaimana nasib petani tebu, juga semua jaringan yang terkait dengan pergulaan? Pertanyaan lain, swasembada gula yang dicanangkan tahun 2014 apakah akan berhasil atau hanya memperpanjang waktu karena ketidakmampuan pemerintah mengembalikan Indonesia sebagai eksportir gula terbesar di dunia?

Di tengah tantangan itulah, pabrik gula yang terus dirayapi ketuaan masih tetap memiliki peran ekonomi. Meski aktivitasnya seakan berdenyut sesaat setelah musim panen tebu tiba, yang dikenal dengan istilah giling, sejumlah orang tetap "menitipkan" nasibnya kepada pabrik gula.***

Selasa, 05 Juli 2011

Tidak Ada NII Sejak 7 Juni 1962

DIALOG INTERAKTIF
MAJELIS TARJIH DAN TAJDID
PDM KOTA CIREBON

“MENYIKAPI EKSISTENSI NEGARA ISLAM INDONESIA DI KOTA CIREBON”
PEMBICARA :
KH . M. SHOLEHUDIN (PELAKU SEJARAH)
AKBP A. EDI SUHERI, SIK(KAPOLRESTA CIREBON)
LETKOL. ARH. EDDY WIDIYANTO, SIP (DANDIM 0614)
MODERATOR : SUNARDI, SAg
PENCATAT : DADANG KUSNANDAR
LOKASI DISKUSI :
AKBID MUHAMMADIYAH CIREBON, MINGGU 3 JULI 2011

Acara diawali pembacaan ayat suci Qur`an oleh Ustadz Buldan.
Sambutan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Kota Cirebon, Azis Fachrudin.
Ini merupakan kegiatan pertama kepengurusan Majelis Tarjih periode 2011 – 2016 dengan tema NII, kegiatan ini penting untuk meredam anak-anak kita agar tidak terseret ke dalam aktivitas yang kontraproduktif. Padahal sejak 1963 NII sudah kembali ke NKRI.

Sambutan Ketua PDM Drs. H. Kosasih Natawijaya
Ketua PDM menyampaikan sikap kenegarawanan dan sikap kebangsaan Muhammadiyah secara tertulis dan dibagikan kepada hadirin agar tidak keliru mengangkat tema yang sensitif ini.

Staf Ahli Walikota Cirebon, Ir. Budi menyampaikan sambutan singkat mewakili Walikota Cirebon.

DIALOG INTERAKTIF

KH. M. Sholehudin mantan laskar NII dibawah pimpinan SM Kartosuwiryo.

Ki Soleh lahir di Losari Lor yang kini bernama Desa Mulyasari 7 Desember 1931, orang tuanya sangat anti Belanda, menjadi santri di Pemalang dalam asuhan Kiai Makmuri pra kemerdekaan dan menjadi anggota Hizbullah. Setelah merdeka, dan Belanda melakukan Agresi Militer I. Hizbullah (Badan Keamanan Rakyat) bersatu dengan TNI melawan Belanda. Hijrah ke Yogya membawa bendera putih sebagai tanda menyerah. Menurut Bung Tomo, SM Kartosuwiryo memperoleh restu Jendral Sudirman untuk mengamankan Jawa Barat. Buku putih tulisan Bung Tomo (seorang tokoh penting Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya) menyebabkan beliau ditahan pemerintahan Soeharto tahun 1977.

Haidar menulis buku Pemikiran Proklamator Negara Islam Indonesia berdasar skripsi S1 nya di UI. Di Jawa Barat pada saat itu juga terjadi pembantaian 40 ribu orang oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah pimpinan Westerling yang lantas lari ke Sulawesi Selatan. Juga ada pemberontakan BSA (Barisan Sakit Ati) dari pasukan tentara. Agus Abdullah dari Cirebon berpangkat Brigjen sebagai Komandemen Panglima Wilayah Besar (KPWB) Jawa Madura dan berkedudukan di Madura.

Ki Soleh ditugaskan membawa surat kepada Jend. AH. Nasution, ketemu Kolonel Muhammad yang mengatakan semua pengamanan diserahkan kepada Kolonel Ibrahim Aji. Ibrahim menulis radiogram kepada Agus Abdullah. KPW semuanya berasal dari Cirebon, dan tidak ada Komandemen Wilayah IX (KW 9). Gunung Puyuh di Sukabumi, di Ciamis ada Ateng Jaelani. Strategi Ibrahim Aji berhasil dengan Operasi Pagar Betis sehingga pasukan NII dapat diturunkan dari persembunyiannya di gunung. Sejak 7 Juni 1962 NII sudah tidak ada, Kartosuwiryo dieksekusi. Secara eksplisit Ki Soleh mengatakan, “ NII yang ada sekarang tidak lain hanyalah maling, nyolong, dan perampok”.

Pelajari sejarah, bahkan Nabi Muhammad saw berperang karena didzalimi. Kartosuwiryo menuntut hak karena tidak ada pemerintahan syah pada 7 Agustus 1949 mendirikan NII, saat itu yang ada adalah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara di Bukit Tinggi. PDRI pun dikenal dengan Pemerintah Repubik Indonesia Serikat.

Sardjono putra Kartosuwiryo kini tinggal di Pejaten Jakarta Selatan, ia sangat kecewa melihat NII sebagaimana diberitakan media cetak elektronik. Dalam perjalanan berikutnya, Ki Soleh pernah ditugaskan TNI mengawasi orang-orang PKI di Wilayah III Cirebon dan mendapat honor, ia kerjasama dengan Letnan Rosidi Kadugede Kuningan. Paska 1965, Ibrahim Aji diganti HR Dharsono.

Opsus yang dipimpin Kol. Ali Murtopo tahun 1971 memanggil mantan DI untuk masuk Golkar, yang menolak menjadi Komando Jihad (Komji). Maka Komji buatan Ali Murtopo itulah yang menggerakkan “NII” hingga kini. Pesantren Al Zaitun di Haurgeulis sesat karena menghalalkan segara cara untuk mencapai tujuan.

Drs. Sutisna, MH. MSi Kabag Perencanaan Polresta Cirebon mewakili Kapolresta.

Pasal 13 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara, tugas pokok kepolisian: Kamtibmas, Penegakkan Hukum, Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Nilai-nilai Pancasila sudah tidak dipahami oleh siswa sekolah, pelajaran PMP sudah tidak ada lagi. GBHN, Tap MPR yang digunakan pemerintah Orba meredam tindakan korupsi di tingkat propinsi. Susunan Perundang-undangan: UUD 45, Tap MPR, Batang Tubuh, Aturan Main perundangan, Perundang-undangan. Hingga kini ada 166 perundang-undangan.

HAM sudah dikodifikasikan dalam Qur`at Al Kafirun, “lakum dinukum waliyadin”. Keadilan di Negara kita belum ada. Jangan sampai tertarik kepada ajaran sesat karena diiming-imingi uang dan janji. Sampai sekarang saya bertugas di Cirebon, saya tidak menemukan anggota NII. Kalau ada, laporkan saja ke Kodim atau Polresta karena itu membahayakan Negara. Siapa pun yang ingin mendirikan Negara di dalam Negara berarti makar.

Lukmansyah, Kasdim 0614 mewakili Dandim

Kegiatan makar di Indonesia: GAM yang dipimpin Abu Daud Beureuh dsb. Sesama anak bangsa jangan sampai terjadi perang. Negara adalah kewajiban seluruh bangsa, TNI hanya menjembatani melaksanakan pendidikan bela Negara di pesantren-pesantren Kabupaten Cirebon. Dalam waktu dekat Kodim akan melakukan hal yang sama pesantren Kota Cirebon. Keberadaan NII adalah makar dan sangat dilarang karena tidak disahkan oleh pemerintah.

Dialog dengan hadirin :

1. Ahmad Syubbanuddin Alwy, penyair dan budayawan
Buku berjudul NII, Jet Lee, Salafi di Indonesia karya Solehudin.
Negara tidak mengambil spirit kultur dalam format pembentukan negara, ini yang sering tidak dilakukan oleh para petinggi Negara. Hendropriyono pasti tahu di mana lokasi teroris tapi karena tidak jujur , maka sepertinya selalu ada terorisme di Indonesia. Polri dan TNI tidak segera bertindak menangani masalah korupsi, berbeda dengan jika menangani soal korupsi. Jadikan politik sebagai sub mainstream Negara. Jangan-jangan negara tidak sungguh-sungguh mendata persoalan dengan resistensi politik. Gerakan separatis muncul karena pemerintah gagal mengelola SDA kita.

2. Nurudin, mahasiswa
NII ada di Kota Cirebon, gerakannya tidak menamakan NII secara langsung. Banyak mahasiswa yang diba`iat oleh seseorang. Panji Gumilang sering mengundang mahasiswa diskusi NII di Al Zaitun.

3. Asmuni, Paska Sarjana IAIN Cirebon
Negara dalam negara adalah maker. Siapa pun yang menentang pemerintah syah namanya pemberontak. NKRI sudah final. Munculnya pemberontakan pertama dilakukan oleh Qobil anak Nabi Adam as.

4. Muhyidin, Anshor Kab. Cirebon
Banyak selebaran, spanduk di mesjid Cirebon yang isinya keras. Di mana polisi dan tentara? NKRI harga mati karena para pendiri bangsa mengejawantahkan Piagam Madinah. 49% siswa di Indonesia menyukai kekerasan dan tidak mengenal NU/ Muhammadiyah.

5. Anas, Pemuda Muhammadiyah Kab. Cirebon
Aparat tidak bertindak dengan adanya penyimpangan yang terus terjadi. 29 OKP yang ada di Cirebon yang sering mengatakan sebagai pembela NKRI ternyata sering bertindak tidak sesuai.

6. PC NU Kab. Cirebon
Dialog interaktif jangan hanya jadi wacana, terpenting aparat bertindak. Ketika ada gerakan makar maka segera ditindaklanjuti. Pemerintah harus mengetahui apa dan bagaimana NII setelah itu publikasikan kepada masyarakat.

Renungan

Sebulan sebelum dialog interaktif digelar, saya bersama tiga teman mendengar kisah di atas di rumah sederhana Ki Soleh di Desa Pegagan Kecamatan Palimanan Kabupaten Cirebon. Sekira tiga minggu pra dialog itu, saya mengirim pesan pendek kepada sejarawan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Isinya: Benarkah Kartosuwiryo memperoleh restu Jendral Sudirman untuk mendirikan NII? Dan benarkah Hijrah tentara dari Jawa Barat ke Yogyakarta menunggang kereta api pada 1949 mengibarkan bendera putih sebagai tanda RI menyerah kepada Belanda, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta ditahan di Yogya? Lalu apakah inisiatif Syafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi Sumatra Barat, merupakan bukti ketiadaan pemerintahan RI? Hal ini terbukti dengan tidak adanya selembar kertas resmi penunjukkan dari Bung Karno dan Bung Hatta kepada Syafruddin Prawiranegara. Dan jika sudah demikian, bagaimana keabsahan NII yang didirikan SM Kartosuwiryo di Gunung Tjupu Jawa Barat pada 7 Agustus 1949 lalu?

Sayang sekali pesan pendek yang terjebak menjadi pesan panjang itu tidak dijawab sampai sekarang. Agaknya perlu kajian mendalam membincangkan soal krusial ini. Ataukah memang Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia mempunyai versi sejarah sendiri demi pengukuhan eksistensinya? Wallahu `alam. Akan tetapi Ki Soleh dengan ingatan yang masih kuat di usianya yang mencapai 80 tahun itu, meneruskan kenangannya: Atas lobi internasional yang dimiliki NII, katanya, di PBB telah disediakan kursi bagi Negara Islam Indonesia (NII). Peranyaan yang mengemuka, “Kenapa Pengakuan Kedaulatan Belanda terhadap Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 jusrtu kembali ke tangan Bung Karno dan Bung Hatta? Bukan kepada Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia Mr. Syafruddin Prawiranegara?”. Saya jadi teringat pada majalah Islam yang terbit di Jakarta awal 1990 lalu ketika menulis laporan utama yang bertajuk “Presiden Yang Terlupakan: Syafruddin Prawiranegara”.

Bila penuturan Ki Soleh benar adanya, tidak dapat dibayangkan bagaimana sebenarnya penulisan dan kisah sejarah Indonesia diturunkan hingga sampai kepada kita sekarang? Seandainya kita sebagai bangsa ragu terhadap sejarah bangsanya, bagaimanakah lagi untuk anak keturunan kita kelak kemudian hari?

Dengan demikian, masih adakah faktor lupa dalam pembentukan bangsa? Lupa sebagai satu-satunya alas an masuk akal manakala sejarah ditulis berdasarkan ingatan semata. Fakta dan data yang sudah terkubur puluhan tahun, jelas menjadi kendala utama tidak diperolehnya objektivitas sejarah.

Satu hal yang menarik dari penuturan Ki Soleh tertuang pada judul tulisan ini. Bahwa NII sudah bubar sejak 7 Juni 1962. Dan NII sekarang hanyalah maling, nyolong dan rampok.***

Jumat, 24 Juni 2011

DEKATI BALITA DENGAN CINTA

Kisah Nyata Anak Lancar Baca Tulis Usia Empat Tahun

Oleh Dadang Kusnandar
penulis lepas, tinggal di Cirebon




SEMARAK Taman Pendidikan Al-qur`an (TPA) di Kota Cirebon sejak tahun 1990-an, mencipta kesepakatan kami mendaftarkan anak ke TPA Al Ikhlas RW 03 Langensari Kelurahan Pekiringan Kecamatan Kesambi. Saat ini Leila berusia 3 (tiga) tahun, kecil mungil namun lancar bicara dan hafal beberapa lagu anak. Gurunya menempatkan Leila di kategori Iqro 1, metode cepat baca tulis bahasa Arab tingkat dasar. Tak dinyana, anak kami cepat beradaptasi dengan lingkungan belajar di TPA yang berlokasi samping mesjid. Teman-teman di TPA membimbing agar anak kami agar cepat bisa baca tulis yang diajarkan gurunya. Di mesjid dan TPA itu ia menekuni dunia baru.

Tas kecil, sajadah, mukena, alat tulis dan buku IQRO 1 selalu dibawa dan ditekuninya. Di rumah ia mempraktekkan hasil belajarnya. Dengan bangga memperagakan kebisaannya membaca alfabet Arab yang dirangkai dengan harakat, meski baru dua-tiga huruf hijaiyyah, pun menunjukkan bukunya yang ditandai stempel warna ungu bergambar anak perempuan berkerudung --tanda bahwa ia lancar (L)—pada pelajaran harian. Saya menempelkan alfabet Arab dan Latin di dinding ruang tamu sejak ia berumur dua tahun. Cara ini terbukti membantu anak mengikuti pelajaran di TPA, bahkan tergolong cepat menyelesaikan program tingkat dasar (Iqro 1 – 6).

Begitulah metode dasar diselesaikan dalam waktu 6 bulan (belajar di TPA tiap hari selain Jum`at), lalu masuk ke Juz Amma dan Qur`an (30 juz) hingga tahun ke tiga. Menjelang Ashar, ia berangkat jalan kaki sejarak 200 meter bersama kakak kelasnya yang saat itu siswa kelas lima Sekolah Dasar. Sekalian kami titipkan anak kepadanya, Leila terkesan dan menjadi kesayangan guru TPA.

Begitulah usia tiga tahun lewat, anak kami mampu membaca Qur`an. Metode Iqro kami terapkan di rumah. Hruf Alif (bahasa Arab) kami setarakan dengan huruf A (bahasa Latin), huruf Ba dengan B, Ta dengan T, Tsa dengan S, Jim dengan J, Zai dengan Z, Ha dengan H, Kho dan Qof dengan K, Dal dan Dzal dengan D, dan seterusnya. Saya membuat dan menempelkan tabel pendekatan bahasa Arab dan Latin itu di dinding ruang tamu bersebelahan alfabet Arab dan Latin. Huruf vokal A dibantu oleh huruf Alif dan harakat Fathah, I dibantu oleh harakat Kasroh, dan U melalui harakat Dhomah. Lucu jadinya saat anak membaca bahasa Indonesia hanya mengandalkan vokal A, I, dan U. (Anda bisa bayangkan sendiri kata sekolah ditulis dalam alfabet Melayu/ Indonesia : sakalah, sikala, sukalah, sakilah, sakula, sukulah dan seterusnya kombinasikan dengan perpindahan harakat antar huruf).

Berapa kosa kata bahasa Indonesia yang diterima di memori anak usia tiga tahun? Usia yang sangat potensial ditanamkan pelajaran dan pendidikan apa pun, tergantung orang tua. Merujuk sebuah hadits Nabi Muhammad saw, “Orang tua yang kelak menjadikan anak Nasrani atau Yahudi”.

Ketika ia masih tiga tahun, kami merangkai seperti ini : jika dalam Iqro 1 ada tulisan alama (seharusnya ini ditulis dalam bahasa Arab), anak kami diberi tahu kata itu sama terdiri dari( sebangun dan sebangun alias kongruen) huruf A, L dan M. Begitu seterusnya metode cepat ini kami ajarkan di rumah. Alhamdulillah, istri saya tekun mengajar dan membimbing anak melalui formula yang seketika muncul di benak saya itu. Saya hanya mengajar saat ada di rumah pagi hari.

Malam hari bagi saya di tahun 2000 itu adalah saat mengajar lagu anak sambil menunjuk bintang kala melantunkan lagu Ambilkan Bintang. Agar tercipta suasana segar, saya mereka lagu itu seperti ini: Ambilkan bulan, bu/ ambilkan bintang, bu/ ambil sendiri. Spontan anak tertawa lantas berkata, “Bapak lucu. Bukan begitu lagunya!” Namun ia puas dan senang. Menjelang tidur, saya bercerita tentang heroisme versi saya ~alhamdulillah saya tergolong cerewet dibanding saudara enam kandung~ atau fabel maupun kisah para Rasul Allah yang menorehkan peradaban dan kemanusiaan. Kedekatan emosi dengan anak otomatis tercipta dan terus terbina hingga kini.
Proses belajar yang dianggap unik oleh keluarga saya saat itu, membuahkan hasil. Menjelang usia empat tahun (sekira 3,8 tahun) Leila lancar membaca Qur`an dan koran. Malah ketika Pak Pos mengembalikan artikel saya dari Kompas, anak menyambut kedatangan saya dan berkata,
“Pak, ada surat dari Kompas.”
“Apa Isinya, sayang?”
“Boleh dibaca?”
“Baca saja”
, jawab saya.

Hahahay…..penulis pasti tahu kalau itu surat penolakan koran Kompas atas artikel yang saya kirim, kendati alasannya klise: maaf redaksi kesulitan ruang untuk memuat tulisan anda.

Kembali kepada metode Iqro yang dikombinasi dengan huruf Latin. Bila di TPA bertemu kata baynakum (mestinya ditulis dalam huruf Arab) dari rangkaian BA, YA, NUN/ NA, KAF dan MA/ MIM , kami di rumah menyetarakannya dengan huruf B Y N K M. Demikianlah pada usia balita anak saya lancara membaca Qur`an dan koran.

Maksud tulisan ini disajikan bukan untuk riya (Allah swt mahatahu isi hati manusia) tetapi sebagai sharing kisah nyata yang berbuah keindahan kepada Anda. Kenapa saya katakan keindahan? Indah sekali manakala anak dengan asik melahap Majalah Ananda, Bobo, kadang Kompas yang saya beli eceran di kios koran dan majalah pinggir jalan. Juga saat anak usia empat tahun begitu riang menerima Koran Pikiran Rakyat Minggu yang ada rubrik PR Cilik-nya atau Republika Minggu dengan rubrik Korcil. Cerita pendek (cerpen) di koran dibacanya sambil mengeraskan suara. Saya juga berterima kasih karena menyimak cerita tanpa membaca.

Usai Leila membaca cerpen anak di koran , saya menyimpulkan pesan moral (hikmah) di baliknya. Tancep kayon kata orang Jawa. Ini penting supaya anak tak cuma mampu membaca. Sekali lagi, menanam sejak dini buahnya pun lebih dini dibanding menanam di usia selebihnya. Bila bibit pohon mangga hasil okulasi yang bisa dibeli di kantor pertanian saja lebih cepat berbuah, sungguh anak yang diajarkan pengetahuan di usia balita akan lekas pula membuahkan hasil.

Bukan sekadar kebanggaan selaku orang tua yang kami dapat. Akan tetapi membagi pengalaman ini kepada saudara, teman dan kerabat agar anaknya cepat bisa membaca dan menulis huruf Arab dan Latin di usia balita. Metode saya pun ditiru. Terbukti, keponakan di Tangerang dan Karawang lancer baca tulis latin di usia 5 tahun menggunakan metode kreasi saya yang terlintas ketika Leila beurumur tiga tahun. Metode ini saya pikir penting ketika sejumlah orang merasa berat atas biaya bulanan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), TK Internasional, Play Grup dan sebagainya. Bagi kalangan tak mampu dan tidak memiliki uang lebih untuk mencerdaskan anak usia balita, cobalah terapkan metode ini.

Dengan kata lain, kita orang tua harus mampu :
1. Membaca Al Qur`an,
2. Mereka dan mengkreasi atau mengkombinasi huruf Hijaiyyah dan Latin,
3. Menulis dalam bahasa Arab Melayu,
4. Waktu yang cukup untuk membimbing anak (tentu saja kasih sayang include di sini),
5. Merelakan dinding kamar atau ruang tamu atau ruang keluarga ditempeli poster Huruf Hijaiyyah, Huruf Latin, dan Poster kreasi kita,
6. Masukkan dan libatkan balita ke suasana belajar yang kondusif bagi perkembangan intelektualnya,
7. Mengungkap nilai di seberang cerita,
8. Perlakukan anak sebagai mawali (penerus) yang berstatus rabbi radliyya (memperoleh keutamaan Allah swt).

Delapan kiat di atas sudah pasti “memaksa” ibu jadi guru dan sahabat balita di rumah. Bagi ibu rumah tangga, jangan khawatir atas mahalnya biaya pendidikan pra Sekolah Dasar. Lakukan saja delapan langkah di atas, insya allah balita Anda mampu membaca dan menulis di usia balita.

Sekadar Ingatan

Tahun 1980-an saya tercatat jadi Pembina di lingkungan Pembinaan Anak-anak Salman (PAS) di Bandung. Sempat melihat dan nimbrung membina anak usia balita di sana. Asik, emosi dan kesabaran diuji. Ada yang berantem, nangis, kencing di celana, minta gendong, mengajak main lari atau petak umpet, dan seabrek permainan kecil anak-anak. Mungkin berbekal menjadi Pembina PAS itulah, ide kreatif muncul untuk mengajarkan kemampuan membaca dan menulis cepat bahasa Arab dan Indonesia (dengan huruf latin) kepada anak balita.

Tak gampang jadi Pembina PAS karena kami harus melewati vit and proper test oleh Pembina senior. Puji Tuhan, saya lolos test sebagai Pembina PAS dan saat test saya menjawab salah satu pertanyaan/ alasan menjadi Pembina seperti ini: Mbak Endang, kalau saya kelak punya keturunan pasti anak saya kecil dulu. Maka saya memilih PAS bukan Karisma (Keluarga Remaja Islam Salman). Tentu bukan jawaban ini saja yang meloloskan saya (hihi….ge-er nih) tapi mengulas buku agama yang terakhir dibaca selama 10 menit tanpa melihat buku tersebut. Yang pasti pengenalan dengan dunia anak, sudah diawali sejak berstatus bujangan.

Saya tidak pernah secara formal membina anak balita di PAS, malah pegang Grup Usman diawaki siswa kelas I SMP alias berumur 12-13 tahun. Jadi curhat mereka tentang pelajaran sekolah atau hubungan dengan ortu di rumah, kadang juga mendengar dengan takzim “anak didik” yang mulai jatuh cinta (monyet). Namun teman-teman Pembina yang lain ada yang kebagian di grup usia balita. Saya mengamati sekaligus sesekali ikut bermain dengan mereka seusai menghandle Grup Usman bin Affan.

Keuntungan yang saya dapat dengan konsep seeing is believing jadi semiotic konsep mengajarkan pengetahuan kepada balita. Ah, jangan bilang saya sombong, pembaca budiman. Ini hanya sharing, sebagaimana tertulis di atas. Kiat kecil ini semoga memacu serta memicu ibu bapak dari keluarga (maaf) tidak mampu secara finansial tetapi hendak memberi pengetahuan baru kepada anaknya.

Jangan Cemas
Jangan cemas dan jangan takut, umi abi, tuan dan nyonya, bapak dan ibu, nyak babeh, mamam papap, mamah papah ~ukuran kekayaan dan rizki bukan hanya uang dan benda. Jikalau hendak mengajar pengetahuan kepada balita (apalagi anak pertama) dapat lakukan dengan kiat berikut:
1. Cukupkan pengetahuan orang tua yang hendak ditularkan kepada balita/ anak
2. Pilih yang sesuai dengan kebutuhan (prioritas berdasar apa yang pertama kali harus dimiliki balita)
3. Jangan sungkan mencium kening balita sebelum tidur setelah bercerita
4. Ajari berdo`a/ menghafal do`a pendek kegiatan sehari-hari
5. Masukkan balita ke TPA terdekat, selain biaya murah juga memberi sumbangan berarti bagi masa depan balita/ anak

Kisah nyata yang saya tuturkan ini semoga mampu menggugah semangat menularkan pengetahuan dan pengasahan/ pengasuhan intelektual kepada balita/ anak. Buktinya, Leila di usia 5 tahun tiga bulan sudah berstatus siswa kelas I Sekolah Dasar. Bukti lain dari lain, semula kami memandang untuk jadi anak bawang saja di sekolah dasar, ternyata dari kelas I – VI selalu ada di peringkat/ ranking pertama. Menggembirakan bukan?

Kuncinya adalah pengetahuan dasar orang tua, kreativitas dan kombinasi pengetahuan dasar orang tua, kesediaan waktu. Terutama kasih sayang. Bekal kasih sayang (siapa yang tak sayang kepada anak pertama?) memproses kecerdasan serta kedekatan emosi orang tua balita/ anak dan sebaliknya. Pertautan berdasar kedekatan emosi ini agaknya yang menuntun balita mencintai dan menyayangi orang tua. Ada kausalitas dan feed back atau katakanlah transfer kasih sayang. Pada gilirannya menyegerakan kemampuan balita/ anak (maaf bukan geer) di atas usia teman-teman sebayanya.
Jangan cemas dan jangan khawatir, jangan pula judgement bahwa Tuhan tidak cinta kepada kita lantaran tidak menjadi orang berharta benda. Sukuri semua pemberian Allah swt karena rizki yang kita dapat sesuai porsi/ ukuran kemampuan kita. Begitu pula tuhan tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan manusia (Qur`an, Al Baqarah : 286).

Membekali balita/ anak dengan cinta dan pengetahuan, menularkan lantas membimbing terus hingga ia dewasa, mau tidak mau merupakan kewajiban tidak tertolak. Keberanian balita/ anak bersosialisasi serta berinteraksi dengan teman sebaya saat balita, mengantarkannya kepada keberanian memasuki organisasi di luar kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.

Kini anak kami kelas IX di Sekolah Menengah favorit di Kota Cirebon, aktivis pramuka tingkat Kota dan struktur FAC (Forum Anak Cirebon) lembaga anak usia 1 – 16 tahun. Aktivitas itu antara lain diawali kemampuan membaca dan menulis huruf Arab dan huruf Latin sejak usia empat tahun.

Tahun kelima usia anak kami, sering dicium keningnya melihat kemampuan Leila sudah masuk Surat An-Nisa.*****

Catatan : tulisan ini dibuat januari 2011

Kamis, 12 Mei 2011

Mercusuar

Harian Umum Kabar Cirebon
Sabtu, 07 Mei 2011 - 03:22:32 WIB

Mercusuar yang Berpihak pada Orang Kecil

Ucha M Sarna, aktivis sastra Indramayu yang selalu resah itu, menggambarkan mercusuar pada cerpen yang ditulisnya bulan Juli 2010 dengan latar belakang kemiskinan Danu. Ketika segantang beras pun tak lagi ada di pedaringan, setelah sang istri merengek dan menghujat kemiskinan, di larut malam itu Danu bergegas memanjat mercusuar. Tak peduli kakinya kesakitan menahan batu runcing, bahkan dalam gerimis hujan Danu demi memenuhi kewajiban sebagai suami memanjat mercusuar.


Yang terbayang dari sebuah mercusuar biasanya sebuah lampu sorot di pantai atau pelabuhan, lalu sinarnya berpendar ke segala arah. Cepat juga benderang. Mercusuar juga menandakan adanya kehidupan, sedikitnya bagi pengguna cahaya malam yang membutuhkan lentera. Akan tetapi mercusuar pun menyembunyikan serta menampilkan sekeping kehidupan. Kehidupan yang seolah-olah. Ini biasanya berawal dari alasan politik menyoal batas negara: mercusuar dipajang hanya sebagai alasan penegasan teritorial. Persoalan muncul ketika lebih dari satu negara mengklaim wilayah tersebut ke dalam batas geografisnya.

Tulisan ini tidak akan membahas mercusuar dalam teks politik, melainkan sebuah cerita pendek berlatar mercusuar tak terawat di sebuah pantai Indramayu Jawa Barat. Ucha M Sarna, aktivis sastra Indramayu yang selalu resah itu, menggambarkan mercusuar pada cerpen yang ditulisnya bulan Juli 2010 dengan latar belakang kemiskinan Danu. Ketika segantang beras pun tak lagi ada di pedaringan, setelah sang istri merengek dan menghujat kemiskinan, di larut malam itu Danu bergegas memanjat mercusuar. Tak peduli kakinya kesakitan menahan batu runcing, bahkan dalam gerimis hujan Danu demi memenuhi kewajiban sebagai suami memanjat mercusuar.

Menceritakan Perjuangan

Saya tertarik pada penuturan cerpen Ucha lantaran dengan gamblang ia menceritakan perjuangan (dan ketangguhan) orang kecil mempertahankan hidup. Berperih-perih sendiri, Danu tidak pernah tahu ada berbagai jenis sumbangan pemerintah yang dialokasikan bagi kaum miskin. Bersusah sendiri menyuapi hidup yang meminggirkan Danu, hingga bisa jadi Danu (juga jutaan Danu lainnya) hanya perlu ketika musim pilkada tiba atau ketika musim kampanye pemilu legislatif.

Cerpen Mercusuar saya baca di kumpulan cerpen "Matahari Retak di Atas Cimanuk" yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Indramayu. Bersama 13 cerpenis Indramayu lainnya, Mercusuar boleh disebut memperlihatkan keberpihakan Ucha kepada orang kecil. Orang kecil yang dibelanya dan orang kecil yang terus berbanjar di hadapan matanya.

Kembali kepada Danu yang berharap malam itu memperoleh makanan yang langsung dapat disantap bersama istrinya, ternyata berbuah tragis. Danu mendengar dialog perompak yang sedang kalap dikejar petugas pantai. Hujan dan badai malam itu menambatkan kapal sang perompak ke mercusuar. Danu yang semula ingin secepatnya dapat nasi, berubah mendapat ketakutan. Takut dirinya dibunuh perompak. Maka ia pun pulang kembali ke gubuknya. Ketakutannya pun terbaca oleh istrinya. Ketakutan itu pun semakin bertambah ketika rombongan perompak datang ke gubuknya. Meski diawali dengan mengetuk pintu, Danu tetap saja tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya.

Ketulusan Hati

Lebih lanjut Ucha menulis, ternyata perompak itu hanya ingin berteduh, menghindar cuaca buruk yang melabuhkan kapalnya. Segelas teh panas yang disediakan Danu mencengangkan perompak karena perompak tahu kemiskinan keluarga itu. Meski Danu tidak mengerti dialog antarperompak, ia tetap menghormati tamu. Dan begitulah cerita pun berakhir perompak pergi melanjutkan perjalanan/ pelariannya dengan meninggalkan sekardus mie instan dan beras.

Saya membaca adanya ketulusan hati perompak, meski profesi mereka pun termasuk tidak disukai karena dianggap merugikan suatu pihak. Namun sepertinya Ucha menyindir, kenapa hanya perompak kelas kecil yang mesti dikejar petugas pantai. Bukankah perompak mineral dan sumber energi laut Indonesia dengan kapal tankernya tiap saat merajah? Kenapa bukan mereka yang dikejar? Sepertinya Ucha ingin mengajukan sejumlah tanya kenapa hanya (maaf) penjahat kecil yang harus takut dan mendapat perlakuan hukum. Juga Ucha bagai ingin bertanya: Apa fungsi mercusuar yang ditempatkan di pulau-pulau terluar, sementara kehidupan warga di sekitarnya tidak dibangun.

Membaca "Mercusuar", bagi saya hampir sama dan sebangun dengan membaca teks Indonesia yang tidak pernah lepas dari sejumlah ketidakmengertian. Meski dengan membaca mercusuar karya Ucha, tidak seketika persoalan mercusuar selesai, namun sedikitnya ia mengajak pembaca untuk sejenak merenung tentang kehidupan orang kecil di pesisir.

Konon, Indonesia dengan bentangan pantainya yang luas, bahkan di planet bumi, laut lebih luas dibanding darat, sudah pasti menampilkan banyak kisah padanya. Tentang hasil laut yang terus dieksploitasi, tentang ikan dengan segenap persoalan (ingat penyakit Minimata di Teluk Buyat Sulawesi Utara tahun 2009 lalu). Juga mengenai kian berkurangnya hasil tangkapan nelayan tradisional lantaran kalah teknologi oleh nelayan asing. Pun di dalamnya terekam pentingnya pengelolaan kekayaan mineral laut oleh bangsa sendiri.

Keindonesiaan

Pada tampilan lain, bisa saja Ucha M.Sarna atau cerpenis lain mengisahkan kembali mercusuar dari titik pandang yang lebih mengemukakan keindonesiaan. Saya pikir ini penting mengingat Indonesia terus menerus menjadi santapan/ obyek dunia internasional sehingga rasa kebanggaan atas kebangsaan ikut teralienasi. Mercusuar agaknya pun dapat dibidik dari persoalan sejarah manakala suatu kelompok tertentu "merasa" menemukan daratan setelah berbulan dan bertahun melaut. Penaklukkan atas sebuah bangsa kemudian berlanjut, dan eksistensi sang penakluk dapat diwujudkan dalam bentuk mercusuar berikut benteng sebagai tempat berlindung dari serangan lawan.

Jika mercusuar ditelusur melalui aspek kesejarahan, sangat mungkin cerpen sejarah mampu memperkaya kebanggaan kita atas kebangsaan Indonesia. Bahwa sejarah bangsa pun salah satunya ditandai oleh keberadaan mercusuar. Lihat saja Mercusuar Pulau Biawak setinggi 50 meter. Kabarnya mercusuar ini didirikan tahun 1911 di sebuah pulau kecil di Laut Jawa, sekitar 65 km sebelah Utara Kandanghaur. Bentuknya Cast Iron Skeletal Tower, Poligonal 16 sisi, dengan ruang galeri dan lentera, warna putih. Karakteristik lampunya 1 buah lampu putih, menyala tiap 15 detik, tinggi fokal plane 54 meter. Mercusuar ini sebagai penanda pesisir Pantai Utara Pulau Jawa, awal masuk menuju perairan Cirebon. Pulau Biawak sendiri dioperasikan kompeni pada tahun 1872. Nama lain Pulau Biawak adalah Pulau Rakit Light dan Boompjes Eiland (Belanda). Masih banyak lagi mercusuar di pantai Indonesia yang telah menuturkan peradaban dan kisah kemanusiaan.***


*)Dadang Kusnandar, budayawan dan aktif menulis di beberapa media.

Memahat Kata di Kedai Kopi

INGAT kedai kopi, ingat permainan catur. Secangkir kopi panas memaku bokong pemain catur di kursi kayu yang tersedia. Ditambah kepulan asap rokok dan iringan musik, permainan catur di kedai kopi semakin asik. Begitulah kelaziman sebuah kedai kopi. Kedai kopi bisa juga dijadikan tempat lalu lalang informasi.

Bangku kayu panjang warna merah, lampu temaram dibungkus kertas lampion warna merah kuning, kanopi transparan, pohon bambu dalam pot yang enggan tumbuh dan panggung kecil jadi asesorisnya. Inilah kedai kopi A Thousand One Coffe Shop di Jalan Kalibaru Selatan Kota Cirebon yang memfasilitasi ekspresi kesenian. Seniman menampilkan karyanya di sini. Puisi, cerita sendek, musik, seni kriya, juga diskusi. Tak salah jika pengelola Kedai 1001 Kopi itu kerap menyebut istilah kopi sastra.

Hampir setahun di tempat ini diadakan kopi sastra. Berawal dari pertemanan jejaring sosial facebook, sekumpulan seniman di Jawa pernah hadir di kedai ini. Inilah kekuatan karya, inilah kekuatan sastra yang menyegerakan lahirnya karya-karya kreatif.

Tak berlebihan kiranya jika kopi sastra mengadakan kegiatan peluncuran buku kumpulan puisi, kumpulan cerpen. Kumpulan puisi karya Nana Sastrawan (Tangerang), Nandang Darana (Majalengka), Arieyoko (Bojonegoro) disimak dan dibacakan di kopi sastra.

Demikian juga kumpulan cerita pendek Matahari Retak di Atas Cimanuk yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Indramayu. Pembacaan puisi karya D Jawawi Imron (Madura). Terakhir, kumpulan puisi Merapi Gugat antologi puisi etnik 13 (tiga belas) penyair.

Memacu Kreativitas
Kesediaan penyair dan sastrawan Ahmad Syubbanuddin Alwy memandu diskusi dan atau sebagai pembahas semakin menghangatkan suasana. Bahkan terjadi perdebatan sastra yang menggairahkan. Kegelisahan Alwy memandang sastra dalam teks politik dan kekuasaan, tak urung menjadikan suasana diskusi kopi sastra masuk ke persoalan aktual. Sastra sebagai jalan sunyi memang harus ditekuni karena pada saatnya kelak akan ada penghargaan masyarakat. “Kami mengapresiasi apa yang dirintis kedai kopi ini”, tutur Alwy.

Tidak tahu persis apa keuntungan finansial yang diperoleh pengelola kedai itu. Namun setidaknya sekali sebulan di tempat ini kata-kata dipahat. Untuk menyegarkan, teater dan musik juga dihadirkan. Salah satunya pernah hadir dari Komunitas Teater Nusantara (dari Jakarta) dan Teater Akar Randu Alas (Kalikoa Cirebon).

Berbagai upaya agar tumbuh kecintaan kepada sastra terus dilakukan pengelola Kedai 1001, Nunung Susanti (juga berstatus penyair) dan suaminya Arieffianto yang sudah 14 tahun berkutat di pemasaran produk rokok. “Saya ingin kreativitas Cirebon lahir dari kedai ini. Kedai ini menjadi perangsang tumbuhnya kreativitas seniman Cirebon dan sekitarnya,” ujar Nunung. Pegiat kopi sastra yang tak dapat diabaikan perannya adalah seorang ibu pengelola handycraft dan penyair Ratu Ayu Neni Saputra. Ia selalu hadir dan memberi kontribusi bagi kelangsungan memahat kata di kedai kopi 1001. Upaya itu antara mengundang komunitas sastra di lingkungan pelajar dan mahasiswa Cirebon, komunitas fotografer dari Cirebon dan Indramayu, wartawan media cetak dan elektronik. ***(dakus)


tulisan ini dipublikasikan di Pikiran Rakyat Edisi Cirebon, Rabu 27 April 2011 halaman C