Kamis, 12 Mei 2011

Mercusuar

Harian Umum Kabar Cirebon
Sabtu, 07 Mei 2011 - 03:22:32 WIB

Mercusuar yang Berpihak pada Orang Kecil

Ucha M Sarna, aktivis sastra Indramayu yang selalu resah itu, menggambarkan mercusuar pada cerpen yang ditulisnya bulan Juli 2010 dengan latar belakang kemiskinan Danu. Ketika segantang beras pun tak lagi ada di pedaringan, setelah sang istri merengek dan menghujat kemiskinan, di larut malam itu Danu bergegas memanjat mercusuar. Tak peduli kakinya kesakitan menahan batu runcing, bahkan dalam gerimis hujan Danu demi memenuhi kewajiban sebagai suami memanjat mercusuar.


Yang terbayang dari sebuah mercusuar biasanya sebuah lampu sorot di pantai atau pelabuhan, lalu sinarnya berpendar ke segala arah. Cepat juga benderang. Mercusuar juga menandakan adanya kehidupan, sedikitnya bagi pengguna cahaya malam yang membutuhkan lentera. Akan tetapi mercusuar pun menyembunyikan serta menampilkan sekeping kehidupan. Kehidupan yang seolah-olah. Ini biasanya berawal dari alasan politik menyoal batas negara: mercusuar dipajang hanya sebagai alasan penegasan teritorial. Persoalan muncul ketika lebih dari satu negara mengklaim wilayah tersebut ke dalam batas geografisnya.

Tulisan ini tidak akan membahas mercusuar dalam teks politik, melainkan sebuah cerita pendek berlatar mercusuar tak terawat di sebuah pantai Indramayu Jawa Barat. Ucha M Sarna, aktivis sastra Indramayu yang selalu resah itu, menggambarkan mercusuar pada cerpen yang ditulisnya bulan Juli 2010 dengan latar belakang kemiskinan Danu. Ketika segantang beras pun tak lagi ada di pedaringan, setelah sang istri merengek dan menghujat kemiskinan, di larut malam itu Danu bergegas memanjat mercusuar. Tak peduli kakinya kesakitan menahan batu runcing, bahkan dalam gerimis hujan Danu demi memenuhi kewajiban sebagai suami memanjat mercusuar.

Menceritakan Perjuangan

Saya tertarik pada penuturan cerpen Ucha lantaran dengan gamblang ia menceritakan perjuangan (dan ketangguhan) orang kecil mempertahankan hidup. Berperih-perih sendiri, Danu tidak pernah tahu ada berbagai jenis sumbangan pemerintah yang dialokasikan bagi kaum miskin. Bersusah sendiri menyuapi hidup yang meminggirkan Danu, hingga bisa jadi Danu (juga jutaan Danu lainnya) hanya perlu ketika musim pilkada tiba atau ketika musim kampanye pemilu legislatif.

Cerpen Mercusuar saya baca di kumpulan cerpen "Matahari Retak di Atas Cimanuk" yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Indramayu. Bersama 13 cerpenis Indramayu lainnya, Mercusuar boleh disebut memperlihatkan keberpihakan Ucha kepada orang kecil. Orang kecil yang dibelanya dan orang kecil yang terus berbanjar di hadapan matanya.

Kembali kepada Danu yang berharap malam itu memperoleh makanan yang langsung dapat disantap bersama istrinya, ternyata berbuah tragis. Danu mendengar dialog perompak yang sedang kalap dikejar petugas pantai. Hujan dan badai malam itu menambatkan kapal sang perompak ke mercusuar. Danu yang semula ingin secepatnya dapat nasi, berubah mendapat ketakutan. Takut dirinya dibunuh perompak. Maka ia pun pulang kembali ke gubuknya. Ketakutannya pun terbaca oleh istrinya. Ketakutan itu pun semakin bertambah ketika rombongan perompak datang ke gubuknya. Meski diawali dengan mengetuk pintu, Danu tetap saja tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya.

Ketulusan Hati

Lebih lanjut Ucha menulis, ternyata perompak itu hanya ingin berteduh, menghindar cuaca buruk yang melabuhkan kapalnya. Segelas teh panas yang disediakan Danu mencengangkan perompak karena perompak tahu kemiskinan keluarga itu. Meski Danu tidak mengerti dialog antarperompak, ia tetap menghormati tamu. Dan begitulah cerita pun berakhir perompak pergi melanjutkan perjalanan/ pelariannya dengan meninggalkan sekardus mie instan dan beras.

Saya membaca adanya ketulusan hati perompak, meski profesi mereka pun termasuk tidak disukai karena dianggap merugikan suatu pihak. Namun sepertinya Ucha menyindir, kenapa hanya perompak kelas kecil yang mesti dikejar petugas pantai. Bukankah perompak mineral dan sumber energi laut Indonesia dengan kapal tankernya tiap saat merajah? Kenapa bukan mereka yang dikejar? Sepertinya Ucha ingin mengajukan sejumlah tanya kenapa hanya (maaf) penjahat kecil yang harus takut dan mendapat perlakuan hukum. Juga Ucha bagai ingin bertanya: Apa fungsi mercusuar yang ditempatkan di pulau-pulau terluar, sementara kehidupan warga di sekitarnya tidak dibangun.

Membaca "Mercusuar", bagi saya hampir sama dan sebangun dengan membaca teks Indonesia yang tidak pernah lepas dari sejumlah ketidakmengertian. Meski dengan membaca mercusuar karya Ucha, tidak seketika persoalan mercusuar selesai, namun sedikitnya ia mengajak pembaca untuk sejenak merenung tentang kehidupan orang kecil di pesisir.

Konon, Indonesia dengan bentangan pantainya yang luas, bahkan di planet bumi, laut lebih luas dibanding darat, sudah pasti menampilkan banyak kisah padanya. Tentang hasil laut yang terus dieksploitasi, tentang ikan dengan segenap persoalan (ingat penyakit Minimata di Teluk Buyat Sulawesi Utara tahun 2009 lalu). Juga mengenai kian berkurangnya hasil tangkapan nelayan tradisional lantaran kalah teknologi oleh nelayan asing. Pun di dalamnya terekam pentingnya pengelolaan kekayaan mineral laut oleh bangsa sendiri.

Keindonesiaan

Pada tampilan lain, bisa saja Ucha M.Sarna atau cerpenis lain mengisahkan kembali mercusuar dari titik pandang yang lebih mengemukakan keindonesiaan. Saya pikir ini penting mengingat Indonesia terus menerus menjadi santapan/ obyek dunia internasional sehingga rasa kebanggaan atas kebangsaan ikut teralienasi. Mercusuar agaknya pun dapat dibidik dari persoalan sejarah manakala suatu kelompok tertentu "merasa" menemukan daratan setelah berbulan dan bertahun melaut. Penaklukkan atas sebuah bangsa kemudian berlanjut, dan eksistensi sang penakluk dapat diwujudkan dalam bentuk mercusuar berikut benteng sebagai tempat berlindung dari serangan lawan.

Jika mercusuar ditelusur melalui aspek kesejarahan, sangat mungkin cerpen sejarah mampu memperkaya kebanggaan kita atas kebangsaan Indonesia. Bahwa sejarah bangsa pun salah satunya ditandai oleh keberadaan mercusuar. Lihat saja Mercusuar Pulau Biawak setinggi 50 meter. Kabarnya mercusuar ini didirikan tahun 1911 di sebuah pulau kecil di Laut Jawa, sekitar 65 km sebelah Utara Kandanghaur. Bentuknya Cast Iron Skeletal Tower, Poligonal 16 sisi, dengan ruang galeri dan lentera, warna putih. Karakteristik lampunya 1 buah lampu putih, menyala tiap 15 detik, tinggi fokal plane 54 meter. Mercusuar ini sebagai penanda pesisir Pantai Utara Pulau Jawa, awal masuk menuju perairan Cirebon. Pulau Biawak sendiri dioperasikan kompeni pada tahun 1872. Nama lain Pulau Biawak adalah Pulau Rakit Light dan Boompjes Eiland (Belanda). Masih banyak lagi mercusuar di pantai Indonesia yang telah menuturkan peradaban dan kisah kemanusiaan.***


*)Dadang Kusnandar, budayawan dan aktif menulis di beberapa media.

Memahat Kata di Kedai Kopi

INGAT kedai kopi, ingat permainan catur. Secangkir kopi panas memaku bokong pemain catur di kursi kayu yang tersedia. Ditambah kepulan asap rokok dan iringan musik, permainan catur di kedai kopi semakin asik. Begitulah kelaziman sebuah kedai kopi. Kedai kopi bisa juga dijadikan tempat lalu lalang informasi.

Bangku kayu panjang warna merah, lampu temaram dibungkus kertas lampion warna merah kuning, kanopi transparan, pohon bambu dalam pot yang enggan tumbuh dan panggung kecil jadi asesorisnya. Inilah kedai kopi A Thousand One Coffe Shop di Jalan Kalibaru Selatan Kota Cirebon yang memfasilitasi ekspresi kesenian. Seniman menampilkan karyanya di sini. Puisi, cerita sendek, musik, seni kriya, juga diskusi. Tak salah jika pengelola Kedai 1001 Kopi itu kerap menyebut istilah kopi sastra.

Hampir setahun di tempat ini diadakan kopi sastra. Berawal dari pertemanan jejaring sosial facebook, sekumpulan seniman di Jawa pernah hadir di kedai ini. Inilah kekuatan karya, inilah kekuatan sastra yang menyegerakan lahirnya karya-karya kreatif.

Tak berlebihan kiranya jika kopi sastra mengadakan kegiatan peluncuran buku kumpulan puisi, kumpulan cerpen. Kumpulan puisi karya Nana Sastrawan (Tangerang), Nandang Darana (Majalengka), Arieyoko (Bojonegoro) disimak dan dibacakan di kopi sastra.

Demikian juga kumpulan cerita pendek Matahari Retak di Atas Cimanuk yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Indramayu. Pembacaan puisi karya D Jawawi Imron (Madura). Terakhir, kumpulan puisi Merapi Gugat antologi puisi etnik 13 (tiga belas) penyair.

Memacu Kreativitas
Kesediaan penyair dan sastrawan Ahmad Syubbanuddin Alwy memandu diskusi dan atau sebagai pembahas semakin menghangatkan suasana. Bahkan terjadi perdebatan sastra yang menggairahkan. Kegelisahan Alwy memandang sastra dalam teks politik dan kekuasaan, tak urung menjadikan suasana diskusi kopi sastra masuk ke persoalan aktual. Sastra sebagai jalan sunyi memang harus ditekuni karena pada saatnya kelak akan ada penghargaan masyarakat. “Kami mengapresiasi apa yang dirintis kedai kopi ini”, tutur Alwy.

Tidak tahu persis apa keuntungan finansial yang diperoleh pengelola kedai itu. Namun setidaknya sekali sebulan di tempat ini kata-kata dipahat. Untuk menyegarkan, teater dan musik juga dihadirkan. Salah satunya pernah hadir dari Komunitas Teater Nusantara (dari Jakarta) dan Teater Akar Randu Alas (Kalikoa Cirebon).

Berbagai upaya agar tumbuh kecintaan kepada sastra terus dilakukan pengelola Kedai 1001, Nunung Susanti (juga berstatus penyair) dan suaminya Arieffianto yang sudah 14 tahun berkutat di pemasaran produk rokok. “Saya ingin kreativitas Cirebon lahir dari kedai ini. Kedai ini menjadi perangsang tumbuhnya kreativitas seniman Cirebon dan sekitarnya,” ujar Nunung. Pegiat kopi sastra yang tak dapat diabaikan perannya adalah seorang ibu pengelola handycraft dan penyair Ratu Ayu Neni Saputra. Ia selalu hadir dan memberi kontribusi bagi kelangsungan memahat kata di kedai kopi 1001. Upaya itu antara mengundang komunitas sastra di lingkungan pelajar dan mahasiswa Cirebon, komunitas fotografer dari Cirebon dan Indramayu, wartawan media cetak dan elektronik. ***(dakus)


tulisan ini dipublikasikan di Pikiran Rakyat Edisi Cirebon, Rabu 27 April 2011 halaman C