Senin, 12 Oktober 2009

32 Tahun yang lalu.............

Catatan Dadang Kusnandar bin Abuyaman bin Enjo Sardjana



SEPEDA ontel Fongers warna hitam milik wak Nani melaju ke sekolahku, smp negeri 3 cirebon di jalan tuparev. Diding dan Nendri membawa kabar duka. Hari itu kamis 11 oktober 1977 menjelang jam 12 siang, saya dipanggil ke kantor guru. Diding dan Nendri teman sepermainan saya di warnasari sudah menunggu di kantor guru. Tanpa basa basi, dengan ekspresi datar namun tampak sedih, diding berkata, "dang jangan kaget, bapakmu sudah meninggal dunia jam 10 an di RSU Gunungjati". Bagai ada petir menyambar kepala saya di siang bolong, saya tergagap dan tak mampu berkata-kata. Bergegas dari ruang guru, saya menuju kelas kakak di 3 f. Ketika saya masuk, teman kakak yang memang suka usil, syaiful anwar berteriak, "bapaknya kamu mati ya?". Saya tidak menjawab, langsung ke meja kakak sodikin, mengabarkan kepergian ayahanda Abuyaman.

SEPEDA jengki Turangga merah dikayuh kakak, saya dibonceng pulang ke rumah dengan kecamuk pikiran dan segenggam ketakutan. Takut atas nasib sekolah setelah ayahanda tiada. Takut bagaimana ibu akan menghidupi 7 bersaudara, sementara adik bungsu kami Heni Eliyasari baru berusia 2 tahun. Diding berbonceng sepeda fongers. JALAN Tuparev Cirebon siang itu 11 oktober dilintasi 2 sepeda. Yang satu pembawa kabar duka. Sepeda kedua, penerima kabar duka yakni saya dan kakak.

SEPEDA Fongers yang mengantarkan kabar duka itu sudah lebih 20 tahun dijual uwak nani kepada pedagang loak Sarmadi alm dengan harga murah, lantaran wak nani butuh segantang beras. Sepeda Turangga merah yang kami gunakan ke sekolah pada 1979 hilang dicuri orang bersama jemuran yang masih basah di samping rumah kami di RT 05 RW 07 Warnasari Kesambi Kota Cirebon. Dua sepeda kenangan, dua sepeda yang berjasa dalam sebagian fase hidup kami hari ini melintas kembali dalam ingatan kecil saya. Ketika motor Honda belum segagah sekarang, ketika motor Yamaha bertubuh kerempeng dan ringkih -- sepeda masih terlihat banyak di parkir sekolah dan instansi lain.

TIGA puluh dua tahun lalu, 11 Oktober 1977 puluhan tetangga, kerabat, dan famili berkumpul di rumah sempit kami. Ada yang menangis, ada yang menampakkan ekspresi getir, dan ada yang sibuk mempersiapkan pemberangkatan jenazah ayahanda ke kampung kelahirannya di Desa Blender Kecamatan Karangsembung Kabupaten Cirebon. Sepupu kami, Soeparno saat itu melepas jenazah ayahanda, di tengah tangis dan pertanyaan adik kami Indah Mirasari, "Bu kenapa bapak tidur terus, kapan bapak bangun?". Tanya yang galau dan tak dijawab, meski Indah sudah 9 tahun. Mungkin belum paham tentang kepergian ayahanda, mungkin juga ekspresi spontan sebagai cara tak ingin ditinggal ayahanda Abuyaman yang pendiam namun pekerja keras itu.

TIGA puluh dua tahun lalu ayahanda kami Abuyaman bin Enjo Sarjana pergi meninggalkan kami selamanya. Saat itu ayahanda berusia 47 tahun 4 bulan. Ayah kami lahir 30 Juni 1930 di sebuah desa kabupaten cirebon. Pekerjaan terakhir kepala bagian keuangan di PT IPPA Dok & Galangan Kapal di area pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sebelum bekerja di situ ayahanda sempat mengelola pabrik kertas di awal tahun 1960 - 1961di Klayan kabupaten Cirebon. Ayah kami seorang berpendidikan tidak selesai kuliah di jurusan teknik sipil Akademi Teknik Nasional (ATN) Jakarta 1956-1969 yang saat itu salah seorang dosennya Profesor Rooseno sang penemu konstruksi cakar ayam, ayahanda juga sarjana muda ekonomi perusahaan universitas swadaya gunung jati cirebon.

TIDAK terasa 32 tahun berlalu. Ayahanda kami yang mengidap penyakit lever akut dan diabet selama dua tahun, dan pergi pulang dirawat di RSUD Gunungjati Cirebon........teringat kembali. Kami kenang ketika lipatan sajadah di akhir shalat Maghrib hari ini dibarengi kiriman surat Al fatihah dan Yaasin, khusus disampaikan buat ayahanda Abuyaman. Kini anak-anak Pak Abuyaman tersebar di banyak kota dengan kegiatan masing-masing. Ada dua yang jadi PNS di Karawang dan Serang, seorang jadi karyawan HPH di hutan Kalimatan Barat, dua jadi ibu rumah tangga, dan dua lagi jadi pekerja serabutan.

Dari balik do`a (mungkin tawasul) sejak siang hari ini Sabtu 11 Oktober 2009, saya berkirim sms kepada adik-adik di Karawang, Cirebon, Tangerang, Serang, juga mengingatkan kepada kakak di Bekasi. Ah sayang sekali, Risnadi ada di belantara Kalimantan Barat sinyal seluler tak mampu menembus masuk ke ponselmu.

TIGA puluh dua tahun yang lalu, seorang pekerja keras dan suka mengajak saya main ke kantornya sekadar untuk mengenal dan menggunakan mesin tik saat saya kelas 3 sekolah dasar, atau naik ke kapal barang yang bertambat di pelabuhan, atau untuk melihat semburat api las listrik ke tubuh kapal yang sedang diperbaiki di dok...........hari ini terkenang kembali dan tak lepas dari ujung penghilatan. Ayahanda yang kadang mengajak saya dan kakak menonton pertandingan sepak bola di stadion Bima Cirebon, mungkin karena saya dan kakak sering nonton sepak bola tanpa karcis; naik pagar besi dan tribun batu lalu dikejar petugas keamanan dengan pentungan rotannya..........hari ini kami 7 (tujuh) anak-anakmu mengirimkan do`a khusus. Disertai kesungguhan dan harapan semoga Allah swt menerima amal baik ayahanda serta menghapus dosa ayahanda.

Ayah, kliping perjalanan haji pada buku tulis bergaris Letjes produksi Probolinggo, memang sudah tak saya lihat lagi di rumah. Kliping perjalanan haji yang kauambil dari Harian Umum Pelita itu, semula diniatkan agar ayahanda paham tentang ibadah haji di tanah suci Mekkah, dan rencana ayahanda pergi berhaji pada 1979 tak kesampaian..........................


(sungguh, saya sedih menulis kenangan 32 tahun lalu ini)