Selasa, 04 November 2014

Kang Ayip Muh, Kenangan Itu…



Oleh Dadang Kusnandar

TEATER anak-anak yang dikelola Agus DTA dan kawan-kawan di MI dan MTs An Nur Jagasatru, suatu saat dikabarkan menerima bantuan berupa fresh money dari Unesco, lembaga kebudayaan PBB. Alkisah, Dedi Kampleng, Khumed, dan Mahmud Yahya menemui KH Syarif Muhammad Yahya. Bertiga hendak menyampaikan kabar gembira itu kepada sesepuh pondok pesantran Jagasatru Cirebon. Teater Cahaya yang menampilkan proses kreatif anak-anak Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah dan SMP/ Tsanawiyah itu tergolong kelompok teater yang memberdayakan peralatan ala kadarnya saat itu. Kabar akan datangnya bantuan dari Unesco tentu saja membanggakan, sekaligus melambungkan angan. Perlengkapan lampu pertunjukan, sound system dan sebagainya, begitu menggoda.

Bertiga di atas menyampaikan kabar itu dengan wajah sumringah. Kang Ayip Muh mengatakan, “Bagus atuh baka mengkonon”. Tentu saja ujaran singkat itu dianggap justifikasi kesetujuan sang kiai atas bantuan bagi Teater Cahaya. Namun sang kiai meneruskan dengan pertanyaan, “Kalian mengirim proposal ke Unesco?”. Sontak ketiganya menjawab, “Nggih, kang”.

Itu namanya bukan bantuan, lanjut sang kiai. Itu artinya kalian mengemis. Jadi batalkan saja. Biar saja lampu pertunjukan Teater Cahaya pake kaleng, yang penting pentasnya segar dan bisa membuat penonton ngekek. Bagai disambar petir. Ketiga pegiat Teater Cahaya itu terpaku. Dengan lidah kelu, keputusan Kang Ayip Muh diterima. Sembari menghaturkan salam, ketiganya berlalu.

Teater Cahaya di lingkungan Pesantren Jagasatru merupakan satu-satunya teater anak-anak yang hingga kini masih bertahan di Cirebon. Pentas mereka senantiasa bermula dari hal-hal kecil yang menyisipkan pesan ajaran agama Islam. Penonton menerima pesan moral itu tanpa merasa digurui anak-anak. Sebabnya ialah pesan Kang Ayip Muh di atas itu tadi, “Yang penting pentasnya segar dan bisa membuat penonton ngekek”.

Kisah yang telah berlangsung puluhan tahun itu disampaikan Dedi Kampleng, belum lama ini kepada saya di meja makan kantin At Taqwa. Kisah yang menyiratkan dan menyuratkan ketegasan seseorang untuk tegak berdiri pada kemampuan dan ketersediaan perlengkapan yang ada. Tak harus meminta karena ujarnya, tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Dengan lain perkataan jadilah diri sendiri tidak dengan membungkukkan badan di hadapan juragan atau pemilik kapital.

Pelajaran berharga yang mungkin langka di kehidupan kita. Proses saling memberi dan menerima dalam transaksi sosial ekonomi kerap berlangsung lantaran ada pihak yang mengajukan bantuan. Bantuan diberikan manakala telah ditelaah (meski tidak rinci) secara administrasi. Pihak pemberi bantuan ~karena kedudukannya sebagai tangan di atas~ biasanya berdalih, “Kami hanya membantu. Soal bagaimana penggunaannya, terserah pihak penerima”.

Bantu membantu tak pelak merupakan hal biasa. Akan tetapi di tengah masyarakat kita, masih terdapat banyak person yang enggan mengajukan diri meminta bantuan. Bukan lantaran malu atau gengsi, melainkan terpatri ajaran moral untuk tidak merendahkan diri di hadapan orang lain. Juga bukan karena tidak butuh, sikap seperti itu muncul setelah secara sadar menerima kenyataan, destiny yang digariskan Tuhan.

Lalu apakah sikap nrimo ing pandum itu dimaknakan sebagai kepasrahan total atas kesejatian diri? Pembaca budiman dapat menilai sendiri menyoal itu. Setidaknya kelemahan  secara ekonomi tidak kemudian dapat dijadikan alasan untuk menempatkan kita di koridor objek. Baik itu objek pemberian yang bersifat kemanusiaan, terlebih yang bersifat politis.

Kelebihan seseorang konon terletak pada kekuatan sikap. Konsistensi dan komitmen pada pendirian merupakan hal langka. Satu yang langka itu pernah disampaikan oleh Kang Ayip Muh seperti digambarkan di atas.

Memaknai Pesan

Ada kisah lain yang saya dengar langsung ketika jamaah pengajian beliau hendak memberi sebuah mobil. Kiai sederhana yang berkain sarung dan kopiah hitam itu suatu ketika didatangi jamaahnya. “Saya ingin memberikan mobil kepada Kang Ayip untuk memperlancar dan mempercepat kegiatan dakhwah”. Kiai  bijak itu tersenyum. “Terima kasih atas niat baik sampeyan. Tapi kalau saya menerima mobil itu, kasihan tukang becak langganan saya”.

Begitulah kisah keteguhan pendirian seseorang yang kian tak terdengar lagi di era sekarang. Pendirian untuk kokoh pada kesejatian diri. Menolak pemberian dalam konteks ini bukan berarti menolak rizki. Bayangkan sebuah mobil pada tahun 1993 diberikan begitu saja, kendati sang pemberi iklas melakukannya, namun akan tersebar ke kancah umat bahwa “harga” sang kiai berupa sebuah mobil. Artinya keteguhan sikap Kang Ayip Muh terhindar dari bahan pembicaraan buruk tentang memberi dan menerima.

Kenangan kepada Kang Ayip Muh telah lama mendekam di benak. Kenangan demi kenangan itu kadang melintas, menggapai untuk segera dimaknai. Pemaknaan yang berangkat dari kesediaan kita untuk merenungkan hal-hal yang baik untuk seterusnya diterapkan pada keseharian. Apabila kita mampu menangkap pesan indah di balik kenangan pada seseorang yang kita banggakan, terlebih lintasan kenangan itu seperti menggapai, maka itulah saatnya berbenah. Saatnya menempatkan kesejatian diri di tengah kemampuan dan ketersediaan sarana yang kita miliki.

Biarlah tutup lampu panggung Teater Cahaya itu terbuat dari kaleng, biarlah Kang Ayip Muh tetap naik becak ke mana pun pergi sekitar Kota Cirebon, dan sejumlah kisah lain yang belum tertulis mengenai beliau. Penolakan indah itu menitipkan pesan agung yang telah sama-sama kita pahami. Agaknya sesuatu yang diam-diam menjauh dari kesejatian kita antara lain mengajukan bantuan kepada pihak lain guna berbagai alasan.

Mengutip ujaran bagus KH Wahid Hasyim, “Jangan remehkan siasat sesuatu yang (tampak) lemah. Terkadang, ular ganas mati oleh racun kalajengking. Ternyata, burung Hudhud sanggup menumbangkan singgasana ratu Bulqis, dan liang tikus mampu meruntuhkan bangunan kokoh”. Ujaran bagus ini analog dengan kekuatan kita untuk senantiasa berdiri di atas kaki sendiri.


Non Partisan

BAGI kalangan Muhammadiyah, Kang Ayip Muh tetap dikenang sebagai sosok sederhana yang memiliki peran sosial cukup penting di Cirebon khususnya. Kesediaan beliau menerima tamu berbagai kalangan menjadikannya tidak saja disegani melainkan mendapatkan tempat cukup indah bagi siapa pun. Tamu beliau pun merambah kepada teman-teman politisi dan pejabat.

Ada sebuah cerita yang saya lihat langsung manakala silaturahmi ke Ponpes Jagasatru, tepatnya ke rumah beliau. Waktu itu menjelang pemilihan Walikota Cirebon. Ketika kami asik berbincang dengan tema beragam ~sesuai topik yang disampaikan tamu~ tiba-tiba datang seorang pejabat pemda lantas menyampaikan maksudnya. Pemilihan kepala daerah yang diusung partai politik merupakan moment kunjungan politisi ke kediaman Kang Ayip Muh. Beragam maksud disampaikan, beragam pula saran dan atau nasihat yang diberikan sang kiai. Lantaran beliau mahir dalam hal ilmu mantiq (diplomasi), tak mudah nasihat keluar dari lisannya. Diperjelas dahulu dan dibolak-balik pertanyaan serta pernyataan sang tamu, setelah itu barulah beliau mengatakan sesuatu.

Jawaban yang muncul pun bukan petuah, apalagi perintah, akan tetapi permintaan terhadap sang pejabat untuk merenungkan langkahnya. Saya kaget ketika tiba-tiba beliau berkata kepada pejabat tadi sambil menunjuk, “Ente, calo calon walikota”. Tak elok jika nama pejabat dimaksud saya tulis di sini. Jawaban yang menohok itu tentu saja memusingkan sang pejabat yang kini sudah pensiun. 

Padahal jikalau Kang Ayip hendak mendulang uang, masa pencalonan kepala daerah merupakan saat yang tepat. Namun beliau tidak memihak kepada siapa pun dan tidak berdiri pada sebuah partai politik mana pun. Sekali pun Alwy Shihab, waktu itu menjabat Menteri Luar Negeri singgah ke pondok pesantrennya. Beberapa tamu pejabat Indonesia yang berkunjung kepada beliau, menunjukkan hubungan personal yang terjalin baik sehingga Kang Ayip dipercaya sebagai salah satu tempat bertanya.

Bertandang ke rumah beliau bagi penulis dan teman-teman membuat rasa nyaman. Mungkin karena ketulusan menerima tamu tanpa melihat apakah dia seorang penjudi, pemabuk, ustadz, orang kampung yang lugu, pemuda, pejabat dan segala profesi. Sikap tulus yang terpancar dari wajah bersihnya membuat kami betah berlama-lama duduk bersila di hamparan tikar di ruang tamunya.

Selasa menjelang Magrib 26 Desember 2006, Kang Ayip Muh wafat. Dalam waktu yang singkat, awan kesedihan menggelayuti Cirebon dan sekitarnya, kabar ini terhitung mengejutkan karena beberapa hari sebelumnya kesehatan beliau terpantau sehat, Ahad sebelumnya masih mengisi majelis Ta’lim seperti biasa, siangnya masih menghadiri acara dari parpol Islam, bahkan sorenya masih menerima tamu.  Abdul Qodir, demikianlah Ayah beliau memberikan nama sewaktu kecil, saat lahir 15 Juli 1932.***


(Catatan: Tulisan ini telah diterbitkan Harian Umum Fajar Cirebon pada Oktober 2014 dan diperpanjang pada bagian Non Partisan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar