Oleh Dadang Kusnandar
TEATER anak-anak yang dikelola Agus DTA dan kawan-kawan di
MI dan MTs An Nur Jagasatru, suatu saat dikabarkan menerima bantuan berupa fresh money dari Unesco, lembaga
kebudayaan PBB. Alkisah, Dedi Kampleng, Khumed, dan Mahmud Yahya menemui KH
Syarif Muhammad Yahya. Bertiga hendak menyampaikan kabar gembira itu kepada
sesepuh pondok pesantran Jagasatru Cirebon. Teater Cahaya yang menampilkan
proses kreatif anak-anak Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah dan SMP/ Tsanawiyah
itu tergolong kelompok teater yang memberdayakan peralatan ala kadarnya saat
itu. Kabar akan datangnya bantuan dari Unesco tentu saja membanggakan,
sekaligus melambungkan angan. Perlengkapan lampu pertunjukan, sound system dan sebagainya, begitu
menggoda.
Bertiga di atas menyampaikan kabar itu dengan wajah sumringah. Kang Ayip Muh mengatakan, “Bagus atuh baka mengkonon”. Tentu saja
ujaran singkat itu dianggap justifikasi kesetujuan sang kiai atas bantuan bagi
Teater Cahaya. Namun sang kiai meneruskan dengan pertanyaan, “Kalian mengirim
proposal ke Unesco?”. Sontak ketiganya menjawab, “Nggih, kang”.
Itu namanya bukan bantuan, lanjut sang kiai. Itu artinya
kalian mengemis. Jadi batalkan saja. Biar saja lampu pertunjukan Teater Cahaya
pake kaleng, yang penting pentasnya segar dan bisa membuat penonton ngekek. Bagai disambar petir. Ketiga
pegiat Teater Cahaya itu terpaku. Dengan lidah kelu, keputusan Kang Ayip Muh
diterima. Sembari menghaturkan salam, ketiganya berlalu.
Teater Cahaya di lingkungan Pesantren Jagasatru merupakan
satu-satunya teater anak-anak yang hingga kini masih bertahan di Cirebon.
Pentas mereka senantiasa bermula dari hal-hal kecil yang menyisipkan pesan
ajaran agama Islam. Penonton menerima pesan moral itu tanpa merasa digurui
anak-anak. Sebabnya ialah pesan Kang Ayip Muh di atas itu tadi, “Yang penting
pentasnya segar dan bisa membuat penonton ngekek”.
Kisah yang telah berlangsung puluhan tahun itu disampaikan
Dedi Kampleng, belum lama ini kepada saya di meja makan kantin At Taqwa. Kisah
yang menyiratkan dan menyuratkan ketegasan seseorang untuk tegak berdiri pada
kemampuan dan ketersediaan perlengkapan yang ada. Tak harus meminta karena
ujarnya, tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Dengan lain
perkataan jadilah diri sendiri tidak dengan membungkukkan badan di hadapan
juragan atau pemilik kapital.
Pelajaran berharga yang mungkin langka di kehidupan kita.
Proses saling memberi dan menerima dalam transaksi sosial ekonomi kerap
berlangsung lantaran ada pihak yang mengajukan bantuan. Bantuan diberikan
manakala telah ditelaah (meski tidak rinci) secara administrasi. Pihak pemberi
bantuan ~karena kedudukannya sebagai tangan di atas~ biasanya berdalih, “Kami
hanya membantu. Soal bagaimana penggunaannya, terserah pihak penerima”.
Bantu membantu tak pelak merupakan hal biasa. Akan tetapi di
tengah masyarakat kita, masih terdapat banyak person yang enggan mengajukan
diri meminta bantuan. Bukan lantaran malu atau gengsi, melainkan terpatri
ajaran moral untuk tidak merendahkan diri di hadapan orang lain. Juga bukan
karena tidak butuh, sikap seperti itu muncul setelah secara sadar menerima
kenyataan, destiny yang digariskan
Tuhan.
Lalu apakah sikap nrimo
ing pandum itu dimaknakan sebagai kepasrahan total atas kesejatian diri?
Pembaca budiman dapat menilai sendiri menyoal itu. Setidaknya kelemahan secara ekonomi tidak kemudian dapat dijadikan
alasan untuk menempatkan kita di koridor objek. Baik itu objek pemberian yang
bersifat kemanusiaan, terlebih yang bersifat politis.
Kelebihan seseorang konon terletak pada kekuatan sikap.
Konsistensi dan komitmen pada pendirian merupakan hal langka. Satu yang langka
itu pernah disampaikan oleh Kang Ayip Muh seperti digambarkan di atas.
Memaknai Pesan
Ada kisah lain yang saya dengar langsung ketika jamaah
pengajian beliau hendak memberi sebuah mobil. Kiai sederhana yang berkain
sarung dan kopiah hitam itu suatu ketika didatangi jamaahnya. “Saya ingin
memberikan mobil kepada Kang Ayip untuk memperlancar dan mempercepat kegiatan
dakhwah”. Kiai bijak itu tersenyum.
“Terima kasih atas niat baik sampeyan. Tapi kalau saya menerima mobil itu,
kasihan tukang becak langganan saya”.
Begitulah kisah keteguhan pendirian seseorang yang kian tak
terdengar lagi di era sekarang. Pendirian untuk kokoh pada kesejatian diri.
Menolak pemberian dalam konteks ini bukan berarti menolak rizki. Bayangkan
sebuah mobil pada tahun 1993 diberikan begitu saja, kendati sang pemberi iklas
melakukannya, namun akan tersebar ke kancah umat bahwa “harga” sang kiai berupa
sebuah mobil. Artinya keteguhan sikap Kang Ayip Muh terhindar dari bahan
pembicaraan buruk tentang memberi dan menerima.
Kenangan kepada Kang Ayip Muh telah lama mendekam di benak.
Kenangan demi kenangan itu kadang melintas, menggapai untuk segera dimaknai.
Pemaknaan yang berangkat dari kesediaan kita untuk merenungkan hal-hal yang
baik untuk seterusnya diterapkan pada keseharian. Apabila kita mampu menangkap
pesan indah di balik kenangan pada seseorang yang kita banggakan, terlebih
lintasan kenangan itu seperti menggapai, maka itulah saatnya berbenah. Saatnya
menempatkan kesejatian diri di tengah kemampuan dan ketersediaan sarana yang
kita miliki.
Biarlah tutup lampu panggung Teater Cahaya itu terbuat dari
kaleng, biarlah Kang Ayip Muh tetap naik becak ke mana pun pergi sekitar Kota
Cirebon, dan sejumlah kisah lain yang belum tertulis mengenai beliau. Penolakan
indah itu menitipkan pesan agung yang telah sama-sama kita pahami. Agaknya
sesuatu yang diam-diam menjauh dari kesejatian kita antara lain mengajukan
bantuan kepada pihak lain guna berbagai alasan.
Mengutip ujaran bagus KH Wahid Hasyim, “Jangan remehkan
siasat sesuatu yang (tampak) lemah. Terkadang, ular ganas mati oleh racun
kalajengking. Ternyata, burung Hudhud sanggup menumbangkan singgasana ratu
Bulqis, dan liang tikus mampu meruntuhkan bangunan kokoh”. Ujaran bagus ini
analog dengan kekuatan kita untuk senantiasa berdiri di atas kaki sendiri.
Non Partisan
BAGI kalangan Muhammadiyah, Kang Ayip Muh tetap dikenang
sebagai sosok sederhana yang memiliki peran sosial cukup penting di Cirebon
khususnya. Kesediaan beliau menerima tamu berbagai kalangan menjadikannya tidak
saja disegani melainkan mendapatkan tempat cukup indah bagi siapa pun. Tamu
beliau pun merambah kepada teman-teman politisi dan pejabat.
Ada sebuah cerita yang saya lihat langsung manakala
silaturahmi ke Ponpes Jagasatru, tepatnya ke rumah beliau. Waktu itu menjelang
pemilihan Walikota Cirebon. Ketika kami asik berbincang dengan tema beragam
~sesuai topik yang disampaikan tamu~ tiba-tiba datang seorang pejabat pemda
lantas menyampaikan maksudnya. Pemilihan kepala daerah yang diusung partai
politik merupakan moment kunjungan politisi ke kediaman Kang Ayip Muh. Beragam
maksud disampaikan, beragam pula saran dan atau nasihat yang diberikan sang
kiai. Lantaran beliau mahir dalam hal ilmu mantiq
(diplomasi), tak mudah nasihat keluar dari lisannya. Diperjelas dahulu dan
dibolak-balik pertanyaan serta pernyataan sang tamu, setelah itu barulah beliau
mengatakan sesuatu.
Jawaban yang muncul pun bukan petuah, apalagi perintah, akan
tetapi permintaan terhadap sang pejabat untuk merenungkan langkahnya. Saya
kaget ketika tiba-tiba beliau berkata kepada pejabat tadi sambil menunjuk,
“Ente, calo calon walikota”. Tak elok jika nama pejabat dimaksud saya tulis di
sini. Jawaban yang menohok itu tentu saja memusingkan sang pejabat yang kini
sudah pensiun.
Padahal jikalau Kang Ayip hendak mendulang uang, masa
pencalonan kepala daerah merupakan saat yang tepat. Namun beliau tidak memihak
kepada siapa pun dan tidak berdiri pada sebuah partai politik mana pun. Sekali
pun Alwy Shihab, waktu itu menjabat Menteri Luar Negeri singgah ke pondok
pesantrennya. Beberapa tamu pejabat Indonesia yang berkunjung kepada beliau,
menunjukkan hubungan personal yang terjalin baik sehingga Kang Ayip dipercaya
sebagai salah satu tempat bertanya.
Bertandang ke rumah beliau bagi
penulis dan teman-teman membuat rasa nyaman. Mungkin karena ketulusan menerima
tamu tanpa melihat apakah dia seorang penjudi, pemabuk, ustadz, orang kampung
yang lugu, pemuda, pejabat dan segala profesi. Sikap tulus yang terpancar dari
wajah bersihnya membuat kami betah berlama-lama duduk bersila di hamparan tikar
di ruang tamunya.
Selasa menjelang Magrib 26 Desember
2006, Kang Ayip Muh wafat. Dalam waktu yang singkat, awan kesedihan
menggelayuti Cirebon dan sekitarnya, kabar ini terhitung mengejutkan karena
beberapa hari sebelumnya kesehatan beliau terpantau sehat, Ahad sebelumnya
masih mengisi majelis Ta’lim seperti biasa, siangnya masih menghadiri acara
dari parpol Islam, bahkan sorenya masih menerima tamu. Abdul
Qodir, demikianlah Ayah beliau memberikan nama sewaktu kecil, saat lahir 15
Juli 1932.***
(Catatan: Tulisan ini telah diterbitkan Harian Umum
Fajar Cirebon pada Oktober 2014 dan diperpanjang pada bagian Non Partisan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar