Minggu, 01 Juli 2012

Seniman dan Perang

Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon

Seniman tidak mencipta untuk seniman: Ia mencipta untuk rakyat
(Adolf Hitler)


CATATAN ini terinspirasi kerja bagus teman-teman penyair, seniman ketika Sabtu 30 Juni 2012 yang baru lalu sukses menggelar acara launching antologi puisi 7 Jemari Penyair di Gedung Negara Cirebon. Ungkapan di atas disampaikan Hitler pada 18 Juli 1937 pada pidatonya di gedung yang dikenal sebagai Istana Kaca (Glaspalast) di Kota Munchen yang atas titahnya dibangun kembali dengan desain karya Paul Ludwig Troost. Tempat itu menjadi penting karena dibuka dengan "Pameran Seni Rupa Agung Jerman". Kata-kata Hitler punya gaung yang lebih luas dari yang diduganya sendiri karena ia lahir dan terbit dari naluri sebuah gerakan dan kekuasaan yang tidak terbatas hanya pada Partai Nazi.

Menjelang Olympiade Munchen 1936 Hitler menyebut tentang tibanya sebuah "Zaman Baru" dan "Umat Manusia Baru". Dan pidato terkenal di Haus der Deuschen Kunst itu nampak pada olympiade tersebut, dan itu berarti otot yg keras, kekuatan dan keindahan yang mengalirkan rasa baru kehidupan. Tak heran bila Hitler mengecam pelukis yang menampilkan karyanya berupa manusia cacat, laki-laki yang mirip hewan, perempuan berwajah buruk, atau anak-anak yang dianggap sebagai kutukan Tuhan.

Tahun gemilang kebangkitan Nazi ketika itu merupakan kehebatan mimpi Hitler untuk menampilkan Jerman yang perkasa. Ras Aria yang super hingga muncul genocyde atas kaum Yahudi ~meski pembantaian massal itu masih debatable~ pada mulanya adalah kebangkitan Jerman setelah kalah pada Perang Dunia I. Konon menurut Hitler, Jerman terpuruk lantaran kalah Perang Dunia I dan tak ada jalan lain bagi kebangkitan Jerman kecuali kemenangan perang berikutnya. Bagi Hitler, zaman baru itu, manusia baru itu adalah memenangkan sejumlah perang paling menakutkan sejak 1941 - 1943. Tentara angkatan darat Jerman tak terkalahkan saat itu.

Benarkah kemenangan sebuah peperangan menjadi ukuran kemajuan bangsa? Adakah sebenarnya ukuran kemenangan perang? Sejarah benarkah ditentukan oleh pemenang perang, oleh jendral yang berhasil memukul mundur lawan dan mengalahkannya secara telak, berhasil dalam penyerbuan/ ekspansi ke negara lain? Akan lahir zaman baru, demikian imajinasi pria pendek berkumis lucu itu.

Hitler adalah orang yang pandai bersiul, ujar seorang teman di Jakarta. Selain mampu memainkan harmonika dan flute, ia pun pandai menyanyi, namun bersiul adalah keahlian Hitler yang paling menonjol. Ia mampu bersiul dengan nyaring di tengah padang rumput dan memainkan melodi musisi Wagner dengan siulannya secara tepat.

Bagaimana relasi konstruktif yang tak terbantahkan antara zaman baru, seniman, kesenian, dan peperangan? Bagi saya, Jerman merupakan contoh menarik menyoal keempat hal itu tadi. Perang Dunia II yang dikomandoi Jerman memperoleh dukungan Jepang dan Italia. Jepang yang terinspirasi semangat Asia Timur Raya ketika segala industri dibaktikan bagi perang dunia yang makin keras genderangnya (Arthur Golden, Memoirs of a Geisha). Sementara Italia tengah bangkit manakala Benito Amilcare Andrea Mussolini berhasil membangun kekuatan fasis. Penguasa Italia tahun 1922 – 1943 itu bergabung dengan Jerman untuk mewujudkan angkatan perang yang perkasa dan menguasai dunia.

Tak ada yang mengelak kehebatan Jepang dengan kesuksesannya membombardir Pearl Harbour di samudra Pasifik, yang dapat kita saksikan melalui beberapa film layar lebar versi Hollywood. Perang Dunia II begitu mengguncang, begitu mencekam, namun sekaligus mempertegas kenyataan bahwa seniman (dalam hal ini Adolf Hitler, alumni Akademi Seni Rupa Wina-Austria) sangat berperan.

Dengan kata lain seniman mengubah dunia. Tentang apa dan bagaimana perubahan yang disebabkannya sangat bergantung pada tafsir kita tentang teks. Seniman yang perkasa itu, yang membaktikan diri dan hidupnya untuk rakyat adalah zaman baru, istilah yang turut dipopulerkan Lothrop Stoddard. Ia mengatakan bahwa nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang hidup dalam hati rakyat yang berkumpul menjadi satu bangsa. Setelah perang dunia kesatu, nasionalisme merupakan persoalan upaya menentukan nasib sendiri dari suatu bangsa sebagai akibat dari meningkatnya paham fasisme dan sosialisme. Sesudah perang dunia kedua, nasionalisme ditandai dengan munculnya revolusi kemerdekaan dalam bentuk perlawanan terhadap imperialism dan kolonialisme di Amerika Latin, Asia, dan Afrika.

Seniman yang membangun dunia ~dengan paradigma kekuasaan~ pada gilirannya mampu mengoyak ingatan kita bahwa eksistensi seniman sangat layak diperhitungkan. Bukan pada pemihakan atas kegagalan nasib seniman tradisi (sebutlah seniman Cirebon) saat ini yang gagap budaya. New age yang belakangan muncul lagi sebagai ikon pemikiran mestinya mempergiat seniman tradisi untuk terus eksis di tengah zaman yang terus bergerak. Merujuk kuasa dan kampiumnya seorang Hitler, semoga menggairahkan serta menggerakkan kebangkitan seniman.

Jika seniman dan kesenian bangkit, tanpa berkeluh kesah tentang lemahnya penghargaan pemerintah berkuasa, kota kecil bernama Cirebon ini khususnya kelak akan menjadi sentrum kebudayaan. Mengingat adanya puser bumi , yang juga diyakini ada di beberapa tempat lain di Indonesia, saat pembuktian lurus pusat bumi dan sentrum budaya Cirebon itu harus segera dikerjakan secara smart.

Perang dalam teks sekarang adalah “peperangan” seniman terhadap kekuasaan. Peperangan dimaksud adalah kemandirian dan kemampuan seniman untuk tidak senantiasa bergantung pada kekuasaan dan penguasa atau pemilik otoritas sementara. Keterbatasan waktu berkuasa seseorang pemilik otoritas kekuasaan sebaiknyalah jadi modal kemandirian seniman. Tegak berdiri di atas kaki sendiri tanpa terjerembab menjadi pihak yang kalah dan ambigu terhadap kekuasaan.

Mustahil akan menjadi Hitler periode berikutnya apabila seniman masih bersenandung riang dengan sang pemilik otoritas kekuasaan. Dan mustahil pula tumbuh kemandirian sepanjang selalu mempersoalkan kecilnya keseriusan pemerintah membangun budaya berdasar (sebagaimana Hitler katakan) penciptaan untuk rakyat. Di tangan seniman, rakyat menanggalkan harap. Mampukah?***

*) dari berbagai sumber dan ingatan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar