Kamis, 21 Juni 2012

HUT Jakarta Kemeriahan Semata

Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon


TIAP 22 Juni Jakarta berulang tahun. Nama Jakarta sebelumnya ialah Jayakarata sebagai penghargaan atas jasa Pangeran Jayakarta Wijayakrama kini memasuki usia 485 tahun. Dihitung sejak tahun 1526 ketika ditundukannya Portugis dari Sunda Kalapa oleh Fatahilah atau Faletehan, kota megapolitan ini terus berderak dan memacu jaman. Guru besar Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Mansur Suryanegara pada sebuah kesempatan di Mesjid Salman ITB tahun 1980-an mengatakan, nama Sunda Kalapa diganti menjadi Fathan Mubina. Namun nama Jayakarta lebih akrab dan mengemuka ketimbang Fathan Mubina. Kata ini diambil dari ayat suci Qur`an, tepatnya Surat Al-Fath (48) ayat 1 yang artinya kemenangan yang jelas. Sampai Jan Pieterszoon Coen yang kemudian menjadi Gubernur Jendral Belanda (saat itu masih VOC) menghancurkan Jayakarta pada 1619. Nama Batavia dipakai sejak sekitar tahun 1621 sampai dengan tahun 1942. Ketika Hindia-Belanda jatuh ke tangan Jepang, sebagai bagian dari deNederlandisasi, nama kota diganti menjadi Jakarta.

Berulang kali pergantian nama Jakarta mencerminkan pergolakan sekaligus pergumulan budaya yang tercatat sejarah dengan pelbagai hiruk pikuknya. Kerajaan Sunda Kalapa di perut Jawa Barat menempatkan Jakarta sebagai kota pelabuhan, kota persinggahan dan perdagangan antarkerajaan saat itu. Konon Sunda Kalapa bekerja sama dengan Portugis sebagai mitra dagang dan perlahan menguasai pelabuhan itu. Masuknya agama Islam, kedatangan kongsi dagang VOC, masuknya Jepang ~ hingga kota itu dinamai Jakarta secara sekilas dapat dikatakan pencerminan pergulatan kebudayaan yang aduhai meriah. Pergulatan panjang itulah, hingga usia ke-485 tahun saat ini yang menggiring Jakarta pada penumpukan sejumlah masalah besar yang masih belum dapat diselesaikan; terutama bagi kesejahteraan warga Jakarta.

Sudah menjadi rahasia publik, magnet Jakarta membuahkan urbanisasi yang tidak dapat ditolak. Masalah sosial ekonomi dan politik jadi pelik dan mencekik Jakarta. Operasi justicia yang dilakukan paska lebaran Idul Fitri gagal mengurangi masuknya kaum urban tiap tahun. Beban Jakarta terus bertambah. Belum lagi kendala kemacetan lalu lintas dan banjir yang tidak dapat diselesaikan oleh hampir semua gubernur yang pernah memimpin Jakarta. Deret ukur kompleksitas problem Jakarta pun terus melaju meninggalkan kemampuan managerial para pimpinan daerahnya. Kini di tengah kemilau dan gemerlap Jakarta, catatan kemiskinan dan kampung kumuh tetap saja mengemuka.
Tahun ini, tepatnya 22 Juni 2012, Jakarta berulang tahun. Bukan sembarang usia. Bukan sembarang ulang tahun lantaran Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menggelar pawai kesenian yang dinamakan Jakarnaval 2012. Karnaval yang digelar oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta ini sebagai acara pemanasan jelang perayaan Hari “H”. Jaknarval 2012 berlangsung dari pukul 15.30 WIB hingga pukul 18.00 WIB. Pawai yang diikuti sekitar 3075 orang ini dilepas oleh Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo dari depan gedung Balai Kota DKI Jakarta. "Dengan memohon ridho Allah, saya nyatakan secara resmi Jakarnaval 2012 ini dibuka," kata Fauzi Bowo di lokasi acara, Minggu (10/6).

Kegiatan ulang tahun ini diharapkan dapat menambah rasa cinta warga Jakarta terhadap kotanya. Kalau orang semakin cinta kotanya, Pemerintah Daerah lebih mudah mengajak mereka untuk berpartisipasi. Partisipasi warga Jakarta untuk membangun kotanya sangat dibutuhkan pemerintah. Pemerintah setempat tentunya tidak mampu untuk membangun sendiri kotanya tanpa kerja sama yang terjalin dengan masyarakat.

Persoalannya adalah, apakah selama ini partisipasi masyarakat Jakarta begitu rendah sehingga pemerintah harus terus menerus mengajak dan atau menghimbau agar masyarakat Jakarta peduli dan mencintai kotanya? Kedua, Jakarta sebagai provinsi juga merangkap ibu kota negara. Tak ayal problem Jakarta setara dengan problem negara. Pemerintah DKI dengan demikian bisa mengelak beberapa tanggung jawab pembangunan fisik dan non fisik yang harus dikerjakannya. Dengan alasan ibu kota negara, boleh jadi keuangan/ anggaran negara yang tumpang tindih berlangsung di Jakarta. Ketiga, apabila HUT Jakarta selalu diawali karnaval yang menawarkan kemeriahan dan hiburan, hingga mengundang penampilan panggung artis ibu kota, Jakarta Fair di area eks bandara Kemayoran, dan sebagainya ~tidak akan memberi solusi bagi problem besar Jakarta.

Kemeriahan yang berulang tiap tahun, kemeriahan berbalut kemewahan yang tampil ke hadapan publik dan diteruskan media massa, seakan mencitrakan Jakarta sebagai kota impian. Fenomena ini justru akan memperkuat pertumbuhan kaum urban. Jika saja kaum urban itu memiliki spesialisasi dan keahlian tertentu, agaknya tidak seberapa membebani Jakarta. Ironinya kaum urban yang mempertaruhkan hidup untuk mengadu/ mengubah nasib ke Jakarta itu, dominan warga tanpa keahlian/ profesi yang dibutuhkan bagi pembangunan Jakarta. Problem kependudukan dalam relasi ini menjadi tantangan sekaligus rintangan bakal calon kepala DKI Jakarta berikutnya. Pilkada 21 Juli 2012 diam-diam mengintip peringatan HUT Jakarta ke-485 ini. Sangat mungkin semua bakal calon gubernur memanfaatkan momen ini bagi kampanye mereka. Tidak keliru memang, sepanjang tidak menggunakan uang dan fasilitas negara.

Kembali ke kemeriahan HUT Jakarta yang tidak lebih sebagai pengulangan tahun-tahun sebelumnya, kiranya lebih baik bila kemeriahan (yang terbiasa melakukan kamuflase) disederhanakan saja dengan pembenahan serta pembangunan yang perlu bagi struktur dan infrasuktur Jakarta. Alokasi dana HUT Jakarta dari pesta dialihkan ke kegiatan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat Jakarta. Dengan demikian partisipasi publik dan kekuatan mencintai Jakarta akan terus tumbuh dan berkembang. Pemerintah pun tidak harus menutupi kegalauan Jakarta dengan pesta dan kemeriahan HUT. Sebagaimana pesta dan kemeriahan, pasti tidak akan menampilkan kekumuhan dan keruwetan. Yang ada hanya keindahan dan pesona.

Problema Jakarta seperti disinggung di atas, adalah problem nasional dan diam-diam kota lain menghadapi persoalan yang hampir sama. Seharusnya Jakarta menoleh ke kota Surabaya yang sukses mengatasi problem lingkungan hidup di bidang penghijauan. Seharusnya Jakarta juga menoleh ke Surakarta yang berhasil menerapkan pendataan penduduk secara profesional. Dan seharusnya kemewahan HUT tidak menghipnotis masyarakat Jakarta hanya untuk sekadar mengatakan bahwa Jakarta memang megapolitan. Bukankah kini Jakarta boleh dinamakan Megaproblema?***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar