Sabtu, 28 Juli 2012

Kelakar Kebo dengan Petani



Oleh Dadang Kusnandar

BeningPost.com  28/07/2012 21:28:50 WIB

KEBO ternyata memiliki banyak nama dan alasan pemberian namanya. Kebo yang terkenal di Indonesia antara lain bernama Kebo Sibuya.  Olok-olok kepada sang presiden. Seekor kerbau yang dibawa pengunjuk rasa dalam aksi memperingati 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono pada 28 Januari lalu membuat Presiden SBY tersinggung. Presiden menganggap cara unjuk rasa seperti itu tidak pantas. Pada tubuh kerbau ada coretan cat berwarna putih bertuliskan "SiBuYa".
Kebo SiBuYa populer dan dipopulerkan sejak 3 Januari 2010. Masyarakat politik terkekeh mendapati fakta itu. Joke politik kadang keterlaluan. Namun menyenangkan. Orang melihat humor politik sebagai pelepas ketegangan. Kesalahan dan kecelakaan politik menjadi parody dan ditertawakan. Begitulah Kebo “SiBuYa” mendadak populer. 

Membicarakan kerbau alias kebo, kita teringat pada tabiat kebo yang menjengkelkan. Tidak produktif, malas, doyan tidur, padahal tenaganya kuat. Satu lagi, jatah makannya banyak. Jika asupan nutrisi kebo kurang semakin malas bekerja. Saya tidak tahu persis seperti itukah Kebo SiBuYa? Bila benar seperti itu, maka kondisi Indonesia seperti sekarang berlangsung karena kesalahan kebo memanage negara, yang berawal dari diri sang kebo.  Kerbau juga, pinjam kata-kata Yosef Rizal, Koordinator Pemuda Cinta Tanah Air (Pecat), jika Presiden memaknai pesan dari simbol seekor kerbau itu adalah pemimpin gemuk yang malas dan bodoh, itu adalah hak Presiden. "Kerbau itu adalah simbol yang punya seribu makna, terserah orang memaknainya. Kalau SBY memaknai sebagai simbol pemimpin yang gemuk, malas, lamban meski sudah dipecut, itu terserah dia," ujarnya.

Kerbau menurut orang pintar  adalah binatang memamabiak yang masih termasuk dalam subkeluarga bovinae. Kerbau liar atau disebut juga Arni masih dapat ditemukan di daerah-daerah Pakistan, India, Bangladesh, Nepal, Bhutan, Vietnam, Cina, Filipina, Taiwan, Indonesia, dan Thailand. Sebenarnya kerbau mempunyai fungsi sebagai penghasil susu dan daging juga sering digunakan karena tenaganya yang kuat. Di Minangkabau, Sumatera Barat, susu kerbau juga diolah menjadi dadiah (sejenis yoghurt). Kotoran kerbau dapat digunakan sebagai pupuk atau bahan bakar jika dikeringkan.  Di posisi manakah Kebo SiBuYa, terserah pembaca menilainya.

Tapi tulisan pada bulan mulia Ramadhan 1433 Hijriyah ini,  mengingatkan pada cerita kakek di sebuah kampung Kabupaten Cirebon. Sekira delapan cucu kakek (termasuk penulis) duduk lesehan di tembikar rumah sederhana kakek. Lalu kakek yang berpangkat sersan satu TNI AD itu bercerita kepada kami. Sebelumnya kakek menyalakan strongkeng alias petromax di ruang tengah. Rumah kakek yang benderang malam itu menuturkan kisah seekor kerbau yang berdialog dengan majikannya. 

Begini cerita kakek. Pada jaman dahulu kala, tersebu tlah seorang petani yang memiliki seekor kerbau jantan. Pagi itu pak petani akan membajak sawah. Kerbau gemuk pun dikeluarkan dari kandang lalu dituntun ke sawah yang berjarak 600 an meter dari rumahnya.

Di perjalanan, kerbau  bertanya kepada petani, "dingin ya pak?".
"iya", jawab petani.
"sama dong, saya juga dingin", sambung kerbau.
Setiba di sawah kerbau dengan giat membajak sawah petani. Kerbau di depan dan petani di belakangnya mengendalikan arah pijakan kaki kerbau ke tanah sawah agar gembur dan mudah ditanami bbit padi.
Waktu terus merangkak siang. Kerbau berkeringat. Petani juga berkeringat.
"Cape yang pak?", tanya kerbau.
"Iya".
"Berkeringat ya pak?", lanjut kerbau.
"Iya".

Dari kejauhan terdengar suara adzan. Mungkin karena toa mesjid baru diservis maka suara pak Darsono terdengar begitu nyaring ke sawah dan seluruh desa.
Seketika kerbau bertanya, "Suara apa itu pak?".

"O......itu suara adzan. Mengajak kepada setiap orang muslim untuk melaksanakan shalat", jawab petani.
Kerbau pun melanjutkan pertanyaannya, "Pak tani shalat tidak?".
"Tidak", jawab petani spontan.
Tak disangka kerbau meneruskan omongannya, "Saya juga tidak!".

Kerbau pun terus berkata, "Kita memang sama pak petani. Sejak keluar dari rumah menuju sawah, sama-sama kedinginan, setelah bekerja sama-sama berkeringat dan capai, lantas ketika adzan memanggil untuk shalat -- kita tidak melakukan shalat".

DUA versi kerbau pada ulasan singkat di atas setidaknya bisa member kebijakan kita untuk tidak menilai tanpa mempertimbangkan aspek lain sebagai daya dukung. Hal ini perlu supaya apa yang kita sajikan senantiasa dapat dipertanggungjawabkan. Minimal teringat pada sebuah ayat Tuhan, “wala takfu maa laisa laka bihi `ilmun” (dst, al ayah QS Al Isra : 36), “dan janganlah kamu ikuti ilmu yang tidak diketahui”. Kelanjutan ayat tersebut menyangkut pendengaran, penglihatan, dan hati tentang pertanggungjawaban perbuatan. 

Ya, seperti kebo SiBuYa atau kerbau yang asik berkelakar dengan majikannya sejak pagi buta dituntun keluar kandang, memasuki dingin yang menusuk tulang tua sang petani. Dua kerbau dalam ulasan di atas mengajak kita untuk tetap sejuk pada Ramadhan ini. Kritik dan pujian terhadap dua kebo dimaksud merupakan persambungan fenomena sosial politik dan keagamaan yang terjadi di negeri kita. Negeri yang tidak mengetahui data statistik kerbaunya.***
Penulis lepas, tinggal di Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar