Senin, 09 Juli 2012

Jika Kebudayaan Sebatas Krupuk

Dadang Kusnandar* - BeningPost

09/07/2012 15:17:00 WIB

Kebudayaan sebagai bidang strategis kajian negara, hingga sekarang masih diletakkan sebagai krupuk dalam sajian makanan. Dan sebagaimana hal krupuk, ia hanya menjadi penyedap rasa; boleh ada dan boleh tidak. Tanpa krupuk pun, makan dapat dilakukan. Jika kebudayaan saja (meminjam ujaran Dedi Gumelar alias Mi`ing) sebatas krupuk, lalu di manakah letak kesenian kreatif?

Pertanyaan yang menggugah sekaligus miris, betapa kesenian tetap menjadi subordinat. Tidak penting. Kesenian “penting” hanya sebagai kolase manakala mengiringi peristiwa politik. Kunjungan pejabat negara atau petinggi politik diiringi tetabuhan musik tradisi dan gerak gemulai penari, sang pejabat dikalungi rangkaian bunga melati, memperoleh anugerah atau penghargaan sebagai warga kehormatan suku tertentu ~ kebudayaan (dan kesenian) tampak penting. Tanpa kesenian pun upacara seremonial tetap bisa dilaksanakan.

Kesenian menjadi tidak penting dan marjinal. Ia berjalan terseok-seok, tak mampu berdiri tegak lurus dengan langit. Di tengah ketidakmampuan itu, kesenian juga harus berhadapan dengan problem internalnya. Dari kegemaran seniman menjual alat kesenian miliknya hingga kematian kesenian ketika desakan dan kebutuhan ekonomi terasa demikian mencekik. Beberapa kesenian lokal tak mampu lagi menampilkan kreasinya lantaran desakan/ tuntutan pemenuhan ekonomi tak pernah bergeser sejengkal pun.

Tahun lalu, saya kerap menerima pesan pendek seorang dalang wayang kulit Cirebon. Dalang muda itu menanyakan, adakah bantuan pemerintah untuk kembali menghidupkan wayang kulit warisan orang tuanya. Ia juga berharap bisakah pemerhati kesenian, aktivis dan penggagas ide kesenian membantu bagi perolehan seperangkat gamelan plus wayang kulit Cirebon. Mendapati kenyataan itu, beberapa teman pun saya forward isi pesan pendek (SMS) tersebut kepada pejabat terkait. Jawaban pun didapat: anggarannya belum ada. Sang pejabat juga menulis SMS, “Kejadian seperti itu hampir melanda semua grup wayang kulit Cirebon. Masalah keluarga misalnya bagi waris tak urung melego alat kesenian”. Hanya seorang dalang wayang kulit Cirebon yang bertahan, Haji Mansur dari Desa Gegesik Kecamatan Arjawinangun Kabupaten Cirebon, imbuh pejabat di atas.

Benar adanya, dalam bincang dengan Sang Dalang muda, diceritakan masalah utang piutang keluarga senilai jutaan rupiah. Keluarga tidak mampu membayar, daripada menanggung rasa malu maka peralatan pentas wayang kulit Cirebon itu yang telah digadaikan berkali-kali akhirnya dijual. Tragisnya, utang belum lunas. Keluarga pewaris kesenian lokal wayang kulit Cirebon itu dalam keadaan tidak memiliki perangkat pentas, selain masih menangguk hutang, kini telah kehilangan kesenian lokal warisan orang tuanya.

Beruntung, Dalang muda itu diraih grup kesenian Sanggar Sekar Pandan. Sanggar di bawah pimpinan Elang Heri Komarahadi itu suka melibatkannya pada pentas seni tradisi Cirebon. Perannya tetap, dalang wayang kulit Cirebon. Tapi beruntungkah Pulana yang berusia 17 tahun itu saat ini? Beruntungkah keadaannya ketika untuk sebuah pentas ia harus menjadi subordinat grup kesenian lain? Ia tidak menjadi diri sendiri karena ketidakmampuannya bertahan di tengah desakan ekonomi.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia

Penambahan bidang kerja ekonomi kreatif di Kementerian Pariwisata sebaiknya melakukan rekapitulasi kesenian kreatif, terutama grup kesenian yang harus ada dan dipertahankan sebagai budaya Indonesia yang blingsatan jika diakui sebagai milik Malaysia. Di bawah komando Marie Elka Pangestu yang berpengalaman itu, kementerian ini semog a tidak luput pada masalah substansial yang melanda kesenian. Kementerian yang sudah pasti mencanangkan rencana strategisnya sebagai berikut:
Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2010-2014

Dalam rangka perwujudan amanat Peraturan Presiden RI no 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 serta sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional bahwa Pimpinan Kementerian/Lembaga diwajibkan menyusun Renstra-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang yang merupakan penjabaran dari visi dan misi Kementerian/Lembaga dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan nasional secara menyeluruh.

Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kembudpar) telah menyusun Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2010 " 2014 (Renstra Kembudpar 2010 " 2014) yang memuat visi, misi, nilai-nilai, penilaian dan kajian lingkungan eksternal dan internal, tujuan, sasaran dan faktor kunci keberhasilan, serta strategi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dari tahun 2010 sampai dengan 2014 sebagai upaya memberikan informasi yang akuntabel dan terpercaya manyangkut program dan kegiatan untuk mencapai target dan sasaran pembangunan kebudayaan dan kepariwisataan nasional.

Dalam perjalanan waktu, Renstra tersebut mengalami revisi atau penyempurnaan. Review Renstra ini disusun untuk lebih mempertajam arah kebijakan, tujuan dan sasaran yang akan dicapai, khususnya dengan memuat indikator kinerja untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan kinerja di lingkungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Dengan berpedoman dengan Renstra ini, seluruh satuan kerja di lingkungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dapat menyelenggarakan kegiatan secara lebih sistematis, konsisten, dan seimbang sehingga pencapaian kinerja rencana strategis yang telah ditetapkan ini dapat dengan mudah diukur. (dikutip dari www.budpar.go.id)

Berharap seniman Indonesia mengetahui keberadaan lembaga ini secara jeli, bukan hanya pemain panggung yang bangga dengan tepuk tangan dan penghargaan berupa piala, uang, sertifikat, dokumentasi melalui dunia maya atau keping DVD, cinderamata berupa vandel artistik ~ seniman harus menunjukkan karya primanya. Mutualisme yang terjalin antara seniman dengan kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif ini, dalam ukuran sederhana adalah transparansi di bidang pengadaan barang dan jasa. Sub bagian yang potensial melahirkan korupsi.

Menanggalkan harap kepada seniman yang mampu melaksanakan tugas keseniannya, semoga pada saatnya kesenian tidak terus menerus menjadi kemasan kegiatan politik dan kenegaraan belaka. Kalau pun harus tampil pada acara tersebut, kesenian tidak dalam posisi subordinat. Tidak di bawah kekuasaan negara yang bisa sewenang-wenang mengarahkan materi kesenian sesuai pesanan. Kesenian tradisi yang tampil pada kampanye Pilkada DKI, pemilihan umum legislatif 2014, pada pemilihan presiden 2014: sudahkah ia tidak setara dengan krupuk sebagaimana disinggung Mi`ing?


*Penulis lepas, tinggal di Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar