Kamis, 05 Juli 2012

Lelaki di Kaos Sumanta


(Keterangan gambar: dari google, tidak tega unduh dari koleksi foto pribadi)


Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon


SUMANTA dengan kaos putih bergambar lelaki berjas dasi dan berkopiah, melangkahkan kaki dengan senyum dikulum. Selembar uang Rp 50.000,00 dan tiga bungkus rokok kretek kesukaannya diperoleh melalui kebaikan seseorang yang baru dikenalnya. Tanpa harus mengayunkan kapak atau mencangkul di kebun, Sumanta dapat rejeki. Modalnya murah sekali, cukup datang ke aula balai desa, duduk dan mendengar “ceramah” bapak berjas dasi dan berkacamata. Dua jam lebih ia takzim menyimak isi pembicaraan, meski tidak satu kalimat pun Sumanta bicara.

Sumanta, lelaki polos 30 tahunan itu memperhatikan ulah Bapak Etmah. Pendidikan formal Sumanta yang mentok di tingkat SMP, memungkinkannya memperhatikan gaya berjalan Bapak Etamah serta kelakuan orang di sekitarnya. Ia melihat dan menyunggingkan senyum ketika melihat lelaki berpakaian jenis baju koko dan berkupluk hitam membukakan pintu mobil Bapak Etamah. Sumanta hampir terkekeh manakala laki-laki baju koko yang turun lebih awal dari mobil Bapak Etamah menunduk dengan hormat dan menyodorkan telapak tangannya sambil berkata, “Silakan pak haji, warga sudah menunggu”. Lelaki berperut gendut turun dari mobil mengkilat, langkah kakinya diatur agar tampak berwibawa, dan telepon genggamnya sering berdering.

Pak Kuwu membuka acara dengan menyampaikan ucapan selamat datang, memperkenalkan Bapak Etamah kepada warga desanya, dan mempersilakannya bicara. “Balai desa ini sekarang milik bapak”, kata pak kuwu, sumringah. “Saya berjanji akan bersungguh-sungguh membangun desa ini. Jalan semuanya akan diaspal. Pembagian beras akan didata ulang karena selama ini ada ketidakberesan dalam distribusinya. Banyak warga miskin desa ini yang tidak kebagian. Dan saya dengar dari tim sukses saya, oknum pengurus desa memperoleh beras miskin lebih banyak”, papar pria berkopiah hitam itu. Tepuk tangan menggema di ruang benderang itu.

Aula balai desa yang biasanya temaram, malam itu benderang. Penerangan seribu watt berbagai jenis dan ukuran lampu menghidupkan balai desa. Pedagang dadakan pun tampak sibuk di halaman balai desa. Kuwu, sekretaris desa, carik, mantri air, dan staf desa hadir sambil tak bosan menebarkan senyum. Sesuatu yang langka karena selama ini kuwu desa itu dikenal jaim (menjaga image). Aula balai desa di sebuah sudut kabupaten bulan-bulan ini sering disinggahi bapak murah senyum dan mengenakan jas dasi dan berkopiah.

Pengusaha
Cerita klasik bahkan teramat biasa yang terjadi menjelang berlangsungnya pemilihan kepala daerah di Indonesia. Cerita pembuka ulasan singkat tentang janji yang membuai, mulut berbusa, poster, baliho, uang politik yang beredar ~mengingatkan pertama, jangan anggap remeh orang desa. Meski pun berjarak cukup jauh dari pusat kabupaten, teknologi telah masuk ke ruang privat. Dengan hand phone di genggam tangan, Sumanta atau A`op dapat mengetahui ulah Bapak Etamah. Sekali klik google warga desa membaca perilaku siapa pun yang ia terakan namanya di kotak masuk pencarian google. Gambar subjek pun dengan gampang dipelototi, jika mau.

Bahwa Bapak Etamah seorang kaya raya dari luar kabupatennya, Sumanta paham. Bapak Etamah punya sawah hektaran, mobilnya lima, dan pengusaha sukses di Jakarta ~Sumanta pun mahfum. Celakanya, Sumanta juga paham bahwa Bapak Etamah ternyata seorang pengusaha yang tidak taat pajak, yang menggunakan uang CSR bagi kepentingan kampanye keliling desa di kabupatennya. Tapi tak mungkin Sumanta melaporkan penyalahgunaan uang CSR milik Bapak Etamah. “Uang itu miliknya, terserah untuk apa ia gunakan”, gumam Sumanta.

Berkawan dengan Kang Bakri, aktivis dan peggiat LSM, Sumanta memperoleh info yang diterimanya melalui pesan pendek (padahal kalimatnya panjang dan sering tertulis: sebagian teks hilang) dan telepon Kang Bakri. Informasi mengenai Bapak Etamah yang maju ke arena pilkada di kabupatennya lantaran dekat dengan petinggi sebuah partai politik di Jakarta. Kedekatan yang dibangun berdasar jumlah sumbangan yang biasa diberikan kepada parpol itu. Kedekatan personal dan emosional itu pun lalu berbuah ucapan sejuk dan menyenangkan, “Bapak Etamah kalau mau jadi bupati, silakan. Partai kami menjunjung tinggi demokrasi”.

Ujaran petinggi parpol tanpa kekuatan hukum positif yang berlaku di Indonesia itu dimaknai Bapak Etamah sebagai kata persetujuan alias dukungan parpol itu kepadanya. Maka bersibuklah ia membentuk tim sukses, mematut-matut penampilan di depan publik, mempertontonkan keahlian yang hanya sediit orang mampu melakukannya, membagi kaos bergambar dirinya, membersihkan sungai yang mampat, memasang poster-spanduk-baliho, giat menerima wawancara dan pasang iklan di media cetak elektronik. Tak pelak lagi, Bapak Etamah menjadi ikon penting, setidaknya saat ini.

Ia menjadi penting karena kepentingan sejumlah orang yang medekatinya dapat terealisasi. Ia pun penting lantaran jam kerjanya bertambah, otomatis frekuensi jam tidurnya menurun tajam. Dan supaya tampak selalu segar ~mana mungkin calon kepala daerah tubuhnya loyo, pikir Bapak Etamah~ ia rajin mengkonsumsi suplemen obat tertentu yang dibeli timnya. Suplemen obat jenis herbal yang dibeli sebagai “transaksi” politik.

Ambigu
Perpindahan perilaku seorang pengusaha ke perilaku politik cukup aneh. Bagaimana Bapak Etamah yang semula pandai menghitung uang, menggunakan uang untuk kemajuan perusahaan, pandai menjalin komunikasi bisnis dengan kolega dan teman sejawat ~seketika dipaksa memasuki area baru yang abu-abu. Area yang bernama politik.

Gelar pak haji yang melekat pada namanya, sebelum menekuni politik dijaga erat-erat. Bapak Haji Etamah terkenal sebagai lelaki yang enggan menyampaikan pemberiannya (shodakoh) secara terbuka. Takut menjadi ri`ya dan tertolak pahalanya oleh Tuhan. Suatu ketika Bapak Haji Etamah pernah berujar, “Mengutip `alamah Imam Al Ghazali, ri`ya adalah syirik kecil. Dan syirik tidak dimaafkan Allah swt”. Bapak Haji Etamah yang sudah lebih enam bulan berkeliling dari satu desa ke desa lain, dari satu restoran ke restoran lain, dan presentasi rencana kerja yang akan digarapnya bila terpilih menjadi kepala daerah itu bagai terpaksa mengungkap jasa baiknya ke hadapan publik. Simpel saja, ia berharap hadirin pada pertemuan itu memberikan suara politik baginya.

Dunia usaha dan dunia politik jelas berbeda. Tapi kini Bapak Haji Etamah cukup mengerti cara menautkan dunia usaha ke area abu-abu itu. Referensi pun dicari melalui tim suksesnya supaya lebih taktis dan strategisnya lagi langkahnya menuju “kursi panas” orang nomor satu di dearah tingkat dua. Politik yang mau tidak mau kini merupakan santapan tiap detik bagi Bapak Haji Etamah merupakan keharusan. Tidak terbantah. Jumlah massa yang hadir mendengar “ceramah” jadi ukuran kampanye terbuka. Padahal dia tidak tahu kalau itu ulah tim suksesnya sendiri untuk menyenangkan tuannya.

Sangat mungkin jumlah yang hadir pada pertemuan politik tampak membengkak karena 50% terdiri atas tim suksesnya sendiri. Warga desa yang hadir, seperti Sumanta dan A`op, cukup jadi pendengar, boleh mengantuk, dan pulang membawa uang Rp 50.000,00. Bukankah Bapak Haji Etamah tidak kenal semua tim suksesnya, apalagi hingga ke tingkat desa? Ia kenal dekat dengan tim sukses yang biasa dan teramat sering berinteraksi dengannya.

Soalnya kemudian, peluang Bapak Haji Etamah memenangkan pertarungan politik yang secara reguler diadakan lima tahun sekali di kabupaten tempat Sumanta dan A`op tinggal itu ternyata belum mulus. Petinggi partai politik di Jakarta belum secara resmi mengeluarkan SK untuk kepentingan pemilihan kepala daerah tahun depan. Lelaki di kaos Sumanta itu masih misteri...........***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar