Kamis, 05 Juli 2012

Kapak yang Terayun

Oleh Dadang Kusnandar

APA yang tergambar dari ayunan sebuah kapak? Ingatan kita melayang kepada pekerjaan yang dilakukan seseorang dengan tenaga penuh dan kuat. Ingatan kita melayang kepada keingian orang untuk bertahan hidup karena kayu yang dibelah kapak itu dapat dijual ke pasar, dapat pula digunakan untuk memasak dan kegiatan lain yang menopang hidup. Ayunan kapak, mengingatkan kita pada sebuah hadist Nabi Muhammad saw yang dikisahkan oleh Anas bin Malik ra. Alkisah, seorang laki-laki tengah baya (belum mencapai usia 50 tahun) dari kaum Anshar yang mendatangi Rasulullah Muhammad saw. Lelaki itu meminta sedekah agar keluarganya bisa makan hari itu. Dengan tersenyum lembut Rasulullah Muhammad saw bertanya, “Apakah engkau tidak memiliki sesuatu pun di rumahmu?” Peminta-minta itu menjawab, "Di rumah kami masih mempunyai selembar kain yang dipakai sebagian dan sebagian yang lain kami jadikan alas, serta gelas besar tempat kami minum darinya.” Kemudian Rasulullah meminta lelaki itu utk mengambil kedua barang itu.

Lalu kedua barang itu diperlihatkan kepada Rasulullah dan beliau melelangnya kepada para sahabat yang sedang duduk mengitarinya hingga laku terjual senilai 2 dirham. Beliau berkata lagi, “Belilah dengan dirham pertama ini makanan untuk kamu berikan kepada keluargamu dan dirham lainnya belilah kapak agar kau bs mencari nafkah dan bawa kepadaku.” Rasulullah meneruskan perkataannya, ”Pergilah dan carilah kayu bakar, lalu juallah dan setelah 15 hari, kau kemari lagi.”

Laki-laki itu pun segera berlalu. Dengan kapak yang dibeli dirham para sahabat nabi suci, ia mencari kayu dan menjual hasilnya ke pasar. Setelah 15 hari, ia mendatangi Rasulullah sambil membawa 15 dirham dari pendapatannya bekerja dengan menggunakan kapak.

Rasulullah saw dalam kisah ini, telah memberikan contoh bahwa membantu kaum dhuafa tidaklah cukup dengan memberikan makanan, tapi berilah jalan agar mereka bisa mencari nafkah. Rasulullah melarang sahabat dan umatnya untuk meminta-minta. Manusia hidup harus berusaha sendiri,mencari bukan berleha-leha menunggu belas kasihan orang lain. Dengan berusaha, tawakkal dan bersyukur, maka rezeki akan datang dengan cara yang tidak pernah terduga.

Kisah yang mengusik, bukan pemberian itu yang mendewasakan dan memandirikan seseorang, tetapi usaha dan kesungguhan melaksanakan peran khalifatullah fil `ardl

jauh lebih penting. Manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi pasti memiliki kemampuan berusaha, kemampuan untuk kemandirian dan lepas dari ketergantungan. Tragis pula bila ketergantungan itu berupa pemberian cuma-cuma, tanpa proses kerja, tanpa usaha keras.

Bapak membanting tulang, kalimat indah yang diajarkan semasa sekolah dasar dulu sesungguhnya memberi kejelasan tugas pokok dan fungsi seorang bapak, seorang suami untuk memberdayakan keluarganya. Kepintaran, fisik yang sehat dan tidak catat, keahlian pada bidang tertentu adalah karunia ilahi yang mesti didayagunakan. Jika tidak maka semua pemberian ilahi itu tidak bermakna apa-apa kecuali sifat malas untuk berubah. Malas menyiapkan diri menyambut matahari pagi dengan setumpuk kerja. Malas memposisikan diri di tengah pergaulan sosial. Kemalasan itulah, ibarat seekor kucing bila perut kenyang ia tertidur.

Kapak pada masa Rasulullah saw mampu mengubah nasib. Kapak saat ini memang tak semudah masa lampau. Ketika hukum perundangan tentang penguasaan hutan belum tertulis. Ketika penebangan pohon di jalan dan gang kecil pun mengacu ke peraturan daerah. Kapak pada masa Rasulullah saw ialah kapak yang bisa menebang pohon tanpa butuh selembar surat ijin dari pemerintah. Berbekal kapak satu keluarga keluar dari kemiskinan. Kisah kejayaan kapak yang sudah berakhir itu pada masa kini bernama kecerdasan, keilmuan, jejaring sosial, mungkin juga modal berupa uang dan barang. Kapak masa kini adalah kapak yang terayun dengan peraturan. Jika tidak diatur kapak itu bernama Kapak Maut Naga Geni 212 milik pendekar sakti Wiro Sableng, atau Kapak Merah yang sekira 10 tahun lalu menciptakan teror di jalanan Jakarta.

Kapak dalam teks sekarang ada pada diri kita. Kapak itu tinggal kita asah lalu ayunkan ke objek/ kayu yang akan dibelah. Lihatlah film-film country/ cow boys kerap menayangkan sang jagoam atau pemeran utama membelah kayu dengan kapak berlaras panjang. Penandaan pada fim itu, apa lagi namanya jika bukan kerja keras. Membangun keluarga, membangun rumah, membangun kesejahteraan, atau membangun diri sendiri. Bukankah semua berpusat pada diri sendiri?

Syukur Nikmat

Berbagai bantuan yang dibagikan pemerintah atas nama beras miskin, pengobartan miskin, jaminan sosial orang miskin dan sebagainya berbuah keanehan manakala sang penerima bantuan (dari APBN atau APBD) itu memiliki dua buah telepon genggam ( hp), motor, bahkan rumah. Mereka tidak merasa malu menerima berbagai lebel "miskin" sepanjang mendatangkan surplus baginya. Pihak pembagi, dalam hal ini pemerintah setempat pun menerima getahnya, niat politik membantu si miskin ternyata disalahartikan ~selain memang oknum pemerintah pun (biasanya tingkat kelurahan dan kecamatan) mengalokasikan lebel "miskin" itu secara tidak tepat sasaran. Celakanya lagi apabila bantuan atas nama orang miskin dikorup petugas.

Kapak dalam teks ini tidak kita dapatkan. Yang diperoleh adalah kayu yang langsung dapat digunakan tanpa bersusah payah menjualnya ke hutan. Kayu itu sudah bernama beras dan jaminan sosial kesehatan dan pendidikan. Fakta ini seharusnya bisa dihindari apabila pemerintah bersungguh-sungguh melaksanakan tugas menyejahterakan rakyat. Tugas itu antara lain mengembalikan fungsi “kapak” dengan berbagai metoda dan teori sederhana yang mudah dipahami. Jika pun harus mengeluarkan bantuan berupa uang, maka jangan tinggalkan begitu saja. Harus ada bimbingan managemen agar karya yang diayunkan “kapak” itu memperoleh pasar dan laku dijual. Dengan demikian terbina mutualisma antara yang dibantu dengan pihak yang membantu.

Jikalau saja peran “kapak” kembali sebagaimana dulu, kita berarti surut ke belakang. Kapak masa kini sebagaimana ditulis di atas adalah kemuliaan yang telah Allah swt berikan. Kita tak pandai mensyukuri kemuliaan itu. Dan pada ketidakpandaian itulah kecenderungan menerima (uang) seakan menjadi “primadona”. Tak perlu bersusah payah, datangi orang kaya lalu mintalah uang, selesai. Tidak. Islam tidak mengajarkan demikian. Islam mengajarkan tangan yang di atas (yang memberi) lebih mulia daripada tangan yang di bawah (yang meminta). Hadist ini secara gamblang mengingatkan sekaligus menampar, bahwa peran pemberi lebih utama dibanding penerima. Sebaliknya peran penerima adalah subordinasi dari kemiskinan, yang mungkin saja diam-diam berlangsung karena kita lebih senang menerima tanpa berbuat.

Yang patut diingat dari kisah kapak dan relasi antara pemberi dan penerima ialah : Jangan takut harta Anda berkurang apabila sering memberi (beramal)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar