Senin, 13 Agustus 2012

Menulis Itu Gelisah

ANGIN semilir menyejukkan suasana Kabupaten Cirebon malam 17 Ramadhan 1433 Hijriyah (Minggu, 5 Agustus 2012), usai bertadarus Qur`an, santri Pondok Kampung Damai (KD) Perbutulan Sumber Cirebon berkumpul di latar kamar santri putri. Obrolan santai pun dibuka setelah sore hari memperoleh penjelasan metode menulis cerita pendek (cerpen). Menggunakan microshop powerpoint, Wa Ode Wulan Ratna, penulis cerpen perempuan, memaparkan berbagai hal mendasae tentang cerpen. Materi pelajaran malam itu terasa lebih ringan karena santri merasa lebih fresh ketimbang pelajaran sore. Sambil mencatat, sejumlah santri bertanya mengenai sastra, khususnya cerita pendek. Tanya jawab meluncur lebih akrab. Bahkan ada santri putri yang sangat ingin karya puisinya dipublikasikan koran.  

“Saya mengirimkan beberapa puisi karya bersama kepada penerbit di Jakarta, tetapi tidak diterbitkan. Malah tidak ada jawaban penolakan dari penerbit”, ucap santri perempuan itu.
Wulan menjawab, “Puisi itu sulit pasarnya. Hanya teman kita sendiri yang membeli antologi puisi. Menurutku lebih baik menulis cerpen karena masih mempunyai pangsa pasar”.
Obrolan berlanjut tentang plot cerpen, karakterisasi tokoh, juga berbagai hal menyangkut kreativitas. KH Nur Zein, pengasuh pondok Kampung Damai, menimpali, “Orang yang terus dibicarakan meski ia sudah meninggal dunia adalah penulis. Karya Imam Syafi`i, Imam Al-Ghazali dan beberapa nama lain yang kitabnya kita pelajari adalah contoh bahwa orang besar itu tidak lain ialah penulis”.

Kampung Damai merupakan salinankata ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Arab (Darussalam), sehubungan KH Nurzein alumni Pondok Modern Gontor seangkatan Din Syamsudin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, dan setingkat di atas Hidayat Nurwahid. Berdiri di lokasi lebih kurang 1 ha, pondok ini menampung siswa lulusan SD dan SMP untuk mondok. Tidak ada sekolah formal setingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) di sana. Santri mengikuiti UN de MTs dan MA terdekat. Beberapa guru mengabdi di KD dan mata pelajaran setingkat Mts-MA diajarkan menggunakan bahasa Inggris dan Arab.

Tahun 2012 ini merupakan tahun ketiga suasana “suram” dan “muram” bagi PKD. Pondok yang berdiri 15 tahun lalu itu, kini hanya memiliki 25 santri. Meskipun menggunakan sistem pengajaran ala Pondok Gontor, Ponorogo Jawa Timur, masih belum berhasil menarik minat warga masyarakat menyekolahkan anaknya ke PKD. Akan tetapi pak kiai tetap eksis membimbing 25 santri bersama alumni Pondok Gontor yang tengah menjalani proses pengabdian seusai lulus. Nyatanya eksistensi itu membuahkan hasil gemilang. Lulusan PKD ada yang melanjutkan pendidikannya ke Syiria, Madinah, dan Mesir.

Menulis sudah dua bulan ini mulai dipertajam di PKD. Pondok yang beralamat di Desa Perbutulan Sumber itu menghidupkan lagi majalah dinding yang sudah tiga tahun vakum, termasuk bulletin karya santri. Sebagai pelajar ekstra kurikuler, menulis merupakan media penyampaian ide dan gagasan kepada publik. Berbekal menulis, meminjam Pramudya Ananta Toer, “Karena kau menulis. Suaramu tak kan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari”, seseorang akan tetap hidup meski pada zaman yang berbeda.  Begitulah asiknya menulis. Tak ada beban yang bakal menindih kehidupan sepanjang kreativitas menulis terus diasah. Yang menarik, tradisi menulis telah ada berabad silam. Dalam konteks pesantren, ujaran Kiai Nur Zein, “Sekarang teknologi sangat membantu proses menulis. Bayangkan dulu ketika sahabat Nabi Muhammad saw menulis dengan peralatan sederhana. Butuh waktu lama dan ketekunan”.  

Goenawan Mohamad, penyair dan esais “Catatan Pinggir” pernah menulis dalam pengantar bukunya: “Seperti halnya membentuk cawan yang tak habis untuk dipakai, menulis pada dasarnya adalah pekerjaan yang resah”. Pekerjaan yang resah dan membagikan keresahan kepada yang lain, mau tidak mau merupakan proses pencerdasan masyarakat. Arief Yudhanto mengomentari Goenawan Mohammad sebagai berikut, “Kalimat di atas bermakna plural. Secara fisik, membentuk cawan memerlukan tanah lempung, meja putar, air, jari yang fleksibel, desain yang imajinatif, konsistensi, kesabaran, keresahan (karena cawan yang dibentuk tak pernah dirasa sempurna) …

Tapi mungkin bisa diartikan agak lain, yaitu bahwa menulis (dalam arti menuangkan gagasan sendiri) bukanlah motorik belaka: ia melalui proses bertanya, gelisah, mencari jawaban, menguji jawaban, membaca, berdiskusi, men-desain skeleton tulisan, sabar mencari narasumber atau bacaan, dan ini semua diwarnai aspek logika, perasaan dan psikologi. Menulis juga merupakan sebuah proses yang tak pernah usai. Menulis kadang berisi repetisi, sesuatu yang berulang. Ia bukan sesuatu yang final, tetapi membebaskan dan memperpanjang perjalanan intelektual. Jika ia berisi kebenaran (bahkan yang relatif sekalipun) boleh jadi ia membebaskan. (Eh, kok jadi teringat motto di tembok perpustakaan TMU Minami Osawa: “Veritas Vos Liberabit” yang artinya the truth will set you free!). Kutipan dari blog PPI TMU, Persatuan Pelajar Indonesia Komisariat Tokyo Metropolitan University, memberi gambaran betapa indahnya menulis. Dan dengan menulis kegelisahan akan terjawab.  


Kembali ke PKD Cirebon. Tak terduga ternyata pak kiai juga senang menulis walaupun tidak diarsipkan secara tertib. Katanya bila saudaranya yang kini bermukim di Jepang (tidak menyebutkan kotanya) singgah ke Kampung Damai, pasti minta tulisannya. Tulisan mengenai pelajaran agama Islam itu dibawa ke Jepang. “Mungkin saja sudah ditranslete ke bahasa lain, karena saya menulisnya menggunakan bahasa Indonesia”. 

Tergerak oleh motivasi menulis pula kini pak kiai menulis berbahasa Cirebon pada bulletin Al-Misbaah yang diterbitkan Media Dakwah Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Cirebon. Tulisan berjudul Mapag Ramadhan 1433 H (Menjemput Ramadhan 1433 H) disebarkan di beberapa mesjid pada hari Jum`at dengan diberi keterangan: Tidak untuk dibaca pada saat khatib sedang berkutbah. Pada Mapag Ramadhan 1433 H itu ia menulis sub judul, “Aja cilik ati, pedah amal setitik”. Artinya jangan kecil hati lantaran sedikit amal. Buletin edisi khusus bahasa Cerbon ini pun memuat sub judul, “Ramadhan teka nyuciaken jiwa”, Ramadhan datang mensucikan jiwa.

Dengan demikian menulis merupakan ekspresi seseorang yang tidak saja menyedot ketekunan. Ada perangkat yang dibutuhkan untuk dapat menuangkan gagasan ke dalam tulisan. Ada perangkat penting yang menghububungkan alur pemikiran disertai aspek logika, perasaan dan psikologi. Intinya adalah menulis itu menyenangkan. Sebagaimana disampaikan Wa Ode Wulan Ratna, “Sejak sekolah aku sering menjabat sekretaris kelas. Dari situ aku menyukai menulis. Dan dimulai tahun 2003, Alhamdulillah dua tahun kemudian cerpen aku memenangkan sebuah lomba.” Alumni IKIP Jakarta tahun 2009 itu mengaku nama dan tulisan fiksinya dipublikasikan pertama kali bukan oleh media cetak, tetapi oleh lomba menulis.

Sebagai renungan ada baiknya kita mengingat kembali sebuah ucapan bijak yang berbunyi, “Tinta ulama lebih tajam daripada pedang syuhada”. Kalimat bijak ini merupakan semiotik betapa karya tulis bisa mengguncangkan dunia.***




Dadang Kusnandar,


Pengajar Ekskul Menulis di Pondok Kampung Damai,
tinggal di Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar