ANGIN semilir
menyejukkan suasana Kabupaten Cirebon malam 17 Ramadhan 1433 Hijriyah (Minggu,
5 Agustus 2012), usai bertadarus Qur`an, santri Pondok Kampung Damai (KD)
Perbutulan Sumber Cirebon berkumpul di latar kamar santri putri. Obrolan santai
pun dibuka setelah sore hari memperoleh penjelasan metode menulis cerita pendek
(cerpen). Menggunakan microshop
powerpoint, Wa Ode Wulan Ratna, penulis cerpen perempuan, memaparkan
berbagai hal mendasae tentang cerpen. Materi pelajaran malam itu terasa lebih
ringan karena santri merasa lebih fresh
ketimbang pelajaran sore. Sambil mencatat, sejumlah santri bertanya mengenai
sastra, khususnya cerita pendek. Tanya jawab meluncur lebih akrab. Bahkan ada
santri putri yang sangat ingin karya puisinya dipublikasikan koran.
“Saya
mengirimkan beberapa puisi karya bersama kepada penerbit di Jakarta, tetapi
tidak diterbitkan. Malah tidak ada jawaban penolakan dari penerbit”, ucap
santri perempuan itu.
Wulan
menjawab, “Puisi itu sulit pasarnya. Hanya teman kita sendiri yang membeli
antologi puisi. Menurutku lebih baik menulis cerpen karena masih mempunyai
pangsa pasar”.
Obrolan
berlanjut tentang plot cerpen, karakterisasi tokoh, juga berbagai hal
menyangkut kreativitas. KH Nur Zein, pengasuh pondok Kampung Damai, menimpali, “Orang yang terus dibicarakan meski ia sudah
meninggal dunia adalah penulis. Karya Imam Syafi`i, Imam Al-Ghazali dan beberapa
nama lain yang kitabnya kita pelajari adalah contoh bahwa orang besar itu tidak
lain ialah penulis”.
Kampung Damai
merupakan salinankata ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Arab (Darussalam),
sehubungan KH Nurzein alumni Pondok Modern Gontor seangkatan Din Syamsudin,
Ketua Umum PP Muhammadiyah, dan setingkat di atas Hidayat Nurwahid. Berdiri di
lokasi lebih kurang 1 ha, pondok ini menampung siswa lulusan SD dan SMP untuk
mondok. Tidak ada sekolah formal setingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan
Madrasah Aliyah (MA) di sana. Santri mengikuiti UN de MTs dan MA terdekat.
Beberapa guru mengabdi di KD dan mata pelajaran setingkat Mts-MA diajarkan
menggunakan bahasa Inggris dan Arab.
Tahun 2012
ini merupakan tahun ketiga suasana “suram” dan “muram” bagi PKD. Pondok yang
berdiri 15 tahun lalu itu, kini hanya memiliki 25 santri. Meskipun menggunakan
sistem pengajaran ala Pondok Gontor, Ponorogo Jawa Timur, masih belum berhasil
menarik minat warga masyarakat menyekolahkan anaknya ke PKD. Akan tetapi pak
kiai tetap eksis membimbing 25 santri bersama alumni Pondok Gontor yang tengah
menjalani proses pengabdian seusai lulus. Nyatanya eksistensi itu membuahkan
hasil gemilang. Lulusan PKD ada yang melanjutkan pendidikannya ke Syiria,
Madinah, dan Mesir.
Menulis sudah
dua bulan ini mulai dipertajam di PKD. Pondok yang beralamat di Desa Perbutulan
Sumber itu menghidupkan lagi majalah dinding yang sudah tiga tahun vakum,
termasuk bulletin karya santri. Sebagai pelajar ekstra kurikuler, menulis
merupakan media penyampaian ide dan gagasan kepada publik. Berbekal menulis,
meminjam Pramudya Ananta Toer, “Karena
kau menulis. Suaramu tak kan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh
di kemudian hari”, seseorang akan tetap hidup meski pada zaman yang
berbeda. Begitulah asiknya menulis. Tak
ada beban yang bakal menindih kehidupan sepanjang kreativitas menulis terus
diasah. Yang menarik, tradisi menulis telah ada berabad silam. Dalam konteks
pesantren, ujaran Kiai Nur Zein, “Sekarang
teknologi sangat membantu proses menulis. Bayangkan dulu ketika sahabat Nabi
Muhammad saw menulis dengan peralatan sederhana. Butuh waktu lama dan
ketekunan”.
Goenawan
Mohamad, penyair dan esais “Catatan Pinggir” pernah menulis dalam pengantar
bukunya: “Seperti halnya membentuk cawan
yang tak habis untuk dipakai, menulis pada dasarnya adalah pekerjaan yang
resah”. Pekerjaan yang resah dan membagikan keresahan kepada yang lain, mau
tidak mau merupakan proses pencerdasan masyarakat. Arief Yudhanto mengomentari
Goenawan Mohammad sebagai berikut, “Kalimat di atas bermakna plural. Secara
fisik, membentuk cawan memerlukan tanah lempung, meja putar, air, jari yang
fleksibel, desain yang imajinatif, konsistensi, kesabaran, keresahan (karena
cawan yang dibentuk tak pernah dirasa sempurna) …
Tapi
mungkin bisa diartikan agak lain, yaitu bahwa menulis (dalam arti menuangkan
gagasan sendiri) bukanlah motorik belaka: ia melalui proses bertanya, gelisah,
mencari jawaban, menguji jawaban, membaca, berdiskusi, men-desain skeleton
tulisan, sabar mencari narasumber atau bacaan, dan ini semua diwarnai aspek
logika, perasaan dan psikologi. Menulis juga merupakan sebuah proses yang tak
pernah usai. Menulis kadang berisi repetisi, sesuatu yang berulang. Ia bukan
sesuatu yang final, tetapi membebaskan dan memperpanjang perjalanan
intelektual. Jika ia berisi kebenaran (bahkan yang relatif sekalipun) boleh
jadi ia membebaskan. (Eh, kok jadi teringat motto di tembok perpustakaan TMU
Minami Osawa: “Veritas Vos Liberabit”
yang artinya the truth will set you free!).
Kutipan dari blog PPI TMU, Persatuan Pelajar Indonesia Komisariat Tokyo
Metropolitan University, memberi gambaran betapa indahnya menulis. Dan dengan
menulis kegelisahan akan terjawab.
Kembali
ke PKD Cirebon. Tak terduga ternyata pak kiai juga senang menulis walaupun
tidak diarsipkan secara tertib. Katanya bila saudaranya yang kini bermukim di
Jepang (tidak menyebutkan kotanya) singgah ke Kampung Damai, pasti minta
tulisannya. Tulisan mengenai pelajaran agama Islam itu dibawa ke Jepang.
“Mungkin saja sudah ditranslete ke bahasa lain, karena saya menulisnya
menggunakan bahasa Indonesia”.
Tergerak
oleh motivasi menulis pula kini pak kiai menulis berbahasa Cirebon pada
bulletin Al-Misbaah yang diterbitkan Media Dakwah Majelis Tabligh Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Kabupaten Cirebon. Tulisan berjudul Mapag Ramadhan 1433 H
(Menjemput Ramadhan 1433 H) disebarkan di beberapa mesjid pada hari Jum`at
dengan diberi keterangan: Tidak untuk dibaca pada saat khatib sedang berkutbah.
Pada Mapag Ramadhan 1433 H itu ia menulis sub judul, “Aja cilik ati, pedah amal setitik”. Artinya jangan kecil hati
lantaran sedikit amal. Buletin edisi khusus bahasa Cerbon ini pun memuat sub
judul, “Ramadhan teka nyuciaken jiwa”,
Ramadhan datang mensucikan jiwa.
Dengan
demikian menulis merupakan ekspresi seseorang yang tidak saja menyedot
ketekunan. Ada perangkat yang dibutuhkan untuk dapat menuangkan gagasan ke
dalam tulisan. Ada perangkat penting yang menghububungkan alur pemikiran
disertai aspek logika, perasaan dan psikologi. Intinya adalah menulis itu
menyenangkan. Sebagaimana disampaikan Wa Ode Wulan Ratna, “Sejak sekolah aku sering menjabat sekretaris kelas. Dari situ aku
menyukai menulis. Dan dimulai tahun 2003, Alhamdulillah dua tahun kemudian
cerpen aku memenangkan sebuah lomba.” Alumni IKIP Jakarta tahun 2009 itu
mengaku nama dan tulisan fiksinya dipublikasikan pertama kali bukan oleh media
cetak, tetapi oleh lomba menulis.
Sebagai
renungan ada baiknya kita mengingat kembali sebuah ucapan bijak yang berbunyi, “Tinta ulama lebih tajam daripada pedang
syuhada”. Kalimat bijak ini merupakan semiotik betapa karya tulis bisa
mengguncangkan dunia.***
Dadang Kusnandar,
Pengajar Ekskul
Menulis di Pondok Kampung Damai,
tinggal di Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar