Kamis, 14 Juni 2012

Tanah: Jalan Tak Ada Ujung

Dadang Kusnandar* - BeningPost

RIBUAN petani dari lima desa di Kabupaten Ogan Ilir berunjuk rasa di Markas Kepolisian Daerah Sumatra Selatan, Rabu (13/6). Mereka memprotes penahanan terhadap 14 petani sebagai tersangka. Demonstran meminta petani yang ditahan dibebaskan. Sengketa lahan pertanian, sengketa lama nan tiada ujung. Impian ketersediaan tanah untuk rakyat pun bagai impian tak berujung. Semua bagai mimpi. Land reform yang selalu kandas di tangan kapitalis, yang selalu berhadapan dengan kepentingan politik ekonomi, dan yang kerap menggusur orang kecil. Bukan hanya kali ini reformasi pertanahan menelan korban jiwa. Peristiwa serupa berulang terjadi dan menimbulkan konflik yang mengganggu stabilitas politik. Meski tidak seriuh konflik politik lain, sengketa pertanahan tetap saja mengundang ketidakpercayaan rakyat terhadap land reform. Sampai kapan?

Sampai kapan tidak ada lagi ujung laras senapan berhenti mengeluarkan timah putih yang diarahkan kepada kerumunan massa yang memperjuangkan hak atas tanah mereka. Sampai kapan penataan kembali pertanahan menjadi fokus kerja Badan Pertanahan Nasional? Dan sampai kapan sengketa pertanahan berganti menjadi pengelolaan tanah Indonesia yang agraris itu untuk kesejahteraan rakyat? Memperhatikan berbagai sengketa tanah agaknya kita mafhum bahwa sistem pertanahan nasional masih berurusan dengan banyak pihak terkait. Semua merasa sebagai pemilik sah atas tanah (sengketa) itu. Alasan yang biasa mengemuka antara lain fakta bahwa tanah itu merupakan warisan leluhur yang secara turun temurun dikelola puluhan tahun. Tanah yang disebut hak ulayat umumnya merupakan lahan hijau, serapan air atau lahan hutan lindung yang dikuatkan oleh undang-undang.

Alasan lain bisa berangkat dari fakta administrasi. Misalnya grup bisnis membeli ratusan hektar tanah dengan bekal pelepasan dari pemilik awal. Tak lama setelah itu di tanah tersebut berdiri pabrik atau industri yang berpedoman pada usaha rakyat setempat. Konflik pun bukan sekadar dari masalah ganti rugi tanah yang tidak sebanding, akan tetapi melebar kepada “kematian” usaha produktif warga setempat. Sudah menjadi rahasia umum, di ladang perkebunan yang menjadi urat nadi warga (misalnya) berdiri pabrik gula. Pabrik gula itu hanya sedikit merekrut pekerja warga setempat, sementara lahan perkebunan yang semula digarap warga beralih tangan menjadi milik perusahaan. Ekonomi warga tidak terbangun kendati aktivitas industri pertanian/perkebunan bergemuruh di daerah itu.

Adakah yang salah dari industrialisasi yang berawal dari sengketa pertanahan? Kenapa harus ada instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Hendarman Supandji untuk menyelesaikan masalah sengketa tanah di dalam negeri. "Permasalahan yang sering dihadapi oleh masyarakat luas yang mengait kepada BPN adalah sengketa pertanahan permasalahan hukum," kata Presiden Yudhoyono.

DIALOG Marhaen dengan Bung Karno tahun 1930-an mengingatkan kembali tentang pentingnya hak kepemilikan, pengelolaan atas tanah. Sepetak tanah keluarga Marhaen yang digarap sendiri lantas hasil kebunnya dijual sendiri ke pasar-- menandakan kemerdekaan penggunaan tanah. Masalah pertanahan terus menjadi agenda tak pernah henti. Seolah berbagai masalah yang muncul sekitar pertanahan terus dirundung kepelikan yang tak pernah usai. dari produk hukum kolonial, status kepemilikan tanah yang bertingkat dari tanah girik-hak guna-sertifikat-tanah negera ~bagai tak ada ujung. Mirip roman Mochtar Lubis: Jalan Tak Ada Ujung.

Tanah kini jadi komoditas bisnis. Munculnya makelar tanah, pialang tanah hingga kekuatan modal yang biasa mengggusur tanah rakyat demi pengembangan korporasi bisnisnya. Tanah menjadi penting karena UUD 45 mencantumkan hutan, tanah, air dan kekayaan alam dikuasai negara bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Tapi benarkah substansi sebesar-besarnya kepentingan rakyat telah termanifestasi dalam masalah pertanahan di Indonesia?

Berbeda dengan ratusan hektar tanah di Kramat Jati Jakarta Timur yang melalui kekuasaan dan kekuatan modal dapat berubah menjadi Taman Mini Indonesia Indah pada 1970-an, atau lahan hijau di Sentul Bogor yang berganti menjadi arena balap mobil pada 1980-an. Ketika rakyat susah memperoleh tanah, sebagian kecil penguasa dapat dengan mudah menyulap tanah menjadi performa lain dalam perspektif bisnis keluarga. Belum lagi isu jual beli pulau yang lantas dijadikan area wisata di kawasan terluar Indonesia.

Pada zaman kerajaan,rakyat boleh menggunakan tanah sawah dan kebun bagi kepentingan pertanian. Kerajaan pun menyediakan sistem irigasi untuk menunjang kesuburan tanaman. Rakyat memberi pajak berupa hasil sawah dan kebun itu kepada kerajaan paska panen. Namun kini tinggal cerita. Bahkan keluarga kerajaan/ keraton sibuk bersengketa status tanah dengan pemerintah. Tak adakah kebijakan politik pemerintah yang berpihak kepada rakyat dalam hal pertanahan di Indonesia? Bukankah Kerajaan Thailand, pemerintahan sosialis Venezuela dan Bolivia sanggup menyerahkan tanah negara untuk dikelola rakyatnya? Seperti juga RRC yang menyediakan tanah negara bagi industri rakyat. Indonesia masih belum berani melakukan perombakan kebijakan pertanahan bagi kepentingan rakyat.

Yang ada adalah sebuah plang/ papan bertuliskan: Tanah Milik Negara. Dilarang Mendirikan Bangunan di Atas Tanah Ini

. Hingga dibiarkan telantar dan ditumbuhi semak belukar yang tingginya melebihi pagar pembatas; tanah negara itu tidak produktif. Belum lagi mudahnya sertifikat tanah diagunkan ke bank atau pegadaian atau pialang tanah untuk memperoleh sejumlah uang. Dalam kaitan ini munculnya sertifikasi ganda atas sepetak tanah mudah ditengarai.

TANAH akhirnya menjadi barang mewah, terlebih adanya keyakinan masyarakat bahwa semakin lama harga tanah semakin mahal. Fenomena ini menunjukkan betapa sulitnya memperoleh sepetak tanah, betapa sulitnya rakyat dapat hidup tenang tak harus mengontrak rumah di perkotaan lantaran ketakmampuan ekonomi. Peliknya masalah pertanahan juga kian dipertajam dengan kenyataan mahalnya biaya pengurusan sertifikasi tanah milik. Jutaan rupiah harus dikeluarkan rakyat untuk perolehan selembar sertifikat tanah. Badan Pertanahan Nasional setempat pun memang digenjot Pemda untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah.

Makin pelik masalah tanah diurai satu demi satu. Makin sulit rakyat kecil menikmati peroleh tanah, dan makin jauh tingkat kepedulian pemerintah melaksanakan program Tanah Untuk Rakyat. Di sisi lain semakin banyak petani yang menyewakan tanahnya kepada korporasi bisnis karena ketidakmampuan mengelola lahan sawah dan kebun akibat mahalnya harga bibit, obat tanaman dan pupuk. Setelah itu petani dan keluarganya menjadi buruh di tanah sendiri. Jangan heran jikalau masalah pertanahan banyak menyisipkan rasa ketidakadilan publik.


Jalan terbaik untuk sedikit mengurangi beban masalah pertanahan ialah keberanian kepala daerah di Indonesia untuk menyerahkan tanah tidur milik negara kepada rakyat bagi kepentingan pertanian/ perkebunan. Dengan demikian tugas Hendarman Supandji untuk melakukan reformasi pertanahan tidak dapat ditunda lagi.



*Penulis lepas, tinggal di Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar