Senin, 04 Juni 2012

Kesenian Vs. Kejahatan

Oleh Dadang Kusnandar
Penuis Lepas, tinggal di Cirebon


PUNAHNYA kesenian daerah, misalnya Tari Topeng Cirebon dan Tari Topeng Indramayu, kerap jadi keprihatinan dalam banyak perbincangan antarseniman. Kesenian daerah yang memunculkan banyak nama besar atau maestro itu, sebagaimana menjadi pengetahuan publik kerap dibajak dan atau diklaim negara lain sebagai miliknya. Sontak komunitas yang merasa memiliki kesenian daerah itu bereaksi dan melakukan penolakan. Persoalannya adalah kenapa kesenian daerah bisa punah dan atau pindah ke negeri lain. Kedua, mengapa tidak ada antisipasi pemerintah agar kesenian daerah tetap hidup di tempat asalnya. Ketiga, salahkah jika kesenian lokal suatu negara pindah ke negara lain, hidup dan berkembang di negara baru.

Tari Topeng sebagai warisan kebudayaan memang harus dipelihara. Ia tidak hanya mempertontonkan gerak penari melainkan ada filosopi dan makna di dalamnya. Makna itulah yang memperkuat keinginan para senimannnya untuk mempertahankan eksistensi tari ini dari kepunahan. Kendati pemaknaan terhadap sebuah jenis kesenian tradisi sangat variatif namun bagi seniman tari topeng, eksistensi ini menjadi sangat penting lantaran kekuatan seni tari ini telah memberi kesejatian bagi senimannya. Mimi Rasinah, Mama Sudjana Ardja, Mimi Sawitri, Mimi Dewi adalah nama-nama besar yang tetap hidup karena menghidupi tari topeng.

Tak berlebihan kiranya jika kehendak para penerus maestro tersebut di atas untuk mempertahankan tari topeng dari desakan globalisasi dan pasar bebas. Berbagai upaya terus dilakukan, antara lain memasyarakatkan tari topeng ke sekolah-sekolah dasar, penampilan tari topeng secara reguler di sanggar-sanggar kesenian, workshop dan penerbitan leaflet menyoal tari topeng. Kegiatan itu menjadi kekuatan penggiat kesenian lokal untuk tetap mempertahankan kekayaan sendiri di tanah kelahirnya. Setidaknya agar kekuatan global dan pasar bebas tidak sampai menggeser kesenian ini hengkang lantas berganti pemilik.

Fakta bahwa kesenian pun bermigrasi, berinteraksi dengan kesenian di tempat lain memang juga terjadi pada tari topeng. Hanya saja jikalau sampai berpindah pemilik dan atau diklaim sebagai milik negara lain, maka sedikitnya ada dua alasan. Pertama, kemudahan transfer budaya mengiringi pergeseran lokasi serta “kepemilikan” kesenian. Kedua, kekuatan pasar bebas memungkinkan kesenian lokal nan luhur yang kaya makna berubah wujud menjadi industri kesenian. Atas nama pasar budaya dan perluasan ketersebaran kesenian lokal, bisa saja pada suatu masa kesenian lokal berpindah kepemilikan. Contoh paling jelas adalah kesenian wayang. Kesenian yang berasal dan berawal dari India ini ternyata bergeser dan menjadi milik Nusantara pada masa Hindu yang lantas mengalami islamisasi pada masa Wali Sanga.

Banyaknya etnomusikolog asing yang mempelajari tari topeng cirebon dan indramayu memungkinkan suatu ketika nanti kesenian lokal dari tanah Jawa ini pindah dan berelaborasi dengan jenis kesenian lain di berbagai belahan bumi. Tidak semata di tanah Jawa. Hal mana juga didukung pentas tunggal beberapa maestro tari topeng ke berbagai negara Asia, Eropa, dan Amerika. Pentas nan memukau ini menjadi titik kontak pertama penyebaran serta penyerapan kesenian lokal ke negara lain. Kendati Wangi Indria, penari topeng Desa Tambi Indramayu seusai pentas di London tahun 2010 lalu menitikan air mata sembari berkata, “Saya teringat desa kelahiran saya. Saya persembahkan tari ini untuk desa saya.” Kejujuran Wangi Indria atas kerinduannya pada desa yang melahirkan tari topeng sangat mungkin membukan ruang berdatangannya etnomusikolog (asing) ke Desa Tambi Kecamatan Karang Ampel Kabupaten Indramayu untuk belajar tari topeng dan untuk suatu masa mengembangkan kesenian ini di negaranya.
Peran Negara

Hak Kekayaan Intelektual (Haki) tentang kesenian telah diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1994. Undang-undang itu mengakui tentang HAKI masyarakat adat yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati, termasuk kesenian tradisi di dalamnya. Sementara arus globalisasi - perlahan tapi pasti - akan terus melaju, yang memungkinkan terjadinya pelanggaran atas Haki Kesenian. Dari sudut pandang Hukum Hak Cipta, tari serta koreografi, juga kesenian lainnya adalah salah satu jenis ciptaan yang dapat dilindungi Hak Cipta berdasarkan UU no. 19 tahun 2001 tentang Hak Cipta, dengan masa perlindungan sampai limapuluh tahun sejak meninggalnya si pencipta. Undang-Undang No.19 Tahun 2001 merupakan penyempurnaan Undang-Undang No.5 Tahun 1994.

Di sisi lain, potensi masyarakat adat Indonesia belum seluruhnya tergali, yang memang sayangnya tidak ada data statistik yang mendukung tentang potensi dan jumlah mereka. Namun jika kita berpatokan bahwa umumnya masyarakat adat adalah masyarakat pedesaan, maka angka itu bisa mencapai 80% penduduk Indonesia atau 160 juta jiwa.

Fakta di atas memperlihatkan sebenarnya seniman sebagai pencipta atau kreator seni memiliki perlindungan dan kekuatan hukum untuk mempertahankan kekayaan intelektualnya. Hal ini perlu mengingat sudah cukup banyak kasus klaim kesenian lokal Indonesia oleh Malaysia sehingga menimbulkan reaksi. Fakta ini dengan pemberlakuan UU Tentang Haki Kesenian memagari kreasi seniman agar memiliki kebanggaan atas karyanya. Di samping itu ada royalti yang bakal diperoleh manakala karya seninya diperbanyak dalam bentuk digital oleh orang lain. Royalti itulah penanda bahwa kesenian tadi masih menjadi hak milik sang kreator.

Suatu siang di Cirebon, Iman (55), seniman pembatik (pelukis corak batik) asal Trusmi Plered bertutur kepada saya tentang pembajakan karya batiknya oleh perancang batik nasional ternama. Katanya, tempat kerjanya didatangi sang perancang dari Jakarta untuk melihat karya batik Iman. Iman pun ditawari untuk melakukan pameran di Jakarta atas sponsorship sang perancang. Berbagai janji ditaburkan saat itu. Iman percaya maka ia pun mengijinkan sang perancang meneliti dan melihat detil corak lukisan batiknya. Tanpa curiga.

Berbulan lewat, sang perancang itu tak juga datang. Padahal Iman sudah mengeluarkan karya terbaiknya saat dikunjungi. Meski Iman melarang agar tidak memotret karya batiknya, tapi teknologi bicara lain. Iman tidak tahu jika ballpoint yang digunakan sang perancang ketika itu pun berfungsi sebagai kamera. Begitulah Iman terkaget-kaget saat mendengar berita ada pameran batik karya terbaru sang perancang tadi di sebuah hotel berbintang di Jakarta. Motif yang dipamerkan adalah motif batik karya Iman yang diklaim sebagai karya sang perancang. Hebatnya lagi karya itu sudah dipatenkan melalui Haki Kesenian.

Berapa banyak Iman lainnya yang terpedaya oleh kelihaian sebagaimana dilakukan sang perancang kepadanya? Berapa banyak seniman tradisi menjadi korban ketidakpahaman urusan administrasi bagi kepemilikan hak paten atas karya seninya? Bukankah perancang di kota-kota besar sangat sadar mendaftarkan “karya seninya” untuk memperoleh Haki? Sementara seniman dalam kuantitas besar sering tidak peduli dan pasrah saja melihat karya seninya dibajak orang lain, bahkan diklaim jadi milik orang lain lantas dipublikasikan terbuka sebagai karya sang pembajak.

Kesenian dengan demikian kerap menjadi santapan lezat segelintir orang yang punya maksud buruk dan upaya memperoleh keuntungan finansial semata. Undang-Undang Haki Kesenian pun belum mempraktekkan sanksi apabila terjadi pembajakan karya seni yang merugikan seniman yang membuat kreasi seni tersebut. Lantaran pada umumnya seniman tradisi kita tidak atau belum terbiasa mendaftarkan hak paten keseniannya secara hukum.

Agar terhindar dari kisah Iman wong Trusmi itu, saya kira seharusnya pemerintah lokal membantu mensosialisasikan UU Haki Kesenian terutama kepada seniman tradisi. Demikian pula para aktivis kesenian tidak gampang tergoda untuk memperdaya seniman tradisi lantaran kemampuan “akting” tatkala menipu seniman tradisi.

Pialang Kesenian


Berbagai pentas kesenian lokal di mana pun selalu saja menguntungkan “pialang” alias penggiat acara kesenian yang sama sekali tidak mampu memainkan satu alat musik pun, selain juga tidak mampu menjadi pemain panggung kesenian lokal. Aktivis dalam pengertian ini biasanya terdiri dari mereka yang mengenal seniman secara personal lalu menjadi mediator untuk mengubungkan dengan rekanannya guna mementaskan kesenian lokal. Pada satu sisi keberadaan “pialang” ini menguntungkan lantaran seni tradisi dapat tampil ke hadapan publik. Namun pada sisi lain, keuntungan finansial yang mereka peroleh jauh lebih besar ketimbang para seniman. Artinya ada ketakseimbangan pendapatan yang diperoleh.

Profesi pialang sebenarnya sah dan tidak keliru sepanjang masih ada pada bagi hasil yang sepadan. Jangan sampai seniman tradisi selalu menjadi objek perolehan finansial para pialang itu. Mestinya ada kontrak tertulis menyoal pendapatan yang bakal diperoleh masing-masing pihak. Ini menjadi penting supaya seniman memperoleh penghargaan yang layak serta tidak semata-mata menjadi objek.

Dengan kata lain kesenian lokal berhadapan dengan tiga persoalan besar, yakni pembajakan karya, kelemahan managemen para pimpinan kesenian, dan ulah segelintir orang yang bergiat di dunia kesenian sendiri.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar