Sabtu, 16 Juni 2012

Air Minum di Indonesia

Catatan Dadang Kusnandar

DI bawah ini adalah ulasan serba sekilas mengenai sejarah air minum di Indonesia. Minum sebagai kegiatan penting sehari-hari menjadi catatan sejarah tersendiri sebagaimana orang Indian menemukan tembakau. Minum menjadi demikian penting karena mengandung dan mengundang kehidupan manusia. Di dalamnya terdapat proses yang saling berhubungan, terlebih lagi tatkala menjadi kegiatan ekonomi yang ditandai dengan berdirinya perusahaan air minum yang dikelola pemerintah daerah. Pada giliran berikutnya usaha swasta pun merambah dengan munculnya produk air minum kemasan. Kegiatan ekonomi kreatif menyangkut air minum terus berderak dengan ketersediaan usaha isi ulang air minum dalam galon.

Ditahun 1443 terekam adanya bukti tertulis sebagaimana dilaporkan bahwa pada masa itu air yang merupakan minuman sehari-hari orang Asia Tenggara dialirkan dari gunung mengalir kerumah-rumah penduduk dengan pipa bambu. Air minum disalurkan langsung ke Istana Aceh sedangkan sumur diperuntukan bagi daerah yang jauh dari sungai seperti dilaporkan terjadi pada tahun 1613.

Dimulailah penjajahan Belanda melalui misi dagangnya yang terkenal VOC (mulanya pada tahun 1613 VOC menyewa mendirikan loji tidak permanen dengan sewa 1.200 rijkdaader atau 3.000 gulden tapi kemudian mereka dengan liciknya membuat bangunan tembok permanen dengan bahan batu dan beton dan dijadikan benteng pertahanan mereka), kemudian mereka membumi hanguskan Bandar Sunda Kelapa dan mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia, resmilah Belanda menjajah Indonesia dengan diselingi oleh penjajah Perancis ( 1808-1811) dan penjajahan Inggris (1811-1816) penduduk Jakarta waktu itu sekitar 15.000 jiwa dan air minum masih sangat sederhana dengan memanfaatkan sumber air permukaan (sungai) yang pada masa itu kualitasnya masih baik. Di Asia Tenggara kebiasaan penduduk untuk mengendapkan air sungai dalam gentong atau kendi selama 3 minggu atau satu bulan telah dilakukan untuk mendapatkan air minum yang sehat.

Kurun 1800-an
Di Pulau Jawa sebagaimana dilaporkan oleh Raffles pada tahun 1817 penduduk selalu memasak air terlebih dulu dan diminum hangat-hangat untuk menjamin kebersihan dan kesehatan dan dilaporkan bahwa orang Belanda mulai mengikuti kebiasaan ini terutama di Kota Banjarmasin yang airnya keruh. Pada tahun 1818 salah satu syarat penting untuk pemilihan pusat kota serta Istana Raja ditentukan oleh faktor tersedianya air minum.

Di Jakarta tahun 1882 tercatat keberadaan air minum di Tanah Abang yang mempunyai kualitas jernih dan baik yang dijual oleh pemilik tanah den gan harga F 1,5 per drum, sedangkan untuk air sungai dijual 2-3 sen per pikul (isi dua kaleng minyak tanah). Pada masa pra-kemerdekaan, Dinas Pengairan Hindia Belanda (1800 - 1890) membangun saluran air sepanjang 12 kilometer dan bendungan yang mengalirkan air dari Sungai Elo ke pusat kota Magelang untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan mengairi sawah di wilayah Magelang.

Pemerintah Penjajahan Hindia Belanda di Surabaya, tahun 1890, memberikan hak konsesi kepada pengusaha Belanda warga Kota Surabaya, Mouner dan Bernie, yang dinilai berjasa merintis penyediaan air bersih di Surabaya. Konsesi ini berupa pengelolaan mata air Umbulan, Pasuruan, untuk dialirkan ke Kota Surabaya dengan memasang pipa sepanjang 20 kilometer selama dua tahun. Tahun 1900, pemerintah mendirikan perusahaan air minum dan instalasinya diresmikan tiga tahun kemudian. Untuk memberikan proteksi pada perusahaan tersebut, pemerintah mewajibkan penghuni rumah mewah untuk menjadi pelanggan. Tiga tahun setelah berdirinya perusahaan air minum itu, sambungan instalasi air minum di Surabaya mencapai 1.588 pelanggan. Status perusahaan air minum pada bulan Juli 1906 dialihkan dari pemerintah pusat menjadi dinas air minum kotapraja (kini PDAM Kota Surabaya).

Kurun 1900-an
Pada tahun 1905 terbentuklah Pemerintah Kota Batavia dan pada tahun 1918 berdiri PAM Batavia dengan sumber air bakunya berasal dari Mata Air Ciomas, pada masa itu penduduk kurang menyukai air sumur bor yang berada di Lapangan Banteng karena bila dipakai menyeduh teh menjadi berwarna hitam (kandungan Ferum/ besi tinggi).
Urusan ke-Cipta Karya-an masih sekitar pembanguan, perbaikan dan perluasan Gedung Gedung Negara. Pemerintah Pusat belum menangani air minum dikarenakan keterbatasan keuangan serta tenaga ahli dibidang air minum. Tahun 1953 dimulailah pembangunann Kota Baru Kebayoran di Jakarta, pada saat itu dilakukan pelimpahan urusan air minum ke pemerintah Propinsi Pulau Jawa dan Sumatera. Pada tahun 1955 diadakan Pemilu yang pertama.

Ditahun 1959 terbentuklah Djawatan Teknik Penjehatan yang mulai mengurusi air minum, dimulai pembangunan air minum di kota Jakarta (3.000 ltr/dt), Bandung (250 ltr/dt), Manado (250 ltr/dt), Banjarmasin (250 ltr/dt), Padang (250 ltr/dt) dan Pontianak (250 ltr/dt) dengan sistim “turn key project” loan dari Pemerintah Perancis. Terbitlah UU no. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dan mulailah dibentuk PDAM sampai sekarang. Melalui SK Menteri PUTL no 3/PRT/1968 lahir Direktorat Teknik Penyehatan, Ditjen Cipta Karya.

Tiga waduk yang dibangun di wilayah Jawa Barat dengan membendung Sungai Citarum, yaitu Waduk Jatiluhur (1966), Waduk Cirata (1987), dan Waduk Saguling (1986) menandai era dimulainya penanganan sumberdaya air secara terpadu. Waduk Jatiluhur, seluas sekitar 8.300 hektar, dimanfaatkan untuk mengairi sekitar 240.000 hektar sawah di empat kabupaten di utara Jawa Barat. Air waduk juga digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas terpasang 150 MW dan sebagai sumber air baku untuk air minum Jakarta (sekitar 80% kebutuhan air baku untuk Jakarta dipasok dari waduk ini melalui Saluran Tarum Barat).
Pembangunan sistem air minum secara lebih terencana mulai dilaksanakan pada periode pembangunan lima tahunan (Pelita). Dalam Pelita I (1969 - 1973), kebijaksanaan pembangunan air minum dititikberatkan pada rehabilitasi maupun perluasan sarana-sarana yang telah ada, serta peningkatan kapasitas produksi melalui pembangunan baru dan seluruhnya didanai oleh APBN.

Target pembangunan sebesar 8.000 liter/detik. Pembangunan air minum melalui pinjaman OECF (overseas economic cooperation fund) di kota-kota Jambi, Purwekerto, Malang, Banyuwangi dan Samarinda. Pada saat periode inilah mulai diperkenalkan penyusunan TOR (term of reference) atau KAK (kerangka acuan kerja). Hasil pebangunan prasarana/sarana air minum sebesar 6.220 liter/detik dan 172.000 SR (sambungan rumah) yang dapat melayani 2.700.000 jiwa. Pada tanggal 7-8 April 1972 lahir PERPAMSI yang merupakan organisasi persatuan perusahaan-perusahaan air minum seluruh Indonesia.

Pada Pelita II (1974 - 1978) pemerintah mulai menyusun rencana induk air bersih, perencanaan rinci dan pembangunan fisik di sejumlah kota Pada saat itu Pemerintah mulai menyusun Rencana Induk (master plan) Air Minum bagi 120 kota, DED untuk 110 kota dan RAB untuk 60 kota, dan pengembangan institusi Pemerintah mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki pengelolaan air minum dengan mendorong dilakukannya peralihan status dari Jawatan/Dinas menjadi Perusahaan Daerah Air Minum.
Mulailah pembangunan Air Minum di 106 kabupaten/ kota, yang dilanjutkan pembentukan BPAM (Badan Pengelola Air Minum) sebagai embrio PDAM yang mengelola prasarana dan sarana air minum yang telah selesai dibangun. Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam pembangunan “unit produksi” dan Pemda di jaringan distribusi, dalam perjalanan waktu kebijakan ini agak tersendat oleh karena keterlambatan Pemda dalam menyiapkan dana “sharingnya”. Asian Development Bank (ADB) memberikan pinjaman pada proyek BUDP (Bandung Urban Development Project), kemudian menyusul kota Medan dengan MUDP nya.
Periode berikutnya (Pelita III, 1979 - 1983), pembangunan sarana air minum diperluas sampai kota-kota kecil dan ibu kota kecamatan (IKK), melalui pendekatan kebutuhan dasar.

Diawal tahun 1981 pula diperkenalkan “dekade air minum” (Water Decade) yang dideklerasikan oleh PBB. Terjadi penyerahan kewenangan pembangunan air minum perdesaan dari Departemen Kesehatan kepada Departemen Pekerjaan Umum. Program pembangunan dengan menitikberatkan pada pemanfaatan kapasitas terpasang, prasarana yang telah terbangun, dan pengurangan kebocoran. Diperkenalkannya solar cell alternatif pemanfaatan enerji surya untuk pembangkit pompa air minum didaerah yang sulit air dan tidak terjangkau. Mulai diterapkan konsep P3KT (Pendekatan Pembangunan Prasarana Kota Terpadu) yang bersifat bottom up approach .

Era “bom minyak” telah mulai surut yang berimbas pada keterbatasan keuangan Negara sehingga pendekatan “full cost recovery” mulai diperkenalkan. PDAM/BPAM didorong untuk mencapai suatu kondisi tingkat pendapatan tertentu yang memungkinkan pembiayaan bagi operasi dan pemeliharaan sistem air minum atau lebih dikenal dengan istilah “break event point”.

Pada Repelita III melalui Mata Anggaran 16 sebagai penyertaan modal Pemerintah untuk pembangunan kota-kota dengan kebutuhan dasar diatas 125 liter/orang/hari dan pada saat itu juga dimulai pembangunan IPA (Instalasi Pengolahan Air) Paket bagi penduduk perkotaan dengan kebutuhan dasar 60 l/orang/hari konsep BNA (basic need approach).
Pembangunan 150 IKK dengan perhitungan 45-60 liter/orang/hari dan dipasang flow restrictor (alat pengendali aliran), sehingga pada pertengahan Repelita III telah dibangun 396 IKK didanai APBN, serta 99 IKK pinjaman Belanda, 44 pinjaman Denmark, 100 IKK pinjaman Perancis, dan 22 IKK hibah Jepang.

Dibidang rekayasa engineering melalui kerjasama Pemerintah RI dan Belanda, dalam Proyek GTA-46 ” Standard Water Purification Plants Indonesia “. Ciri khas dari teknologi ini adalah flokulasi heksakoidal serta sistim pencuciannya serta mudah dalam konstruksi maupun pemeliharaannya, juga hemat energi. Karena inovasi ini mampu menekan biaya investasi dan pemeliharaan hingga 30 %, yang akhirnya dijadikan sebagai prototipe IPA yang dibangun oleh Departemen PU sebagai IPA KEDASIH (KEluaran Direktorat Air berSIH). Hingga kini, IPA KEDASIH sudah diimplementasikan di banyak tempat di Indonesia, dengan kapasitas bervariasi, serta pada tahun 2005 menerima penghargaan dalam KONSTRUKSI INDONESIA kategori bangunan industri dan utilities.
Pada Pelita IV (1984 - 1988) pembangunan sarana air minum mulai dilaksanakan sampai ke perdesaan. Target perdesaan 14 juta jiwa di 3.000 desa. Diawal era 90-an terjadi perubahan organisasi yang tadinya berbasis sektoral, menjadi berbasis “wilayah”. Dimulailah perubahan lima hari kerja (40 jam per minggu).

Dimulai didengungkannya program KPS (kerjasama pemerintah dan swasta) di sektor air minum, contohnya mulai digarap Air Minum “Umbulan” Kabupaten Pasuruan sayang belum bisa terealisir karena adanya kendala “tarif air minum-nya” serta masalah kebijakan Pemda lainnya. Pada tahun 1984 lahir Direktorat Air Bersih melalui SK MenPU 211/KPTS/ 1984 yang mempunyai tugas nelaksanakan pembinaan sector air minum. Ditahun 1984 telah ditanda tangai SKB (surat keputusan bersama) antara Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Dalam Negeri tentang tugas pembinaan penyelenggara air minum. Dimana diwaktu itu telah beroperasi 148 BPAM dan 137 PDAM.

Pada tahun 1985 melalui Surat Edaran Mendagri tanggal 13 November diinstruksikan agar Pemerintah Propinsi membentuk Unit Pemantauan dan Pengembangan Air Minum atau lebih dikenal PMDU (Provincial Monitoring Development Unit) yang keberadaanya dibeberapa propinsi masih eksis hingga saat ini misalnya PMDU Propinsi Sumatera Barat. Pada saat itu mulailah diperkenalkan SIMPAM (Sistim Informasi Manajemen Perusahaan Air Minum) yang merupakan alat (tool) untuk mendiagnose kinerja PDAM, dan hasilnya dapat menunjukan kondisi PDAM per Kabupaten/Kota, Propinsi maupun tingkat nasional, program ini mendapat bantuan dari Pemerintah Belanda melalui program HRDP (Human Resources Development Program), sangat disayangkan SIMPAM ini tidak berlanjut.

Pelita V (1989 - 1993) diharapkan merupakan tahap kerangka lepas landas Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJP-II), dimana pembangunan sarana air minum diarahkan bukan hanya untuk melayani kebutuhan rumah tangga, tetapi juga untuk menunjang sektor-sektor industri, perdagangan dan pariwisata, yang diharapkan akan menambah kapasitas produksi air minum sebesar 14.000 liter/detik bagi 6 juta jiwa di 820 kota, serta pelayanan air minum perdesaan bagi 42 juta jiwa di 3.000 desa.
Pembangunan pada periode berikutnya (Pelita VI, 1994 - 1998) merupakan pinjakan landasan baru bagi pemerintah untuk memulai periode PJP II, akan tetapi krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang disertai dengan pergantian pemerintahan beberapa kali, telah mempengaruhi perkembangan air minum di Indonesia, banyak PDAM yang mengalami kesulitan, baik karena beban utang dari program investasi pada tahun-tahun sebelumnya, maupun akibat dari dampak krisis ekonomi yang terjadi.

Pada periode ini merupakan pijakan baru bagi Pemerintah untuk memulai Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Peningkatan kapasitas 30.000 liter/detik untuk 22 juta jiwa dan 22.000 desa bagi 16,5 juta jiwa. Adanya target penurunan kebocoran air dikota metropolitan dan besar dari 38 menjadi 25 %, dan kota sedang dan kecil dari 40 menjadi 30%.

Pemerintah mulai memberikan perhatian bagi Desa Tertinggal sehingga lahirlah program P3DT (Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal) yang dimotori oleh Bappenas yang beranggotakan Dep PU, Depdagri, Dep Keu yang selanjutnya juga lahir PPK (Program Pembangunan Kecamatan yang dimotori oleh Ditjen Bangdes, Depdagri. Kedua program diatas memberikan andil bagi pembangunan prasarana dan sarana air minum yang cukup signifikan pula di kawasan perdesaan khususnya. Tahun 1995 dimulailah program WSSLIC I (Water Supply and Sanitation for Low Income Community) yang dimotori oleh Depkes yang salah satu programnya adalah pembangunan prasarana dan sarana air minum bagi masyarakat perdesaan.


Tahun 2000 - Sekarang

Pada tahun 2000 terbit Permen OTDA No. 8/2000 tentang Pedoman Sistim Akuntasi PDAM yang berlaku sampai sekarang. Program WSSLIC I dilanjutkan pada tahun 2001i dengan nama WSLIC II (Water and Sanitation for Low Income Community), hilang istilah “S” satu dan Departemen Kesehatan sebagai ” executing agency”.
Tahun 2002 terbit Keputusan Menteri Kesehatan No. 907 Tahun 2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum, yang akan menjadikan pedoman dalam monitoring kualitas air minum yang diproduksi oleh PDAM.

Dalam rangka meningkatkan kinerja PDAM dan pembangunan sistem penyediaan air minum, dilakukan upaya perumusan kebijakan melalui Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI), dibawah Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan & Industri, dan telah dibentuk Sub Komite Penyehatan PDAM dibawah koordinasi KKPPI dengan maksud untuk merumuskan kebijakan dan strategi percepatan penyehatan PDAM dan melakukan koordinasi dalam program sektor air minum dengan sektor infrastruktur melalui peningkatan kerjasama kemitraan dengan pihak swasta/investor.

Peraturan dan perundangan yang memayungi air minum dimulai dengan terbitnya UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA (sumber daya air). Pada periode ini Pemerintah memulai program SB-AB (Subsidi Bahan Bakar melalui pembangunan Air Bersih) sebagai kompensasi bagi masyarakat miskin perkotaan akibat adanya kenaikan harga bahan bakar, selanjutnya program ini berganti nama menjadi SE-AB (Subsidi Enerji melalui pembangunan Air Bersih). Setelah 60 tahun Indonesia merdeka, tahun 2005 Indonesia baru memiliki peraturan tertinggi disektor air minum dengan terbitnya PP (peraturan pemerintah) No 16 tentang Pengembangan SPAM (sistim penyediaan air minum).

Ditahun ini terbit pula PP No. 23 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang merupakan pengejawantahan upaya Pemerintah dalam melayani air minum bagi masyarakatnya (public service obligation-pso) yang ditunjukan dengan dimungkinkannya alokasi APBD Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Terbitnya PP ini juga sejalan dengan niat semua pihak untuk mendukung Pemerintah mencari terobosan bentuk “kelembagaan” pengelola Air Minum, dimana pada tahun ini atas sponsor Bank Dunia berkumpul para penentu kebijakan dari Dep. PU, Depdagri, Depkeu dan Bappenas di Tanah Lot Bali untuk membahas perkembangan Air Minum khususnya kelembagaan pengelolanya.
Ditahun ini terbit PP No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, dengan lahirnya PP ini menjadi semakin jelaslah posisi KPS Air Minum.

Dengan dimulainya kembali pembinaan Air Minum dari yang semula berbasis “wilayah” menjadi berbasis “sektor” lahir kembali Direktorat Jenderal Cipta Karya dan Direktorat Pengembangan Air Minum keluarlah kebijakan “Penyehatan PDAM” yang dimulai dengan dilakukannya Bantek Penyehatan PDAM yang akan menghasilkan rekomendasi “Bantuan Program” yang merupakan bantuan fisik bagi PDAM serta “Bantuan Manajemen” berupa bantuan pelatihan non fisik. Pada masa ini sempat muncul pendekatan “rounding up” yaitu pendekatan program bagi PDAM untuk pembulatan kembali sistem PDAM dari segi teknis, keuangan maupun kelembagaannya.

Departemen PU di tahun 2005 memberikan penghargaan kepada Pemda dan PDAM dalam bentuk PKPD (Penilaian Kinerja Pemerintah Daerah) dalah dibidang penyelenggaraan Air Minum dan munculah kota/kabupaten Medan dan Buleleng menjadi pemenang pertamanya.
Ditahun ini pula terbit Permen PU 294/2005 tentang Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) yang mempunyai maksud untuk membantu pemerintah dalam terwujudnya pengelolaan dan pelayanan air minum berkualitas dengan harga terjangkau, tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan, dan tercapainya peningkatan efisiensi dan cakupan pelayanan air minum.

Permen PU No 20 tahun 2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan SPAM, sebagai langkah acuan bagi semua pihak dalam penyelenggaraan SPAM, dan terbit pula Permendagri 23 tahun 2006 tentang petunjuk perhitungan tarif air minum.
Sebagai realisasi amanat PP 16/2005 telah terbit Permen PU No. 18 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan SPAM, yang mulai memberikan penjelasan dari perencanaan, pembangunan pelaksanaan, rehabilitasi, pemeliharaan, evaluasi, pemantauan dan pelaporan. Termasuk didalamnya ada keharusan bagi Pemerintah Propinsi untuk membentuk unit pemantauan penyelenggaraan air minum di wilayahnya. Mulai tahun 2007 ini kembali Pemerintah mengulangi kesuksesan pembangunan IKK dengan membangun 59 IKK melalui Satker (Satuan Kerja) DJCK Pusat. Sebagai kelanjutan program WSSLIC I dan WSLIC II yang telah dimulai sejak tahun 1995 pada tahun ini nama program berubah menjadi “PAMSIMAS” dengan “executing agency” beralih dari Depkes ke Dep PU.
Untuk lebih memberikan panduan yang lebih rinci Dirjen Cipta Karya menerbitkan SE (Surat Edaran) No. 1 Tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan BLU-SPAM (Badan Layanan Umum SPAM), dan sejak saat itu mulailah terbentuk BLUD-SPAM dimulai dari paling barat BLUD-SPAM Kabupaten Aceh Jaya sampai kewilayah paling timur di Papua Barat yaitu BLUD-SPAM Kabupaten Teluk Wondama.

Terbit pula PMK (Peraturan Menteri Keuangan) No. 120 Tahun 2008 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang Bersumber dari Penerusan Pinjaman Luar Negeri, Rekening Dana Investasi dan Rekening Pembangunan Daerah Pada Perusahaan Daerah Air Minum, yang intinya semua tunggakan, denda dan biaya administrasi dihapuskan kecuali hutang pokoknya sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pada tahun ini pula Pemerintah juga melanjutkan pembangunan 127 IKK yang pelaksanaannya dikerjakan oleh Satker PAM IKK Pusat.

Tahun 2009 muncul gagasan 10 juta SR (Sambungan Rumah) dimana Direktorat Jenderal Cipta Karya, Dep Pekerjaan Umum telah menghitung dana yang dibutuhkan sekitar Rp 78,4 trilyun, yang terdiri dari kebutuhan pembangunan unit air baku 85.000 l/detik sebesar Rp 7,4 trilyun, peningkatan unit produksi 65.000 liter/detik sebesar Rp. 17 trilyun, dan peningkatan unit distribusi dan sambungan rumag sebesar Rp. 54 trilyun Pembangunan IKK yang telah dimulai kembali tahun 2007 juga dilanjutkan dengan membangun 150-an IKK.

PDAM Kota Cirebon

INSIDEN meledaknya pipa besar PDAM Kota Cirebon hingga menelan korban jiwa Minggu 1 Agustus 2010 membuat warga Kota Cirebon mengalami krisis air bersih. Peristiwa serupa konon pernah terjadi pada tahun 1937. Bedanya, saat itu perigi (sumur) masih banyak di kota Cirebon. Bahkan hampir tiap rumah memiliki sumur serta banyak yang berada di luar rumah atau pekarangan.Pepatah lama, "Kalau ada sumur di ladang bolehlah kami menumpang mandi", diartikan secara maknawi. Sangat manusiawi!

Namun demikian terhentinya aliran air bersih ke kota Cirebon pada 2010 berakibat lain. Sulitnya air bersih bagi segala kebutuhan hidup sangat terasa. Tak cuma ibu-ibu yang menjerit, bahkan bapak-bapak pun mendapat pekerjaan tambahan: membeli dan atau mencari air bersih. Begitulah yang tampak dua hari ini di Kota Cirebon, ember berbagai ukuran, galon air, dirigen, gentong plastik jadi demikian bermakna untuk menadah air bersih. Jalanan pun ramai oleh suasana pembelian air bersih. Toko yang menjual air galon, air mineral gelas dan botol jadi "mrema" alias mendadak ketiban rejeki. Otomatis harga pun naik. Juga pedagang air keliling yang bertambah incomenya. Tak ketinggalan keadaan ini merangsang jenis pekerjaan baru (dadakan) berupa berjualan air bersih.

Perigi Tua belakang rumah saya, begitu julukan yang seketika muncul di benak, sontak ramai ditimba airnya oleh warga RT 05 Warnasari Kelurahan Kesambi Kecamatan Kesambi Kota Cirebon.Perigi yang semula hanya dimanfaatkan oleh keluarga pemiliknya, HM Suprayitno, menjadi begitu berarti, begitu diandalkan dan sepanjang hari senantiasa diambil airnya.

Sebelum adzan Shubuh berkumandang dari pengeras suara mesjid, ibu-ibu sudah menimba air perigi tua itu. Usai shalat Shubuh jumlahnya makin banyak, dan terus bertambah...tak ada henti. Air bagi kehidupan demikian penting. Dan perigi tua berair jernih itu telah menanamkan jasanya bagi situasi krisis air saat ini.

Proses pengambilan air pun menyisipkan cerita tersendiri. Ibu-ibu yang sabar menunggu giliran embernya diisi air, anak-anak yang menonton kegiatan baru orang tuanya, canda yang sesaat muncul, kebersamaan memperbaiki timba yang putus talinya, hingga celoteh mengenai tidak adanya upaya pemerintah Kota Cirebon menyediakan alternatif atas situasi krisis air ini. Di sisi lain, kita jadi paham siapa yang mengambil air dalam jumlah banyak, siapa saja yang mengambil air secukupnya, siapa yang diabaikan dalam pengisian air ke dalam ember, dan seterusnya.Oya, becak dan sepeda pun digunakan untuk mempermudah pengangkutan air dari perigi tua belakang rumah.

Ketika saya memotret kegiatan itu dengan kamera sederhana, ibu-ibu dan bapak-bapak yang terekam gambarnya langsung bertanya, "Mau dimasukkan koran apa, Dang?". Spontan saya jawab, "Koran Cap Kucing". Sontak mereka tertawa. Ada pula nenek yang berkata, "Saya jangan difoto, nanti terlihat seperti jurig (setan, bahasa Sunda)". Namun ada juga yang terang-terangan minta difoto, "Om, saya belum difoto. A difoto donk, ini lagi nyuci pakaian". Ah, suasana yang menyenangkan sekaligus pedih.
Membaca surat kabar lokal, ada penjelasan pihak PDAM Kota Cirebon yang memprediksi air akan normal sekira 2 (dua) minggu. Kalau benar, maka awal Ramadhan tahun ini masih akan menyaksikan kegiatan ngangsu dari perigi tua belakang rumah. Tapi mampukah fisik ibu-ibu dan bapak-bapak yang berpuasa mengangkat satu dua ember air dari perigi tua bagi kebutuhan sehari-hari? Menanggapi hal ini tentu saja menimbulkan ketakindahan. Bukankah sekarang saja ~belum masuk puasa~ kegiatan mandi sudah dikurangi?

Saat bertemu keluarga pemilik perigi, saya menyatakan terima kasih sedalam-dalamnya. Pertama karena warga mengambil air perigi itu tanpa permisi. Kedua, tentu saja jasa besar keberadaan perigi tua itu. Bayangkan jika tidak ada sumur tua itu. Pengeluaran rumah tangga akan terus bertambah karena naiknya harga air mineral untuk minum dan masak. Air perigi kadang berwarna kuning dan ada endapan pasir lantaran frekuensi pengambilan air yang melonjak, dan saat direbus di atas kompor tetap berwarna kuning. Akan tetapi jika sepi, air perigi jernih kembali. Karunia Tuhan yang kami rasakan, air perigi itu tak juga surut; malah ada yang berkata semakin ditimba airnya semakin bertambah debitnya!

Tetangga saya menyesalkan tidak adanya tindakan konkrit pemerintah Kota Cirebon menyoal krisis air ini. Katanya, seharusnya pemerintah menyediakan air bersih dengan menggunakan armada pemadam kebakaran (damkar). Damkar jangan hanya jadi pemadam sebuah demonstrasi massa. Ada lagi yang berkata, sungguh terlalu apabila Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Cirebon tetap menarik rekening air kepada konsumen. Lucunya lagi, pemerintah kota hanya mengatakan maaf kepada warga Kota Cirebon dan berencana mencari sumber mata air baru di Kabupaten Majalengka.

Dari catatan kecil ini, perigi tua belakang rumah, jauh lebih berarti ketimbang sikap pemerintah menyoal krisis air bersih yang menggelisahkan ratusan ribu penduduk Kota Cirebon.

Rencana yang masih berupa wacana mengenai kenaikan tarif air bersih tiap M3 di PDAM Kota Cirebon menuai protes mahasiswa. Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) Cirebon membawa 20-an mahasiswa Unswagati Cirebon melakukan demo penolakan rencana kenaikan tarif rekening air bersih. Unjuk rasa yang sudah kesekian kali dilakukan berbagai elemen masyarakat, termasuk warga Majasem Kota Cirebon bertahun lalu dengan membawa cucian kotor ke kantor PDAM lantaran air bersih tidak mengalir ke pemukimannya, berangkat dari pemikiran ketaksiapan pemerintah memberi layanan publik yang optimal. Terlebih menyangkut hajat hidup orang banyak: AIR.

Demo bukan satu-satunya penyelesai akhir, namun sebagai sock therapy cukup berhasil mempengaruhi rencana yang masih berupa wacana itu. Meski sedikitnya ada dua LSM yang sepakat terhadap rencana ini karena kenaikan tarif sementara dikenakan ke sektor industri dan secara bertahap ke konsumen rumah tangga. Pengguna air bersih paling banyak adalah konsumen rumah tangga, maka rencana yang masih berupa wacana ini ditolak. Bukankah kenaikan tarif (apalagi apa pun alasannya TETAP kenaikan harga dan bertambahnya pengeluaran keuangan) berbanding terbalik dengan efisiensi keuangan rumah tangga?

Tarif PDAM Kota Cirebon yang kabarnya paling murah di Indonesia dan sudah 6 (enam) tahun tidak naik, seharusnya merupakan prestasi dan layak dianugerahi penghargaan. Kenyataan ini bukan merupakan pembenar diberlakukannya kenaikan kenaikan tarif air bersih. Jangan heran apabila sejumlah pelanggan air di Griya Sunyaragi Permai kabarnya akan memboikot pembayaran rekeningan PDAM bulan ini. Sejauh mana keseriusan itu, wallahu `alam, akan tetapi dengan alasan bahkan untuk berwudlu pun sulit mana mungkin akan diberlakukan tarif baru.

Air PDAM Kota Cirebon bagi warga Pilang pun mengalir sekira pukul 22.00 WIB. Warga menampung di bak air, ember dan sebagainya untuk aktivitas rutin. Sejauh ini belum ada keberatan warga Pilang menyoal sulitnya air bersih. Tahun 2010 merupakan tahun cobaan bagi PDAM Kota Cirebon.

Kenaikan Tarif 2012
Ada empat catatan yang mengemuka menyangkut kenaikan tarif PDAM Kota Cirebon yang telah disepakati DPRD Kota Cirebon dan ditandatangani Walikota Cirebon. Keempat masalah tersebut ialah buruknya pelayanan pihak PDAM terhadap konsumen, Badan Pengawas (BP) PDAM, Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan minta kenaikan pembayaran air kepada Pemerintah Kota Cirebon, dan reaksi yang muncul atas kenaikan tarif ini.
Apologi PDAM mengenai biaya produksi air bersih yang timpang dibanding harga jual, sehingga perusahaan rugi menjadi paradoks melihat fakta adanya setoran PDAM ke kas dinas pendapatan daerah. Air sebagai sumber kehidupan seharusnya memberi kontribusi besar bagi PAD mengingat ketersediaan sumber daya alam yang melimpah itu di Indonesia. Berbekal transparansi managemen dan keuangan perusahaan, pengelolaan air bersih insya allah mampu mencipta kesejahteraan warga.***


Rujukan

:
Bambang Purwanto (Kompasiana), Dadang Kusnandar (dakusnandar.multiply.com)


Disampaikan pada diskusi Menanggapi Kenaikan Tarif PDAM Kota Cirebon,
Badan Eksekutif Mahasiswa Unswagati Cirebon, Sabtu 9 Juni 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar