Minggu, 10 Juni 2012

Rasisme, Fanatisme Suporter

Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon


LATIHAN terbuka tim Belanda di Krakow berbuntut insiden teriakan rasisme. UEFA mengakui adanya insiden itu tetapi masih harus menunggu protes resmi tim Oranye sebelum mengambi tindakan. Kapten Belanda, Mark van Bommel menyatakan, “Kami semua mendengar teriakan monyet. Kami tidak bisa menerima itu. Jika kami mendengar seperti itu selama pertandingan, saya akan langsung mendekati wasit dan memintanya mengambil tindakan”. Isu rasisme menjadi salah satu topik utama di Polandia dan Ukraina, setelah striker Italia Mario Balotelli mengancam akan meninggalkan lapangan jika ia mendapat ejekan rasisme, serta Departemen Luar Negeri Inggris meminta fans tim Inggris diminta berhati-hati meneriakkan ejekan.

Laporan Theo Mathias dari goal.com agaknya bukan hal baru dalam persepakbolaan. Pemain sepak bola yang berkulit gelap alias kulit hitam yang merumput di Italia biasa menerima ejekan rasisme. Warna kulit masih menjadi sasaran ejekan kendati Eropa kerap dikatakan sebagai bangsa terbuka, bangsa yang menghargai perbedaan dan getol menyuarakan kesetaraan. Teriakan neger susah dihindari bagi warga kulit hitam di Amerika Serikat. Teriakan monyet pada putaran piala Eropa 2012 diperoleh tim Oranye, lantaran warna kulit mereka yang (maaf) mirip monyet.

Sebagaimana pembaca budiman ketahui, pesepak bola asal negara-negara Afrika banyak yang hijrah dan merumput di berbagai klub sepak bola Eropa. Kelihaian dan kelincahan memainkan si kulit bundar tak urung menggiring mereka menjadi warga negara pada satu negara Eropa. Kemampuan inilah yang akhirnya mengubah kehidupan pesepak bola asal Afrika itu. Secara geografis, Afrika dan Eropa dibatasi oleh Laut Tengah. Imigran asal negara-negara Afrika Utara, seperti dari Tunisia, Maroko, Mesir, Lybia, Aljazair, Sudan, dan Sahara Barat menuju daratan Eropa melalui Laut Tengah. Jarak yang relatif lebih dekat dan tidak mengundang hempasan ombak Lautan Atlantik dari arah Timur. Imigran asal Afrika itu banyak menempati wilayah Italia Selatan, serta tidak mustahil di antara mereka ada yang jadi pesepak bola berkelas.

Secara sosiologis para imigran itu menjadi warga negara kelas dua, menempati hunian kumuh dan berprofesi serabutan di Eropa. Perjudian nasib pun menyemangati niat mengubah nasib dan manakala mereka berkumpul di wilayah yang sama, komunitas pun terbentuk. Budaya negara asal tetap dipertahankan, begitu pula keyakinan/ agama. Komunitas Islam asal negara-negara Afrika itu pun lalu harus berbaur dengan undang-undang negara setempat. Tak urung mereka mengalami benturan budaya, menerima perlakuan hukum yang kurang sepadan dibanding penduduk setempat yang lebih awal menghuni daerah tersebut ~terlebih dengan warga negara kulit putih. Kita akhirnya masih mendengar kabar pelarangan pengenaan busana muslim bagi pelajar/ mahasiswa muslim di Italia, Prancis dan sebagainya. Fakta ini biasanya berlangsung bersamaan menguatnya isu terorisme yang dialamatkan kepada Islam (fundamentalis) yang biasa memperoleh stigma pelaku teror, pelaku ledakan bom di tempat umum, stasiun kereta api, atau gedung tertentu sebagai target ledakan bom.

RASISME terbukti masih meruyak dalam perhelatan sepak bola bergengsi yang akan berakhir 2 Juli mendatang. Rasisme itu telah dengan sengaja dilontarkan fans fanatik Inggris kepada tim Oranye Belanda yang kalah pada pertandingan pertama saat berhadapan dengan tim Dinamit Denmark. Menyedihkan memang. Konon negeri beradab dan dianggap sebagai standard internasional terbukti masih bertindak rasis. Kendati tidak seluruhnya demikian, sepak bola seakan membuka kembali ruang rasisme. Sepak bola sebagai budaya kontemporer yang mampu menyedot perhatian publik dunia tidak sekadar beirisi perjudian dan trik penentu pemenang pertandingan, tidak melulu berisi transfer pemain unggul atau pemain unggul yang merosot prestasinya di lapangan hijau. Sepak bola juga memunculkan perubahan gaya hidup pemain top dunia, kesederhanaan yang berganti jadi glamor dan dunia selebritis yang (nampaknya kini) diyakini sebagai sesuatu yang hebat. Sepak bola, olah raga bergengsi pun ditangani seorang perdana menteri, misalnya Silvio Berlusconi. Tak kalah pula raja minyak dari Saudi Arabia dan negara kaya sekitar jazirah Arabia dan Teluk Parsi menjadi owner

klub bergengsi di Eropa. Cara yang dilakukan ialah membeli sebagian besar saham klub Eropa yang pailit dilanda krisis keuangan.

Sejalan dengan itu ternyata rasisme masih mengintip dari persepakbolaan Eropa, bahkan di Piala Dunia. Rasisme yang sangat ditentang karena berbanding terbalik dengan isu kesetaraan atas penghargaan kemanusiaan, serta isu besar yang bernama hak asasi manusia. Namun tetap saja terjadi pelanggaran penghormatan atas prestasi seseorang, hanya lantaran ia berkulit gelap. Hanya lantaran warna kulitnya berbeda dengan warga kebanyakan, seperti halnya anak-anak kecil di Indonesia dengan senang ketika mengejek orang barat dengan sebutan bule.

Rasisme dengan demikian adalah diskriminasi berdasar warna kulit, sebuah sikap sosial yang ditentang oleh maklumat Perserikatan Bangsa Bangsa sejak diundangkan pada tahun 1948. Rasisme juga sesungguhnya ditolak oleh undang-undang negara mana pun. Tapi diam-diam ia tetap muncul seiring munculnya event internasional, dan rasisme dilontarkan tanpa ragu saat klub sepak bola kesayangannya kalah bertanding, atau didasari niat mempengaruhi kondisi psikis pemain sepak bola sebagaimana dilakukan terhadap tim Oranye ketika berlatih di Krakow.

Piala Eropa mengundang rasisme yang berawal dari fanatisme berlebihan. Pada mulanya bisa jadi mereka tidak sadar bahwa lontaran ejekan kepada tim lawan itu berbau rasisme. Hal itu sangat mungkin meluncur begitu saja. Akan tetapi di balik itu, prestasi istimewa seseorang dengan warna kulit berbeda dengan orang kebanyakan menimbulkan iri warga kebanyakan. Ditunjang perbedaan warna kulit, dibumbui rasa iri lantaran mereka tak pandai mendrible bola, tak mampu memainkan si kulit bundar dengan kepala, paha, dan kedua kaki, lalu muncullah ejekan. Dan ejekan paling mudah adalah yang kasiat mata, dari warna kulit. Sikap sosial demikian tentu saja mengurangi sportivitas sejumlah besar supporter sepak bola.

Sport alias olah raga diilhami dari kata sportif, yakni bersikap bijak menerima fakta tentang kemampuan dan kehebatan lawan. Bersedia mengakui kekalahan paska pertandingan. Bersikap wajar dan tidak mengedepankan rasisme, apalagi fakta ini berlangsung di negeri beradab, negeri yang kaya dengan sastra klasik dan budaya masa lalu yang mencengangkan. Bayangkan jika tim Oranye memenangkan pertandingan pertama mereka melawan tim Dinamit Belanda.

1 komentar: