Buku:
CIREBON Silang Peradaban
pada 24 November 2012 pukul 12:14 ·
Melihat judul buku yang ditulis
Dadang Kusnandar (2012) ini, langsung terlintas sebuah (seri) buku lain
di benak saya: NUSA JAWA Silang Budaya yang ditulis Denys Lombard (2005). Denys
Lombard dalam bukunya mengamati lapisan budaya yang ada di Jawa, menganalisis
sejarah perkembangannya, membahas masyarakat yang mengembangkannya. NUSA
JAWA Silang Budaya berisi tentang pengaruh Eropa, kedatangan agama Islam
dan hubungannya dengan dunia Cina, serta pengaruh peradaban India.
peradaban
per.a.dab.an
[n] (1) kemajuan (kecerdasan,
kebudayaan) lahir batin: bangsa-bangsa di dunia ini tidak sama tingkat ~ nya;
(2) hal yg menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa
(Kamus Besar Bahasa Indonesia)
budaya
bu.da.ya
[n] (1) pikiran; akal budi: hasil
--; (2) adat istiadat: menyelidiki bahasa dan --; (3) sesuatu mengenai
kebudayaan yg sudah berkembang (beradab, maju): jiwa yg --; (4) cak sesuatu yg
sudah menjadi kebiasaan yg sudah sukar diubah (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Penulis buku CIREBON Silang
Peradaban tentunya mempunyai alasan sendiri memilih kata “peradaban” ketimbang
“budaya”. Mungkin karena peradaban sudah mencakup budaya.
Adab (Arabic: أدب) in the
context of behavior, refers to prescribed Islamic etiquette: "refinement,
good manners, morals, decorum, decency, humaneness".[1] While interpretation
of the scope and particulars of Adab may vary among different cultures, common
among these interpretations is regard for personal standing through the
observation of certain codes of behavior.[2] To exhibit Adab would be to show
"proper discrimination of correct order, behavior, and taste."[2]
(Wikipedia)
CIREBON Silang Peradaban kurang
lebih bercerita tentang “kebudayaan Cirebon” dengan pengaruh-pengaruh serupa
seperti NUSA JAWA, yaitu Eropa, Islam, Cina dan India. Pada buku CIREBON Silang
Peradaban, pengaruh Eropa hanyalah Belanda, seperti: “Saat
pertunjukan biasanya para penari atau para bangsawan meneguk minuman keras
(arak) tapi tidak sampai mabuk, hanya untuk menghangatkan badan. Hal ini
merupakan pengaruh kaum penjajah Belanda” (halaman 121). Sedangkan
pengaruh India disampaikan dalam bentuk contoh rupa peristiwa, seperti
pementasan wayang dengan lakon Mahabarata. Pengaruh musik India dan Arab pun
disebutkan, bukan dalam isi buku ini, melainkan pada Kata Pengantar; Cirebon,
Yang Perlahan Menguap, ditulis oleh Miqdad Husein, Peneliti Gerbang Informasi.
Dadang Kusnandar, penulis asal
Cirebon, memiliki keuntungan dalam menulis buku ini. Banyak peristiwa atau
kesenian yang ditulisnya dialami secara pribadi, ditulis dengan detail dan
perasaannya. Berbagai kesenian Cirebon yang punah atau hampir punah, seperti
sandiwara Masres, Dokmong (sastra lisan), Wayang Klitik (Dalang Repot), para
penari topeng yang bebarang, pernah disaksikan langsung oleh penulis.
Kesenian langka yang tidak diketahui banyak orang, kesenian langka yang tidak
diketahui banyak bahkan oleh Orang Cirebon. Seperti yang disebutkan oleh
penulis, beberapa kesenian tidak sempat terdokumentasikan, namun kiranya bisa
direka ulang dan digambar sketsa situasinya berdasarkan beberapa saksi mata.
Amat disayangkan buku ini tidak
dilengkapi foto-foto berbagai jenis kesenian yang mungkin tidak diketahui
banyak pembaca, seperti contoh di foto sampul. Foto yang buram tersebut
(mungkin bukan dari fotografernya, tapi soal teknik atau kualitas cetakan),
juga tidak disertai keterangan peristiwa atau kesenian apa gerangan. Saya
yakin, Ipon Bae, penyedia foto tersebut mampu menyediakan banyak foto lain dari
berbagai kesenian Cirebon untuk tampil di buku ini mendukung isi tulisan.
Bagaimana Tari Topeng Losari itu berbeda dengan Tari Topeng Gegesik, Slangit,
Pekandangan, Tambi atau Bongas, misalnya.
Sebagai sesama orang pesisir
Cirebon, saya agak heran ketika kesenian Burok luput dari tulisan ini. Sebuah
kesenian yang ada karena datangnya agama Islam ke Cirebon, bukan kesenian dari
Arab, seperti kesenian-kesenian Cirebon lain yang unik, yang hanya ditemukan di
Cirebon. Saya sadar, buku setebal 132 halaman ini tidak mungkin memuat
semuanya. Meskipun di pihak lain, saya juga sama sadarnya bahwa isi buku ini di
beberapa bagian terdapat perulangan informasi yang kurang perlu. Contohnya
“kutipan halaman 121” di atas dapat kita temui di halaman-halaman lainnya.
Banyak kesalahan ketik yang
mengganggu di sekujur buku ini, yang merupakan kelalaian editornya. Seperti “kutipan
halaman 121” di atas yang pada buku tercetak “…Hal ini merupakan merupakan
pengaruh kaum penjajah Belanda”. Banyak juga dijumpai pemakaian kata dalam
Bahasa Inggris yang bisa dihindari.
Dadang Kusnandar, yang hingga kini
tinggal di Cirebon, aktif bergaul dengan para seniman dan budayawan Cirebon.
Selain data-data tulisannya yang berhasil didapatkan dari sumber utama atau
pelakunya, Penulis juga mampu memotret keadaan masa kini Cirebon. Adanya ulasan
tentang kesenian kontemporer Cirebon, seperti Tari Batik yang merupakan
gabungan seni batik tulis dan seni tari, atau Wayang Babad yang merupakan
modifikasi wayang dan seni tari. Termasuk geliat masyarakat Cirebon, yang bukan
hanya tentang tarik-menarik kuno Sunda dan Jawa; tapi juga tentang Sunda (Jawa Barat)
dan Cirebon sendiri, menyoal kewenangan dan aset moderen (provinsi).
Begitulah kira-kira lengkapnya isi
buku ini. Dari Sunan Gunung Jati hingga Grage Mall. Baik mewakili zaman maupun
benda. Seperti yang ditulis Penulisnya di halaman 101: “Bukankah sulit mencari
kesenian asli, bahkan pada seni tradisi?”
Nyi Vinon,
Wong Cerbon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar