Kamis, 29 November 2012

Vinondini Indriati Menilai Saya



Buku: CIREBON Silang Peradaban

Oleh Nyi Vinon 
pada 24 November 2012 pukul 12:14 ·

Melihat judul buku yang ditulis Dadang Kusnandar  (2012) ini, langsung terlintas sebuah (seri) buku lain di benak saya: NUSA JAWA Silang Budaya yang ditulis Denys Lombard (2005). Denys Lombard dalam bukunya mengamati lapisan budaya yang ada di Jawa, menganalisis sejarah perkembangannya, membahas  masyarakat yang mengembangkannya. NUSA JAWA Silang Budaya berisi tentang  pengaruh Eropa, kedatangan agama Islam dan hubungannya dengan dunia Cina, serta pengaruh peradaban India.

peradaban          per.a.dab.an
[n] (1) kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin: bangsa-bangsa di dunia ini tidak sama tingkat ~ nya; (2) hal yg menyangkut sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan suatu bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

budaya                bu.da.ya
[n] (1) pikiran; akal budi: hasil --; (2) adat istiadat: menyelidiki bahasa dan --; (3) sesuatu mengenai kebudayaan yg sudah berkembang (beradab, maju): jiwa yg --; (4) cak sesuatu yg sudah menjadi kebiasaan yg sudah sukar diubah (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

Penulis buku CIREBON Silang Peradaban tentunya mempunyai alasan sendiri memilih kata “peradaban” ketimbang “budaya”. Mungkin karena peradaban sudah mencakup budaya.
Adab (Arabic: أدب‎) in the context of behavior, refers to prescribed Islamic etiquette: "refinement, good manners, morals, decorum, decency, humaneness".[1] While interpretation of the scope and particulars of Adab may vary among different cultures, common among these interpretations is regard for personal standing through the observation of certain codes of behavior.[2] To exhibit Adab would be to show "proper discrimination of correct order, behavior, and taste."[2] (Wikipedia)

CIREBON Silang Peradaban kurang lebih bercerita tentang “kebudayaan Cirebon” dengan pengaruh-pengaruh serupa seperti NUSA JAWA, yaitu Eropa, Islam, Cina dan India. Pada buku CIREBON Silang Peradaban,  pengaruh Eropa  hanyalah Belanda, seperti: “Saat pertunjukan biasanya para penari atau para bangsawan meneguk minuman keras (arak) tapi tidak sampai mabuk, hanya untuk menghangatkan badan. Hal ini merupakan pengaruh kaum penjajah Belanda” (halaman 121). Sedangkan pengaruh India disampaikan dalam bentuk contoh rupa peristiwa, seperti pementasan wayang dengan lakon Mahabarata. Pengaruh musik India dan Arab pun disebutkan, bukan dalam isi buku ini, melainkan pada Kata Pengantar; Cirebon, Yang Perlahan Menguap, ditulis oleh Miqdad Husein, Peneliti Gerbang Informasi.

Dadang Kusnandar, penulis asal Cirebon, memiliki keuntungan dalam menulis buku ini. Banyak peristiwa atau kesenian yang ditulisnya dialami secara pribadi, ditulis dengan detail dan perasaannya. Berbagai kesenian Cirebon yang punah atau hampir punah, seperti sandiwara Masres, Dokmong (sastra lisan), Wayang Klitik (Dalang Repot), para penari topeng yang bebarang, pernah disaksikan langsung oleh penulis. Kesenian langka yang tidak diketahui banyak orang, kesenian langka yang tidak diketahui banyak bahkan oleh Orang Cirebon. Seperti yang disebutkan oleh penulis, beberapa kesenian tidak sempat terdokumentasikan, namun kiranya bisa direka ulang dan digambar sketsa situasinya berdasarkan beberapa saksi mata.

Amat disayangkan buku ini tidak dilengkapi foto-foto berbagai jenis kesenian yang mungkin tidak diketahui banyak pembaca, seperti contoh di foto sampul. Foto yang buram tersebut (mungkin bukan dari fotografernya, tapi soal teknik atau kualitas cetakan), juga tidak disertai keterangan peristiwa atau kesenian apa gerangan. Saya yakin, Ipon Bae, penyedia foto tersebut mampu menyediakan banyak foto lain dari berbagai kesenian Cirebon untuk tampil di buku ini mendukung isi tulisan. Bagaimana Tari Topeng Losari itu berbeda dengan Tari Topeng Gegesik, Slangit, Pekandangan, Tambi atau Bongas, misalnya.

Sebagai sesama orang pesisir Cirebon, saya agak heran ketika kesenian Burok luput dari tulisan ini. Sebuah kesenian yang ada karena datangnya agama Islam ke Cirebon, bukan kesenian dari Arab, seperti kesenian-kesenian Cirebon lain yang unik, yang hanya ditemukan di Cirebon. Saya sadar, buku setebal 132 halaman ini tidak mungkin memuat semuanya. Meskipun di pihak lain, saya juga sama sadarnya bahwa isi buku ini di beberapa bagian terdapat perulangan informasi yang kurang perlu. Contohnya “kutipan halaman 121” di atas dapat kita temui di halaman-halaman lainnya.

Banyak kesalahan ketik yang mengganggu di sekujur buku ini, yang merupakan kelalaian editornya. Seperti “kutipan halaman 121” di atas yang pada buku tercetak “…Hal ini merupakan merupakan pengaruh kaum penjajah Belanda”. Banyak juga dijumpai pemakaian kata dalam Bahasa Inggris yang bisa dihindari.
Dadang Kusnandar, yang hingga kini tinggal di Cirebon, aktif bergaul dengan para seniman dan budayawan Cirebon. Selain data-data tulisannya yang berhasil didapatkan dari sumber utama atau pelakunya, Penulis juga mampu memotret keadaan masa kini Cirebon. Adanya ulasan tentang kesenian kontemporer Cirebon, seperti Tari Batik yang merupakan gabungan seni batik tulis dan seni tari, atau Wayang Babad yang merupakan modifikasi wayang dan seni tari. Termasuk geliat masyarakat Cirebon, yang bukan hanya tentang tarik-menarik kuno Sunda dan Jawa; tapi juga tentang Sunda (Jawa Barat) dan Cirebon sendiri, menyoal kewenangan dan aset moderen (provinsi).

Begitulah kira-kira lengkapnya isi buku ini. Dari Sunan Gunung Jati hingga Grage Mall. Baik mewakili zaman maupun benda. Seperti yang ditulis Penulisnya di halaman 101: “Bukankah sulit mencari kesenian asli, bahkan pada seni tradisi?”

 Nyi Vinon,
Wong Cerbon 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar