Senin, 12 November 2012

Muhammadiyah 100 Tahun Kemudian


Oleh Dadang Kusnandar*)

KETIKA berstatus siswa SMP, saya tidak begitu paham Muhammadiyah. Yang ada di benak adalah teman-teman yang bersekolah di SMP Muhammadiyah Jalan Bahagia Cirebon. Saat itu baju putih celana pendek hijau menjadi ciri siswa Muhammadiyah. Selain itu, Mesjid Teja Suar yang mengundang Buya Hamka pada kutbah Jum`at awal 1979. Masih terbayang di ingatan, lambaian lemah tangan Buya Hamka menyapa jamaah mesjid bakda shalat Jum`at di tangga luar mesjid. Juga ucapan beliau, “Assalamu `alaikum warga Cirebon!”. Muhammadiyah yang saya ingat juga adalah balai pengobatan di Grubugan Kelurahan Kasepuhan Kecamatan Lemahwungkuk. Pakde  sempat membawa saya berobat ke sana, dan obat yang diterima ketika itu tak lain obat sakti berupa tablet berwarna putih dan kuning. Saya sebut obat sakti karena pasien lain pun (dengan keluhan dan rasa sakit berbeda) menerima obat yang sama.
Waktu kemudian mempertemukan dengan aktivis Muhammadiyah Kota Kabupaten Cirebon. Kutbah Jum`at Bapak Zainal Masduki di Mesjid An Nur  depan parkir Pasuketan  atau Mesjid Teja Suar, merupakan pengenalan kesekian saya tentang Muhammadiyah.  Bapak Rosyad Rais yang akhirnya bersama kawan-kawan lebih sering belajar di mushala rumahnya. Bapak Zaidin Aksan dengan suara gelegarnya dengan pembahasan favorit Tahayul Bid`ah Churafat Aqidah (TBCA). Meski ketika itu sudah mengenal Bapak Kosasih Natawijaya sebagai seorang khatib Jum`at di Mesjid An Nur, tapi saya tidak tahu jikalau ia bergiat di Muhammadiyah. Saya dengan Miqdad Husein, juga banyak kawan lain di Mesjid An Nur menjadi penjaga gawang dan pegiat aktivitas keagamaan saja. 

Perjalanan pula membawa saya mengenal lebih dalam tentang Muhammadiyah. Dua adik kandung saya lulusan Sekolah Menengah Farmasi (SMF) Muhammadiyah angkatan ketiga dan SMA Muhammadiyah Tuparev yang sudah dikenal dengan istilah Blok M. Otomatis saya membaca Muhammadiyah Cirebon. Melalui buku cetak adik maupun pelajaran sejarah organisasi nasional paska Serikat Dagang Islam (SDI) dan Boedi Oetomo (BO). 

Tahun 2011 secara formal dikukuhkan menjadi Personalia Pimpinan Majelis Pustaka, Informasi dan Litbang Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Cirebon  Periode 2010-2015, berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Cirebon Nomor: 12/KEP/III.0/D/2011 tertanggal 21 Rabiul Akhir 1432 H/ 26 Maret 2011 atas insiatif Sdr. Sunardi Suwela. Lalu muncul ide menelorkan bulletin (yang sudah berulang kali dilakukan Muhammadiyah Cirebon) dengan nama Buletin Sang Pencerah (BSP) yang terbit tiap hari Jum`at. 

TIDAK terasa kini Muhammadiyah berusia 100 tahun sejak berdiri di Yogyakarta pada 1912. Seabad usia Muhammadiyah, seabad pula liku perjalanan menghadang. Tapi sungguh organisasi ini akan tegak apabila komitmen awal para penerus gerakan Muhammadiyah berangkat dari pesan Dahlan Untuk Dahlan. Subjek yang juga bermakna sebagai Objek, dan sebaliknya. Dahlan menasihati dirinya sendiri agar ia tidak binasa ditelan hiruk pikuk zaman. Perjuangan dakwah yang telah dicontohkan Darwisy (nama kecil KH Ahmad Dahlan) memungkinkan penerusnya melakukan inovasi organisasi. Organisasi yang sangat berpeluang berkembang menjadi lebih baik dan maju apabila disertai kesungguhan menegakkan komitmen awal. 

Cut Zurnali dalam bukunya "Learning Organization, Competency, Organizational Commitment, dan Customer Orientation : Knowledge Worker - Kerangka Riset Manajemen Sumberdaya Manusia di Masa Depan " (2010) menyatakan bahwa perhatian umum dan tujuan kunci dari unit organisasi SDM adalah untuk mencari pengukuran yang dapat mengestimasikan secara akurat komitmen para pekerjanya dan mengembangkan program-program dan kegiatan-kegiatan yang meningkatkan komitmen pada organisasi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kajian penelitian yang luas dalam ilmu psikologi dan manajemen adalah tentang konsep dan peranan komitmen organisasional (organizational commitment). Konstruk ini dikaitkan pada pentingnya kinerja yang dihasilkan dan perputarannya (Hom and Griffeth, 1995). Ketika konstruk komitmen organisasional banyak diperhatikan dalam literatur psikologi dan manajemen, maka hal ini juga menjadi penting dalam bidang yang menyangkut teknologi dan pengembangannya, sehingga pihak manajemen di bidang ini mulai memfokuskan perhatiannya pada konstruk komitmen organisasional ini.

Sekali lagi komitmen organisasi sangat penting untuk mengembalikan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dengan konsep fastabikul khairat, berlomba dalam kebaikan. Komitmen awal untuk melakukan pencerahan kepada  masyarakat pada awal ke 20. Tak pelak dengan mengemban komitmen awal di atas, organisasi besar dengan jama`ah berjumlah jutaan ini mampu kembali mencerahkan spiritualitas bangsa. Sebaliknya apabila komitmen awal itu diam-diam dikhianati aktivisnya, sungguh jangan harap akan memacarkan cahaya mentari, dan jangan berharap mencerahkan warga bangsa.

Pembaca budiman, kita belum pernah mengalami kepahitan sebagaimana diterima Dahlan ketika membangun organisasi Muhammadiyah. Kita pun belum pernah diasingkan masyarakat hanya karena perbedaan persepsi keagamaan, sebagaimana Dahlan dituduh dengan julukan Kiai Palsu. Bisa jadi karena kita bukan kiai maka tidak seorang pun menuduh kita sebagai kiai palsu. Bisa jadi pula dakwah bil lisan yang kita lakukan selama ini ternyata belum sepenuhnya terbebas dari keinginan duniawi. Belum terbebas dari perolehan sesuatu yang memungkinkan timbulnya fitnah. Yang pasti dakwah melalui lisan dan tulisan kerap abai terhadap pesan Dahlan ketika ia membangun organisasi dakwah ini dengan sejuta keperihannya.

Seratus tahun alias satu abad tak pelak merupakan proses renungan perjalanan panjang organisasi yang kini dihuni jutaan masyarakat muslim Indonesia. Potensi besar ini mau tidak mau harus dikelola dengan managemen yang profesional oleh tangan-tangan tulus, tangan tanpa pretensi duniawi. Jika tidak akan berlangsung sebuah suasana buram yakni ketika organisasi yang sudah berusia 100 tahun ini kalah dalam berbagai hal. Kekalahan yang diam-diam terjadi karena ulah kita sendiri. Dengan kata lain jikalau tidak ingin kalah, segeralah berbenah dan berkaca kembali kepada perjuangan Dahlan tatkala membangun organisasi ini di tengah masa kolonial Belanda yang menghendaki hegemoni dalam kebudayaan. Termasuk hegemoni agama.

Tentu saja kita tidak ingin kalah, tidak hendak menjadi kekuatan semu yang berbasis seolah-olah. Aktivis Muhammadiyah, siapa pun dia dan apa pun statusnya dalam organisasi ~semua menginginkan adanya kejayaan organisasi. Sehingga dakwah yang dilakukan (lisan dan tulisan), atau melalui lembaga pendidikan dan kesehatan, memberi manfaat bagi khalayak. Bagi umat Islam. Bagi Indonesia. 

Teringat sebuah rumor seorang kawan: Di mana saja dan organisasi apa saja ketika masih kecil, ia memegang komitmen yang hebat, tetapi setelah besar komitmen itu mulai terkikis oleh bayang-bayang sendiri. Berharap semoga rumor itu tidak menimpa Muhammadiyah yang kini memasuki usia 100 tahun, Dahlan mengingatkan melalui pesan untuk dirinya sendiri: renungkanlah yang terdekat kepadamu.***

*)Penulis adalah Personalia Pimpinan Majelis Pustaka, Informasi dan Litbang Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Cirebon  Periode 2010-2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar