Kamis, 01 November 2012

Pangeran Sabrang Lor dan Kedaulatan Laut

InilahKoran, Kamis 1 November 2012
Rubrik Aspirasi, halaman 8





Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon

MUSISI dan pencinta lingkungan hidup, Iwan Abdurahman alias Iwan Ompong alias Abah Iwan menulis: Merasa takut tetapi terus maju itulah keberanian sejati .  Keberanian sejati antara lain diperlihatkan ketika masa kerajaan Islam Jawa berulang kali menyerang kekuasaan Portugis di Malaka pada awal abad ke -16, abad ketika para pedagang Eropa dengan dukungan tentara dan armada lautnya berekspansi jauh mengelilingi bumi. Beralasan memang, paska aufklarung, Inggris, Belanda, Portugis, dan Spanyol menjadi bangsa ulung dalam hal penaklukkan negara lain. Jauh dari negerinya dan ditempuh berbulan-bulan menggunakan jalur laut.

Saya percaya bahwa rasa takut itu manusiawi, ia bersemayam pada setiap orang. Namun demi kepercayaan atas kepemimpinan di pundak, ribuan tokoh pemimpin berbagai bangsa dan negara melawan kepada orang asing yang hendak menguasai jalur perdagangan lantas menjajah serta menjarah kekayaan negerinya.  Perlawanan bersenjata yang dilakukan atas nama kekuasaan di negeri sendiri, tanpa campur tangan pihak asing. Dipertajam oleh perbedaan agama (dan ideologi) makin kuatlah semangat perlawanan bersenjata itu. Terlebih Nusantara pernah jaya di laut jauh sejak Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, hingga dikenal idiom jales veva jayamahe.  

Berbagai strategi pun dipahatkan. Terinspirasi cerpen Ipon Bae berjudul Sabrang Lor Gugur (InilahKoran, Minggu 28/10) penamaan yang sama pada beberapa tokoh sejarah memperlihatkan adanya strategi agar sang tokoh makin disegani lawan dan sulit ditiadakan. Artinya perlawanan terhadap imperialisme di suatu daerah didukung tokoh daerah lain dengan semangat yang sama untuk mengusir kaum penindas.

Kematian Sadam Husen yang dirilis media massa berulang kali ada lah contoh peristiwa yang menggambarkan hal tersebut. Jika tokoh sentral tak pernah mati, semangat perlawanan rakyat terus berkobar. Ini menandakan masa kerajaan islam indonesia pun telah mengenal nasionalisme. Nimas Ratu Kalinyamat dari Jepara yang mengerahkan ribuan pasukan dan kapal perang membantu Patih Unus/ Pangeran Sabrang Lor menyerang Portugis ke Malaka adalah satu contoh kebersamaan itu.

Bagaimana dengan kerajaan islam Cirebon? Teringat sejarah Perang Cirebon 1818 dari Desa Kedongdong yang menurunkan puluhan kapal perang Belanda, sangat mungkin armada laut Kerajaan Islam Cirebon saat itu cukup kuat. Kuat dalam pengertian sebenarnya dan semakin diperkuat oleh bantuan armada laut dari Demak, Makassar, Banten, dan Mataram. Memang belum ada fakta sejarah yang memperkuat asumsi ini. Tapi setidaknya dua kali kegagalan penyerbuan Demak dan Jepara ke Malaka saat dikuasai Portugis, dan dua kali kegagalan penyerbuan Mataram (di bawah Sultan Agung) ke Sunda Kalapa yang dikuasai Portugis, atau Banten yang akhirnya jatuh ke tangan Belanda ~memungkinkan armada laut dan tentaranya bergabung dengan Ki Bagus Rangin dan kawan-kawan pada Perang Cirebon 1818.

Sama-sama sebagai pasukan kalah perang, dengan musuh yang sama dan dibekali semangat keagamaan yang sama pula; maka perlawanan menjadi heroik serta merugikan pihak lawan. Kembali ke ungkapan Abah Iwan di atas, saya cenderung berasumsi bahwa bisa saja para pemimpin laskar perang terhadap kaum kolonial itu  merasa takut. Takut kalah lantaran persenjataan yang tak seimbang. Takut kalah karena sudah berulang kali dicoba dan terus gagal. Namun keberanian sejati telah tertanam, maka para pimpinan perang itu pun terus maju.

Sejarah memang mencatat beberapa episode peperangan tak berimbang. Bukan hanya perang kerajaan Islam Nusantara melawan Portugis dan Belanda. Endingnya kita paham dan dapat diduga: Kalah dengan berbagai alasan dan ketakmampuan menolak politik devide et impera. Namun di balik itu semua ada spirit yang tak pernah lekang dipanas dan tak kuyup dihujan, ialah keinginan mengelola negeri sendiri, memanage kekayaan bangsa sendiri, serta tidak mau menjadi budak/ kuli di negeri sendiri.

Laut Jawa

Peran Laut Jawa sangat strategis hingga sekarang. Pada masa kerajaan Islam Nusantara, perjalanan laut dari Eropa setelah melewati Selat Malaka harus lewat Laut Jawa. Masa kerajaan pra Islam (Hindu Budha) belum menorehkan catatan imperialisme meski perniagaan laut telah terbina dengan Arab, Persia,  India, Cina, dan Campa. Penaklukkan negeri lain oleh Eropa Barat melalui jalur laut sejak penyeberangan Vasco da Gama (Portugis) ke Calcuta, India hingga kedatangan pelaut VOC ke Nusantara. Kerajaan Islam Malaka jatuh ke tangan Portugis lalu melanjutkan penaklukkan itu ke Jawa untuk menjarah rempah-rempah di Maluku.

Logis jika sejarah peperangan laut antara kerajaan Islam yang ada di Jawa berhadapan dengan Portugis, VOC dan Belanda berlangsung di pula di Laut Jawa. Banten, Cirebon, Demak, Jepara, dan Mataram sangat mungkin memiliki armada laut yang gagah perkasa. Ingatan sejarah ini bukan sekadar romantika masa lalu, dan bukan hanya upaya kebanggaan semu (karena kalah perang), akan tetapi merupakan bahan renungan betapa kita dahulu telah memiliki pasukan laut yang kuat dan diperhitungkan. Sekali lagi sejarah mungkin hanya mencatat (bahkan luput dari catatan sejarah) perlawanan laut sebagaimana berita harian yang kita konsumsi melalui media massa. Catatan sejarah Nusantara lama setidaknya menjadi semacam spirit untuk penguatan kembali armada laut Indonesia.

Betapa tidak. Kita tidak pernah bisa menghitung berapa ton pasir besi yang terus diangkut armada laut Negara tetangga. Demikian pula kita mampu menghitung sumber daya alam dari laut Jawa (dan laut Nusantara) yang dieksploitasi armada laut negara lain. Alasan konvensi internasional tentang batas laut, zona ekonomi eksklusif (zee), territorial perairan dan laut Indonesia yang diatur bangsa asing ~memudahkan berlangsungnya eksploitasi sumber daya laut setiap hari. Bangsa asing yang mematok batas laut Indonesia itu bisa semena-mena mengeruk kekayaan laut kita.

Kembali ke masa kerajaan Islam Nusantara dengan armada lautnya yang perkasa itu, seperti nya kita kembali mengingat betapa saat itu (abad 16 – 19 Masehi) para pemimpin Nusantara sangat sadar akan makna kedaulatan. Daripada jatuh ke tangan asing, lebih baik perang berkalang tanah. Daripada terjerembab menjadi  imperium, lebih baik melawan dahulu. Tidak seperti sekarang. Laut dan kekayaan kita dikeruk hanya oleh sebuah ratifikasi perjanjian yang seolah-olah menguntungkan. Aneh memang. Kita yang punya laut tetapi penguasa laut dan perairan Indonesia adalah bangsa asing. Atas nama profesionalisme, globalisasi dan kerjasama luar negeri atau multilateral, kita selalu kalah.

Dengan kata lain rasa takut para pemimpin Indonesia saat ini jauh melebihi para pemimpin laskar laut Nusantara pada masa kerajaan Islam. Para pemimpin (yang dimuliakan Allah swt itu) memlih berperang terlebih dahulu, meski akhirnya kalah.

Dalam keadaan inilah sosok Pangeran Sabrang Lor diharapkan kembali menjelma. Sungguh saya merindukan sosok hebat nan perkasa itu muncul kembali. Minimal untuk merebut kembali kedaulatan laut Indonesia sehingga kita sebagai bangsa pelaut (diawali oleh nenek moyang) mampu mengelola lautnya sendiri. Jika pun harus meratifikasi sebuah perjanjian internasional, jangan mau ada di posisi sub ordinat. Ingatlah kita yang memiliki perairan dan laut. Bukan mereka!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar