Sabtu, 10 November 2012

Basa Cerbon : Adoh Seng Pakta



Dening Dadang Kusnandar

BADAN kula supados sehat jasmani rohani niku merluakaen prilakune sapertos pertami makanan minuman bergizi, kaping kalih istirahat ingkang cukup, kaping tiga urip teng lingkungan ingkang bersih. Teng agama islam wonten makanan minuman ingkang dihalalaken sareng diharamaken. Makanan ingkang halal yaniku saged saking sae didahar, contone hasil ternak kecuali ternak babi, makanan ingkang diharamaken aertine makanan ingkang dilarang oleh agama islam lan mboten sae didahar, contone yaiku babi, bangkai dll. Bahaya dahar makanan haram yaiku angsal dosa, badan mboten sehat lan mboten sae, ngelemahaken iman.

Materi pelajaran Basa lan Sastra Cebon kelas 9 semester ganjil di atas meski masih terdapat kesalahan, tetap saja siswa kelas 3 SLTP mengalami kesulitan menjawab pertanyaan dari wacana tersebut. Saya menyebut kesalahan misalnya pada kalimat pertama: merluaken prilakune (memerlukan perilaku). Juga masih terdapat penggunaan bahasa Indonesia, baik dalam bentuk kata (misalnya pertami, dll = dan lain-lain, oleh, makanan) serta gramatika yang membentuknya.

Dari satu kasus itu terbukti bahwa bahasa daerah itu sulit. Ia menjadi sulit karena semakin jarang pelajar berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan bahasa daerah. Di rumah sekali pun, orang tua yang masih memakai bahasa daerah bila berbincang dengan tetangganya, ia tidak menerapkan bahasa daerah Cirebon kepada anak-anaknya. Kondisi ini makin semaput pada pasangan suami istri yang tidak membiasakan berkomunikasi dengan bahasa daerah. Pilihan pun umumnya jatuh pada bahasa Indonesia, sebagian ada yang suka memilih bahasa Inggris, dan sedikit yang berbahasa Belanda.

Sepertinya berbincang dengan bahasa Cirebon menunjukkan kelas bawah. Ada rasa malu jika seorang perempuan cantik yang bekerja di perusahaan swasta dipanggil nok. Ia lebih senang dipanggil mbak atau neng. Padahal mbak dan neng berasal dari bahasa Jawa dan Sunda. Saya tergolong sering memanggil nok kepada perempuan pekerja di Cirebon, walaupun ia terpaksa menjawab namun ada raut wajah ketidaksenangan atas panggilan nok. Mungkin karena posisi saya sebagai pembeli maka perempuan pekerja itu mau menjawab pertanyaan saya, itu pun dijawab dengan bahasa Indonesia.

Pertanyaan yang muncul bagaimana kita melihat fakta bahasa Cirebon saat ini? Bahasa daerah yang mengalami dekonstruksi ternyata juga berlangsung pada kurikulum sekolah, dan ia semakin tidak dipahami manakala penggunanya lebih asik menggunakan bahasa lain. Fakta ini jelas memperburuk bahasa daerah, bahasa ibu, bahasa lokal dan sebutan lain yang mengena padanya. Buruk dalam pengertian, jangankan untuk berkembang, bahkan bertahan pun sulit. Dan diam-diam kita menjadi pelaku yang memperburuk bahasa Cirebon.

Secara pribadi saya pun mengalami kesulitan ketika anak bertanya Pekerjaan Rumah (PR) pelajaran Basa lan Sastra Cerbon saat SMP dulu. Beruntung ada yang bisa dimintai tolong untuk menjawabnya. Saya berkirim pesan pendek kepada Mas Nurdin, Mas Opan, Mas Supali, atau ke Dalang Kaji Mansur. Tapi setelah pelajaran bahasa Cirebon itu tidak dipelajari lagi oleh anak saya di tingkat SMA, saya pun lupa materi basa Cerbon apa yang pernah saya tanyakan kepada teman-teman. Inilah keadaan yang diam-diam memarginalkan bahasa daerah, menempatkan bahasa daerah pada subordinat, lantas menjelaskan betapa sebenarnya kita belum berpihak kepada bahasa daerah.

Itu sebabnya pelajaran bahasa Cirebon perlu diangkat kembali sebagai kekayaan, serta tidak sebatas memandangnya sebagai hiasan di etalase bahasa. Parahnya lagi jika hiasan itu tidak ditoleh sama sekali. Penghancuran bahasa daerah tentu akan berlangsung dalam waktu cepat, dan itulah yang memacu sejumlah kawan penggerak eksistensi Bahasa Cirebon untuk merumuskan kembali format yang tepat dan mudah dipahami siswa/ pelajar serta orang tua di rumah agar membiasakan penggunaan Bahasa Cirebon.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar