Dening Dadang
Kusnandar
BADAN kula supados
sehat jasmani rohani niku merluakaen prilakune sapertos pertami makanan minuman
bergizi, kaping kalih istirahat ingkang cukup, kaping tiga urip teng lingkungan
ingkang bersih. Teng agama islam wonten makanan minuman ingkang dihalalaken
sareng diharamaken. Makanan ingkang halal yaniku saged saking sae didahar,
contone hasil ternak kecuali ternak babi, makanan ingkang diharamaken aertine
makanan ingkang dilarang oleh agama islam lan mboten sae didahar, contone yaiku
babi, bangkai dll. Bahaya dahar makanan haram yaiku angsal dosa, badan mboten
sehat lan mboten sae, ngelemahaken iman.
Materi pelajaran Basa
lan Sastra Cebon kelas 9 semester ganjil di atas meski masih terdapat
kesalahan, tetap saja siswa kelas 3 SLTP mengalami kesulitan menjawab
pertanyaan dari wacana tersebut. Saya menyebut kesalahan misalnya pada kalimat
pertama: merluaken prilakune (memerlukan perilaku). Juga masih terdapat
penggunaan bahasa Indonesia, baik dalam bentuk kata (misalnya pertami, dll = dan lain-lain, oleh,
makanan) serta gramatika yang
membentuknya.
Dari satu kasus itu terbukti bahwa bahasa daerah itu sulit.
Ia menjadi sulit karena semakin jarang pelajar berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan
bahasa daerah. Di rumah sekali pun, orang tua yang masih memakai bahasa daerah
bila berbincang dengan tetangganya, ia tidak menerapkan bahasa daerah Cirebon
kepada anak-anaknya. Kondisi ini makin semaput pada pasangan suami istri yang
tidak membiasakan berkomunikasi dengan bahasa daerah. Pilihan pun umumnya jatuh
pada bahasa Indonesia, sebagian ada yang suka memilih bahasa Inggris, dan
sedikit yang berbahasa Belanda.
Sepertinya berbincang dengan bahasa Cirebon menunjukkan
kelas bawah. Ada rasa malu jika seorang perempuan cantik yang bekerja di
perusahaan swasta dipanggil nok. Ia
lebih senang dipanggil mbak atau neng. Padahal mbak dan neng berasal
dari bahasa Jawa dan Sunda. Saya tergolong sering memanggil nok kepada perempuan pekerja di Cirebon,
walaupun ia terpaksa menjawab namun ada raut wajah ketidaksenangan atas
panggilan nok. Mungkin karena posisi
saya sebagai pembeli maka perempuan pekerja itu mau menjawab pertanyaan saya,
itu pun dijawab dengan bahasa Indonesia.
Pertanyaan yang muncul bagaimana kita melihat fakta bahasa
Cirebon saat ini? Bahasa daerah yang mengalami dekonstruksi ternyata juga
berlangsung pada kurikulum sekolah, dan ia semakin tidak dipahami manakala
penggunanya lebih asik menggunakan bahasa lain. Fakta ini jelas memperburuk bahasa
daerah, bahasa ibu, bahasa lokal dan sebutan lain yang mengena padanya. Buruk
dalam pengertian, jangankan untuk berkembang, bahkan bertahan pun sulit. Dan
diam-diam kita menjadi pelaku yang memperburuk bahasa Cirebon.
Secara pribadi saya pun mengalami kesulitan ketika anak
bertanya Pekerjaan Rumah (PR) pelajaran Basa lan Sastra Cerbon saat SMP dulu.
Beruntung ada yang bisa dimintai tolong untuk menjawabnya. Saya berkirim pesan
pendek kepada Mas Nurdin, Mas Opan, Mas Supali, atau ke Dalang Kaji Mansur.
Tapi setelah pelajaran bahasa Cirebon itu tidak dipelajari lagi oleh anak saya
di tingkat SMA, saya pun lupa materi basa Cerbon apa yang pernah saya tanyakan
kepada teman-teman. Inilah keadaan yang diam-diam memarginalkan bahasa daerah,
menempatkan bahasa daerah pada subordinat, lantas menjelaskan betapa sebenarnya
kita belum berpihak kepada bahasa daerah.
Itu sebabnya pelajaran bahasa Cirebon perlu diangkat kembali
sebagai kekayaan, serta tidak sebatas memandangnya sebagai hiasan di etalase
bahasa. Parahnya lagi jika hiasan itu tidak ditoleh sama sekali. Penghancuran
bahasa daerah tentu akan berlangsung dalam waktu cepat, dan itulah yang memacu
sejumlah kawan penggerak eksistensi Bahasa Cirebon untuk merumuskan kembali
format yang tepat dan mudah dipahami siswa/ pelajar serta orang tua di rumah
agar membiasakan penggunaan Bahasa Cirebon.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar