Selasa, 09 Oktober 2012

Calon Perseorangan Dalam Pilkada



Oleh Dadang Kusnandar

Penulis lepas, tinggal di Cirebon


SYARAT menjadi calon independen dalam pilkada 24 Februari 2013 tidak ringan. Popularitas dan elektabilitas menjadi kunci pertama seseorang melangkah menuju kursi kepala daerah. Status calon perseorangan tentu saja berbeda dengan calon dari partai politik. Popularitas seseorang diraih tidak sekejap dan tidak mudah sebagaimana diperoleh artis dan selebriti politik. Popularitas dalam politik lebih menekankan pada pentingnya sejumlah kabar baik sehingga tatkala dibicarakan, maka nama tersebut hadir dengan kebaikannya. Sebaliknya bila popularitas seseorang dominan buruk, sesekali jangan berharap akan muncul nilai positif atas namanya. Terlebih jika namanya diterakan sebagai calon perseorangan dalam pilkada.

Mengapa untuk meraih popularitas perlu sejumlah kabar baik? Apakah kabar baik itu didapat apabila ia terkenal rajin membagi sembako atau mengeluarkan sejumlah uang kepada tim sukses serta konstituen sambil menyediakan sarana (fasilitas) umum? Ataukah kabar baik diperoleh apabila seseorang dengan kemampuan mengorganisir massa melakukan penggalangan serta dukungan di berbagai tingkatan? Berikutnya apakah popularitas harus seiring dengan perlakuan tidak sedap (penzhaliman) atas dirinya lalu seketika konstituen menaruh simpati kepadanya?

Kabar baik dan polpularitas merupakan dua sisi beriringan, dan tak tertolak. Akan tetapi guna memperoleh kabar baik pasti butuh pranata tidak gampang. Pranata dimaksud berawal dari kredibilitas dirinya jauh sebelum ingar binger pilkada terdengar. Tak perlu menjadi sinterklas yang membagi roti keju dan tumpukan hadiah kepada “anak-anak”, tak mesti membagi uang atau mengupayakan pengobatan plus perawatan gratis di rumah sakit, serta tak usah sibuk mematut-matut diri di dinding iklan dan wall jaringan social demi pencitraan. Kabar baik beriringan dengan kemampuan memanage an nafsul mutmainah (jiwa yang bening), tanpa pretensi politik dan atau keinginan untuk bertarung pada sebuah pilkada.

Munculnya beberapa calon perseorangan pada pilkada yang akan digelar di Jawa Barat dan tiga daerah tingkat II, Kota Cirebon, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bandung Barat pada 24 Februari 2013 sedikitnya menunjukkan warna demokrasi baru. Warna dimaksud ialah semakin kuatnya eforia sejumlah orang untuk menjadi kepala daerah dari jalur independen alias calon perseorangan. Kita tentu saja merasa masygul melihat fenomena ini. Pertama, karena minat utama sang calon tak lain adalah kekuasaan tanpa mempertimbangkan popularitas dan elekatabilitasnya. Kedua, ia masuk ke arena pilkada sebagai calon perseorangan karena gagal bertarung dari jalur partai politik. Ketiga, calon perseorangan menjadi alternatif lantaran dianggap mampu mengambil suara dari “muntahan” orang-orang yang kecewa kepada partai politik.

Bila seseorang gagal bertarung pada sebuah partai politik kemudian menceburkan diri menjadi calon perseorangan, dengan logika lurus bisa kita pertanyakan popularitas dan elektabilitasnya. Demikian pula dengan berharap pada massa mengambang dan “muntahan” suara yang kecewa kepada parpol, berarti ia tidak mempertimbangkan suara golongan putih (golput). Mahfum adanya, pilkada Jawa Barat 2008 di menuliskan angka  di atas 34,67% golput. Sebagai perbandingan, Wakil Direktur LP3ES Sudar D Atmanto memaparkan angka golput 34% pada pemilu legislative 2009, pemilu 2004  sekitar 26%. Sedangkan pemilu 1999 sekitar 20%. Ini merupakan penanda bahwa massa mengambang (floating mass) bukan komunitas yang mudah diraih dengan janji dan program. Boleh jadi, massa mengambang merupakan kelompok kelas menengah yang sangat sadar atas managemen tata kelola daerah, dan program yang ditawarkan setiap calon yang melangkah ke pilkada. Justru karena kesadarannya itulah, mereka memilih sebagai golput. 

Kegagalan mengambil restu/ rekomendasi partai politik seharusnya menjadikan semacam proses penyadaran bahwa ia terbukti belum memiliki popularitas yang memadai untuk menjadi calon perseorangan. Fakta ini pun semakin bias manakala seseorang yang gagal diraih parpol lantas masuk ke arena pilkada melalui jalur calon perseorangan. Bias karena konstituen mempertanyakan independensinya. Sesuatu yang musykil apabila mantan aktivitis partai politik mengklaim dirinya besikap independen serta berdiri di atas semua golongan. Dan musykil pula kita menemui seorang tokoh independen. Pergaulan sosial, bisnis, pekerjaan, dan sebagainya memungkinkan setiap orang berafiliasi dengan partai politik. Namun di antara sekian musykilah itu, seseorang yang mengaku dirinya independen mestinya tidak pernah terdaftar sebagai anggota sebuah partai politik mana pun, terlebih sebagai aktivis parpol.

Berdiri Sendiri

Beratnya syarat calon perseorangan pada pilkada bisa dimaknakan sebagai tantangan sekaligus optimism jikalau calon perseorangan tersebut benar-benar bersih serta tidak pernah tercatat menjadi anggota partai politik, termasuk pada era Orde Baru. Di sisi lain hal ini masih menunjukkan kuatnya pengaruh parpol pada kehidupan masyarakat Indonesia. Bahwa kepercayaan masyarakat kepada parpol melemah, itu benar, namun demikian parpol masih jauh leluasa melebarkan jaringnya pada pilkada. Dalam relasi inilah seseorang yang berminat ikut bertarung pada pilkada dari jalur independen alias calon perseorangan, mesti memperhitungkan kelayakan dirinya untuk dapat disebut sebagai independen.

Merujuk kamus besar bahasa Indonesia tahun 2008, independen berarti yang berdiri sendiri, yang berjiwa bebas, tidak terikat pada pihak lain, tidak larut dalam kekuasaan. Arti harfiah independen ini harus dimiliki oleh calon perseorangan sebelum ia mempersiapkan diri menjadi calon perseorangan pada pilkada. Berdiri sendiri mengandung makna kemampuan memanage yang tidak terkooptasi oleh partai politik. Berdiri sendiri sejalan dengan upaya sungguh-sungguh yang telah dibangun selama tahunan untuk tidak menceburkan diri ke dalam hiruk pikuk partai politik. Pertanyaannya, adakah dan mungkinkah?

Telah menjadi rahasia umum bahwa partai politik dominan dalam bincang keseharian. Politik menjadi sajian menarik dan dibicarakan tidak sekadar di kalangan politisi. Jelang pilkada fenomena ini kian menggejala. Ibu-ibu pun di pagi hari ketika membeli sayur dan lauk pauk turut membicarakannya. Kelompok  usia muda di bawah 30 tahun menjadikan politik sebagai obrolan, kendati belum tentu mereka tertarik masuk menjadi bagian partai politik. Politik dengan demikian merupakan magnet dengan kutub magnetis yang kuat menarik sejumlah partikel ke dalamnya. Dan salah satu partikel itu adalah calon independen, calon perseorangan yang hendak mengikuti pilkada 2013.

Dengan kata lain apabila calon independen tidak mampu menunjukkan bahwa dirinya tidak terikat pada pihak lain, dan tidak berjiwa bebas lantaran telah masuk ke dalam sebuah organisasi yang ideologi tertentu ~sungguh, ia belum dapat dikatakan independen. Belum dapat dikatakan berdiri sendiri serta belum mempunyai popularitas (apalagi elektabilitas) untuk dapat berebut kue kekuasaan pada pemilihan kepala daerah tahun 2013 di Jawa Barat.
Tulisan singkat ini dibaktikan sebagai input bagi sejumlah nama calon perseorangan/ independen yang akan mengikuti pilkada dalam waktu dekat, sekira empat bulan lagi. Semoga menjadi bahan pemikiran agar kehadiran Anda di pilkada bukan semata-mata berangkat dari eforia demokrasi.***

: inilah koran, selasa 9 oktober 2012 halaman 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar