Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal
di Cirebon
SYARAT menjadi calon independen dalam pilkada 24 Februari
2013 tidak ringan. Popularitas dan elektabilitas menjadi kunci pertama
seseorang melangkah menuju kursi kepala daerah. Status calon perseorangan tentu
saja berbeda dengan calon dari partai politik. Popularitas seseorang diraih
tidak sekejap dan tidak mudah sebagaimana diperoleh artis dan selebriti
politik. Popularitas dalam politik lebih menekankan pada pentingnya sejumlah
kabar baik sehingga tatkala dibicarakan, maka nama tersebut hadir dengan
kebaikannya. Sebaliknya bila popularitas seseorang dominan buruk, sesekali
jangan berharap akan muncul nilai positif atas namanya. Terlebih jika namanya
diterakan sebagai calon perseorangan dalam pilkada.
Mengapa untuk meraih popularitas perlu sejumlah kabar baik?
Apakah kabar baik itu didapat apabila ia terkenal rajin membagi sembako atau
mengeluarkan sejumlah uang kepada tim sukses serta konstituen sambil
menyediakan sarana (fasilitas) umum? Ataukah kabar baik diperoleh apabila
seseorang dengan kemampuan mengorganisir massa melakukan penggalangan serta
dukungan di berbagai tingkatan? Berikutnya apakah popularitas harus seiring
dengan perlakuan tidak sedap (penzhaliman) atas dirinya lalu seketika
konstituen menaruh simpati kepadanya?
Kabar baik dan polpularitas merupakan dua sisi beriringan,
dan tak tertolak. Akan tetapi guna memperoleh kabar baik pasti butuh pranata
tidak gampang. Pranata dimaksud berawal dari kredibilitas dirinya jauh sebelum
ingar binger pilkada terdengar. Tak perlu menjadi sinterklas yang membagi roti
keju dan tumpukan hadiah kepada “anak-anak”, tak mesti membagi uang atau
mengupayakan pengobatan plus perawatan gratis di rumah sakit, serta tak usah sibuk
mematut-matut diri di dinding iklan dan wall
jaringan social demi pencitraan. Kabar baik beriringan dengan kemampuan
memanage an nafsul mutmainah (jiwa
yang bening), tanpa pretensi politik dan atau keinginan untuk bertarung pada
sebuah pilkada.
Munculnya beberapa calon perseorangan pada pilkada yang akan
digelar di Jawa Barat dan tiga daerah tingkat II, Kota Cirebon, Kabupaten
Sukabumi, dan Kabupaten Bandung Barat pada 24 Februari 2013 sedikitnya
menunjukkan warna demokrasi baru. Warna dimaksud ialah semakin kuatnya eforia
sejumlah orang untuk menjadi kepala daerah dari jalur independen alias calon
perseorangan. Kita tentu saja merasa masygul melihat fenomena ini. Pertama,
karena minat utama sang calon tak lain adalah kekuasaan tanpa mempertimbangkan
popularitas dan elekatabilitasnya. Kedua, ia masuk ke arena pilkada sebagai
calon perseorangan karena gagal bertarung dari jalur partai politik. Ketiga,
calon perseorangan menjadi alternatif lantaran dianggap mampu mengambil suara
dari “muntahan” orang-orang yang kecewa kepada partai politik.
Bila seseorang gagal bertarung pada sebuah partai politik
kemudian menceburkan diri menjadi calon perseorangan, dengan logika lurus bisa
kita pertanyakan popularitas dan elektabilitasnya. Demikian pula dengan
berharap pada massa mengambang dan “muntahan” suara yang kecewa kepada parpol,
berarti ia tidak mempertimbangkan suara golongan putih (golput). Mahfum adanya,
pilkada Jawa Barat 2008 di menuliskan angka di atas 34,67% golput. Sebagai perbandingan,
Wakil Direktur LP3ES Sudar D Atmanto memaparkan angka golput 34% pada pemilu
legislative 2009, pemilu 2004 sekitar
26%. Sedangkan pemilu 1999 sekitar 20%. Ini merupakan penanda bahwa massa
mengambang (floating mass) bukan
komunitas yang mudah diraih dengan janji dan program. Boleh jadi, massa
mengambang merupakan kelompok kelas menengah yang sangat sadar atas managemen
tata kelola daerah, dan program yang ditawarkan setiap calon yang melangkah ke
pilkada. Justru karena kesadarannya itulah, mereka memilih sebagai golput.
Kegagalan mengambil restu/ rekomendasi partai politik
seharusnya menjadikan semacam proses penyadaran bahwa ia terbukti belum
memiliki popularitas yang memadai untuk menjadi calon perseorangan. Fakta ini
pun semakin bias manakala seseorang yang gagal diraih parpol lantas masuk ke
arena pilkada melalui jalur calon perseorangan. Bias karena konstituen
mempertanyakan independensinya. Sesuatu yang musykil apabila mantan aktivitis
partai politik mengklaim dirinya besikap independen serta berdiri di atas semua
golongan. Dan musykil pula kita menemui seorang tokoh independen. Pergaulan
sosial, bisnis, pekerjaan, dan sebagainya memungkinkan setiap orang berafiliasi
dengan partai politik. Namun di antara sekian musykilah itu, seseorang yang
mengaku dirinya independen mestinya tidak pernah terdaftar sebagai anggota
sebuah partai politik mana pun, terlebih sebagai aktivis parpol.
Berdiri Sendiri
Beratnya syarat calon perseorangan pada pilkada bisa
dimaknakan sebagai tantangan sekaligus optimism jikalau calon perseorangan tersebut
benar-benar bersih serta tidak pernah tercatat menjadi anggota partai politik,
termasuk pada era Orde Baru. Di sisi lain hal ini masih menunjukkan kuatnya
pengaruh parpol pada kehidupan masyarakat Indonesia. Bahwa kepercayaan
masyarakat kepada parpol melemah, itu benar, namun demikian parpol masih jauh
leluasa melebarkan jaringnya pada pilkada. Dalam relasi inilah seseorang yang
berminat ikut bertarung pada pilkada dari jalur independen alias calon
perseorangan, mesti memperhitungkan kelayakan dirinya untuk dapat disebut
sebagai independen.
Merujuk kamus besar bahasa Indonesia tahun 2008, independen
berarti yang berdiri sendiri, yang berjiwa bebas, tidak terikat pada pihak
lain, tidak larut dalam kekuasaan. Arti harfiah independen ini harus dimiliki oleh
calon perseorangan sebelum ia mempersiapkan diri menjadi calon perseorangan
pada pilkada. Berdiri sendiri mengandung makna kemampuan memanage yang tidak
terkooptasi oleh partai politik. Berdiri sendiri sejalan dengan upaya
sungguh-sungguh yang telah dibangun selama tahunan untuk tidak menceburkan diri
ke dalam hiruk pikuk partai politik. Pertanyaannya, adakah dan mungkinkah?
Telah menjadi rahasia umum bahwa partai politik dominan
dalam bincang keseharian. Politik menjadi sajian menarik dan dibicarakan tidak
sekadar di kalangan politisi. Jelang pilkada fenomena ini kian menggejala.
Ibu-ibu pun di pagi hari ketika membeli sayur dan lauk pauk turut
membicarakannya. Kelompok usia muda di
bawah 30 tahun menjadikan politik sebagai obrolan, kendati belum tentu mereka
tertarik masuk menjadi bagian partai politik. Politik dengan demikian merupakan
magnet dengan kutub magnetis yang kuat menarik sejumlah partikel ke dalamnya.
Dan salah satu partikel itu adalah calon independen, calon perseorangan yang
hendak mengikuti pilkada 2013.
Dengan kata lain apabila calon independen tidak mampu
menunjukkan bahwa dirinya tidak terikat pada pihak lain, dan tidak berjiwa
bebas lantaran telah masuk ke dalam sebuah organisasi yang ideologi tertentu
~sungguh, ia belum dapat dikatakan independen. Belum dapat dikatakan berdiri
sendiri serta belum mempunyai popularitas (apalagi elektabilitas) untuk dapat
berebut kue kekuasaan pada pemilihan kepala daerah tahun 2013 di Jawa Barat.
Tulisan singkat ini dibaktikan sebagai input bagi sejumlah
nama calon perseorangan/ independen yang akan mengikuti pilkada dalam waktu
dekat, sekira empat bulan lagi. Semoga menjadi bahan pemikiran agar kehadiran
Anda di pilkada bukan semata-mata berangkat dari eforia demokrasi.***
: inilah koran, selasa 9 oktober 2012 halaman 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar