Rabu, 10 Oktober 2012

Merindukan Kota Lama Cirebon



Oleh Dadang Kusnandar

Penulis lepas

TUKAR guling bukan kambing guling, terlebih bantal guling. Walaupun sama-sama guling, tapi guling ini guling lain. Ada proses transaksi, ada jual beli, dan ada peniadaan. Tukar guling biasanya berlangsung manakala master plan suatu kota/ kabupaten diterjang oleh “kebijakan” kepala daerah. Tukar guling berlangsung karena keinginan membangun struktur kota/ kabupaten berdasar keinginan dan atau tuntutan pemasaran mutaakhirin. 

Tak pelak tukar guling harus merelakan proses peralihan menyangkut fungsi dan bentuk bangunan yang ditukar. Sebuah bangunan berlatar sejarah sekali pun harus “rela” ditiadakan, diratakan dengan tanah, lantas di atasnya berdiri bangunan lain dengan arsitektur baru. Dengan fungsi baru. Dan dengan aturan baru. Aturan yang dikeluarkan oleh kebijakan pemerintah daerah sambil berkelit di balik tuntutan pasar. Tuntutan yang berpatokan pada komersialisasi serta mengarah ke konsumerisme.

Inilah tuntutan pemasaran yang mutaakhirin itu. Kota Cirebon tahun 1982 berdiri sebuah pusat dagang atau departemen store pertama di Jalan Siliwangi. Merunut ke belakang pusat dagang sebagai kepanjangan/ cabang dari toko sejenis di Jalan Sunda Bandung ini, kabarnya antara lain berawal dari keinginan teman-teman Ikatan Pelajar Mahasiswa Warga Tjirebon (Ipmawati) di Bandung. Di Bandung Ipmawati berkumpul dan mengajukan keinginan tersebut kepada kepala daerah. Cerita lisan pegiat Ipmawati ketika berawal manakala Ketua Umum Ipmawati dipegang oleh anak seorang pejabat teras Kota Cirebon.

Semula keinginan organisasi mahasiswa itu hanya sebatas adanya pusat pertokoan di Kota Cirebon. Namun dalam perkembangannya, departemen store tersebut berhasil melebarkan sayap bisnisnya hingga mampu membeli bangunan bersejarah di Jalan Karanggetas. Keberhasilan proses tukar guling ini pun terus melanda ke bangunan bersejarah lain di dekatnya. Lalu bangunan bersejarah eks Korem 063 Sunan Gunungjati setelah beralih kepemilikan kepada Pertamina itu beralih tangan kepada business man. Demikian pula bangunan bersejarah eks Polwil III Cirebon yang salin rupa menjadi pusat dagang. Termasuk tukar guling stadion Gunungsari  dan fasilitas olah raga sekitarnya yang berganti wajah menjadi pusat belanja/ mal. Sebagai catatan kecil, Bung Karno pernah berorasi di Stadion Merdeka Gunungsari pada tahun 1957.

Bangunan cagar budaya yang dapat sewaktu-waktu beralih fungsi dan bentuk menjadi pusat bisnis, di era tersebut melanda Kota Cirebon. Sejarah seakan berjarak dan menjadi tidak penting serta mudah dikalahkan keinginan berbisnis, keinginan adanya sebuah bangunan megah untuk mengumpulkan pembeli dan pedagang. Lalu muncul istilah pasar modern dan pasar tradisional. Lantaran daya pikat pasar modern lebih unggul maka pasar tradisional pun perlahan tergusur. 

Alih fungsi bangunan bersejarah ke bangunan bisnis di Kota Cirebon pada tahap berikutnya semakin dikuatkan oleh keinginan kepala daerah dengan ide “Cirebon Kota 1000 Mal”. Sulit dibayangkan dan sulit digapai memang. Akan tetapi ide tersebut bagai menjustifikasi berlangsungnya tukar guling bangunan bersejarah. Mungkin karena sejarah hanya merupakan masa lalu dengan sendirinya ia harus tunduk pada peraturan baru seiring kebutuhan manusia bertransaksi secara nyaman. Namun alasan ini sebenarnya mengada-ada. Bukankah jikalau ingin membangun pusat perdagangan tidak serta merta menggusur bangunan bersejarah? Justru menarik apabila bangunan bersejarah berdampingan dengan pusat bisnis.


Keprihatinan teman-teman yang konsern pada sejarah, pada bangunan cagar budaya, seakan dibiarkan menguap bagai asap dari sebatang rokok. Bahkan asap itu mengganggu kesehatan terutama perokok pasif. Berangkat dari hal ini maka asap rokok sebagai metafora keprihatinan serta kepedulian sejumlah orang harus ditiadakan. Biarlah sejarah itu berakhir. Biarlah bangunan bersejarah cukup hanya menjadi catatan dan foto/ gambar dan tersimpan dalam kenangan. Zaman kini menuntut adanya keberanian membongkar yang lama lalu menggantikannya dengan yang baru.

Betapa kita cemburu kepada penataan Kota Lama di Semarang atau Jakarta. Kecemburuan karena Kota Cirebon yang juga layak ditambatkan sebagai kota tua, bangunan bersejarahnya hamper punah. Beberapa yang tersisa seharusnya dipertahankan dan tidak mengubah arsitektur aslinya, agar generasi berikut masih dapat menikmati bangunan bergaya art deco dengan lanskapnya yang menarik.

Tulisan singkat ini hanya bisa berharap semoga bangunan PT British American Toobaco (BAT) di Jalan Pasuketan tidak berubah arsitekturnya, sebagai bangunan bersejarah yang tersisa di Kota Cirebon. Bangunan bekas pabrik rokok warisan kolonial itu sudah tiga tahun menjadi milik perseorangan, milik pebisnis yang dapat sewaktu-waktu "menyulap" arsitektur gedung sesuai dengan keinginan serta kepentingan bisnisnya.***


Keterangan Foto:

Foto 1 : dari cirebonasli.blogspot.com
Foto 2 :  dari thearoengbinangproject.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar