Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas
TUKAR guling bukan kambing guling, terlebih bantal guling.
Walaupun sama-sama guling, tapi guling ini guling lain. Ada proses transaksi,
ada jual beli, dan ada peniadaan. Tukar guling biasanya berlangsung manakala
master plan suatu kota/ kabupaten diterjang oleh “kebijakan” kepala daerah.
Tukar guling berlangsung karena keinginan membangun struktur kota/ kabupaten
berdasar keinginan dan atau tuntutan pemasaran mutaakhirin.
Tak pelak tukar guling harus merelakan proses peralihan
menyangkut fungsi dan bentuk bangunan yang ditukar. Sebuah bangunan berlatar
sejarah sekali pun harus “rela” ditiadakan, diratakan dengan tanah, lantas di
atasnya berdiri bangunan lain dengan arsitektur baru. Dengan fungsi baru. Dan
dengan aturan baru. Aturan yang dikeluarkan oleh kebijakan pemerintah daerah
sambil berkelit di balik tuntutan pasar. Tuntutan yang berpatokan pada
komersialisasi serta mengarah ke konsumerisme.
Inilah tuntutan pemasaran yang mutaakhirin itu. Kota Cirebon tahun 1982 berdiri sebuah pusat
dagang atau departemen store pertama di Jalan Siliwangi. Merunut ke belakang
pusat dagang sebagai kepanjangan/ cabang dari toko sejenis di Jalan Sunda
Bandung ini, kabarnya antara lain berawal dari keinginan teman-teman Ikatan Pelajar Mahasiswa Warga Tjirebon
(Ipmawati) di Bandung. Di Bandung Ipmawati berkumpul dan mengajukan
keinginan tersebut kepada kepala daerah. Cerita lisan pegiat Ipmawati ketika
berawal manakala Ketua Umum Ipmawati dipegang oleh anak seorang pejabat teras
Kota Cirebon.
Semula keinginan organisasi mahasiswa itu hanya sebatas
adanya pusat pertokoan di Kota Cirebon. Namun dalam perkembangannya, departemen
store tersebut berhasil melebarkan sayap bisnisnya hingga mampu membeli
bangunan bersejarah di Jalan Karanggetas. Keberhasilan proses tukar guling ini
pun terus melanda ke bangunan bersejarah lain di dekatnya. Lalu bangunan
bersejarah eks Korem 063 Sunan Gunungjati setelah beralih kepemilikan kepada
Pertamina itu beralih tangan kepada business man. Demikian pula bangunan
bersejarah eks Polwil III Cirebon yang salin rupa menjadi pusat dagang.
Termasuk tukar guling stadion Gunungsari
dan fasilitas olah raga sekitarnya yang berganti wajah menjadi pusat
belanja/ mal. Sebagai catatan kecil, Bung Karno pernah berorasi di Stadion
Merdeka Gunungsari pada tahun 1957.
Bangunan cagar budaya yang dapat sewaktu-waktu beralih
fungsi dan bentuk menjadi pusat bisnis, di era tersebut melanda Kota Cirebon.
Sejarah seakan berjarak dan menjadi tidak penting serta mudah dikalahkan
keinginan berbisnis, keinginan adanya sebuah bangunan megah untuk mengumpulkan
pembeli dan pedagang. Lalu muncul istilah pasar modern dan pasar tradisional.
Lantaran daya pikat pasar modern lebih unggul maka pasar tradisional pun perlahan
tergusur.
Alih fungsi bangunan bersejarah ke bangunan bisnis di Kota
Cirebon pada tahap berikutnya semakin dikuatkan oleh keinginan kepala daerah
dengan ide “Cirebon Kota 1000 Mal”. Sulit dibayangkan dan sulit digapai memang.
Akan tetapi ide tersebut bagai menjustifikasi berlangsungnya tukar guling
bangunan bersejarah. Mungkin karena sejarah hanya merupakan masa lalu dengan
sendirinya ia harus tunduk pada peraturan baru seiring kebutuhan manusia
bertransaksi secara nyaman. Namun alasan ini sebenarnya mengada-ada. Bukankah
jikalau ingin membangun pusat perdagangan tidak
serta merta menggusur bangunan bersejarah? Justru menarik apabila bangunan
bersejarah berdampingan dengan pusat bisnis.
Keprihatinan teman-teman yang konsern pada sejarah, pada
bangunan cagar budaya, seakan dibiarkan menguap bagai asap dari sebatang rokok.
Bahkan asap itu mengganggu kesehatan terutama perokok pasif. Berangkat dari hal
ini maka asap rokok sebagai metafora keprihatinan serta kepedulian sejumlah
orang harus ditiadakan. Biarlah sejarah itu berakhir. Biarlah bangunan
bersejarah cukup hanya menjadi catatan dan foto/ gambar dan tersimpan dalam
kenangan. Zaman kini menuntut adanya keberanian membongkar yang lama lalu
menggantikannya dengan yang baru.
Betapa kita cemburu kepada penataan Kota Lama di Semarang
atau Jakarta. Kecemburuan karena Kota Cirebon yang juga layak ditambatkan
sebagai kota tua, bangunan bersejarahnya hamper punah. Beberapa yang tersisa
seharusnya dipertahankan dan tidak mengubah arsitektur aslinya, agar generasi
berikut masih dapat menikmati bangunan bergaya art deco dengan lanskapnya yang menarik.
Tulisan singkat ini hanya bisa berharap semoga bangunan PT
British American Toobaco (BAT) di Jalan Pasuketan tidak berubah arsitekturnya,
sebagai bangunan bersejarah yang tersisa di Kota Cirebon. Bangunan bekas pabrik rokok warisan kolonial itu sudah tiga tahun menjadi milik perseorangan, milik pebisnis yang dapat sewaktu-waktu "menyulap" arsitektur gedung sesuai dengan keinginan serta kepentingan bisnisnya.***
Keterangan Foto:
Foto 1 : dari cirebonasli.blogspot.com
Foto 2 : dari thearoengbinangproject.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar