Kamis, 16 Agustus 2012

Tiga Menyoal FKN Buton


Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal di Cirebon Jawa Barat

MENJELANG pelaksanaan Festival Keraton Nusantara (FKN) di Buton, Sulawesi Tenggara awal September tahun ini, bisik-bisik mulai berisik. Dari kesulitan pemegang “veto” siapa yang diberangkatkan hingga kesiapan panitia local, FKN tiap dua tahun sekali tak sunyi dari problem internal. Ia bernama managerial yang buruk lantaran pemerintah daerah ~dalam hal ini Dinas Pariwisata Pemuda dan Olah Raga~ mengambil porsi cukup besar. Porsi dimaksud tidak melulu pada persoalan anggaran semata, melainkan pada faktor subjektif semisal kedekatan personal dan emosional kepada seseorang.

Lepas Isya belum lama ini, seorang kawan dekat singgah ke rumah membincangkan peluang keikutsertaan pada event budaya dua tahunan itu. Profesi utamanya sebagai fotografer, dalam hemat saya cocok untuk diikutsertakan, berangkat ke Buton dari Cirebon. Ditambah pula ia punya kemampuan menulis. Namun apa boleh buat, sang pemilik “veto” tingkat kota memilih rekan kerjanya lantaran efisiensi biaya. Bahasa klise yang digunakan pejabat Dinas Pariwisata tersebut, di kantor ada kamera dan karyawan (PNS) yang mampu memotret, jadi buat apa mengundang fotografer dari luar kantor.

Semula kata sang pejabat, “Saya memilih dia karena ini bukan foto dokumentasi belaka, tetapi art photo”. Tetapi ia tidak mampu meyakinkan rekan kerja sekantor sehingga harus mencoret beberapa nama seniman. Anehnya pernah suatu saat ia berkirim pesan pendek kepada fotografer itu: kalau mengajak seniman, ribet, banyak tuntutan, mulutnya ember. Tentu saja  sang fotografer tidak terima dikatakan demikian. Dia pun hendak klarifikasi masalah ini kepada bapak pejabat yang terhormat. 

Begitulah kemudian kami menuju kediaman bapak pejabat. Omong punya omong berakhir dengan baik, terlebih bulan suci Ramadhan masih menggayut di langit Juli 2012 ini. Meski pak pejabat tidak memberangkatkan kami ke Buton, biarlah itu urusan dia. Dan bagai pepatah lama, banyak jalan menuju Roma, kali ini kami jabarkan: Banyak Jalan Menuju Buton.

Obrolan malam pun berlanjut manakala sepulang dari kediaman sang pejabat, kami bertandang ke Sanggar Sekar Pandan Keraton Kacirebonan. Bermaksud menjumpai Pangeran Heri Komarahadi, pamong dan “sultan” sanggar, akhirnya bersua juga di tempat Ali Gondrong, rekan yang piawai memainkan video shooting. Perbincangan FKN VIII Buton makin seru dengan berbagai info yang diperoleh dari teman-teman pegiat kesenian tradisi dan berlatar keluarga keraton. Beberapa hal mencuat misalnya tentang keterbatasan anggaran dari pos APBD Propinsi Jawa Barat, sehingga keratin sulit menetapkan siapa yang akan diikutsertakan ke sana. Jika menggunakan tiket pesawat terbang plus akomodasi menelan biaya Rp 7 juta per orang. Yang unik, sebuah keratin di Cirebon melalui keluarganya mengatakan bahwa pihak keratonnya hanya memberangkatkan seorang penari topeng.

Ada terobosan menarik yang dilakukan Keraton Kasepuhan Cirebon. Kabarnya keberangkatan ke Buton menggunakan kapal laut sehingga mampu membawa rombongan lebih banyak. Namun ini mengandung kelemahan kontingen budaya mengalami mabuk laut atau sakit dan berakhir ia tidak bisa manggung dalam gelar budaya dua tahunan itu. Terlebih adanya pengalaman beberapa peserta sakit ketika FKN di Makasar tahun 2008 lalu karena perjalanan dari Jawa menggunakan kapal laut. Bahkan perkiraan melaut yang lima hari menjadi tujuh hari lantaran harus merapat di pelabuhan lain lantaran faktor cuaca. 

Jatah atau kuota seniman dalam keikutsertaan memperkenalkan seni tradisi pada PKN Buton terganjal. Besaran anggaran yang tidak besar tidak memungkinkan misalnya Sanggar Sekar Pandan memberangkatkan 10 orang nayaganya. Ini belum termasuk penari, pembawa acara, fotografer, penulis, dan teman-teman lainnya yang diandaikan mampu berperan pada FKN Buton. Apabila kita melihat persoalan ini secara jeli, ada berbagai hal mengemuka. Pertama, berkali pelaksanaan FKN selalu saja dimanfaatkan sebagai ajang jalan-jalan alias pakansi alias plesir bagi pejabat daerah, anggota legislatif, keluarga keraton dan seniman (pelaku kesenian kontingen tamu). Di lokasi, mereka sama sekali tidak terlibat pada acara promosi kesenian. Kehadiran di lokasi perhelatan FKN hanya sebatas pada acara pembukaan yang seremonial. Pejabat setempat yang hadir, hotel berbintang, tukar cindera mata dan sebagainya nampak lebih sacral ketimbang pentas kesenian tradisi di tempat lain, tempat yang jauh dari sanggar keseniannya.

Kedua, ada upaya kamuflase seolah-olah seluruh keraton yang diundang benar-benar hadir di lokasi acara dan berangkat dari daerahnya, membawa peralatan kesenian serta piranti yang dibutuhkan. Fakta ini berlangsung saat FKN II di Cirebon tahun 1997 lalu. Ada rasa takjub ketika tahun 1997 itu saya melihat Panji Kerajaan Majapahit. Saat ditanya, dengan jujur orang Majapahit itu berkata, “Saya PNS dari Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Mojokerto”. Gajah yang ia tunggangi pada pembukaan FKN II Cirebon itu entah diperoleh dari mana. 

Ketiga, FKN sebagai pesta budaya yang secara reguler ditetapkan dua tahun sekali, harus mampu menghindar dari keberbagaian yang mengganggu. Pesta budaya itu bernama festival dan diadakan selama sepekan. Aneh apabila pemda setempat, pelaksana lokal, tidak mampu berperan optimal hanya lantaran telunjuk atasan. Saya piker, “kuasa” otonomi daerah harus diterapkan. Bukankah bupati/ walikota bukan bawahan gubernur, sehingga ia tidak harus patuh pada “kuasa atasan”. Ini bukan perlawanan kepala daerah tingkat dua, melainkan penempatan secara proporsional agar FKN Buton berlangsung meriah. Festival pun mesti menggelar pentas budaya lokal masing-masing utusan dengan kondusifitas yang dijaga oleh panitia lokal.

Dengan kata lain, aneh apabila FKN Buton hanya mampu menyelenggarakan karnaval budaya keraton nusantara atau ider-ideran tanpa mempersembahkan sajian seni tradisi utusan. Keberangkatan utusan hngga menyeberang laut atau mengangkasa, seharusnyalah memperoleh penghargaan untuk dapat pentas di tanah Buton, di negeri yang indah dengan penghasilan aspalnya itu. Negeri yang di tahun 815 H/ 1412 M kedatangan Sayid Jamaluddin al-Kubra untuk menyebarkan agama Islam. 

Harapan juga disandarkan kepada Wali Kota Baubau Amirul Tamim  yang belum lama mengatakan, sebanyak 120 keraton sudah menyatakan kesediaan melalui surat yang telah disampaikan kepada panitia setempat. Selamat dan sukses untuk FKN Buton 2012.***

 tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kabar Cirebon, Selasa 7 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar