Oleh Dadang Kusnandar
Penulis lepas, tinggal
di Cirebon Jawa Barat
MENJELANG pelaksanaan Festival Keraton Nusantara (FKN) di
Buton, Sulawesi Tenggara awal September tahun ini, bisik-bisik mulai berisik.
Dari kesulitan pemegang “veto” siapa yang diberangkatkan hingga kesiapan
panitia local, FKN tiap dua tahun sekali tak sunyi dari problem internal. Ia
bernama managerial yang buruk lantaran pemerintah daerah ~dalam hal ini Dinas
Pariwisata Pemuda dan Olah Raga~ mengambil porsi cukup besar. Porsi dimaksud
tidak melulu pada persoalan anggaran semata, melainkan pada faktor subjektif
semisal kedekatan personal dan emosional kepada seseorang.
Lepas Isya belum lama ini, seorang kawan dekat singgah ke
rumah membincangkan peluang keikutsertaan pada event budaya dua tahunan itu.
Profesi utamanya sebagai fotografer, dalam hemat saya cocok untuk
diikutsertakan, berangkat ke Buton dari Cirebon. Ditambah pula ia punya
kemampuan menulis. Namun apa boleh buat, sang pemilik “veto” tingkat kota memilih
rekan kerjanya lantaran efisiensi biaya. Bahasa klise yang digunakan pejabat
Dinas Pariwisata tersebut, di kantor ada kamera dan karyawan (PNS) yang mampu
memotret, jadi buat apa mengundang fotografer dari luar kantor.
Semula kata sang pejabat, “Saya memilih dia karena ini bukan
foto dokumentasi belaka, tetapi art
photo”. Tetapi ia tidak mampu meyakinkan rekan kerja sekantor sehingga
harus mencoret beberapa nama seniman. Anehnya pernah suatu saat ia berkirim
pesan pendek kepada fotografer itu: kalau mengajak seniman, ribet, banyak
tuntutan, mulutnya ember. Tentu saja
sang fotografer tidak terima dikatakan demikian. Dia pun hendak
klarifikasi masalah ini kepada bapak pejabat yang terhormat.
Begitulah kemudian kami menuju kediaman bapak pejabat. Omong
punya omong berakhir dengan baik, terlebih bulan suci Ramadhan masih menggayut
di langit Juli 2012 ini. Meski pak pejabat tidak memberangkatkan kami ke Buton,
biarlah itu urusan dia. Dan bagai pepatah lama, banyak jalan menuju Roma, kali
ini kami jabarkan: Banyak Jalan Menuju
Buton.
Obrolan malam pun berlanjut manakala sepulang dari kediaman
sang pejabat, kami bertandang ke Sanggar Sekar Pandan Keraton Kacirebonan.
Bermaksud menjumpai Pangeran Heri Komarahadi, pamong dan “sultan” sanggar,
akhirnya bersua juga di tempat Ali Gondrong, rekan yang piawai memainkan video
shooting. Perbincangan FKN VIII Buton makin seru dengan berbagai info yang
diperoleh dari teman-teman pegiat kesenian tradisi dan berlatar keluarga
keraton. Beberapa hal mencuat misalnya tentang keterbatasan anggaran dari pos
APBD Propinsi Jawa Barat, sehingga keratin sulit menetapkan siapa yang akan
diikutsertakan ke sana. Jika menggunakan tiket pesawat terbang plus akomodasi
menelan biaya Rp 7 juta per orang. Yang unik, sebuah keratin di Cirebon melalui
keluarganya mengatakan bahwa pihak keratonnya hanya memberangkatkan seorang
penari topeng.
Ada terobosan menarik yang dilakukan Keraton Kasepuhan
Cirebon. Kabarnya keberangkatan ke Buton menggunakan kapal laut sehingga mampu
membawa rombongan lebih banyak. Namun ini mengandung kelemahan kontingen budaya
mengalami mabuk laut atau sakit dan berakhir ia tidak bisa manggung dalam gelar
budaya dua tahunan itu. Terlebih adanya pengalaman beberapa peserta sakit
ketika FKN di Makasar tahun 2008 lalu karena perjalanan dari Jawa menggunakan
kapal laut. Bahkan perkiraan melaut yang lima hari menjadi tujuh hari lantaran
harus merapat di pelabuhan lain lantaran faktor cuaca.
Jatah atau kuota seniman dalam keikutsertaan memperkenalkan
seni tradisi pada PKN Buton terganjal. Besaran anggaran yang tidak besar tidak
memungkinkan misalnya Sanggar Sekar Pandan memberangkatkan 10 orang nayaganya.
Ini belum termasuk penari, pembawa acara, fotografer, penulis, dan teman-teman
lainnya yang diandaikan mampu berperan pada FKN Buton. Apabila kita melihat
persoalan ini secara jeli, ada berbagai hal mengemuka. Pertama, berkali pelaksanaan FKN selalu saja dimanfaatkan sebagai
ajang jalan-jalan alias pakansi alias plesir bagi pejabat daerah, anggota
legislatif, keluarga keraton dan seniman (pelaku kesenian kontingen tamu). Di
lokasi, mereka sama sekali tidak terlibat pada acara promosi kesenian.
Kehadiran di lokasi perhelatan FKN hanya sebatas pada acara pembukaan yang
seremonial. Pejabat setempat yang hadir, hotel berbintang, tukar cindera mata
dan sebagainya nampak lebih sacral ketimbang pentas kesenian tradisi di tempat
lain, tempat yang jauh dari sanggar keseniannya.
Kedua, ada upaya
kamuflase seolah-olah seluruh keraton yang diundang benar-benar hadir di lokasi
acara dan berangkat dari daerahnya, membawa peralatan kesenian serta piranti
yang dibutuhkan. Fakta ini berlangsung saat FKN II di Cirebon tahun 1997 lalu. Ada
rasa takjub ketika tahun 1997 itu saya melihat Panji Kerajaan Majapahit. Saat
ditanya, dengan jujur orang Majapahit itu berkata, “Saya PNS dari Dinas
Pariwisata dan Budaya Kabupaten Mojokerto”. Gajah yang ia tunggangi pada
pembukaan FKN II Cirebon itu entah diperoleh dari mana.
Ketiga, FKN
sebagai pesta budaya yang secara reguler ditetapkan dua tahun sekali, harus mampu
menghindar dari keberbagaian yang mengganggu. Pesta budaya itu bernama festival
dan diadakan selama sepekan. Aneh apabila pemda setempat, pelaksana lokal,
tidak mampu berperan optimal hanya lantaran telunjuk atasan. Saya piker,
“kuasa” otonomi daerah harus diterapkan. Bukankah bupati/ walikota bukan
bawahan gubernur, sehingga ia tidak harus patuh pada “kuasa atasan”. Ini bukan
perlawanan kepala daerah tingkat dua, melainkan penempatan secara proporsional
agar FKN Buton berlangsung meriah. Festival pun mesti menggelar pentas budaya
lokal masing-masing utusan dengan kondusifitas yang dijaga oleh panitia lokal.
Dengan kata lain, aneh apabila FKN Buton hanya mampu
menyelenggarakan karnaval budaya keraton nusantara atau ider-ideran tanpa
mempersembahkan sajian seni tradisi utusan. Keberangkatan utusan hngga
menyeberang laut atau mengangkasa, seharusnyalah memperoleh penghargaan untuk
dapat pentas di tanah Buton, di negeri yang indah dengan penghasilan aspalnya
itu. Negeri yang di tahun 815 H/ 1412 M kedatangan Sayid Jamaluddin al-Kubra
untuk menyebarkan agama Islam.
tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kabar Cirebon, Selasa 7 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar