Minggu, 19 Agustus 2012

Lebaran Sunyi


Oleh Dadang Kusnandar

IDUL Fitri tahun ini, 1433 Hijriyah atau 2012 Masehi merupakan lebaran sunyi yang kesekian. Setidaknya bagi mereka yang telah tidak mempunyai orang tua kandung. Lepas shalat i`ed bersalaman dengan tetangga terdekat, minimal se-RT, mengunjungi keluarga sekota, ziarah ke makam sambil tebar do`a buat arwah..........selebihnya adalah sunyi. Kembali kepada kebiasaan. Kembali ke habitat masing-masing lantaran saudara sekandung dari luar kota tidak mudik dan berkumpul di rumah pusaka.

Ketiadaan kedua orang tua kerap jadi kendala silaturahmi saudara sekandung. Perekat sekaligus magnet paling kuat yang ada dalam genealogi keluarga itu bila telah tiada, menjadi alasan gagalnya silaturahmi. Ironi memang. Tapi itulah faktanya. Mudik dengan segala kepayahan terkubur bagai cerita lama yang telah berakhir. Orang tua di mana pun mampu memanggil anak-anaknya pulang. Cukup berkirim sms, sejumlah anak di luar kota mendekat dan merapat. Dan selalu ada kisah di balik panggilan pulang orang tua. "Kembali pulang anakku sayang", pinjam sebaris sajak Asrul Sani.

Dengan kata lain keberadaan ayah dan bunda jadi demikian penting bagi keutuhan keluarga. Raut wajah yang bergurat, mungkin juga gelambir yang menggayut di leher lantaran kegemukan, wajah lelah karena beratnya "menyeberangkan" anak-anak hingga jadi orang. Konotasi orang sementara ini masih bertengger pada pemahaman pangkat, jabatan, kedudukan dan harta. Kemarin lalu dalang wayang kulit cirebon, Purjadi mengatakan, "Menjadi manusia lebih sulit daripada menjadi orang". Maknanya adalah orang bersifat fisikal sementara manusia lebih mendekati spiritual. Dan lebaran adalah spiritualitas yang tersembul dari aktivitas ramadhan sebulan penuh. Ia harus terealisasi pada kahidupan paska ramadhan. Kata kiai, dialah yang berhasil mempraktekkan pahala ramadhan, yakni menjadi manusia.

Kembali ke lebaran sunyi kembali kepada kiat mempererat persaudaraan sekandung. Bagaimana pun persaduaraan sekandung jauh lebih bermakna dibanding persaudaraan lain. Setidaknya di Indonesia. Masih kuatnya ikatan primordialisme, ikatan silsilah merupakan prototipe masyarakat Timur yang menghargai rangka bangun keluarga.

Kiat

Di bawah ini beberapa kiat agar lebaran tak sunyi walau kedua orang tua telah meninggal dunia puluhan tahun lalu. Pertama, adakan pertemuan mudik lebaran (sehari sebelum hari H) berkumpul di rumah pusaka, yang biasanya ditempati si sulung. Kedua, komunikasi antar saudara kandung harus terus dilakukan ~enak tidak enak, kabar baik atau buruk~ ia adalah saudara kandung yang mesti kita pahami. Ketiga, lebaran tahun berikut diurut pertemuannya di rumah saudara kandung berdasar nomor urut silsilah. Keempat, adakan arisan keluarga sekandung yang dibuka sekali setahun (misalnya arisan pergi ke Mekkah). Kelima, jangan lihat saudara kandung sebagaimana melihat orang tetapi lihatlah ia sebagai manusia.

Lima kiat di atas setidaknya dapat menjadikan keutuhan saudara sekandung kendati kedua orang tua telah pulang kembali ke haribaan ilahi. Kiat itu mengembalikan kesadaran pentingnya mempererat silaturahmi yang dibangun melalui jalan paling dekat, yakni dengan sesama saudara kandung. Artinya apabila dengan saudara sekandung saja kita gagal membina silaturahmi, jangankan dengan teman-teman kita di luar saudara sekandung. Fakta bahwa saudara kandung senantiasa terekam dalam memori keseharian adalah piranti lunak bagi silaturahmi yang utuh.

Sebaliknya manakala keutuhan persaduaraan sekandung begitu kuat, insya allah, kesulitan tidak demikian terasa membebani karena saling bahu membahu membantu menyelesaikan masalah yang dialami saudara sekandung kita. Apologi menyoal rasa tanggung jawab karena telah berkeluarga perlahan kita singkirkan. Problem ekonomi yang mengguncang, kemiskinan yang masih melingkup saudara kandung kita, tidak serta merta menimpakan kesalahan atau menyalahkan saudara kandung kita yang tengah malang. Sesekali kita hindari blaming the victim, menyalahkan korban. Mestinya kita manusiakan saudara kandung dengan akses yang kita miliki.

Pada akhirnya lebaran sunyi kelak berganti menjadi lebaran semarak. Dengan do`a, dengan silaturahmi, dengan keakraban tanpa kemasan palsu, dengan pola kesadaran untuk menjadi manusia. Insan kamil atau manusia mulia, saya pikir tergambar dari kedekatan kita dengan saudara kandung.***


1 komentar:


  1. Alienasi jiwa terkadang hadir tanpa permisi. Ia masuk langsung ke relung hati dengan dukungan suasana batin yang mengepung seseorang. Pada akhirnya keterasingan yang sebenarnya dapat dieliminasi itu begitu mengganggu efek kejiwaan. Seseorang dalam keluarga besar bisa saja menjadi terasing lantaran ketidakmampuan ekonomi. Seseorang itu bisa jadi akan memperlihatkan sikap kurang bersahabat kepada saudara kandungnya lantaran ia merasa kurang/ tidak dihargai dalam lingkup persaudaraan terdekat, persaudaraan sedarah. Dalam ukuran ekstrem, sesekali ia memperlihatkan sikap perlawanan dengan caranya yang sangat tidak menyenangkan. Misalnya berkirim sms ancaman atau pesan pendek melalui telepon seluler yang menceritakan kegagalannya dan tidak berharap apa pun terhadap persaudaraan sekandung.
    Idul Fitri seharusnya tidak mempertontonkan alienasi jiwa saudara sekandung kita. Idul Fitri tahun ini dengan semarak persaudaraan mestinya mengembalikan keterasingan itu menjadi kedekatan. Dekat pada pengertian hakiki, bahwa menjadi anggota keluarga (saudara sekandung) memiliki makna sepanjang hidup. Makna bahwa kita dilahirkan ibu dan singgah ke kefanaan dunia ini sebagai sebuah kekuatan untuk dapat saling menghargai dan memaknai kemanusiaan.
    Manusia fitri sebagaimana sering disampaikan khotib pada saat kutbah i`edul fitri, antara lain ialah manusia yang menghargai sesama seperti ia menghargai diri sendiri. Kuasi inilah yang menyegerakan setiap kita untuk tunduk dalam kepasrahan kan kuasa ilahi yang menempatkan kita sebagai wakil tuhan di muka bumi. Dan tugas wakil tuhan itu, meminjam ujaran Ali Syari`ati antara lain ialah untuk menerapkan ideologi ketuhanan bukan sebagai penjara yang menelikung seseorang dalam ketidakpahaman. Apabila ideologi ketuhanan yang diantaranya diwujudkan dalam bentuk persaudaraan sekandung menjadi perintang hubungan silaturahmi ~maka kita gagal meraih I`ed Mubarak, idul fitri yang membawa berkah.
    Tentu saja tidak seorang jua pun dari kita menghendaki kegagalan meraih i`ed Mubarak. Kita hendak menjadikan fitri sebagai wujud nyata kebersamaan yang berawal dari keluarga terdekat, yang kita cintai.

    BalasHapus