Senin, 15 November 2010

Kami Kehilangan Abah

In Memoriam KH Syarif Usman bin Yahya bin Syekh :


Oleh Dadang Kusnandar


PIALA Dunia sepak bola 2010 melenggang. Santri dan ustadz Ponpes Kempek Ciwaring Cirebon menyaksikan teknik sepak bola terkini, lewat infokus yang disorot ke layar 3 x 4 meter di halaman pondok. Johandi menyediakan itu untuk hiburan gratis karena Abah Ayip, panggil KH Syarif Utsman Yahya bin Syekh. Sebagai mantan santri Kempek yang rajin silaturahmi kepada Ayip, Johandi tiga kali mengajak saya menemui abah. Perbincangan pun melebar ke mana suka.

Abah juga suka nonton sepak bola. Namun karena saat itu dilanda sakit dan kudu berobat kepada dokter dan atau ahli pengobatan alternatif, abah nonton World Cup di televisi 21 inchi dekat tempat tidur. Di ruang keluarga itu abah bertutur banyak hal. Sepak bola, ketangguhan perempuan tua yang tetap bekerja jadi tukang cuci rumah ke rumah meski anak sulungnya telah kerja dan jadi sarjana S1. Pun bicara seorang gadis yang kabur dari rumah bersama pacar lelaki yang kenal lewat jejaring sosial facebook.
Obrolan kami sembari menanti lincahnya permainan sepak bola cantik Brasil dengan maskot Kaka, atau kelihaian diving Christiano Ronaldo yang saat itu terekam kamera dalam adegan replay, juga Lionel Messi yang ditunggu menjebol gawang lawan; abah lebih suka menyimak obrolan kami. Kecuali bila ditanya, abah menjawab dengan pendekatan ilmu mantiq/ diplomasi ala pesantren yang lazim di kalangan kiai Nahdatul 'Ulama (NU). Tentu saja kami terdiam mendengar jawaban atau urun rembug abah pada obrolan.

Rokok nan berasap, juadah, teh manis, kopi yang tersaji di meja ruang tamu, jadi saksi keakraban kiai dengan santri. Tak ada perlakuan diskriminatif serta hirarki feodal. Fresh and funny, demikian yang saya rasa dalam obrolan bareng abah.

Tapi abah sakit saat itu. Susah tidur, kaki kanan kadang susah bergerak, mudah lelah dan dalam perawatan rutin dokter. Kami selain nonton bareng sepak bola, juga menemani abah sampai beliau tidur.

Tak berani kami mengusik bila abah tertidur. Lucunya abah bercerita, "Jo, isun bisa turu lali baka ana swara ribut putu lanang." Johandi, saya bisa tidur lelap kalau ada suara bising cucu laki-laki. Jelas kami heran. Kata abah, ia suka rewelnya anak-anak, kadang rindu keusilan sang cucu.

Sepak bola World Cup 2010 bagi keluarga Ponpes Kempek pun menggoreskan kelucuan lain. Siswa kelas 5 SD spontan mengunci diri tak mau makan dan tak mau sekolah, bahkan ia menangis. Orang tuanya jelas bingung tidak tahu apa masalah anaknya lantaran tidak menjawab tanya orang tuanya. Usut punya usut, menurut sahabat SD nya, anak itu menangis karena Brasil kalah oleh Belanda di putaran keempat. Kami tertawa. Bukan cuma melihat kelakuan anak kecil penggila sepak bola saja, melainkan sepak bola telah menyihir ratusan juta manusia tanpa kenal usia. Di film ada kategori tontonan untuk segala umur. Dan sepak bola mendahului kategorisasi tingkat usia penonton.

Pertemuan kali pertama dengan abah berlangsung awal 1999 di Pondok Pesantren Kempek. Kala itu jelang Pemilu legislatif oleh teman dari Karangsambung Arjawinangun, ada undangan buat menghadiri bincang politik ala NU. Perhelatan di mesjid itu... mengantarkan abah menjadi Anggota DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pertemuan kedua dengan abah di Ponpes Dar al Tauhid Arjawinangun pada diskusi tahun 2001. Abah jadi narasumber bersama Kang Inu (KH Ibnu Ubaidillah), Kang Chozin Nasuha, Kang Husen Muhammad, Kang Affandi Mokhtar, dan Kang Ahsin Muhammad. Kendati ada tiga anggota legislatif dari PKB ~abah di DPR RI, Kang Inu di DPRD Jawa Barat, dan Kang Husen di DPRD Kabupaten Cirebon~ diskusi itu bertajuk pemikiran islam terhadap teks sosial mutakhir. Bersama Ahmad S Alwy, Eman Sulaeman Syahri, Miqdad Husen kami diantar jemput oleh Nuruddin Siraj (Anggota FPKB di DPRD Kabupaten Cirebon) dengan mobil. Maka diskusi kali itu tidak politis namun pure wacana kekinian.

Abah Ayip menyampaikan materi kapitalisme (? maaf bila keliru) dalam pandangan islam. Tahun 2000 usia kami belum 40, and so suka menimpali paparan nara sumber pada diskusi itu. Kami tergabung dalam grup diskusi Gerbang Informasi yang suka sharing dengan Kang Chozin Nasuha. Sekali sebulan mengundang kiai jadi narasumber.

Perkenalan dan silaturahmi dengan abah pun terputus. Dan World Cup 2010 mempertemukan saya lagi dengan abah. Atas jasa pengusaha Johandi usai menyaksikan latihan gabungan Barisan Serbaguna (Banser) di Talun Kabupaten Cirebon.

Cirebon Minggu 7 November 2010 sekira pukul 19.30 WIB di Thousand One Coffe Shop di Kalibaru Selatan Cirebon, Andi fotografer Kabar Cirebon menyampaikan kabar duka itu. Saya terhenyak. Semeja dengan Tarno Rimbo penggiat Teater Dugal Unswagati dan Leila anak saya, Andi mengabarkan kepergian abah. "Kang Ayip Usman Pesantren Kempek meninggal sore di RSU Sumber Waras Ciwaringin," ujar Andi. Spontan saya jawab, “Innalillahi wa inna ilaihi roji`un”. Sejenak wajah bersih itu terbayang ketika malam berbincang pelbagai hal dengan beliau. Ah, Ranjang besi warna hijau muda yang digunakan abah di ruang keluarga pun terlintas dalam ingatan.

Kami kehilangan abah bukan karena makin langkanya kiai yang rendah hati dan cerdas menganalisis masalah. Bukan karena abah pimpinan ponpes. Namun lantaran abah mengajarkan kami (untuk saya sekira enam kali pertemuan dan hanya ngobrol) sikap egaliter, fraterneit, dan liberet sesuai tiga kata kunci demokrasi paska Revolusi Prancis tahun 1789 yang mengguncang itu. Pun karena abah tetap rasional menghadapi hidup, itu kami tahu saat abah berobat ke dokter bukan melalui segelas air bening yang dibacai ayat suci dan do'a berbahasa arab. Kami kehilangan abah karena belum sempat merekam pengajianmu. Kami kehilangan abah karena belum puas meneguk ilmu dari lisanmu.

Tapi Allah swt Sang Mahaagung memanggilmu kembali. Sesungguhnya dari Allah kita dating dan kepada Allah kita kembali.

Kami sedih abah. Semoga abah di alam ketiga menjumpa kebahagiaan sebagaimana didapat di dua alam sebelumnya. Amin....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar